Bab 2
Quest Type B
Quest 3 : Ceritakan tokoh utama pergi ke tempat yang sering dikunjunginya dan mengapa ia sering berkunjung ke sana. Boleh dengan POV manapun, judul bab bebas, dan perhatikan ketentuan. Untuk yang memiliki dua tokoh utama ceritakan salah satu saja.
===========##==========
“Hanya lewat mimpi aku bisa bersamamu.”
***
Rintik hujan jatuh membasahi bumi, aroma petrikor menguar, menelusuk indera penciuman Maudy. Kini ia berdiri di depan kafe Camboddia, tak ada payung, tak ada teman, dan tak tahu harus bagaimana. Ia memutuskan untuk menikmati hujan yang konon katanya adalah air mata bidadari.
Kadang saat dipikirkan sangatlah kontradiktif. Kenapa bidadari yang sedang bersedih di kahyangan sana dapat memberikan kehidupan baru di bumi? Hujan memberikan sukacita para petani, membuat tanaman gersang kembali hidup, juga menjadi pelepas dahaga hewan-hewan liar. Padahal kebahagiaan sang bidadari yang menjadi korban.
Pikiran tentang air mata bidadari membawa Maudy memasuki lamunan panjang. Ia baru sadar ketika seseorang menyampirkan jaket ke pundaknya.
“Sudah kuduga kamu di sini.”
Brian?
Maudy bergerak rikuh, meskipun sudah berkali-kali bertemu Brian, Maudy masih merasa canggung.
“Ka-kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Maudy.
“Dan kenapa kamu mematikan ponselmu?” Brian bertanya balik.
Mematikan ponsel?
Maudy menggambil ponsel dari dalam tasnya dan benar saja, ponsel itu mati.
“Mu-mungkin baterainya habis.”
“Kalau begitu, kenapa kita tidak masuk kafe dan menghangatkan badan dengan secangkir coklat panas saja?”
Tanpa menunggu jawaban Maudy, Brian menarik tangan wanita itu masuk ke dalam kafe.
“Loh? Bu Maudy kembali lagi?” tanya karyawan kasir kafe ketika melihat Maudy dan Brian.
Lagi? Jadi, aku baru saja di kafe ini?
“Hai, Sherly. Bagaimana kabarmu? Di luar hujan, jadi aku mengajaknya kembali. Buatkan kami coklat panas, oke?”
Maudy memperhatikan Brian yang ternyata sudah sangat akrab dengan wanita muda yang dipanggil Sherly itu. Mereka kemudian duduk di meja dekat jendela kaca besar, jendela yang menghadap jalan, dari jendela itu mereka bisa melihat pejalan kaki yang lewat dan hiruk pikuk kendaraan. Maudy tiba-tiba saja mempunyai perasaan bahwa meja ini adalah meja favoritnya.
“Jadi, kenapa kau selalu mengunjungi kafe ini? Padahal, jauh sekali dari kantormu,” tanya Brian.
“Hah? Itu ....”
“Aku sampai merasa bahwa sangat mudah menemukanmu jika kau menghilang tiba-tiba. Apa karena kita bertemu pertama kali di kafe ini?” Brian tertawa, “aku juga tak akan lupa pertemuan pertama kita.”
Maudy merasakan wajahnya memanas. Ia bergerak rikuh, berharap Brian tidak menyadari pipinya yang mungkin memerah saat ini. Lelaki di hadapannya itu masih bercerita panjang lebar tentang pertemuan pertama mereka. Dimulai ketika 5 tahun lalu, hari itu hujan dan Brian dengan percaya dirinya memberikan payung miliknya kepada Maudy meskipun tidak saling mengenal.
Maudy tak yakin dapat mengingat itu semua, mungkin juga itu alasan Maudy sering mengunjungi kafe Camboddia.
“Mod!! Mody!!”
Maudy terhenyak. Amanda? Oh, tidak. Maudy merasakan sekitarnya lama-lama melebur, sosok Brian dan kafe seakan meleleh bagai lilin.
Maudy terbangun dari tidurnya, mendapati Amanda yang kini berada di kamarnya.
“Mod, please, urgent, nih.”
“Kenapa, Man?”
“Minta pembalut, dong. Gue ‘dapet’ hari ini, nggak biasanya,” ujar Amanda sambil cengengesan.
==============##============
Maudy menuliskan ‘kafe Camboddia’ di buku sakunya. Ketika ia menemukan hal baru di mimpinya, ia selalu menuliskannya di buku saku.
Mimpi. Entah bagaimana itu dimulai. Maudy mengalami mimpi yang aneh selama beberapa minggu. Tak selalu hadir, terkadang dua hari sekali, bisa sampai tiga hari. Mimpi yang terasa nyata itu membuat Maudy seperti memasuki dunia lain. Dalam mimpi itu, ia memang menjadi dirinya sendiri, tapi sangat bukan dirinya.
Maudy di dalam mimpi adalah seorang wanita 28 tahun, fashion designer yang sukses dengan tampilan modis dan berkelas. Setidaknya, itulah yang bisa ia simpulkan setelah mengalami mimpi berkali-kali.
Maudy menuliskan ‘dunia pararel’ di bawah tulisan ‘kafe Camboddia’. Ia yakin satu hal, meskipun ia terbangun, dunia di dalam mimpinya itu tetaplah berjalan. Ia tak mengingat hal-hal apapun yang terjadi di dunia mimpi ketika ia terbangun dan kembali di dunia nyata. Seperti kejadian di kafe Camboddia misalnya, ia tak ingat sudah mengunjungi kafe itu berapa kali hingga Sherly, yang baru ia temui kemarin sudah mengenalnya seakan mereka memang akrab. Atau ketika ia benar-benar tak ingat saat Brian menyebutnya telah mematikan ponsel.
Melalui temuan barunya, ada satu tanda tanya besar di benak Maudy.
“Apakah dunia pararel benar-benar ada?”
===========##=========
Jumlah kata = 645
luminousliahvk
wga_academy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro