Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

♟️ Extra Part ♟️

Rembulan tersenyum menyinari malam. Mengganti posisi sang surya untuk menemani dunia. Tak banyak yang bisa dilakukannya, hanya bisa berdiam dan menanti fajar menjemputnya. Dingin hembusan sang raja angin melengkapi heningnya purnama kali ini. Membawa serta daun kemarau terbang bersamanya. Membuat para insan anak manusia enggan meninggalkan tempatnya, setia berlindung pada selimut tebalnya. Kecuali satu orang, ia adalah sang Duke Regis Adrey Floyen.

Duda tampan nan keren itu tengah dilanda rasa galau dan bimbang. Pasalnya, murid perempuan satu-satunya itu akan pergi besok pagi. Meski berat, ini adalah keputusan terbaik yang bisa Regis ambil untuk kebaikan gadis itu.

Regis tau [Name] mungkin kecewa dan marah padanya, tapi sekali lagi, ini demi kebaikan [Name] sendiri. Regis tidak sudi jika anak didiknya itu menjadi selir Kaisar. Lebih baik [Name] hidup bahagia di negara asalnya daripada hidup bersama Kaisar yang tidak berbeda dengan hidup di neraka.

Padahal ada cara lain.

Menyelamatkan [Name] dengan cara menikahi anak itu, misalnya.

Hah?

Regis menggeleng saat pemikiran absurd itu terlintas di kepalanya. Bagaimana mungkin dia berpikiran untuk menikahi [Name]?!

'Aku mencintaimu, Guru'

Regis menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali [Name] mengatakan bahwa gadis itu mencintainya, tapi Regis tidak pernah menganggap serius pengakuan itu. Bukan karena tidak suka, Regis hanya merasa tidak pantas. [Name] itu seusia dengan Juvelian, Regis merasa ia lebih cocok menjadi Ayah ketimbang suami untuk murid perempuannya tersebut.

Ah, masihkah [Name] menganggap Regis sebagai gurunya? Anak itu sedang marah, 'kan?

Lagi. Ayah tampan itu menghela napas lelah. Maniknya lalu beralih pada kotak berisi benda yang dulu pernah Regis suruh [Name] mendapatkannya.

Benda itu adalah sebuah kalung. Ada sihir penyembuh di dalam liontinnya. Sebenarnya benda itu akan Regis berikan pada [Name] sebagai hadiah kedewasaan gadis itu. Meski terlambat, Regis tetap ingin memberikan [Name] hadiah. Tapi melihat situasi sekarang, apakah [Name] mau menerimanya?

'Yah, anggap saja sebagai kenang-kenangan 'kan?'

Setelah melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya Regis memutuskan untuk menemui [Name] guna memberikan benda itu sekaligus melakukan beberapa pembicaraan.

.
.
.
.

'tok tok tok'

Entah sudah berapa kali Regis mengetuk, namun pintu itu tak kunjung terbuka.

"[Name], buka pintunya. Kita perlu bicara."

Hening.

'Apa dia masih marah?'

Regis kembali mengetuk, namun tetap saja tak ada jawaban.

Ketika Regis menyerah dan memutuskan untuk kembali ke ruangannya, sebuah suara yang berasal dari dalam kamar [Name] berhasil membuat pria itu mengurungkan niatnya.

'brak'

Lagi. Suara itu kembali tertangkap indra pendengarnya.

"[Name]! Apa yang terjadi?!"

'brak'

Suara itu kembali terdengar.

Karena rasa khawatir, Regis terpaksa mendobrak pintu kamar [Name] yang ternyata tidak terkunci.

Tak ada yang mencurigakan ketika Regis memasuki ruang pribadi murid perempuannya tersebut. Suara yang tadi ia dengar ternyata berasal dari jendela terbuka yang membentur dinding karena tiupan angin.

Eh?

Sebentar ...

Ada yang aneh.

Penghuni kamar ini kemana?

"[Name]?" panggil Regis.

Tak ada sahutan. Regis mulai mencari [Name] di sekitar kamar gadis itu, namun tak ada tanda-tanda keberadaan [Name] dimana pun. Saat Regis hendak mencari di luar, matanya tiba-tiba menangkap sepucuk surat terselip di bawah vas bunga yang terletak di atas meja.

Dengan segera, Regis meraih surat tersebut dan membacanya dengan seksama.

'Aku akan pergi setelah mengurus sampah yang menjadi sumber masalahku. Ucapkan selamat tinggal pada Kaisar gugug-mu, Guru. Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.'

Apa?

Regis tidak salah baca, kan? Ia tidak rabun, 'kan?

[Name] pergi untuk membunuh Kaisar?! Apa anak itu sudah gila?!

******

Max tidak tau harus berkata apa. Ia selalu kehilangan kata-kata jika berdebat dengan wanita ini.

"Kau sudah gila, [Name]."

"Aku tidak peduli kau mau bicara apa. Yang jelas, ayo kita kerja sama untuk membunuh Ayah tidak bergunamu itu."

"Tidak semudah itu, bodoh."

"Kenapa? Kau takut jadi anak durhaka?"

"Bukan itu masalahnya."

"Lalu apa masalahnya?"

"Apa Guru tau?"

[Name] terdiam sesaat sebelum gadis itu menjawab. "Entahlah. Kalau Guru sudah baca suratku mungkin dia sudah tau."

Max kembali menghela napas. Kepalanya mendadak pusing begitu mendengar hajat dan niat gadis di depannya ini. Jika Guru sudah tau, Ayah dari perempuan yang disukainya itu tidak akan tinggal diam.

Membunuh Kaisar sama saja dengan pemberontakan. Dan Regis jelas tidak menyukai niat Max untuk memberontak dari awal. Jika ia melakukan hal yang tidak disukai Regis, bagaimana dia dapat restu nanti?!

"Lebih baik k-..."

'brak'

Kalimat Max terpotong oleh dobrakan pintu. Baik Max maupun [Name] bisa melihat sosok Regis yang kini berdiri di ambang pintu dengan napas terengah.

Sudah Regis duga [Name] ada disini. Meski [Name] ceroboh, ia tidak mungkin sebodoh itu membunuh Kaisar tanpa persiapan lebih dulu.

"Gu-...."

Kali ini kalimat [Name] yang terpotong karena tindakan Regis. Pria beranak satu itu membalikkan tubuh [Name] untuk menghadapnya.

"Apa kau sudah gila?! Kau berniat membunuh Kaisar?! Kau mau mati?! Hah?!"

"Aku ...."

"Apa Max yang menghasutmu untuk melakukan hal bodoh itu?" Manik biru tajam Regis langsung mengarah pada Putra Mahkota.

Orang yang dimaksud sontak langsung menggeleng keras. "Tidak! Aku bersumpah, Guru. Aku bahkan terkejut [Name] menawariku kerja sama seperti itu!"

Max jelas keberatan dituduh melakukan sesuatu yang tidak dia lakukan. Lagipula, jangan membuat Regis marah disini. Ingat restu! Lebih baik cari aman saja.

"Sepertinya kalian butuh bicara. Aku akan keluar sekarang." Setelah selesai dengan kalimatnya, Max segera angkat kaki dari sana.

Kini hanya tersisa [Name] dan Regis di ruangan itu. [Name] berusaha melihat kemana pun kecuali wajah yang akan selalu menjadi kelemahan baginya.

"Lihat aku, [Name]."

"Tidak mau."

Regis menghela napas lelah. Cengkraman di kedua bahu [Name] ia longgarkan agar tidak menyakiti gadis itu.

"Kenapa kau melakukan ini? Hm?" Regis kembali bertanya. Kali ini lebih lembut dari sebelumnya.

[Name] tau dia akan selalu kalah jika Regis sudah berbicara lembut padanya. Maka tidak heran pertahanan gadis itu akan runtuh dengan mudah. Bibir [Name] terlihat bergetar sebelum setetes airmata jatuh dari pelupuk matanya.

"Aku tidak mau pergi, Guru. Aku tidak mau jauh darimu." Gadis yang tadi terlihat sangar itu kini malah menangis di depan orang yang dicintainya. "Kau menyuruhku pergi karena Kaisar, 'kan? Kalau begitu aku akan melenyapkan Kaisar agar aku bisa tetap berada di sisimu."

Regis menatap [Name] dengan sendu. "Tidak sesederhana itu, [Name]. Bagaimana kalau ketahuan? Kau bisa mati."

"Apa bedanya mati dengan tidak berada di sisimu lagi?"

Regis tidak bisa untuk tidak terkejut mendengar jawaban itu. "Sesuka itu kau padaku?"

"Jangan menanyakan sesuatu yang sudah kau tau jawabannya, Guru."

"Meski aku lebih tua darimu?"

"Aku tidak peduli. Umur itu hanya angka bagiku."

"Baiklah."

Baiklah?

Baiklah apa?

[Name] menatap Regis tidak mengerti.

Regis yang mengerti arti tatapan [Name] pun berkata. "Aku punya cara lain agar kau tetap disini dan bebas dari Kaisar."

"Bagaimana?"

"Menikahlah denganku."

.
.
.

END

Karena banyak yang tidak terima dengan endingnya, akhirnya terciptalah chapter ini. Dipaksa orang ini sih sebenernya chlvray_

Udah ya, mba chlvray_ jodoh Mineta
Mamam nih bonchap-nya
Stop terror Mamah Juvele ini ya
Sekian, sama-sama

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro