03. Dandelion
•
•
•
•
Dan saat yang dimaksud Kuroo 6 tahun lalu, akhirnya terjadi.
Tepat pada hari ini, lelaki yang kusebut-sebut dengan jelmaan kucing hitam ini tengah berlutut didepanku. Tangan kirinya membawa buket bunga mawar merah besar. Dan tangan kirinya memegang sesuatu yang akupun tak pernah menyangka seseorang akan memberikannya padaku. Cincin.
"Saya gamau bertele-tele, kak. Kakak pasti sudah mengerti maksud saya?"
Air mataku refleks keluar membentuk sungai kecil dipipi. Aku genap berusia tigapuluh hari ini. Harapan soal menikah benar benar pupus—mengingat berapa umurku. Tapi Kuroo menepis semuanya. Hari ini ulang tahunku. Dan hari dimana Kuroo melamarku.
Sejak dua tahun lalu aku menjalin hubungan khusus dengannya. Awalnya kupikir 'cinta beda usia' sangat tidak etis, yang mana disini posisiku lebih tua 6 tahun dari Kuroo. Tapi Bu Ira pernah berkata, "Witing tresno jalaran seko kulino. Tresno iku ora patokan karo ganteng, ayune rupamu, akehe bondomu, piro umurmu lan opo penggaweanmu.". Karna itulah aku mencoba memberanikan diri untuk menerima Kuroo.
Dua tahun terlewati dan hari ini kami memutuskan untuk membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius. Aku sendiri tidak percaya pada akhirnya aku benar-benar menemukan seseorang itu. Dan beruntungnya aku karna seseorang itu adalah Kuroo.
Sehari setelahnya, Kuroo mengajakku untuk bertemu orang tuanya. Memang selama ini aku dengannya hanya menjalani hubungan diam-diam dimana hanya beberapa orang yang tau.
"Kak, ngga usah gugup gitu ah. Kita cuma mau ketemu orang tuaku." Kekehnya pelan. Tangan kirinya yang tidak memegang setir leluasa menggenggam tanganku.
"Tapi gimana kalo mereka gasuka sama saya?"
"Kakak terlalu khawatir."
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Kuroo mungkin benar, aku terlalu khawatir orang tuanya tidak bisa menerima aku yang sudah diatas standar untuk menikah. Sudah kucoba berapa kalipun rasanya masih tidak tenang. Hey, tiga puluh tahun tidak bisa disebut muda lagi bukan?
Sesampainya di kediaman Kuroo, kekhawatiran itu memang hilang, tetapi berubah menjadi kenyataan.
Ibu Kuroo tidak terlihat menyukaiku.
"Tetsurou, kamu yakin mau menikah dengan (Name)? Dia lebih tua enam tahun dibanding kamu."
Perkataannya seolah menunjukkan aku seperti orang yang sudah tidak layak menikah.
"Memang kenapa kalau kakak lebih tua? Aku mencintai Kak (Name) ngga peduli berapa usianya, bu."
Kuroo menggenggam tanganku erat, "Tolong restui hubungan ini. Ibu sendiri yang minta supaya aku segera menikah."
Ibu Kuroo tampak memijat pelipisnya. Sekali lagi menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ekspresinya masih sama, tapi kali ini beliau mengangguk. Terpaksa.
Kuroo tersenyum lebar, sedikit menghilangkan pikiran-pikiran negatifku. "Tidak papa, (Name). Setidaknya kamu masih punya Kuroo."
Hari itu aku pulang dengan hati gundah.
🥀
Agustus, bulan pernikahanku.
Tak pernah membayangkan hari bersejarah ini benar benar terjadi. Dan Kuroo, dia lelaki yang mewujudkannya.
Aku tak tau harus berterimakasih dengan apalagi. Kuroo memberikan segalanya, juga mencintaiku sebagaimana aku. Satu hal yang paling kusyukuri dalam hidup.
Setelah menikah aku tinggal bersama Kuroo di apartemen. Keluarga kecil yang bahagia nan harmonis. Aku berharap suatu hari nanti pun masih ada putra atau putri kecil kami yang akan melengkapi keluarga ini.
Tuhan memang baik. Tetapi kasih sayang-Nya tidak selalu dalam wujud kebahagiaan bukan.
6 bulan berlalu. Tahun pun sudah berganti.
Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan simple untukku, juga suamiku. Sandwich telur dan kopi sudah terhidang rapi di meja makan. Kuroo keluar kamar setelah selesai memakai setelan kerjanya. Tersenyum kecil saat kusapa lalu mengecup keningku sekilas. Kebahagiaan kecil di pagi hariku.
"Kamu hari ini lembur kah mas?" Tanyaku sembari menuang secangkir kopi.
"Sepertinya engga. Oh ya dek, kamu bisa temani aku kerumah ibu nanti? Ada kumpul keluarga."
Ah, permintaan itu lagi.
Bukan apa-apa, aku hanya sedikit terganggu dengan tatapan keluarga besar Kuroo, terutama ibu. Sampai sekarang pun nampaknya mereka tak menunjukkan ketertarikan padaku. Ditambah ibu yang selalu bertanya soal cucu. Selalu membanding bandingkan aku dengan saudara-saudari Kuroo yang lain.
"Harus kah? Aku kayanya gabisa."
"Kenapa? Dek, aku udah berkali-kali bilang kan, omongan ibu jangan dimasukin hati."
"Iya."
"Jadi, ikut ya?" Aku mengangguk pasrah demi melihat Kuroo yang tersenyum senang.
Benar saja, malam harinya di rumah mertuaku, aku dihujani dengan tatapan 'tidak suka' dari keluarga Kuroo. Berusaha menenangkan diri, aku mencoba tersenyum se ikhlas mungkin.
"Ah, itu dia, Tetsurou! Dan halo Tante (Name)." Seorang remaja cantik yang kukenali sebagai sepupu Kuroo berlari menghampiri kami—atau lebih tepatnya Kuroo. Tangannya menggambil lengan suamiku—yang harusnya sedang ku gandeng. "Tetsu apa kabar? Masih betah sama si tante?" Tawa cekikikan terdengar samar dibelakang, tapi aku masih bisa mendengarnya. Sejujurnya sakit, hanya sudah terbiasa.
"Hush, omongannya loh, dijaga."
"Yaaa, gimana ya, aku cuma mau jujur. Habis Tetsu kok mau sih nikah sama tante-tante. Padahal yang mau sama kamu banyak."
"Sepupumu itu bener, Tetsurou. Tante punya banyak kenalan wanita-wanita muda yang cantik." Celoteh salah seorang bibi. Dan yang lain mengangguk setuju.
Aku tak mengerti mengapa mereka sebenci itu. Aku tak melakukan apapun? Dan dengan teganya berbicara seperti itu seolah aku bukan siapa-siapa bagi Kuroo. Hanya karna umurku kah? Atau karna pekerjaanku yang hanya seorang pemilik toko bunga kecil?
"Sudah-sudah jangan ganggu kakak sepupumu terus. Tetsu, (Name), sini duduk disamping ibu."
Aku menurut.
"Jadi, gimana? Kapan ibu bisa gendong cucu?"
Sudah kuduga, kalimat yang sangat tidak ingin kudengar itu lagi lagi ditanyakan.
"Maaf, bu. Mungkin saat ini belum bisa."
"Kamu nggak mandul kan, (Name)?"
"Kata dokter saya baik-baik saja—"
"Aduh kamu itu. Sadar umur dong. Usia segitu memang susah buat punya keturunan." Potong seorang paman. Aku meremas ujung dress yang kukenakan. Terus menguatkan diri sendiri agar tidak menangis.
"(Name) baik-baik saja! Toh ini baru berjalan 6 bulan sejak kami menikah. Wajar jika kami belum punya anak." Kuroo gantian menyela. Senang mendengarnya karna masih ada yang membelaku.
Malam itu aku lagi-lagi pulang dengan keadaan lesu. Sampai di dalam mobil pun Kuroo tidak berkata apapun. Wajahnya terlihat jengkel.
"Mas?"
"Hm."
"Kamu gapapa? Maaf aku—"
"Diem, (Name). Aku lagi males bahas."
"Ah, iya maaf."
Setelahnya tidak ada suara selain deru mesin mobil. Aku bisa memaklumi sikap Kuroo. Dia tidak sepertiku yang terbiasa ditekan keadaan. Dia tidak sepertiku yang selalu dituntut dengan hal-hal yang aku sendiri tak tau bagaimana cara mendapatkannya.
Kuroo tidak bisa menjadi dandelion sepertiku.
🥀
(n.) Bunga dandelion memiliki makna yang sangat menyentuh, dari beberapa makna yang ada, bunga ini kerap disandingkan dengan kehidupan yang keras, penuh perjuangan, penderitaan, namun tetap tegar.
Bunga dandelion dibalik kerapuhan menyimpan ketegaran, dibalik kesendirian menyimpan keberanian yang begitu kuat.
Kamus bahasa jawa:
》witing tresno jalaran seko kulino: cinta datang karna terbiasa
》tresno iku ora patokan karo ganteng, ayune rupamu, akehe bondomu, piro umurmu, lan opo penggaweanmu: cinta itu ngga patokan (patokan apa si b indonya:' maksudnya kurang lebih kaya 'ngga peduli'/berpatok) pada ganteng atau cantiknya wajahmu, banyaknya hartamu, berapa umurmu, dan apa pekerjaanmu.
To be continued,
1104 words.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro