Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Of Mythology and Stars Under Our Dome

"Apa ada yang salah, Shin?"

Pertanyaan Doc berhasil membuat Shin tersentak. Sang anak tersenyum sebelum menggeleng. Lalu kembali menyibukkan diri dengan dokumen yang harus ditata.

Tentu, asisten ayahnya tersebut tidak sungguh bernama 'Doc'. Tetapi, dulu Shin Kecil tidak bisa mengucapkan nama Irlandia pria itu. Jadi, dia mempersilahkan Shin memanggilnya Doc. Berakhir menjadi kebiasaan yang menempel. Bahkan setelah Shin besar dan fasih berbahasa Inggris.

"Kau melamun lagi."

Shin kembali tersentak mendengar teguran tersebut. Doc tertawa. Mata augmentasinya menyala redup ketika yang organik tertutup. Sekilas mengingatkan Shin pada milik Aiko, walaupun milik Doc jelas jauh lebih canggih.

"Sepertinya otakmu tidak fokus hari ini. Ada apa?"

"Aiko dan MK akan datang, nanti," jawab Shin. "Ayah sudah bilang kita boleh memakai atap."

"Aiko dan—MK?"

"Matsumoto."

"Oh, Kaida-kun!" Doc terkekeh. "Aku kadang lupa kalian memanggilnya MK."

Shin berdehum. Dia menata tumpukan kertas terakhir di lemari. Kursinya lalu berbalik. Melangkah mendekati Doc.

"Ada lagi yang bisa kubantu?"

"Tidak ada." Doc tersenyum. Dia mengacak rambut sang asisten. "Pergilah sekarang, kau ingin menata piknik kalian, kan?"

Shin terdiam. Dia terkekeh kecil.

"Apa aku semudah itu dibaca?"

"Walaupun kamu jenius, kamu masih muda. Wajar jika ingin bersenang-senang."

"Kau tahu cara membuatku merasa seperti anak kecil, Doc. Kau tahu aku sudah SMA, 'kan?"

"Hush! Dibanding aku, kau itu masih bayi!"

"Kalau aku bayi, berarti kau fosil."

"Touché, Shin. Touché."

***

Atap Gedung Riset dan Perencanaan Robotika adalah sebuah lantai beton yang menghadap langsung pada bintang-bintang. Bukan bintang asli, tentunya, melainkan hologram yang dipancarkan oleh layar raksasa Kubah.

Kursi Shin berjalan melewati botol-botol soda dan limun dingin di atas karpet bermotif papan catur merah-putih. Persis seperti yang kau lihat di adegan piknik dalam film-film barat pada masa sebelum Kejatuhan.

Selain minuman, Ibu Shin juga menyiapkan berbagai macam keripik dan makanan ringan. Semua ditata rapi dalam keranjang. Beberapa detik kemudian, langkah kaki terdengar mengikuti tangga. Pintu ke atap menjeblak terbuka. Terlihat MK dan Aiko. Wajah dihiasi senyum lebar.

"Shin!" panggil MK. "Ibuku membawakan onigiri! Dan karaage!"

"Kami juga mampir ke minimarket! Ada sando stroberi yang kau suka! Kami belikan dua khusus untuk hari ini!"

Seperti biasa, mereka ramai. Seperti angin ribut yang tidak tahu cara berhenti berderum. Namun, suara itu yang mengisi hari-hari Shin dengan tawa. Jadi, tidak ada komplain dari sisinya.

Shin menerima tawaran MK untuk membantunya turun dari kursi heksapoda. Bergabung dengan mereka di atas karpet. Piknik pun berlangsung tanpa pembukaan formal. Ketiga anak menggasak suguhan yang ada dengan lahap. Sesekali berhenti mengunyah untuk mengobrol.

"Aku tidak tahu kenapa, tapi onigiri Ibumu terasa jauh lebih enak malam ini, M," celetuk Aiko. "Maksudku—tentu saja, yang biasanya enak juga, toh Ibumu yang memasak tapi—yah! Kau paham maksudku!"

"Mungkin karena atmosfirnya?" MK terkekeh. "Lihat! Langit cerah sekali hari ini!"

Ketiga anak serentak mendongak. Memang benar. Langit malam yang diproyeksikan oleh Kubah tidak berawan. Gelap pekat dihiasi kelap-kelip bintang. Seperti serpih permata yang tumpah di atas beludu. Sangat cantik.

"Menurutmu, yang di luar juga sama seperti ini?" Aiko berbisik. "Atau siapapun-itu yang bertugas mengurus cuaca memutuskan untuk berbaik hati dan tidak menurunkan hujan?"

"Entahlah. Tapi, kupikir kita harus bersyukur. Siapa tahu kita bisa melihat Segitiga Musim Panas..."

"Oh? Itu konstelasi, 'kan?" tanya MK.

"Hm, lebih tepatnya, tiga bintang dari tiga konstelasi yang berbeda," ralat Shin. "Deneb dari Cygnus, Vega dari Lyra, dan Altäir dari Aquila."

Aiko menelan karaage yang dia kunyah. Mata augmentasinya berputar. Katup-katup besi membantu lensa fokus pada bintik bintang di angkasa. Sementara otaknya berusaha mengingat-ngingat cerita yang sering diberikan ayahnya ketika masih kecil.

"Segitiga Musim Panas itu... Ah! Tanabata! Benar, 'kan?" Aiko menjentikkan jari.

"Tepat sekali." Shin terkekeh. Menyenderkan punggung pada salah satu kaki kursinya. Kalimat berikutnya dia ucap dengan nada yang mengalun. Seperti seorang pendongeng.

"Orihime dan Hikoboshi, dipisahkan oleh sebuah sungai. Mereka dipertemukan setahun sekali pada hari ke tujuh di bulan ke tujuh, lewat jembatan burung murai."

"Ayahku pernah bilang bahwa legenda itu diadaptasi dari China."

"Yep, di China, ada festival yang merayakannya juga, seperti Tanabata. Namanya Festival Qixi."

MK berdehum. Menyimak pembicaraan kedua temannya. Matanya masih menerawang langit dipancarkan oleh Kubah.

"Aku tak habis pikir, bintang-bintang itu seperti punya tema, huh? Dan koneksinya tidak berakhir di Asia saja, ya 'kan?"

Dia melirik ke Shin. "Seingatku, di konstelasi yang dicetuskan Ptolemy, Cygnus itu angsa, dan Aquila itu elang. Tapi, yang tidak masuk akal itu Lyra. Kenapa ada harpa diantara bintang-bintang dengan motif burung?"

"Oh? Ternyata kau mendengarkan ceritaku soal konstelasi di kelas waktu itu, huh? Aww, MK, aku tidak tahu kau perhatian!" canda Shin. Puas melihat telinga sang teman memerah, dia melanjutkan.

"Dan—yah, Lyra juga dapat diinterpretasikan sebagai burung hering. Jadi dia masuk dalam keseluruhan tema aves dan unggas Segitiga Musim Panas."

Aiko menelengkan kepala. "Tetap agak aneh, ya? Bagaimana bisa orang dari tempat yang berbeda, waktu yang berbeda, melihat sebuah titik di langit dan berkata, 'ah, ya, itu burung'!"

Tawa mereka menguar. Menyambangi suara kasak-kusuk kehidupan malam yang mulai merekah di bawah Gedung Riset dan Perencanaan Robotika. Cahaya kota meredupkan bintang di Kubah Jepang tapi tak cukup untuk menuntaskan mereka. Membuat suasana malam semakin ramai.

Ketiga anak itu berbicara sampai larut. Sampai botol-botol limun sudah kosong dan sando stroberi sudah habis. Sampai Doc naik dan memberikan mereka kunci karena dia akan pulang lebih dulu. Sampai mata mereka berat dan mengantuk. Dan masih berbicara lama setelah itu.

Dan jika mereka melihat Segitiga Musim Panas, itu adalah proyeksi dari asterisme yang terjadi di luar Kubah.

Asterisme yang sama yang dilihat oleh orang seperti Ptolemy, dan penyair dari Dinasti Song, dan ribuan orang lain di Dunia Lama. Shin, MK, dan Aiko masih melihatnya di Dunia Baru. Terfiltrasi oleh sistem Kubah Jepang. Namun, tetap bintang-bintang yang sama.

Sekarang ketiga anak itu melihat ke langit. Ke konstelasi-konstelasi lama yang mungkin sedikit berbeda, namun tetap familiar. Menoleh pada bintang-bintang yang ada jauh sebelum Kejatuhan, dan tetap ada untuk menyaksikan peradaban baru muncul.

Mungkin, bintang-bintang itu tahu, orang-orang yang menyaksikan mereka berubah, memang benar, namun ada sebuah fundamental yang konstan di sana. Mirip seperti mereka yang melihat ke langit, melihat sebuah titik, lalu berkata, 'ah, itu burung!', baik di Barat maupun di Timur.

Bahkan dengan segala perbedaan yang mereka miliki, manusia tetaplah manusia. Dengan segala baik dan buruk mereka.

Dimanapun.

Kapanpun.

Bahkan setelah Kejatuhan.

***
.

.

.

.

.

.

.

THE END


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro