Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Often I Feel Like it's a Dream

Kepala terasa begitu berat. Dia merasa semalam tidak sakit ataupun mabuk. Masih ingat dengan jelas jika dirinya tidur seperti biasanya dan sebelumnya juga tidak bergadang. Namun, hanya untuk bangkit duduk saja dirinya tak mampu.

"Kaveh?" Sebuah suara lembut menyadarkan dirinya dari kelinglungan ini. "Kau sudah bangun rupanya."

Kaveh? Siapa Kaveh? Itu bukan namanya. Dirinya bukanlah Kaveh seperti yang dipanggil oleh wanita yang kini duduk di tepi ranjangnya.

"Semalam kamu demam tinggi. Jadi Ibu sangat khawatir. Namun, syukurlah, sepertinya panasnya sudah menurun." Wanita itu tersenyum teduh sembari mengusap-usap kepala dia. "Alhaitham sempat kemari, tapi segera kembali pulang karena sebuah urusan mendadak."

Dia sama sekali tidak paham apa yang diucapkan wanita yang mengaku ibunya itu. Tidak tahu siapa Kaveh, tidak tahu pula siapa Alhaitham. Bahkan tempat yang ditidurinya ini juga bukan sesuatu yang bisa ditangkap oleh ingatannya.

Untuk membuktikan segala kebingungan ini, meski sedikit ragu, ia ingin memastikan ketakutannya. "Ibu, bolehkah bawakan cermin kecil?"

"Baiklah, tunggu sebentar."

Dia kembali menerka-nerka segala macam dugaan. Mulai dari bangun di tempat asing, nama-nama yang tidak ia kenali, bahkan tubuhnya yang terasa aneh.

Tidak butuh lama sang ibu kembali dengan sebuah cermin kecil. Segera saja ia memakainya setelah tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Wajah ini ... bukan aku! Rambut pirang yang bersinar, bulu mata lentik, kendati tengah sakit pun ... bibirnya tidak begitu terlihat pucat. Dan yang paling menakjubkan adalah bagian mata. Warnanya seperti oranye, tetapi juga mendekati warna marah. Wajah yang membuat siapapun ingin mengaguminya, batinnya berdecak kagum.

Entah harus kaget, takut, atau merasa senang. Perasaannya begitu campur aduk setelah mengetahui fakta ia tidak berada di tubuh aslinya.

"Ada apa, Kaveh? Tumben sekali ingin bercermin begitu bangun tidur. Biasanya kamu akan menghindari pantulan maya parasmu sambil bilang, 'Wajahku saat bangun tidur itu jelek. Aku tidak ingin melihat pantulan wajahku sebelum membasuhnya atau mandi. Tidak menggambarkan sesuatu yang estetik.' Sebuah keterkejutan bagi Ibu karena kamu tidak seperti biasanya."

Pasti tubuh ini memiliki citra tinggi pada keindahan. Memberlakukan semuanya berdasarkan kecantikan dan keanggunan.

"Sudah, ya, Ibu tinggal dulu. Kamu istirahat lagi saja. Akan Ibu siapkan dulu sarapanmu."

"Baik, Ibu."

Jadi sekarang dia adalah Kaveh, ya? Kejanggalan ini masih belum bisa ia terima begitu saja. Karena dirinya sebenarnya mahasiswa biasa. Penampilan aslinya juga biasa-biasa saja; rambut hitam, mata bermanik kecokelatan, kulit mendekati sawo matang. Tidak ada sesuatu yang menarik.

Dipandang kembali cermin kecil tadi. Kaveh ... namanya tidak begitu asing terdengar di telinga. Tadi juga Ibu menyebutkan nama Alhaitham.

Tunggu sebentar, bukankah nama-nama itu pernah ia kenali di suatu tempat?

"Persis seperti nama karakter game play di Genshin Impact! Hanya saja Kaveh atau sekarang adalah diriku, seorang perempuan sejati. Bukan sekadar lelucon pemuda cantik. Alhaitham ... apakah Alhaitham yang satu ini juga roommate Kaveh?" gumamnya, lalu menggelengkan kepala, "tidak mungkin. Di sini Kaveh masih memiliki Ibu, berbeda dengan cerita miliknya di dalam game. Lagipula, aku yakin masa ini sudah bukan lagi zaman para archon, tetapi berada di zaman modern dilihat dari furnitur di sekeliling kamar Kaveh."

Rumit. Satu per satu dia--Kaveh--memperhatikan objek yang ada dalam kamarnya. Sampai matanya tertarik pada sebuah potret yang tertempel di dinding. Lebih tepatnya potret pernikahan.

"Hah? Kaveh dan Alhaitham menikah?! Hahaha, yang benar saja." Keterkejutan kian menjadi saat tahu bahwa hubungannya dengan Alhaitham bukan teman semata, tetapi sebagai suami-istri. "Aku harus meminta Ibu untuk menemaniku bertemu Alhaitham dan menanyakan kebenarannya pada pria itu."

***

Dia bukannya membenci Alhaitham.  Namun, semata-mata kurang percaya jika ternyata hubungan Kaveh dengan Alhaitham bisa sedemikian intens begitu. Jangankan pada Alhaitham, perkara kenyataan diri ada dalam tubuh Kaveh pun masih sulit dipercaya. Dan ada keganjilan, kenapa mereka tidak tinggal satu rumah.

Ting tong!

Kaveh--mulai saat ini ia harus menyadari bahwa dirinya adalah Kaveh--berharap cemas menunggu jawaban dari tuan rumah.

"Sebentar."

Suara pria. Susah payah Kaveh meneguk ludahnya. Mungkin saja, kan, itu adalah suara Alhaitham.

"Ibu kurang yakin untuk menemui Alhaitham sekarang. Dia pasti cemas karena kamu datang tiba-tiba, padahal masih sakit," ujar sang ibu.

Kaveh menggenggam satu tangan ibunya. "Ibu tenang saja. Alhaitham tidak akan marah pada siapa pun."

Menerka-nerka bagaimana penampilan Alhaitham di zaman modern. Apakah masih dengan otot-otot yang melekat pada tubuhnya? Ataukah hanya pria biasa?

Pintu terbuka pelan, menunjukkan seorang Alhaitham sepenuhnya secara nyata.

"Kaveh? Sedang apa kau di sini? Kau itu belum sehat."

I-I-Ini pasti mimpi! jerit Kaveh dalam hati. Alhaitham terpampang nyata, lengkap dengan raut wajah lempengnya yang menyebalkan.

Bagaimana pun sosok yang biasanya hanya terlihat di layar gawai, kini ada di depan mata dan hidup. Karena sebelum munculnya Kaveh di dalam game, Alhaitham duluanlah yang mendapat scene dalam perjalanan cerita region Sumeru.

Alhaitham menggaruk rambutnya dengan gusar. Seolah kedatangan Kaveh sesuatu yang tidak ia sukai. "Bimbingannya bisa lain waktu saja. Kamu masih sakit, jadi pulanglah kembali," katanya, bersiap menutup kembali pintu rumahnya. Namun, Kaveh segera menjegalnya dengan kakinya.

"Tunggu dulu, aku ke sini bukan untuk itu. Tapi untuk ...," sela Kaveh, memikirkan kalimat yang cocok sebagai alasan agar Alhaitham tidak mengusirnya, "... untuk sekadar main."

Tatapan Alhaitham menajam. Mencari kebohongan yang terselip dari perkataan Kaveh. "Kau bisa main kapan-kapan. Sekarang pulanglah dan istirahat sana."

Masih tidak mempan. Baiklah, ini memang akan memalukan bagi sang hawa, tetapi biarlah. Terpenting Kaveh bisa masuk dulu ke dalam rumah Alhaitham. "U-Uh ... KARENA AKU KANGEN!" Habis sudah wajah terbakar perasaan malu.

"Hah? Sedang kesurupan kah? Aku ragu kau tulus bilangnya." Alhaitham bersedekap tangan dengan alis yang mengerut.

Cepat Kaveh menggeleng pelan. Dirinya tidak begitu tahu bagaimana kedekatan hubungan Kaveh dengan Alhaitham, trik ini hanya jalan final untuknya bisa mengetahui segala informasi mengenai dunia yang ia tempati sekarang.

"Cepat, biarkan aku masuk. Memangnya kau tega membiarkan i-istrimu berdiri saja di luar, hah?!" Hilang sudah urat malu Kaveh.

"Baiklah, jika kau memaksa." Final pria bersurai kelabu tersebut. Kemudian beralih kepada ibu mertua yang sedari menonton drama picisan singkatnya dengan Kaveh. "Ibu mau ikut masuk juga? Sudah jauh-jauh kemari, tidak pantas untuk meminta Ibu pulang."

Pencitraan! Kepada Ibu beda sekali sikapnya, sedangkan tadi ke aku malah langsung disuruh putar balik. Tidak punya perasaan atau bagaimana, sih, ke istri sendiri? Heran aku, sungut Kaveh dalam hati seraya mengurut pelipisnya.

"Ahaha, tidak apa-apa. Ibu hanya mengantarkan Kaveh saja kemari." Perempuan paruh baya tersebut tersenyum, menarik kerutan di dekat matanya. "Ibu tidak mau mengganggu kalian. Titip Kaveh, ya, Alhaitham?"

"Baik, Ibu. Kaveh aman di sini."

Setelah berpamitan dan sedikit memberikan petuah kepada anak perempuannya. Ibu Kaveh pun pulang dengan suasana gembira. Dia merasa bahagia lantaran Kaveh mengungkapkan perasaan rindunya pada suami dengan begitu lantang. Dulu, bahkan untuk mendengar suara Alhaitham saja Kaveh sangat enggan.

***

Sebelum memastikan segala dugaannya, Kaveh mempersiapkan mentalnya untuk hal tersebut. Jujur, di depan Alhaitham dirinya merasa terintimidasi. Ditambah dengan wajah tanpa senyum itu, benar-benar seperti tidak ada celah untuk menembus dinding tak kasat mata pada diri Alhaitham.

Selagi menunggu Alhaitham yang membuatkan ia minum, Kaveh berkeliling mengamati ruang tamu rumah sang suami. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, mengapa mereka berdua tidak tinggal di satu atap? Justru dia masih duduk di rumah orang tuanya. Apakah di dunia ini pun Kaveh dengan Alhaitham tidak memiliki hubungan yang baik?

Tidak begitu mengherankan, tetapi juga menyedihkan.

"Nah, teh lemon hangat. Ini akan membantu demammu turun." Alhaitham datang dengan dua cangkir minuman. "Apa niatmu sebenarnya datang ke rumahku? Aku tahu alasan rindu itu pasti sekadar bohongan."

Kaveh tidak kembali mengelak. Menunduk sebentar, lalu menarik napasnya perlahan. "Aku ingin tahu tentang hubungan kita. Kita itu apa sebenarnya?"

"Dari tadi kau bersikap aneh. Ini sama sekali bukanlah dirimu, Kaveh."

"Tolong jawab saja," kekeh Kaveh, tidak ingin perkataannya makin ditepis Alhaitham lagi.

Alhaitham tersengih. Bukan satu kali istrinya itu keras kepala. Tiga tegukan teh lemon buatannya melewati kerongkongan, Alhaitham menjawab, "Kau adalah mahasiswa yang bersemangat dan penuh dedikasi dalam menyelesaikan studinya. Kemudian kau juga sedang menjalani masa bimbingan tugas akhirnya denganku, sekaligus suamimu sendiri. Jika kau bertanya mengapa kita tinggal beda atap. Itu karena kemauan kau sendiri."

"Kemauan diriku? Apa maksudnya?"

"Memang itu kebenarannya. Bak dalam novel, kita menikah karena perjodohan. Kau menentang untuk hidup bersama, setidaknya sampai kau lulus wisuda," lanjut Alhaitham.

Begitu rupanya. Tidaklah mengangetkan jika dalam kehidupan ini Alhaitham sebagai seorang dosen. Namun, Kaveh yakin jika pria itu terkenal sebagai dosen yang tegas dan minim toleran kepada mahasiswanya.

Masih ada satu lagi kecurigaan Kaveh. Meski otot-otot yang tampak kokoh, tetapi bila diteliti secara cermat, wajah Alhaitham juga tampak pucat. "Kau juga sakit, Alhaitham?"

"Belakangan ini batukku agak parah. Bisa dibilang, aku juga sedang sakit. Tiga hari lalu TBC-ku kambuh, tapi sekarang sudah agak baikan."

Sungguh, dari sekian banyak dugaannya, Kaveh tidak mengira Alhaitham menderita penyakit yang bisa saja menghambat jalur pernapasan, yang bisa saja merenggut nyawa tanpa mengenal waktu. Di balik sikap kaku dan tegasnya Alhaitham, tersembunyi rasa sakit yang tak terlihat. Dia menderita penyakit tuberkulosis (TBC) yang merongrong tubuhnya perlahan-lahan.

"Sebaiknya kau ambil cuti saja. Takutnya pekerjaanmu akan membuat lelah dan memperparah keadaanmu," ujar Kaveh dengan hati-hati.

"Tidak bisa. Mana mungkin aku mengambil cuti di tengah masa bimbingan seperti ini. Sama sekali bukan sesuatu yang bertanggung jawab," tegas Alhaitham.

Bisa dibilang dia (yang sekarang adalah Kaveh) tidak bisa membiarkan suaminya tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Istri macam apa dia?

"Lupakan tentang keenggananku waktu dulu. Sekarang aku akan tinggal bersamamu dan merawatmu. Tidak bisa dibiarkan."

Kesampingkan ego dulu. Perannya di sini adalah seorang istri, Kaveh istri dari Alhaitham. Persetan dengan kesepakatan antara Kaveh yang dulu dengan Alhaitham. Terpenting, Kaveh yang sekarang bisa mengurus suaminya dengan baik.

***

Waktu berlalu, dan kondisi Alhaitham semakin memburuk. Kaveh merasa terbebani dengan tugas-tugas akademiknya yang semakin bertumpuk. Namun, dia tidak ingin menambah beban bagi suaminya yang sedang berjuang melawan penyakitnya.

Ketika Kaveh pulang setelah satu hari yang melelahkan di kampus, dia menemukan Alhaitham terbaring lemah di sofa. Wajahnya pucat dan napasnya hanya tinggal satu-dua.

Dalam keadaan panik, Kaveh menghampirinya. "Alhaitham, apa yang terjadi padamu? Kamu terlihat sangat lemah."

Dengan napas terengah-engah, susah payah Alhaitham menjawab, "Aku baik-baik saja, Kaveh. Jangan khawatir tentangku. Fokuslah pada tugas akademikmu."

"Tapi, aku tidak bisa mengabaikan kondisimu. Aku sangat khawatir tentangmu."

Kaveh panik dan segera memanggil ambulans. Dia merasa hatinya berdebar kencang, takut akan kehilangan orang yang mulai ia cintai.

***

Kaveh harus melanjutkan tugas akhirnya dan menjalani sidang, meskipun hatinya penuh kekhawatiran untuk Alhaitham. Dia merasa dilema antara kesetiaannya sebagai istri dan tugas akademiknya. Dalam setiap kesempatan luangnya, Kaveh berusaha menjaga Alhaitham, memberinya perhatian dan kehangatan yang dia butuhkan.

Alhaitham, meskipun dalam kondisi yang rapuh, selalu memberikan semangat pada Kaveh. Dia meyakinkan Kaveh bahwa dia harus fokus pada studinya dan tidak mengorbankan kesempatan besar di hadapannya karena penyakitnya.

Dalam kepiluannya, Kaveh terisak menangis. "Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi semua ini, Alhaitham? Aku ingin ada di sampingmu setiap saat, tetapi aku juga harus menyelesaikan tugas akhirku."

Di antara rasa nyerinya, Alhaitham tersenyum lemah. Lalu menghapus jejak linangan air mata sang istri. "Kaveh, kau sudah melakukan yang terbaik. Jangan biarkan keadaanku menghalangi mimpimu. Aku tidak akan terima semisalnya mahasiswa bimbinganku gagal dalam sidangnya."

Tidak sanggup lagi berkata, Kaveh hanya memeluk lengan Alhaitham yang tengah terbarik.

***

Hari kelulusan tiba, dan Kaveh merasa campur aduk antara kebahagiaan dan kegelisahan. Dia telah menyelesaikan studinya dengan sukses, tetapi keadaan Alhaitham semakin memburuk. Namun, pada hari yang sama, Kaveh mendapat kabar tak terduga. Dia sedang hamil.

"Aku lulus, Alhaitham! Aku berhasil!" sorak Kaveh menghampiri suaminya.

Alhaitham tersenyum lemah. Selamat, Kaveh. Aku memang sudah menduganya, mahasiswa bimbinganku tidak akan ada yang pernah gagal.

"Terima kasih, Sayang. Dan ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Aku sedang hamil. Kita akan memiliki anak bersama."

Kaveh merasa berbunga-bunga, tetapi kekhawatiran tentang masa depan mereka menyelimuti kegembiraannya. Dia tidak bisa membayangkan menjalani hidup tanpa Alhaitham, dan bayi yang dikandungnya membuatnya semakin kuat dalam tekadnya untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

***

Waktu terus berjalan, dan penyakit Alhaitham semakin menghancurkan tubuhnya. Dia lemah dan tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Kaveh terus berada di sisinya, merawatnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Pada suatu pagi yang dingin, Alhaitham menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Kaveh. "Jangan tinggalkan aku, Alhaitham. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidupku tanpamu."

Hatinya hancur, tetapi dia merasa bersyukur telah memiliki kesempatan untuk mencintai dan dicintai oleh Alhaitham. Anak mereka yang belum lahir akan menjadi tanda cinta abadi mereka.

***

Hari wisuda tiba, dan Kaveh harus menghadapinya tanpa kehadiran suaminya. Ia mengenakan toga wisuda dengan perasaan campur aduk. Sementara teman-temannya bersorak dan bahagia, hati Kaveh terasa kosong.

Kaveh menatap toga wisuda dengan air mata. "Sayang, aku harap kau bisa melihat aku hari ini. Aku ingin kau tahu bahwa kita berhasil melewati semua rintangan bersama. Anak kita akan tumbuh dengan penuh kasih sayang."

Kaveh berjalan maju dan menerima gelar wisuda dengan hati yang penuh haru dan kesedihan.

Dalam gelar wisuda yang sedih dan penuh kesepian, Kaveh tahu bahwa dia harus kuat untuk anak mereka yang akan lahir. Dia memegang kenangan Alhaitham dalam hatinya dan bersumpah akan menjadi ibu dan ayah yang kuat bagi anak mereka.

FIN a.k.a The End ❖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro