Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ι] EMOSI

Tris meronta-ronta. Dia bisa merasakan seseorang atau sesuatu telah membekap mulutnya erat-erat. Tangan asing itu juga sudah mendekap tubuhnya, menyebabkan gerakan Tris terkunci. Gadis itu tidak bisa bergerak leluasa. Benar-benar kekuatan yang besar.

Jangan-jangan monster dari rawa tadi berhasil menjebak mereka berdua ....

Zea yang berusaha menyelamatkan Tris malah ikut tertarik oleh sepasang tangan yang lain. Sekarang tangan itu lebih kurus dibanding yang pertama. Namun cengkramannya juga tidak kalah kuat, berhasil menarik lengan Zea dan menjatuhkan pemuda itu hingga tersungkur di atas tanah.

Zea mencoba untunk bangkit, memberi perlawanan. Namun, dia langsung membeku tak berdaya ketika melihat bayangan itu mulai mendekatkan wajahnya dan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.

"Ssshhh ...." Ternyata Cass-lah yang telah menarik Zea.

Dan orang yang telah menarik Tris, siapa lagi kalau bukan Xanor--Babonnya Kampus.

"Apa-apaan ini, Cass? Tidak bisakah lebih halus nariknya?" bisik Zea dengan nada jengkel.

"Diam dan berterima kasihlah bahwa kami telah menyelamatkan kalian." Cass mendudukkan tubuhnya lebih rendah lagi. Memberi tanda agar semuanya ikut melakukan hal yang sama.

Dalam kesunyian itu, samar-samar terdengar langkah besar mendekat ke tempat persembunyian mereka.

Dentaman demi dentaman. Desahan demi desahan.

Makhluk itu sudah semakin dekat, bayangan besarnya menjulang tinggi di pepohonan.

Mereka berempat berusaha mengintip dari sela-sela daun liar. Tetapi yang mereka lihat hanyalah sepasang kaki berbulu yang besar. Tris sempat memekik ketakutan, untung saja Xanor sudah menutup mulut gadis itu. Sia-sia usaha mereka bersembunyi di sana.

Netra Zea mencoba memindai sekeliling. Monster itu tingginya hampir sepuluh kaki. Surai hitam menyelimuti seluruh tubuhnya. Mata hitam besar yang kelam. Taring mencuat dari mulut, sekilas mirip dengan gading gajah. Dengan bentuk muka yang sangar dan mengerikan, ada rasa lapar yang tergambar di wajahnya.

Ketika mereka berhasil mendengar suara seretan yang teredam oleh langkah kaki monster itu, sontak bulu kuduk berdiri. Ada manusia bersimbah darah. Lelaki malang itu berada di genggaman tangan monster berbulu itu.

Suara mereka tercekat. Seluruh tubuh diserang hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Waktu bergerak begitu lambat, selambat monster itu berjalan hingga lenyap di ujung kegelapan.

"Bangsat! Gorila macam apa itu!" teriak Cass memecah keheningan. Pemuda itu sudah tidak tahan untuk mengeluarkan unek-uneknya setelah kembali melihat sesuatu yang ajaib tepat di hadapannya. "Dia pasti sudah bermutasi dengan gajah. Coba lihat taringnya ... tingginya!"

"Berisik, gamers freak. Teriakanmu bisa memanggil dia kembali, tauk!" bentak Tris setelah Xanor melepaskan dekapannya. "Dan Xanor, kasar banget sih sama cewek. Liat nih, memar lenganku. Ini juga, bekas keringat tanganmu di mulutku. Iuhhhh ... najis!" Tris menarik beberapa helai daun dan mengusap dengan jijik ke wajahnya.

Xanor ingin meminta maaf. Tetapi dia hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia takut dengan aura murka Tris yang berkobar ke arahnya.

Zea yang sudah berdiri setelah Cass melepas tumpuan tubuhnya, memperhatikan jalan yang dituju monster berbulu tadi. "Apakah orang itu ... masih hidup?" katanya pelan.

"Sepertinya dia sudah mati. Coba lihat tangan dan kakinya tadi. Posisinya seperti tidak pada tempatnya!" jawab Cass histeris.

"Semoga itu bukan Nigel ... aku khawatir dengannya."

"Apa? Memang kamu ini babysister-nya? Dia kan laki-laki setengah Arab yang macho. Pasti bisa jaga diri."

Entah kenapa Zea merasa kesal dengan pernyataan Cass. Belum lagi dengan kejadian mengerikan yang bertubi-tubi menimpanya. Emosinya sudah tidak bisa ditahan lagi. "Kamu tidak tau apa-apa tentang dirinya! Dia itu tidak tau kapan dia terluka parah dan kapan tidak. Dia memang pemberani, tapi dia tidak tau batasannya." Wajah Zea pun memerah setelah mengeluarkan semua amarahnya dari tiap kata.

"Heh, santai aja dong, Zea. Atau lebih tepatnya, bucinnya Nigel."

Zea naik pitam. Dikepal tangan kanannya dan siap melayang ke wajah Cass. Untung saja Xanor segera menghentikan perkelahian itu. Pria kekar itu menahan tubuh Zea dan menjauhkannya dari Cass.

Tris ikut menghentikan pertengkaran antara dua temannya itu. "Kalian bisa diam tidak! Kekanak-kanakan banget sih. Masa gitu aja udah mau baku hantam aja. Lebih baik kita sejenak menenangkan diri dan berpikir untuk kabur dari tempat ini."

"Kita tidak akan pergi tanpa Nigel. Juga Ann, dan Nia," balas Zea penuh penekanan.

Tris mengangguk sekali. "Ya, tentu kita harus mencari mereka bertiga. Apapun yang terjadi, kita harus keluar bersama-sama. Tidak boleh ada yang tertinggal."

Cass yang tadi kesal perlahan mencoba menenangkan dirinya. Lalu dengan tarikkan napas yang dalam, dia berkata, "Baik. Kita cari teman-teman yang lain. Maaf tadi aku mengejek Nigel. Sekarang rasa takut, marah, dan capek membuatku tidak bisa berpikir jernih."

"Sebaiknya kita lupakan itu. Aku juga entah kenapa langsung sensi mendengar ucapanmu sebelumnya." Zea sejenak menutup kedua matanya untuk menenangkan diri. "Padahal aku sudah biasa kena sindiran Cass, malah lebih parah daripada yang tadi. Kita harus berpikir tenang. Berkepala dingin. Emosi kadang membutakan kita dengan hal yang benar."

"Ngomong-ngomong tentang marah-marah--aku juga capek sekali. Sejak sampai di sini, aku tidak henti-hentinya berteriak dan berdebat dengan Zea," sambung Tris murung.

"Mungkin kah ini salah satu efek kita berada di sini? Semacam berpengaruh dengan perasaan dan pikiran kita?" tanya Cass sembari menatap satu persatu rekannya.

"Mungkin saja. Bagaiamana tidak kalau terjebak di dunia yang tidak masuk akal ini," balas Zea dengan senyum miris.

"Dunia--ah! Zea, Tris, apa kalian terkena gigitan atau serangan dari monster yang ada di sini?" tanya Cass berapi-api.

"Kalau kena serangan, ya, kami kena beberapa pukulan. Tapi kalau gigitan, tidak. Karena monster yang kami lawan sebelumnya punya lidah dan air liur yang beracun, sebisa mungkin kami menghindarinya. Walau akhirnya harus kena cambukkan dari ekornya yang keras. Memangnya kenapa?" kata Zea bingung.

"Ini masih dugaanku. Mungkin, kalau kita digigit, atau terkena serangan hingga berkontak dengan darah mereka, kita bisa berubah seperti monster-monster itu."

Zea menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Cass, berhenti menyamakan dunia game dengan dunia nyata--"

Cass memotong ucapan Zea. "Ini serius, Zea! Coba pikirkan baik-baik. Lebih baik kita berasumsi demikian, daripada nanti betulan terjadi. Kita sudah tidak bisa berpikir rasional lagi. Apalagi di dunia yang memang sama sekali tidak masuk akal ini."

"Aku rasa pendapat Cass masuk akal. Ketika aku terjatuh tadi di kolam, aku melihat ada nenek-nenek di dalam air. Aku yakin dia manusia, tapi tangannya ... mirip sekali dengan gurita," jelas Tris ketakutan.

Zea kehabisan kata-kata. Ada benarnya apa yang dijelaskan oleh Cass. Lebih baik mereka berhati-hati. Semua tindakan harus dipikirkan baik dan buruknya. Sebab, tidak ada yang bisa menolong mereka kalau bukan mereka sendiri.

Pemuda bertindik satu itu pun mendengkus keras. Pertanda bahwa dia sudah membulatkan tekadnya. "Aku pegang kata-katamu. Untuk sementara, kita harus berhati-hati saat bertemu monster yang ada. Kalau bisa, kita pilih bersembunyi atau kabur, sampai yakin bahwa mereka tidak akan menularkan penyakit atau sejenisnya pada kita."

Cass, Xanor, dan Tris mengangguk pertanda setuju.

"Apa senjata yang kalian bawa? Aku hanya kayu runcing ini. Tris punya mandau."

Cass menunjuk potongan-potongan bambu kering yang tergeletak tidak jauh dari semak-semak tadi. "Kami hanya punya itu."

"Anu ... Tris?" Xanor akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan Tris.

"Kenapa Xanor?"

"Boleh aku yang memakai mandaumu?"

"Boleh, nih." Tanpa pikir panjang Tris menyerahkan mandaunya kepada Xanor.

"Hei! Kenapa segampang itu kamu kasih ke Xanor? Padahal, tadi pas aku minta, kamu malah memukulku!" murka Zea ke Tris.

"Xanor itu beda. Dia kuat. Beda sama orang yang taunya cuman makan dan muntah aja."

Ingin sekali Zea menyerang Tris. Tapi dia tidak mungkin melakukan hal itu setelah berkata keren perihal menahan emosi.

"Berikan tongkatmu," perintah Tris tiba-tiba.

"Hah? Maksudmu apa, Tris?"

"Kamu sama Cass pakai bambu itu."

"Lalu, kamu?"

"Tongkatmu. Memangnya apalagi!"

"Kenapa tidak pakai saja bambu itu? Kamu kan tukaran senjata sama Xanor."

"Karena bambu itu rapuh, sekali dipakai pasti rusak."

Semakin lama, arah pembicaraan antara Zea dan Tris mulai memanas. Tris terkesan menyatakan bahwa dia yang lebih kuat dibandingkan dirinya. Maka dari itu, Zea sebaiknya memakai senjata sekali pakai untuk melindungi diri sendiri.

"Berikan saja, Zea. Kamu mau kena pukulan mautnya lagi?" saran Cass yang kembali mengingatkan rasa sakit di hidung Zea.

Kalah dukungan, Zea menyerahkan senjatanya dengan ogah-ogahan. "Nih! Awas kamu jauh-jauh dari kami."

"Tenang saja, aku dan Xanor akan melindungi kalian berdua." Tris dan Xanor mulai berjalan sebagai pemandu untuk kedua kawannya itu.

Cass memberikan Zea salah satu bambu dan menatap bingung pada Zea yang kesal. "Bukannya kamu penganut paham kesetaraan gender? Cewek yang melindungi cowok bukannya tidak apa-apa?"

"Iya sih, cuman ... hati kecilku seperti menangis dari dalam."

***

Semakin lama akan makin banyak misteri yang muncul kepermukaan. Sebenarnya apa yang terjadi di desa itu?

Jangan lupa vote dan komentarnya. Dari kalianlah semangat nulisku ada. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro