Chapter 14 - Pesta
Kembali ke hari senin, artinya kembali ke rutinitas. Setelah selama akhir pekan aku menemani Danika di rumahnya, akhirnya hari ini aku bisa kembali ke rumahku sendiri. Ah, aku rindu rumahku. Namun sebelum keinginan itu terlaksana aku masih harus menghabiskan seharian bertemu muka dengan Damar. Anehnya satu harian ini pria itu tak membuat ulah. Damar bekerja seperti biasa. Rapat bersama tim kreatif. Bertemu beberapa klien. Dan tak merengek meminta memesan makan siang yang aneh-aneh. Pokoknya hari ini Damar berperilaku baik. Kelewat baik malah karena tak sekalipun ia menggangguku. Bahkan Damar terkesan menjaga jarak denganku. Dan entah mengapa seolah ada yang hilang dari hariku. Jangan bilang aku mulai terpengaruh Damar!
Aku harus segera mengenyahkan pikiran tak berdasar tersebut. Ingat bagaimana selama ini Damar memperlakukanku. Hanya karena kebingungan akan sikap Damar belakangan ini tak berarti aku memiliki rasa itu padanya kan? Aku bukan yang gampang terprovokasi walau kadang suka memainkan perasaaan. Tapi ini Damar. Pria yang bahkan dengan entengnya berciuman dengan perempuan lain di depan mataku. Walau aku tak seharusnya peduli.
Tapi nyatanya, aku peduli! Suara batin kurang ajar. Ingin sekali kurobek dia hingga tak bisa menyuarakan apapun dari alam bawah sadarku sana.
Otakku terus berputar tak tentu arah. Bahkan hingga Karin harus mengetuk kepalaku dengan kepalan tangannya baru aku tersadar. Dan begitu menyadari wajah masam Karin, aku tahu ada hal yang tidak beres.
“Ada apa?” tanyaku langsung. Karin menyerahkan sebuah kertas. “Apa ini?”
“Dibaca dong Yu,” ucap Karin gemas.
Kuturuti perintah Karin dan membaca kertas yang tadi diberikan Karin padaku. Mataku menypit bingung saat membaca tulisan yang tertera di sana. Tertulis nama sebuah butik dan pesanan setelan pria atas nama Damar.
“Maksudnya apa ya?” tanyaku lagi.
“Ambil setelan Pak Damar nanti sore. Besok Pak Damar harus pakai itu untuk menghadiri Bright Award.” Karin menjelaskan.
Aku akhirnya mengangguk mengerti. Sesudahnya Karin meninggalkanku sendiri di meja kerjaku dengan pikiran yang kembali berputar. Tapi tunggu, ini aneh. Bukankah aku sekretaris Damar. Setiap apapun kegiatan yang akan dilakukan Damar, pria itu pasti akan lebih dulu memberitahukan padaku. Lalu kenapa untuk yang satu ini aku tak tahu. Damar tak mengatakan apapun perihal Bright Award. Bahkan Karin yang memintaku untuk mengambilkan pakaian milik Damar. Apa Damar sudah tak membutuhkan jasaku lagi?
Sekejap saja aku merasakan perasaan hampa. Seolah ada nyawa tercabut dari ragaku. Ada apa denganku. Hanya karena Damar tak melibatkanku dalam kegiatannya yang satu itu, aku langsung merasa kecewa? Bukankah ini yang sejak beberapa waktu lalu kuinginkan. Damar sendiri yang memecatku dengan tangannya. Saat hal tersebut selangkah lagi dalam genggamanku mengapa ada rasa tak rela dalam hatiku.
Kutatap pintu ruangan Damar dengan mata nanar. Tak mengerti mengapa aku harus merasa seperti itu. Seandainya aku punya sinar tembus pandang aku ingin membakar Damar dengan kemarahanku. Tunggu, apa aku marah?
Entah apa yang menggerakkkanku, aku malah berdiri dengan kasar dari kursiku. Tanpa sopan santun langsung masuk ke ruangan Damar. Pintu yang menjeblak terbuka mengagetkan Damar yang sedang fokus melihat sesuatu di laptopnya. Mata pria itu membesar saat melihatku sudah menutup kasar pintu dan berdiri dengan tatapan mata menghunus tepat padanya.
“Handayu, kamu mau bikin saya kena serangan jantung!” protes Damar.
“Saya mau tanya sama Bapak!” balasku tak kalah galak.
“Iya tapi kamu kan bisa masuk dengan pelan. Bukan kayak preman pasar mau malak orang.”
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. “Iya juga sih. Kalau gitu maaf deh Pak.”
“Kalau maaf bisa...”
“Jangan nyontek drama deh Pak.”
Damar berdecak kesal, namun dia tak lagi mempermasalahkannya. “Kamu mau tanya apa?”
Kutarik kursi di hadapan Damar lalu mendudukkan diri. Damar masih menatap lekat padaku. Yang justru membuatku malah salah tingkah. Tak ingin kehilangan keberanian sebaiknya aku segera mengutarakan maksudku sampai harus menggebrak pintu seperti preman pasar.
“Kenapa Pak Damar nggak kasih tahu saya soal Bright Award?”
Damar menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya kenapa? Kamu mau ikut?”
Hah? Memang aku ingin ikut? Mengapa sekarang aku yang bingung mau menjawab pertanyaan Damar. Lagipula dia benar, kenapa aku bertanya perihal acara itu sedang aku tak begitu punya kepentingan di sana.
Tapi aku sekretarisnya! Si mulut besar kembali bersuara.
“Saya sekretaris Pak Damar. Tapi saya sama sekali nggak tahu apapun mengenai jadwal Bapak yang satu itu. Bahkan Karin yang menyerahkan tugas untuk mengambil pakaian Bapak di butik. Apa saya sudah tidak berfungsi lagi di sini? Pak Damar sudah tidak membutuhkan saya lagi?” tanyaku menggebu. Aku saja bingung bagaimana aku bisa bicara selancar itu dalam satu tarikan napas.
Damar terperangah. Mungkin pria itu sama terkejutnya mendengar apa yang baru saja kukatakan. Namun detik berikutnya senyum sumir tersungging di bibir Damar. Pria itu bahkan menaikkan sebelah alis, mengejek tindakanku.
“Bapak ngeledek saya?” tanyaku mulai naik darah.
Damar menggelengkan kepalanya. “Saya cuma bingung sama kamu.”
“Bingung sama saya?” Damar mengangguk. “Kenapa?”
“Kemarin kamu benci sekali saya kasih perintah. Bahkan ingin resign dari pekerjaan. Tapi sekarang kamu malah marah karena saya tidak kasih perintah apapun. Saya benar-benar bingung Handayu.”
Jangankan Damar, aku sendiri juga bingung dengan diriku. Baik aku dan Damar masih sama-sama diam dengan tatapan tak lepas satu sama lain.
“Saya juga bingung,” ucapku lirih.
Damar beranjak dari tempatnya menghampiriku. Pria itu menarik kursi satunya. Membuatku melayangkan tatapan bingung pada Damar. Terlebih saat ia menarik kursi yang kududuki hingga mendekat ke arahnya.
“Bapak mau apa?” tanyaku defensif. Refleks bahkan aku menarik kakiku hingga terangkat ke atas kursi.
Damar masih tak menjawab. Hanya menatapku makin lekat. Membuat bunyi genderang bertalu hebat di rongga dadaku. Mau apa pria ini?
“Saya benar-benar bingung menghadapi kamu Handayu. Serius,” ucap Damar dengan tangan yang mengacak puncak kepalaku. “Saat saya begini, kamu lari. Saat saya berusaha tidak peduli, kamu malah mendekat dan marah ke saya. Lalu, gimana lagi Handayu? Apa yang mesti saya lakukan sama kamu?”
Dahiku mengerut dalam. “Bapak nggak mesti ngapa-ngapain sih.”
Tawa Damar menyembur. Walau hanya sekian detik tapi tawa renyah yang keluar dari bibirnya membuatku takjub sejenak. Seperti aku baru saja menyaksikan sisi lain dari seorang Damar. Membuat hatiku makin dilanda kebingungan.
Damar kemudian berdiri dan kembali ke kursi kebesarannya hingga membuatku bisa bernapas lega. Setelah itu ia seperti kembali larut dalam dunia kerjanya. Sedang aku yang bingung mau melakukan apa, memutuskan untuk kembali ke meja kerjaku di luar sana. Namun sebelum aku mencapai pintu, suara Damar menghentikan langkahku.
“Handayu...” panggilnya.
“Ya?” tanyaku seraya berbalik.
“Kamu mau ikut saya ke acara itu?” dengan tegas aku menggeleng. “Kenapa?” tanya Damar lagi.
Aku mengendikkan bahu sebagai jawaban. Walau tak sopan, namun kurasa Damar mengerti. Bagaimanapun kami berdua masih dilanda kebingungan masing-masing. Damar kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Sedang aku, kembali melanjutkan langkah menuju meja kerja.
...
Malam ini Ginan memintaku menemaninya menghadiri pesta pernikahan teman sekolahnya dahulu. Meski enggan tapi aku tak enak hati menolak keinginan Ginan. Terlebih sudah sangat jarang kami bertemu dikarenakan kesibukannya yang luar biasa. Ginan memang sedang sibuk-sibuknya dalam berkarier. Cukup banyak kasus yang dilimpahkan padanya oleh atasannya. Alasannya karena Ginan sudah cukup mumpuni untuk memegang jabatan sebagai salah satu pengacara senior di kantornya. Sebagai ganti Ginan akan mentraktirku minggu ini sepuas hati.
Sejak pagi aku sudah menyediakan pakaian ganti yang kurasa cocok untuk menemani Ginan. Walau dengan pakaian kantor pun rasanya tak masalah mengingat resepsi dilaksanakan di hari kerja. Tapi aku tak ingin mempermalukan Ginan. Karena itu aku sengaja membawa salah satu gaun yang kumiliki. Gaun yang jarang kupakai karena tak ada pesta yang harus kuhadiri dengan berpakaian seperti itu. Malang memang, menjadi seorang perempuan yang tak punya kehidupan sosial seperti kebanyakan perempuan lainnya.
Lagipula aneh sekali rasanya teman Ginan itu. Malah melaksanakan pernikahan di hari kerja yang pastinya akan sulit untuk para pekerja memenuhi undangan. Namun Ginan mengatakan temannya itu salah satu anak konglomerat, wajar saja dia memilih pernikahan di hari kerja. Karena hampir separuh undangan adalah relasi bisnis kedua orangtuanya.
“Sudah di mana Nan?” tanyaku setelah mengganti pakaianku.
Beruntung hari ini Damar pulang lebih awal. Pria itu bilang ada urusan yang harus dikerjakannya. Jadi aku tak perlu menunjukkan diri dengan dandanan seperti ini pada Damar. Bukannya aku malu, hanya saja rasanya aneh menunjukkan wajah walau dengan riasan seadanya di depan Damar karena dia selalu melihat wajah polosku. Wajahku setiap bekerja hanya kubenahi dengan pelembab dan lipstik. Tak pernah macam-macam seperti perempuan lainnya yang begitu perhatian pada apapun yang akan dikenakan di wajahnya.
“Aku sudah di lobi depan,” jawab Ginan.
Aku bergegas merapikan diri sekali lagi. Mengganti sepatu dengan heels yang lebih tinggi. Karena biasanya aku memang memakai sepatu ber-hak 5 senti. Atau bahkan terkadang memakai sepatu flat dan kets. Kecuali untuk meeting di mana Damar mewajibkanku mengganti sepatu dan sandal jepitku dengan sepatu ber-hak tinggi.
Setelah benar-benar yakin, aku ke luar dari kamar mandi. Bergegas menghampiri Ginan yang sudah menunggu. Sialnya saat aku keluar masih banyak orang berlalu lalang di gedung ini. Wajar saja mengingat saat ini memang jam pulang kantor. Tapi mendapati diri menjadi pusat perhatian karena dandananku yang tak biasanya, membuat perutku terasa dililit. Ingin segera berari ke hadapan Ginan, namun aku tahu kapasitasku saat berhadapan dengan highheels. Jadi terpaksa kutebalkan muka dan mengabaikan tatapan ingin tahu dari orang-orang.
“Halo sepupu,” sapa Ginan begitu aku masuk ke mobilnya. “Waw, you look gorgeous!” matanya mengerling jail.
“Hahah! Cepetan jalan!” keluhku yang langsung dituruti Ginan.
Selama perjalanan tak henti-hentinya Ginan mengatakan aku tampak berbeda dengan gaun dan riasan ini. Memuji bahwa tak sia-sia dia memintaku untuk menemaninya. Memintaku untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Hingga nanti tak perlu ditertawakan karena datang sendiri ke acara tersebut. Ginan bosan tiap kali bertemu dengan teman-temannya selalu saja ditanyakan perihal pasangan.
“Ayo,” ajak Ginan ketika kami telah tiba di lokasi pesta.
Pesta tersebut diselenggarakan di sebuah hotel mewah. Dari lokasi saja sudah bisa dipastikan sekaya apa teman Ginan ini. Dalam hati aku was-was juga akan masuk. Takut membuat Ginan malu. Karena jujur saja, aku tidak pernah menghadiri pesta mewah seperti ini.
“Nan, kalau aku bikin kamu malu gimana?” ucapku sembari menarik lengan Ginan saat ia membimbingku melangkah.
“Enggak usah khawatir. Ada aku. Ayo.”
Akhirnya aku pasrah saja saat Ginan menarikku masuk. Seperti yang kuduga, begitu kami tiba di ruang perhelatan segala sesuatu yang mewah sudah menyambut kami. Ginan langsung menarikku untuk bersalaman mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Setelah berbincang sejenak karena sang mempelai masih harus menyalami tamu yang lain, Ginan membawaku ke meja prasmanan.
“Pilih yang kamu mau. Nanti susul aku ke sana ya. Di meja sana teman-temanku juga kok,” ucap Ginan sembari menunjuk sebuah meja yang sudah terisi dengan teman-temannya.
“Aku melipir sendiri aja gimana? Ntar kalau kita mau balik, kamu telepon aku aja,” tawarku.
Ginan tampak berpikir, namun akhirnya mengangguk. Mungkin dia tahu aku tak akan nyaman berbaur dengan teman-temannya yang tak kukenal itu. Setelahnya Ginan segera meninggalkanku. Melihat banyaknya sajian menggugah selera, jiwa norakku menggelegar. Tanpa pikir panjang kuambil beberapa sajian kue dalam satu piring besar. Saat ini aku belum ingin makan nasi. Kue-kue tersebut terlalu sayang jika dianggurkan. Setelah mendapatkan yang kumau, segera kucari kursi kosong yang jauh dari jangkauan keramaian. Beruntung ada kursi dijajarkan tak jauh dari meja prasmanan. Jadi di sanalah aku menikmati hidanganku.
Jika kupikir aku akan aman damai dari gangguan, tapi ternyata aku salah. Mataku menangkap sosok Damar yang baru saja menyapa Ginan dan teman-temannya. Kutelan dengan susah payah potongan brownies di mulutku. Berdoa semoga Damar tak menyadari kehadiranku.
Tapi lagi-lagi aku tak beruntung. Karena buktinya mata Damar menyipit ke arahku. Pria itu tampak berpamitan dengan teman-temannya dan kini berjalan menghampiriku. Demi semua makanan enak dan dekorasi mewah, aku ingin sekali melarikan diri. Tapi sepertinya aku benar-benar tak bisa berkutik ke manapun. Karena tepat saat aku hendak melarikan diri, Damar menarik pergelangan tanganku.
“Halo, Pak Damar?” sapaku mencicit.
Mata Damar menelitiku. Kembali menyipit kala melihat gaun dan riasan yang kupakai. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Damar bertanya tegas.
“Kan Bapak sudah ketemu Ginan. Itu artinya saya bisa nyasar di pesta orang kaya ini ya karena Ginan.”
“Dan kenapa kamu harus dandan begini?” ada nada tak suka dalam suaranya.
Hei, Damar, memang koe sopo? Kenapa ia harus mengurusi bagaimana caraku berpakaian. Lagipula apa dia buta, ini pesta mewah. Mana mungkin aku memakai setelan kantor. Atau paling parah, kemeja dan jeans.
“Memang salah kalau saya pakai gaun ke pesta. Enggak mungkin juga kan saya datang dengan kemeja dan jeans!” balasku tak terima dengan pernyataan Damar.
“Kamu bisa datang dengan pakaian kantor. Saya lebih suka begitu.”
Hah? Mataku mengerjap beberapa kali. “Tapi saya suka begini.”
“Saya nggak suka!”
Dan tanpa kuduga Damar menarikku pergi. Menjauhi kerumunan pesta. Tak peduli dengan teriakan dan rontaan dariku. Pria itu tetap saja melangkah sembari membawaku dalam gerakannya. Pun saat kukatakan bahwa Ginan akan kebingungan saat tak menemukanku di sana.
“Pak Damar...” jeritku berusaha lepas dari genggaman Damar. Tak pelak kami menjadi sorotan tamu-tamu hotel.
“Diam!” bentak Damar yang membuat nyaliku langsung menciut bak tikus terjepit.
Damar kembali melanjutkan langkahnya. Pria itu membawaku ke parkiran di mana mobilnya berada. Dengan tegas ia memaksaku masuk ke mobilnya. Bahkan aku tak sempat melarikan diri karena Damar sudah duduk di kursi kemudi. Mengunci pintu dan menatapku penuh intimidasi.
“Pak Damar mau apa?”
Damar diam, namun pria itu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. “Nan, aku bawa Dayu pulang. Kamu nikmati saja pestanya.”
Aku melongo takjub saat Damar menutup panggilan telepon. Pria itu dengan tenangnya langsung menyalakan mesin mobilnya. Aura intimidasi dan tak ingin diinterupsi terpampang nyata di wajah Damar. Jadi yang bisa kulakukan saat ini hanya diam. Menurut pada Bos-ku ini. Entah akan ke mana Damar membawaku. Tapi aku yakin, pria ini tak akan berani macam-macam jika tak ingin berhadapan dengan Ginan. Terlebih jika tak ingin melihat sisi brutalku keluar.
...
Note : selamat malam minggu bagi yang merasa memilikinya 😂. Noh, yang katanya kemarin kangen Damar, hayo... di sapa pak Damarnya, hahahha.
Ps : makasih koreksi typo-nya
Rumahku, 17/18/11
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro