LIMA
Ini pertama kali aku menikmati pagi di sini. Di tempat indah yang tak pernah kubayangkan dan kupijak. Biasany, ketika di kampung, waktu seperti ini aku masih terlelap tidur. Tapi berbeda ketika aku di sini. Kak Sabrina membangunkan aku untuk melakukan ibadah. Dia sama seperti ibu, membangunkan aku di pagi hari hanya untuk melakukan ibadah. Aku tidak menyangka jika keluarga kecil Kak Sabrina begitu taat pada Sang Pencipta walaupun dari segi luar tidak terlihat. Bisa jadi karena memang Kak Sabrina sejak dulu taat, atau dari Kak Jordan yang taat karena dia orang Turki, terkenal dengan ketaatan dalam agama. Itu sepengetahuanku.
Ketenanganku terusik ketika mendengar langkah menghampiriku. Aku menoleh. Kulihat Damian berjalan ke arahku. Aku membetulkan posisiku dari rebahan menjadi duduk. Lebih sopan duduk. Damian duduk di sampingku. Aku masih tetap tenang.
"Ada yang ingin kukatakan padamu mengenai pekerjaan." Dia membuka suara.
Pekerjaan? Masalah Hotel Nusantara? Bukankah dia yang menghentikan pekerjaanku untuk mengoreksi data hotel itu?
"Lebih tepatnya, aku ingin kamu mengasuh Dania beberapa hari selama Jordan dan Sabrina bulan madu." Damian menambahi.
Aku menoleh ke arahnya. Kuselipkan anak rambut yang mengganggu penglihatanku karena Angin pagi menerpa tubuhku.
"Kamu tak perlu khawatir. Aku akan menggajimu selama merawat Dania. Kamu boleh pulang ketika Dania selesai dengan tugasnya di sekolah." Damian melanjutkan.
"Aku nggak ngerti. Bukankah Kak Sabrina sudah menikah beberapa bulan yang lalu? Kenapa baru sekarang bulan madu? Dan kenapa Dania tidak diajak?" tanyaku padanya.
"Kalau Dania ikut, itu namanya bukan honeymoon, tapi liburan. Dan kapan mereka akan cepat dapat baby jika Dania mengganggu masa-masa berdua mereka?" Damian menjelaskan.
Benar juga. Kak Sabrina dan Kak Jordan butuh waktu berdua untuk bulan madu. Aku pun ingin melihat Kak Sabrina cepat menggendong bayi. Lebih tepatnya dia hamil.
"Baiklah. Aku menerima tawaranmu. Aku pun tak masalah jika menjaga Dania tanpa gaji. Aku ingin melihat Kak Sabrina menggendong bayi." Aku menyanggupi.
"Tapi kamu harus membujuk Dania agar mau ditinggal. Dia sangat lekat dengan Sabrina. Masalahnya, aku khawatir Dania tidak mau ditinggal oleh Jordan dan Sabrina."
Aku tersenyum. "Itu mudah. Aku akan membujuknya."
"Jika kamu berhasil, maka aku akan memberikanmu bonus." Damian menambahi.
Aku mengacungkan jempol.
Aku akan berusaha membujuk Dania. Dia memang lengket sekali dengan Kak Sabrina. Entah doa apa yang sudah Kak Sabrina berikan sehingga Dania begitu dekat dan patuh padanya. Kak Sabrina sudah seperti ibu kandung Dania. Mungkin melebihi ikatan Dania dengan ibu kandungnya.
Pikiranku buyar ketika mendengar teriakan Dania. Aku menoleh. Kulihat Dania berlari ke arahku. Damian menyapanya. Aku tersenyum ketika Dania berceloteh pada pamannya.
"Pagi, Dania." Aku menyapanya.
"Pagi, Kak Ais." Dania membalasku.
"Aku rasa ini waktu yang tepat, Om." Aku menatap Damian.
"Aku akan coba." Damian menyahut tanpa menatapku.
"Dania mau main pasir." Dania mendekat ke arah air.
Aku menatap Damian. Dia pun menatapku. Aku mengangguk padanya. Aku beranjak untuk menghampiri Dania. Kulihat Dania menggali lubang.
"Dania mau buat apa?" tanyaku padanya.
"Dania mau buat istana." Dia masih fokus pada pasir.
"Oke. Kak Ais bantu." Aku membantunya.
"Dania." Damian menghampiri kami. Dia berjongkok di samping Dania.
"Om Damian mau bantu juga?" Dania menatap pamannya sekilas. Sesekali dia menyingkirkan anak rambut dari wajahnya.
Angin pagi di sini cukup sejuk. Aku suka dengan suasana ini. Matahari pun mulai tampak karena sudah lebih dari pukul enam pagi.
"Apa Dania tidak ingin punya adik?" tanya Damian pada Damian.
Aku menatap Damian ketika menanyakan hal itu pada Dania.
"Dania mau punya adik. Dania mau adik cowok. Nanti Dania ajak adik mainan boneka." Dania menimpali.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar obrolan mereka.
"Kalau begitu, Dania harus izinkan Bunda dan Ayah pergi berdua untuk membuat adik Dania." Damian melanjutkan.
Tanganku terangkat, lalu mencubit lengan Damian. Dia mengaduh, lalu menatapku tajam. Aku melotot padanya. Damian meletakkan tangannya di bibir.
"Memang Ayah sama Bunda mau bikin adik di mana?" tanya Dania.
"Jadi begini, Sayang. Nanti Bunda dan Ayah mau pergi ke dokter untuk periksa. Tapi dokternya jauh. Makanya Dania jangan ikut, ya. Kalau Dania ikut, nanti Bunda dan Ayah nggak fokus sama adik bayinya. Dania di rumah saja sama Kak Ais dan Om Damian." Aku menjelaskan.
"Iya. Dania mau di rumah sama Kak Ais biar Bunda cepat kasih adik bayi." Dania setuju.
Aku menatap Damian. Dia mengangguk padaku.
"Nanti Dania tanya dengan Bunda dan Ayah kapan mau kasih Dania adik bayi." Damian menimpali.
Dania beranjak. "Dania mau tanya sama Bunda dan Ayah." Dia berlari meninggalkan tempat ini.
Aku kembali menatap Damian. "Rencana kita berhasil." Aku tersenyum.
"Belum." Dia beranjak.
Aku pun beranjak. "Maksud kamu?" Aku menatapnya tak mengerti.
"Dania bisa berubah pikiran karena sifat anak-anak mudah berubah-ubah. Kita akan berhasil ketika Jordan dan Sabrina pergi tanpa Dania dan kita berhasil meyakinkan mereka semua." Dia menjelaskan.
Aku mencerna ucapan Damian. Benar. Ini belum berhasil dan masih harus ada usaha untuk meyakinkan mereka termasuk Dania. Semoga saja ke depannya Dania masih bisa diajak kerja sama untuk merelakan ayah dan bundanya pergi untuk bulan madu. Aku akan kembali mengingatkan Dania ketika waktu sudah tiba.
Aku masuk ke dalam rumah untuk membantu Kak Sabrina menyiapkan sarapan. Dia sangat pandai dalam memasak. Tak heran jika katering yang dia usahakan kini berkembang. Setahuku, Kak Sabrina lebih suka menggeluti mesin jahit daripada tata boga. Dia benar-benar pintar.
Kuletakkan mangkuk berisi nasi goreng di atas meja. Semua orang sudah menanti di ruang makan untuk sarapan. Aku duduk di samping Damian. Hanya kursi itu yang tersisa. Kak Sabrina mulai menyendokkan nasi goreng untuk Kak Jordan.
"Bunda. Kapan Dania punya adik bayi?" tanya Dania pada Kak Sabrina.
Aku tersenyum. Ada topik hangat yang akan menjadi bahan untuk kami perbincangkan. Dari sini, mungkin Damian akan membujuk Kak Sabrina dan Kak Jordan. Aku harap, mereka setuju dengan rencana ini.
"Doakan saja, semoga Dania cepat dapat adi bayi." Kak Jordan membalas ucapan Dania.
"Apa Ayah dan Bunda akan pergi buat bikin adik bayi?" Dania kembali bertanya dengan nada polos.
"Dania. Sekarang Dania makan, yah. Bunda sudah buatkan nasi goreng kesukaan Dania." Kak Sabrina meletakkan piring berisi nasi goreng di hadapan Dania. Dia seakan mengalihkan topik pembicaraan.
Aku menggerakan kaki, lalu mengarahkan ke arah Damian. Kutolehkan kepala untuk menatapnya. Dia menatapku dengan tatapan tajam. Aku membalasnya dengan mata melotot. Dia membuang wajah.
"Aku rasa kalian harus menerima tawaran dariku. Itu baru Dania. Bagaimana jika aku pun sama meminta keponakan dari kalian. Apa kalian tidak ingin memiliki anak?" Damian angkat suara.
"Aku setuju. Sudah waktunya kalian menikmati masa berdua. Dania butuh adik dan teman. Apa kalian tidak berpikir sampai situ? Aku pun ingin memiliki saudara baru dari kalian." Aku menyambar.
"Jangan bahas hal ini di depan Dania. Dia masih belum boleh mendengar sesuatu yang seharusnya tidak ia dengar." Kak Sabrina menimpali.
"Stop!"
Aku menoleh ke arah Kak Jordan. Dia terlihat seperti marah.
"Jangan paksa kami untuk melakukan sesuatu yang tidak Sabrina sukai. Aku tidak masalah jika Sabrina tak mau atau belum siap dengan permintaan kalian." Kak Jordan melanjutkan.
Jika dia sudah berkata seperti itu, maka hasil akhirnya adalah gagal. Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh. Mereka tidak seperti pasangan yang menunjukkan keromantisannya di depan orang lain termasuk keluarganya. Aku tak mengerti. Mungkin aku memang belum boleh tahu, tapi aku sepertinya akan mencari tahu.
"Tapi Dania mau punya adik bayi, Ayah, Bunda." Dania kembali meminta.
"Dania selesaikan sarapan. Nanti Ayah belikan boneka sebagai ganti adik bayi."
"Nggak mau! Dania mau adik bayi!" Dania meletakkan sendok yang ada di tangannya dengan keras di atas piring sehingga menimbulkan dentingan, lalu dia beranjak pergi dari ruang makan.
Aku beranjak dari tempat duduk.
"Biar Kakak saja, Syah." Kak Sabrina menghentikan gerakanku.
Aku mengangguk, kembali duduk di tempatku.
"Sepertinya tawaranku masih berlaku. Akan kupesankan tiket untuk kalian. Anggap saja ini hadiah dariku. Aisyah siap menjaga Dania. Aku pun akan membantunya. Tinggal bagaimana meyakinkan Sabrina." Damian melanjutkan obrolan.
"Ya. Aku siap menjaga Dania selama Kak Jordan dan Kak Sabrina bulan madu. Kapan lagi kalian menikmati masa berdua tanpa Dania? Semua akan baik-baik saja. Dania butuh teman main." Aku menimpali, melanjutkan makanan yang sempat tertunda.
"Akan kupikirkan." Kak Jordan membalas.
"Aku harap secepatnya sebelum aku sibuk dengan bisnis cabangku di Jakarta." Damian masih sibuk dengan isi piringnya sambil berkata.
Aku hampir saja lupa dengan proyek baru Damian. Dia akan mulai membangun cabang di Jakarta. Aku mungkin akan sibuk mengenai hal itu dan yang pasti pekerjaanku akan kembali menumpuk. Aku harus cepat membujuk Kak Sabrina untuk mau menerima tawaran dari Damian.
***
Segala cara sudah dilakukan untuk meyakinkan Kak Sabrina, tapi entah kenapa Kak Sabrina kukuh dengan pendiriannya. Dia memang menyayangi Dania, tapi kurasa salah jika dia mengabaikan keinginan Kak Jordan. Aku semakin penasaran dengan masalah yang mereka hadapi.
"Apa ada masalah?"
Aku terkesiap. Senyum kuukir. "Enggak. Semua baik-baik saja," kataku pada Alex.
Alex hanya mengangguk.
Apa aku cari tahu melalui Alex? Dia sudah lama bekerja pada Kak Jordan. Mungkin darinya, aku bisa mendapat sedikit pencerahan tentang masalah keluarga Kak Sabrina.
"Kamu tau. Aku bingung dengan keluarga Kak Sabrina. Di satu sisi, Kak Jordan ingin bulan madu. Di sisi lain, Kak Sabrina merasa berat untuk meninggalkan Dania. Dan di sisi lain, Dania ingin punya adik. Aku dan Om Damian sudah berusaha membujuk Dania dan Kak Jordan, dan berhasil. Hanya tinggal Kak Sabrina yang kurasa susah untuk kubujuk. Aku tak tahu harus membujuknya dengan apa lagi. Aku bingung dengan rumah tangga mereka." Aku mengeluh pada Alex.
Aku sengaja ingin memancingnya. Dia pasti tahu masalah yang terjadi dalam rumah tangga itu. Aku memicingkan mata ketika Alex hanya diam. Dia sepertinya sangat menjaga privasi rumah tangga Kak Sabrina.
"Aku merasa Kak Sabrina tidak mencintai Kak Jordan. Apa jangan-jangan dia terpaksa menikah dengan Kak Jordan karena Dania?" Aku menebak.
Alex menatapku dari arah spion. Sepertinya dia mulai terpancing. "Apa jangan-jangan Kak Sabrina mau menikah dengan Kak Jordan karena Kak Jordan orang kaya?" Aku melanjutkan.
"Jaga ucapanmu, Nona Aisyah." Alex angkat suara.
Yes! Aku berhasil.
"Why?" Aku menatap Alex.
"Ada masalah yang tidak seharusnya kamu tahu." Alex menimpali.
"Tapi keadaan seakan mengatakan hal itu padaku, Lex." Aku mengumpan.
"Aku yakin Nyonya Sabrina mencintai Tuan Jordan." Dia terdengar yakin.
"Buktinya?" Aku masih memancing.
Alex terdiam.
"Oke. Aku tidak mau basa basi. Aku ingin kamu menjelaskan padaku apa yang terjadi dalam rumah tangga Kak Sabrina. Aku tau, kamu pasti banyak tau tentang rumah tangga kakakku. Bantu aku agar mudah membujuk Kak Sabrina. Aku tidak mungkin bertanya pada Om Damian. Kamu tau kalau dia benar-benar menyebalkan. Tolong percaya padaku. Aku akan jamin semuanya aman. Aku hanya ingin tau masalah yang terjadi dalam rumah tangga Kak Sabrina. Mereka butuh bulan madu untuk menunaikan keinginan Dania, Om Damian, dan tentunya aku yang ingin mereka cepat punya anak." Aku menatap Alex.
Alex hanya diam. Dia sepertinya sedang menimbang. Aku harap dia mau membantuku.
"Itu privasi mereka." Alex membalas.
"Kamu memang tidak pernah bisa diajak kerjasama. Kamu sama seperti Om Damian." Aku membuang wajah keluar kaca.
Alex memang seperti itu. Dia sangat, sangat, sangat menjaga privasi rumah tangga majikannya. Padahal aku pun keluarga Kak Sabrina, kenapa aku tidak boleh tahu? Apa wajahku ada tampang jahat? Dia membuatku malas.
"Baiklah, aku akan cerita, tapi dengan syarat."
Aku kembali menatap Alex. Dia mau bercerita. Aku mengembangkan senyum. "Apa pun syaratanya, pasti akan aku lakukan." Aku membalasnya.
"Aku percaya denganmu, jaga kepercayaan yang sudah kuberikan padamu." Alex mengajukan.
"Percayalah. Aku tau apa yang harus aku lakukan. Semua akan baik-baik saja. Aku akan menjaga rahasia ini. Aku tau ini privasi rumah tangga kakakku. Aku akan menjaganya." Aku meyakinkannya.
Alex mulai bercerita. Dia menceritakan awal mula kak Jordan mencari kak Diana. Aku merasa sedih ketika mendengar cerita ini. Kak Jordan pasti sedih karena telah mendapati Kak Diana sudah tidak ada. Alex menceritakan secara detail awal Kak Jordan bertemu dengan kak Sabrina. Semua membuatku sedih. Kak Jordan pernah lumpuh karena menolong Damian. Aku tidak percaya jika semua yang telah dilalui terasa rumit. Alex benar-benar menceritakan semuanya padaku mengenai kejadian-kejadian dalam rumah tangga kak Jordan dan kak Sabrina. Dan yang tak bisa kubayangkan adalah Damian. Dia peranan penting dalam hubungan mereka. Tidak salah jika Damian masih ikut campur. Apa dia masih mencintai Kak Sabrina? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak boleh menuduh tanpa bukti. Lalu untuk apa dia membantu kak Jordan dan kak Sabrina untuk bulan madu? Mungkin ini sebagai balasan atas apa yang sudah dia lakukan pada kak Jordan dan kak Sabrina.
"Aku harap, kamu bisa jaga rahasia ini. Aku percaya padamu, Ais."
Aku menatap Alex. "Aku akan jaga semua ini. Terima kasih karena sudah mau berbagi cerita mengenai rumah tangga kakakku. Ternyata, banyak yang tidak kuketahui mengenai rumah tangga kak Sabrina. Perjuangan dia sangatlah berat. Tapi aku salut, dia bisa mengendalikan semuanya dengan baik. Dia wanita kuat. Aku belum tentu bisa menghadapi apa yang pernah kak Sabrina hadapi. Itu sulit. Dan aku kini tahu alasan kak Sabrina masih belum menerima kak Jordan sepenuhnya," ungkapku.
"Ya. Dia wanita baik dan tulus. Dia rela mengorbankan hidupnya untuk Dania dan Tuan. Aku pun salut dengannya." Alex membalasku.
"Sekali lagi aku berterima kasih padamu. Kamu ternyata asyik. Kukira, kamu akan tetap menutup rapat-rapat privasi majikanmu, tapi ternyata tidak." Aku tersenyum.
Alex tersenyum. Baru kali ini kulihat dia tersenyum lebar.
"Kita pulang sekarang. Ini sudah malam." Alex mengingatkan.
Aku pun lupa pada waktu. Aku sengaja meminta padanya untuk berhenti di sebuah kafe agar dia lebih leluasa bercerita. Tak terasa waktu pun sudah malam. Jika saja Alex tidak mengingatkan, mungkin aku masih akan terus bersamanya di sini.
Aku dan Alex keluar dari dalam kafe. Malam ini, aku merasa mendapat cerita baru yang akan kuingat dan kurangkum untuk menjadikan sebuah rencana pembujukan pada Kak Sabrina. Aku harus berhasil mengembalikan rasa percayanya pada kak Jordan.
Deringan ponsel membuyarkan pikiranku. Suara itu berasal dari ponsel milik Alex. Kulihat Alex sedang berbicara.
"Iya, Tuan?"
Tuan? Apa itu Kak Jordan?
"Iya. Aisyah bersama saya."
Aku menatap Alex. Alex menatapku. Dia menyodorkan ponselnya padaku. "Tuan Damian," ucapnya tanpa suara.
Damian? Ada apa?
Aku menyelipkan ponsel Alex di telinga.
"Halo?!" Damian memanggil dengan nada keras.
"Iya, ada apa? Bukannya tugas aku sudah selesai? Tadi semua berkas untuk rapat besok pagi sudah aku siapkan dan sudah aku letakkan di meja kerja Bapak." Aku membalas.
"Kenapa Hp kamu tidak bisa dihubungi? Kamu tahu, daritadi Sabrina cemas denganmu. Kenapa kamu tidak bilang jika akan pulang bersama Alex?" Damian mulai mengomel.
"Sudah ngomelnya? Heran. Nggak di kantor, nggak di telepon, selalu saja ngomel nggak jelas." Aku menggerutu.
"Cepat pulang. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
"What? Pulang ke rumah Om, gitu? Nggak! Aku mau pulang ke rumah Kak Sabrina." Aku membalasnya.
Gila saja ini orang. Aku harus ke rumahnya malam-malam seperti ini?
"Jangan gila kamu. Maksudku, cepat pulang ke rumah Jordan. Aku, Jordan dan Sabrina sudah menunggumu. Cepat pulang!" Dia meralat.
"Bawel!"
Aku mengembalikan ponsel Alex setelah sambungan telepon bersama Damian kuputus. Ponselku mati karena baterai habis. Pantas saja dia menghubungi Alex. Damian selalu saja mengaturku. Tidak di kantor, tidak di luar kantor, selalu saja seperti itu. Kira-kira apa yang akan dibicarakan padaku malam-malam seperti ini? Masalah kerjaan? Tapi bukankah sudah selesai? Masalah apa yang akan mereka bicarakan? Apa ini menyangkut aku? Apa aku ada kesalahan? Kenapa aku merasa takut? Semoga tidak ada hal-hal yang menyangkutku. Aku tidak pernah melakukan hal-hal yang membuat mereka murka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro