Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[β] BORNEO

"Nia, tadi kamu hebat," ucap Nigel kagum.

"Kenapa? Oh, balita yang duduk di sampingku? Aku suka dengan anak kecil, makanya aku mudah mendekatinya. Bukan hal yang spesial."

"Tidak, kamu seperti ... bisa membaca pikiran--maksudku menenangkan perasaan orang lain, begitu. Si ibu saja tidak bisa menghentikan tangisan anaknya sendiri."

"Kamu bisa aja, Nigel." Bagai nyanyian surgawi, Nia mengembangkan senyum malaikatnya pada Nigel. Sejenak jiwa pemuda itu telah disucikan.

Kejadian yang baru saja berlalu itu terjadi di atas pesawat. Balita yang duduk tepat di sebelah Nia menangis sejadi-jadinya, sampai-sampai para pramugari tidak bisa berbuat apa-apa.

Nia meminta izin kepada sang ibu untuk memperbolehkan dirinya memangku anaknya. Sesaat balita itu sudah berada di dekapan Nia, lambat laun tangisannya mulai berhenti. Gadis itu bersenadung merdu di telinga si anak hingga dia tertidur pulas. Ibu dan para pramugari sangat berterima kasih kepada Nia yang telah membantu mengkondunsif situasi di sana.

Nia memang gadis yang lemah lembut. Gadis muda berparas cantik dan memiliki aura wanita yang mapan. Rambut pendek sebahunya memberi nilai tambahan akan kedewasaan. Anak kecil yang rewel saja bisa dia taklukkan dengan mudah. Apalagi orang dewasa yang masih bujangan seperti Nigel.

Sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi itu berjalan santai di jalur kedatangan dan mendapati seseorang melambaikan tangan ke arah mereka.

"Selamat datang di kota tepian!" seru pria paruh baya bertubuh buntal yang menyambut kedatangan Nigel and the gang.

"Ayah, aku pulang." Nia berlari kecil-kecil menuju ayahnya. Pria itu memeluk putrinya dengan erat untuk sejenak melepaskan kerinduan. Beliau adalah ayah Nia yang menetap di Samarinda, kota kelahiran Nia.

"Halo, Om. Saya Nigel," sapa Nigel sopan sembari mengulurkan tangannya yang langsung dibalas dengan jabat tangan hangat dari ayah Nia.

"Bagaimana perjalanan kalian? Apa ada yang lapar?" tanya ayah Nia dengan nada lembut. Dia memang ayah kandung Nia. Sifat ramah Nia pasti diambil dari ayahnya.

"Aku! Aku! Lapar sekali, Om!" Zea mengangkat tangannya seperti bocah berumur lima tahun.

"Zea! Berhentilah bertindak bodoh." Ann mencubit pinggang Zea hingga cowok bertindik satu itu mengeluarkan suara aneh. Mirip kucing mau kawin.

Setelah semua barang bawaan sudah berada di bagasi mobil, mereka segera meninggalkan bandara, menuju kediaman Nia di tengah kota. Waktu perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu satu jam lebih. Membuat Zea yang tadinya bersemangat, pingsan di kursi paling belakang. Mereka tiba sebelum matahari terbenam.

Malamnya, Nigel dan yang lainnya makan malam bersama dengan keluarga kecil Nia. Ibu Nia sangatlah cantik, juga awet muda. Tris saja sempat kaget ketika ibu Nia membisikkan umurnya kepada gadis itu. Begitu pula dengan adik Nia yang masih berumur sepuluh tahun, manis dan menggemaskan.

Tak terasa waktu telah menunjukkan tengah malam. Ketujuh pemuda-pemudi itu mendapat jatah dua kamar; kamar Nia digunakan untuk kaum Hawa sedangkan kamar tamu untuk kaum Adam. Mereka akan melanjutkan perjalanan menuju tempat penelitian keesokan harinya.

Di kamar para pemuda jones; Nigel, Zea, Xanor, dan Cass sudah bersiap untuk tidur. Dengan kasur ukuran super king size, mereka berusaha membagi diri agar bisa tidur berempat di atas kasur empuk yang tersedia. Meskipun badan Xanor terbilang besar, masih bisa diatasi dengan tubuh Nigel dan Cass yang hemat tempat.

Sikat gigi, sudah. Cuci kaki dan muka, sudah. Minum segelas air putih, sudah. Nigel bersiap untuk menutup matanya.

Namun, Zea yang berada di paling pojok tempat tidur, masih sibuk dengan kripik singkongnya. Suara renyahnya singkong di mulut Zea membuat Nigel sebal.

"Zea, bisakah kamu berhenti makan? Butuh berapa kilogram karbohidrat supaya kamu kenyang?

"Entah ... sampai aku bisa buang air besar dengan lancar," ujar Zea yang masih sibuk menguyah keripik ke seratusnya.

Nigel menatap jijik Zea. "Aku harap rahangmu copot."

"Hahaha ... kita lihat saja, Men."

Setelah dua bungkus kripik singkong dihabiskan Zea. Akhirnya lampu dimatikan.

Nigel yang sudah berada pada posisi ternyaman, mencoba menuju dunia mimpi. Naas, Nigel kembali terganggu dengan suara tembakan dari sebelah kanan kupingnya.

"Cass ... tidur."

Cass bergeming. Dia tenggelam dalam dunianya.

"Kubilang, TIDUR!" Nigel langsung membekap wajah Cass dengan bantal hingga pemuda itu meronta-ronta kehabisan napas. Setelah beberapa tendangan dan pukulan, suasana kembali hening. Nigel bisa bernapas lega, tenang.

Entah apes atau memang tidak dirida oleh Yang Di Atas, suara dengkuran saling membalas terdengar. Sumbernya sekarang dari arah kiri.

Nigel bangkit dari tidurnya dan melihat Xanor serta Zea yang saling mendengkur satu sama lain. Bagai suara beruang yang sedang hibernasi, parahnya lagi ada dua, mereka telah membuat orkestra alam bebas yang mengerikan.

Nigel ingin sekali membekap kedua beruang sialan itu, tetapi dia baru sadar ada cahaya redup di sebelah kanannya. Cass masih asik bermain PUBG. Belajar dari kesalahan, dia sekarang menggunakan earphone.

Sambil mengepalkan tangannya, Nigel memutuskan pergi munuju ruang tamu, dan memilih tidur di atas sofa. Menyerah.

Nigel memang tidak bakalan merasakan pegal atau encok. Namun ... mau sampai kapan?

●●●

Terletak di antara Bukit Tengkorak dan Bukit Menangis, hutan yang akan menjadi lokasi penelitian untuk ketujuh mahasiswa kehutanan yang sedang dalam masa skrip-sweet.

Dari Samarinda, perjalanan menuju tempat penelitian memakan waktu dua jam lebih. Dengan jalur berbukit-bukit, berkelok-kelok, hingga tingginya hampir sembilan puluh derajat, membuat mobil mengejan keras seperti emak-emak yang mau melahirkan. Membuat Cass si supir sempat memaki mobil van tua yang mereka naiki ketika berusaha mengganti gigi sebelum mobil itu meluncur bebas ke belakang.

Disebabkan medan yang sulit, mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah tua yang ternyata milik mendiang nenek Nia. Letaknya tidak jauh dari tempat penelitian. Posisi strategis. Di sana pula mereka bertemu dengan penduduk setempat yang bersedia untuk menjadi penuntun mereka selama berada di hutan.

Setelah makan siang, kumpulan mahasiswa itu segera melakukan perjalanan tahap kedua--menuju jantung hutan.

Selama perjalanan, mereka menyempatkan diri berswafoto dengan latar hijau yang indah nan teduh. Kicuan burung terdengar merdu di atas pohon yang menjulang tinggi. Suara daun mati yang terinjak menemani tiap langkah. Sejenak mereka melupakan suasanan perkotaan yang padat, menikmati kedamaian alam yang mempesona.

Berbeda dengan teman-temannya yang antusias, Nigel menatap sedih daun-daun yang berguguran dari dahannya.

"Pak, selama kami menuju sini, saya sempat melihat banyak tanah-tanah tandus di pinggir jalan. Jangan-jangan--"

Salah satu warga yang bersedia menjadi pemandu, sejenak menoleh ke arah Nigel, lalu kembali menatap ke depan. "Dulunya di situ hutan yang asri, tapi sudah dibabat habis sama pengusaha kaya raya. Katanya mau membuat perumahan mewah atau sekadar mengambil batu bara. Dan bukan satu dua tempat, beratus-ratus hektar sudah mereka bumi ratakan," jelas bapak pemandu.

Mendengar kata-kata beliau, seketika mereka semua terdiam. Rasa senang tadi berubah menjadi pilu, menyadari kenyataan pahit yang ada di hadapan mereka sekarang. Manusia sudah terlalu rakus dan lupa dengan kebaikan alam. Tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa.

Tidak terasa sudah satu jam terlewati. Rombongan itu memutuskan beristirahat dan menandai daerah yang sudah mereka survei kelayakannya dengan menggunakan tali yang tersemat bendera merah berbentuk segetiga, menandakan bahwa wilayah itu akan digunakan sebagai basecamp penelitian.

"Di sini, ya, kita akan meneliti," ujar Nigel seraya berjalan-jalan melihat keadaan sekitar. Terpukau dengan sebuah pohon besar yang ada di sana, Nigel yang terlalu asik memandang ke atas tidak menyadari ada akar besar yang merambat, membuat rintangan-rintangan pendek di atas tanah.

"Nigel, awas!" peringat Zea yang sayangnya terlambat. Sebuah akar besar berada di jalur jalan Nigel, membuat pemuda gondrong itu terjatuh keras. Wajahnya terlebih dahulu mendarat.

"Aku tidak apa-apa," jawab Nigel santai. Jempolnya diacungkan tinggi-tinggi.

Air muka Zea tiba-tiba memucat. "Oh ... tidak, tidak. Aku harus memeriksanya dulu."

Nigel yang sudah duduk bersila dan berusaha membersihkan diri dari bekas tanah, mengerutkan dahinya ketika Zea menggeledah tubuhnya perlahan-lahan, berusaha agar tidak ada bagian apapun yang terlewatkan. Bukannya Nigel tidak menghargai kepedulian sahabatnya, hanya saja dia tidak suka 'digrepe-grepe' sama cowok. Sudah berkali-kali Nigel memperingatkan kebiasaan Zea satu ini. Sayangnya, Zea memiliki alasan yang lebih logis dibandingkan harga dirinya.

Zea sangat paham dengan penyakit sahabatnya itu. Sejak kecil, Nigel selalu tidak sadar kapan dirinya terluka, mau itu ringan atau parah, sebab dia memang tidak tahu ada luka yang terukir di badannya.

Kejadian paling parah adalah ketika Nigel terpeleset di kamar mandi. Tanpa menyadari apa-apa, dia malah kembali bermain bersama Zea di depan rumah. Tidak lama kemudian, Nigel tumbang ketika bermain kejar-kejaran. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata dia mengalami gegar otak ringan. Kalau saat itu tidak ditindak lanjuti, mungkin saja Nigel akan cacat selamanya.

"Oke, sepertinya tidak ada luka gores. Mungkin bakalan muncul lebam di lututmu. Tapi itu tidak perlu dipikirkan karena kamu tidak akan terganggu akan hal itu." Zea mengatakannya sepeti dokter yang sedang mendiagnosa pasiennya.

"Hebat juga kamu, Zea. Kayak perawat pribadinya Nigel," ujar Ann dengan nada menyindir.

"Perawat pribadi apaan! Dia yang membuatku menindik kedua telingaku," gumam Nigel sebal.

Zea mengerutkan keningnya, lalu melipat kedua tangannya. "Hei, Men! Bukannya kamu bilang mau terlihat keren seperti anak band? Aku juga ikut menindik, kan?"

"Ya ... cuman satu."

Zea mendecap-decap lidahnya. "Kamu bukannya kalah taruhan denganku pas mukbang samyang. Jadi kamu dapat dua."

Sebenarnya, masalah taruhan tersebut hanyalah siasat Zea. Terkadang dia ingin melakukan berbagai percobaan terhadap bakat sahabatnya itu. Walau dia menyesal ketika Nigel mulai mengacuhkan dirinya. Kata orang Makassar, lagi 'dibombe' (1). Sebagai tanda permintaan maaf, Zea harus menjadi radar untuk tubuh Nigel kalau-kalau ada yang terluka. Apalagi mama Nigel sudah mempercayai dirinya. Mau ditaruh di mana muka Zea jika wanita itu menangis melihat putranya yang tertawa tanpa beban dengan badan penuh luka.

Selain itu, Nigel paling benci dipandang rendah. Saat di bangku SMA, Nigel tidak segan-segan melayangkan pukulan dengan siapapun yang suka mengatainya aneh. Nigel memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi. Dia menganggap dirinya special—langka--dan bukannya abnormal. Walau hasilnya malah menyebabkan dia tidak masuk sekolah karena mengalami patah tulang yang serius yang ajaibnya bisa sembuh dalam waktu seminggu.

Semenjak itulah Zea memanggil Nigel dengan sebutan Men, panggilan macho untuk sahabatnya. Walaupun kadang dia pelesetkan menjadi 'cemen' dan itu membuat Nigel jengkel.

Rombongan peneliti itu memeriksa tempat-tempat yang akan menjadi sumber pengambilan sampel. Baru saja Xanor akan merakit tenda, sang pemandu langsung menghentikan Xanor, memberi peringatan untuk para mahasiswa itu.

"Tolong, ya, Dek. Jangan sekali-kali kalian pergi ke hutan sesaat matahari terbenam. Apalagi berkemah di sini." Bapak pemandu itu celingak-celinguk, seperti memastikan sesuatu. "Banyak kejadian orang menghilang di sini," sambungnya berbisik.

"Kenapa memangnya, Pak?" tanya Zea yang ikut berbisik.

"Tanah ini telah dikutuk. Sepertinya ada orang pedalaman yang marah dengan tingkah laku orang-orang kota."

"Masa sih, Pak?" potong Tris tidak percaya.

"Saya tidak bercanda. Coba kalian tanya semua penduduk sekitar, atau kalau mau, tanya langsung sama polisi hutan. Mereka saja tidak mau berkeliaran malam-malam di sini."

Mereka berenam saling bertatapan satu sama lain. Entah itu hanya cerita rakyat yang kental di daerah sekitar atau mungkin ada segerombolan penculik dan penebang yang mencoba menakut-nakuti pendatang baru. Untuk sekarang, mereka akan tetap melaksanakan penelitian sesuai dengan rencana awal, meskipun tidak bisa melakukannya pada malam hari.

Tanpa mereka sadari, Nia yang sedari tadi tidak ikut mendengarkan cerita dari bapak pemandu, berdiri mematung di depan pohon besar yang tadi menyebabkan Nigel terjatuh. Dia tampak gelisah. Mengutuk dirinya yang tidak sengaja melihatnya.

Ada bayangan hitam besar yang bersembunyi di balik pohon.

●●

(1) Dimusuhi dalam bahasa Makassar.

Ada yang tinggal di Samarinda? Atau tau Bukit Tengkorak dan Bukit Menangis? Ayo cung tangannya. 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro