♟️2/5♟️
Sejak kecil, [Name] hidup di sebuah panti asuhan yang terletak jauh di perbatasan bersama beberapa anak yang lain. Meski tidak memiliki hubungan darah, mereka adalah keluarga. Tidak punya marga, namun mereka bahagia.
Tapi tak ada kebahagiaan yang abadi.
Keluarga yang menjadi sumber kebahagiaan [Name] di panti asuhan itu mati akibat perang wilayah kala itu. Semuanya terbakar. Api berkobar bak naga yang mengamuk. Desa asri yang [Name] tinggali seketika berubah menjadi lautan api.
Sebuah keajaiban [Name] bisa selamat. Beruntunglah Ibu pengurus panti asuhan menyuruhnya ke kota untuk menjual beberapa kain pada pagi hari di saat sebelum desanya diserang.
Siapa yang harus disalahkan atas semua kengerian ini?
Jika ditanya, tidak ada orang yang mau dengan suka rela hidup pada masa peperangan, bahkan mungkin orang bodoh dan tolol sekalipun tidak ingin mengalaminya. Siapa yang bersedia hidup dalam ketakutan dan kesengsaaraan? Tentu saja tidak ada, dan tidak ada yang lebih menakutkan dan menyengsarakan selain peperangan.
Peperangan selalu menjadi hal yang paling menakutkan bagi setiap orang. Rasa sakit dan sengsara yang ditimbulkannya selalu mampu membuat setiap orang seolah lebih memilih untuk tidak lagi bernafas. Hidup dalam situasi perang berarti hidup dalam ketidak-pastian apakah detik berikutnya kita masih bisa bernafas atau tidak. Dan [Name] paham bagaimana hidup dalam situasi seperti itu, karena dia merasakannya setiap detik.
Semua perang, di mana saja, pihak mana pun, hanyalah bentuk lain dari penghancuran massal.
[Name] sudah hidup cukup lama untuk melihat begitu banyak hal yang melatarbelakangi pembenaran akan kematian: kekuasaan, rasisme, keberadaan yang tidak diinginkan, kesewenang-wenangan, serta pembalasan dendam.
Ah, balas dendam.
Rasa ingin membalas kematian keluarganya sangat tinggi. Tapi memang apa yang bisa dilakukan anak berusia 10 tahun? Senjata yang [Name] punya untuk melindungi diri hanyalah sebuah ketapel. Itu pun jika ketapel bisa disebut sebagai senjata.
[Name] ingin menjadi kuat. Gadis kecil itu ingin bisa melindungi orang yang berharga dalam hidupnya.
Di tengah rasa putus asa itu lah, [Name] bertemu dengan 'dia'. Seorang pria yang tak lain adalah sang pemimpin tentara pusat, Regis Adrey Floyen.
Regis akhirnya membawa [Name] pergi dari desa yang kini tinggal reruntuhan itu. Sedikit terkejut karena ternyata masih ada warga yang selamat. Karena siasat musuh, Regis dan pasukannya terlambat. Mereka datang di saat semuanya sudah hancur dan terbakar. Entah apa tujuan musuh dengan mengincar desa kecil ini.
[Name] tidak menolak saat Regis membawanya pergi karena memang ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Gadis kecil itu seolah putus asa. Entah orang berwajah dingin itu akan membawanya kemana, ia tidak ingin menerka-nerka.
Mungkin ke tempat perjualan budak? Atau mungkin malah menjadikannya budak.
Tapi di luar ekspektasinya, Regis justru membawa [Name] pulang ke kediaman pria itu. Memberinya makan, tempat tinggal, pakaian, serta perlindungan.
Saat [Name] bertanya, "Kenapa Tuan menyelamatkanku?"
Regis hanya menatap anak yang mungkin seumuran dengan putrinya itu sebelum menjawab. "Karena tatapan matamu terlihat seolah meminta pertolongan."
Benarkah?
Padahal saat itu [Name] berpikir bahwa jika ia mati pun tidak apa-apa.
"Jika kau ingin hidup di dunia yang kejam ini, berjuanglah. Jika kau ingin melindungi orang-orang yang kau cintai, maka jadilah kuat agar bisa melindungi mereka."
Kalimat Regis seolah merasuk ke dalam jiwa [Name], menciptakan sebuah tekad yang terpancar jelas di iris [eye color] gadis kecil itu.
"Apakah aku bisa menjadi kuat?" tanya [Name] pelan.
"Aku akan mengajarimu ilmu berpedang, agar kau setidaknya bisa melindungi dirimu sendiri."
Sesuai perkataannya, Regis pun mengajari [Name] menggunakan pedang. Latihan terus dilakukan untuk melatih kekuatan fisik serta meningkatkan kemampuan gadis kecil bermata [eye color] itu.
Di luar jadwal latihannya, [Name] selalu menyempatkan diri untuk menemui Juvelian dan mengajaknya bermain.
Juvelian adalah anak yang manis. Tidak heran jika Regis sangat menyayangi putrinya ini meskipun tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya dengan terang-terangan.
Meski [Name] dan Juvelian itu seumuran, namun sifat [Name] jauh lebih dewasa dari Tuan Putri kediaman Duke Floyen tersebut. Mungkin karena [Name] adalah kakak bagi anak-anak yang tinggal di panti asuhan dulu, gadis kecil itu selalu bersikap layaknya seorang kakak untuk Juvelian.
Mereka tumbuh bersama layaknya saudara. Tak jarang Juvelian mengadu pada [Name] dengan mengatakan bahwa ayahnya tidak pernah menyayanginya.
[Name] menganggap apa yang dikatakan Juvelian itu lucu. Regis jelas sangat menyayangi Juvelian, bahkan mungkin Regis rela mati jika itu untuk melindungi putrinya.
Tapi jika mengingat sifat Tuan-nya yang 'Tsundere', tidak heran Juvelian mempunyai pemikiran seperti itu.
Sebenarnya tak jarang juga [Name] dibuat gregetan dengan hubungan ayah dan anak tersebut. Kesalahpahaman selalu saja terjadi di antara mereka hingga [Name] gemas dibuatnya.
Dan puncaknya adalah saat Juvelian menginjak usia dewasa. Anak yang tumbuh dengan sangat cantik itu berpikiran bahwa ayahnya berniat untuk melibatkannya ke dalam pernikahan politik dengan Putra Mahkota yang terkenal dengan julukan si Tiran yang kejam.
Saat itu pula, [Name] berpikir. Kesalahpahaman apa lagi yang terjadi antara ayah dan anak ini?
Regis jelas sudah mem-blacklist nama Putra Mahkota dalam daftar suami ideal untuk Juvelian, lantas bagaimana mungkin Juvelian justru berpikiran sebaliknya?
Juvelian memang pernah mengatakan pada [Name] tentang rencananya yang akan berpura-pura mempunyai kekasih untuk menggagalkan rencana sang Ayah. Tapi heyyyy ... [Name] tidak pernah menyangka kalau orang yang akan diajak bekerja sama dengan Juvelian adalah orang itu! Orang yang selama ini Juvelian hindari dan waspadai agar tidak terlibat dengannya.
Ya, orang itu adalah Maxmillian Kasin Ashet. Si Putra Mahkota itu sendiri!
Ha! [Name] ingin tertawa tapi takut dosa. Jadi yasudah, dia akan melihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Yang sabar ya, Guru."
"Bersabar untuk apa?"
[Name] tersentak kaget dan hampir melempar gunting kebun di tangannya saat sebuah suara menyahuti perkataannya barusan.
Ah, ternyata si pengintrupsi itu adalah Sir Gellordin yang entah sejak kapan sudah berjongkok di sampingnya.
"Kaget ya? Hahaha. Maaf, maaf."
"Kau beruntung aku tidak memiliki riwayat penyakit jantung."
"Dihukum lagi?"
[Name] berdecak kesal mendengar pertanyaan kesatria yang juga merangkap sebagai kakak sepupu Juvelian tersebut. Dia jadi ingat harus memotong rumput di taman yang luasnya seperti stadion sepak bola itu sebagai bentuk dari hukuman yang Regis katakan kemarin. "Tuan Duke kita yang terhormat itu rasanya tidak pernah bosan untuk menghukumku."
Gellordin tertawa kecil. "Itu karena kau selalu membuat masalah."
[Name] kembali berdecak. "Ck! Aku tidak butuh ceramahmu."
"Kalau bantuanku? Kau butuh 'kan?"
"Memangnya kau mau membantuku?"
"Yahh, kalau kau meminta pasti aku akan membantumu."
Seketika [Name] menoleh pada Gellordin dan menatap pria itu dengan mata anak kucing yang minta dipungut. "Baiklah. Sir Gellordin yang baik hati dan tidak sombong, bersediakah anda membantu wanita yang lemah ini?"
Entah cuaca yang panas atau apa, wajah Gellordin perlahan memerah. "Ehkm! Y-ya, apa boleh buat."
[Name] memekik senang dan lekas melanjutkan tugas mulianya bersama bala bantuan yang tidak terduga.
Baik [Name] dan Gellordin begitu terhanyut dengan pekerjaan mereka yang diselingi obrolan ringan, hingga tidak menyadari sepasang mata biru tajam yang menatap mereka di balik jendela ruang kerja pemilik kediaman yang mereka tinggali.
.
.
.
Words : 1100
Kamis, 26 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro