Of Melted Cable and Augmented Arm
"Oh the summertime has come...
And the trees are sweetly bloomin'..."
"And the wild mountain thyme...
Grows around the bloomin' heather..."
"Will ye go, lassie, go..."
***
Suara musik dari radio butut menemani Aiko mengotak-atik onggokan mesin di meja bengkelnya. Menghiasi udara dengan dendang lagu barat peninggalan Dunia Lama yang entah bagaimana masih bisa bertahan di masa sekarang ini.
"Aikooo!"
Panggilan tersebut membuat sang pemilik nama hampir menjatuhkan obeng dalam genggaman.
"M, ini masih pagi," gerutu Aiko. Kepala menggeleng ketika sang kawan—MK—menendang terbuka pintu bengkel dengan tidak etis.
Sayang, sang teman tidak ambil pusing soal adab sekarang. Ada masalah yang lebih mendesak.
"Tanganku tidak bisa bergerak!"
Untuk memperjelas, MK menunjuk lengan augmentasinya. Besi itu terkulai lemas. Sesekali terdengar bunyi decit tidak lazim yang membuatnya meringis. Sang anak melempar pandangan memelas.
"Kebiasaan," desah Aiko. Dia memindahkan kaki prostetik yang tadi dia bongkar. "Sini, lepas dan berikan padaku."
MK menurut. Dia memutar ring penghubung yang melingkari tunggul lengan kirinya. Terdengar bunyi besi saling beradu. Tanda kunci mekanik terbuka. Tangan augmentasi tersebut lalu ditarik sampai lepas.
Dia kemudian meletakkan prostetik besi itu pada meja Aiko. Sang gadis langsung mencopot baut di salah satu panel. Jaringan kabel dan komponen elektronik lain langsung tersuguh. Saling berjejalan dan dijamin membuat pusing orang awam.
Untung Aiko bukan orang awam.
Mata organik gadis itu berkedip. Sementara mata augmentasinya berdesing pelan. Cahaya merah menguar dari sana ketika dia menyorot isi lengan itu. Roda-roda besi berputar.
"Ada kabel yang meleleh."
Tangan yang tercoreng oli berkerja cepat. Aiko mengambil tang cucut untuk mengeluarkan kabel tadi. Kemudian menggantinya dengan kabel baru dari tumpukan suku cadang di lemari. Setelah selesai, tangan itu diserahkan pada MK.
Dengan riang, sang pemilik langsung mengambilnya. Dia memasang besi itu pada tunggul lengan kirinya. Ekstra hati-hati saat memutar. Bunyi mesin berdengung lembut, diakhiri dengan 'klik' pelan tanda mekanisme pengunci kembali ke tempat.
Mk meluruskan tangan, lalu menekuknya. Kemudian merenggangkan jemari sebelum menggenggam. Menginspeksi kepalan besi yang berkilat di bawah lampu bengkel Aiko.
"Lebih baik?" tanya si gadis dengan alis terangkat.
"Sangat." MK tersenyum lebar. "Terima kasih, Ai-chan, kupikir aku harus melewati liburan hanya dengan satu tangan."
"Dasar ceroboh." Aiko menggelengkan kepala. "Ini baru hari pertama musim panas, dan augmentasimu sudah bermasalah..."
"Jangan salahkan aku! Salahkan pemerintah yang membuat matahari terlalu panas!"
"Cuaca di kubah kita memang buatan, M. Bukan berarti mereka bisa mengubah suhu seenak jidatnya. Memang itu thermostat?"
MK mendengus. Tangan tersilang di depan dada. Kepala melirik ke jalan beraspal di depan bengkel. Tampak anak-anak saling berkejaran. Tertawa dan menampilkan deret gigi ompong. Yang perempuan memakai topi anyam lebar dan yang laki-laki hanya bersinglet putih. Tanda bahwa panas mentari artifisial di atas kepala sudah semakin menyengat.
"Kenapa sampai sebegitunya, sih?" protesnya. "Kalau cuaca bisa diatur, kenapa tidak menjaganya di fase yang ideal saja? Buat apa kita perlu 'musim'?"
"Sentimentalisme?" jawab Aiko asal. Tangan memainkan salah satu kepang kecil di rambutnya. Perempuan itu terkekeh melihat kerut tidak puas di wajah sang teman.
MK berdecak kecil. "Sungguh, Kejatuhan sudah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Menurutmu orang-orang masih memikirkan Dunia Lama?"
"Mungkin. Lagipula apa masalahmu, huh? Pada musim salju kau tidak pernah protes begini."
"Itu karena aku selalu menang perang bola salju melawanmu."
"Dengar kau sialan, itu hanya karena lengan augmentasimu. Dan kalau Shin memperbolehkanku memakai ketapel, harusnya aku—"
"Aku yakin ketapelmu itu bisa membuat orang pingsan, Ai-chan."
"Oh? Dan tanganmu tidak? Ingat apa yang terjadi pada Taro tahun lalu?"
"Aiko!" Wajah MK memerah. "Kau tahu kenapa aku menghajar anak itu!"
"Yep, seharusnya gunakan tangan yang organik, masa skorsmu pasti diringankan."
"Seminggu itu sepadan untuk Shin," gerutu MK. Sedetik kemudian, seringai merebak di bibirnya.
"Ngomong-ngomong soal anak itu, dia janji akan mentraktir es krim hari ini."
Binar muncul sesaat di mata Aiko. Bagai bintang jatuh—hilang dalam satu kedipan.
"Sungguh?!" pekiknya. Tangan langsung menyambar kunci bengkel. "Tunggu apa lagi! Ayo!"
"Uh, aku tidak tahu kau sangat antusias soal es krim—"
"Ini es krim gratis. Gratis. Cepat sebelum Shin berubah pikiran!"
"Shin bukan anak yang seperti itu—hey! Jangan kunci aku di bengkel ini—AIKO!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro