Of Ice Cream and Book from Old World
Keenam kaki kursi heksapoda Shin berkeletak di atas lantai parlor es krim. Tanda sudah waktu untuk mengganti bantal karet di ujung tiap besinya. Hal seperti ini kadang membuat Shin mempertimbangkan memakai kursi roda biasa. Sayang, kaki-kaki kursi Shin yang mirip laba-laba jauh lebih keren. Sudah jelas opsi mana yang dipilih anak itu.
"Wah, wah! Lihat siapa yang datang!"
Sapaan ceria dari laki-laki tua di belakang konter membuat Shin tersenyum. Dia mendorong tuas untuk membuat kursinya berjalan lebih cepat mendekati konter. Berhenti ketika sudah berhadapan dengan kaca yang menampilkan berbagai es krim warna-warni.
"Siang, Hiro-san," sapa Shin. Dibalas dengan tawa ceria oleh pria itu.
"Siang, Shin-kun. Ah! Bagaimana dengan Wan? Dia sedih, loh, kalau tidak kau perhatikan!"
Seperti terpanggil, tangan hidraulik otomatis yang sibuk menggoyangkan shaker bottle berisi susu kocok di sudut ruangan 'menoleh' ke arahnya.
Tangan mekanik itu model 1C3-ARM lawas, biasa dipanggil Wan karena angka satu di nomor serinya. Dia menaruh gelas ke meja. Lalu memutar ketiga pencapitnya kepada Shin sebagai bentuk sapaan.
Sampai sekarang, masih misteri bagaimana robot dengan A.I. sekuno milik Wan bisa punya banyak personalitas. Terlebih tugasnya hanya membuat minuman. Namun banyak pengunjung menganggap sikap itu imut. Seperti sebuah maskot.
"Halo juga untukmu, Wan." Shin terkekeh, sebelum kembali pada Hiro. Entah bagaimana, seringainya yang sudah lebar kini tampak lebih lebar. Sudut mata penuh keriput mengerling padanya.
"Mana Pembuat Onar 1 dan Pembuat Onar 2?"
"MK dan Aiko dalam perjalanan kalau estimasiku benar," ucap Shin sembari mengangkat bahu. Tangannya mengetuk kaca tempat jejeran eskrim terpajang. "Apa ada yang seperti biasa?"
"Caramel butterscocth sundae, 'kan? Mau tambah pugasan?"
"Kau punya pecan?"
"Tidak, tapi kami ada almond."
"Tanpa pugasan saja, kalau begitu."
Hiro berdehum. Pena mencatat pesanan Shin di kertas. "Ada lagi?"
Shin menggeleng. "Tapi aku bertaruh MK akan memesan sorbet kiwi. Dan rum raisin untuk Aiko."
"Ahahaha, kau kenal betul temanmu, huh?" Hiro menyeringai. "Baiklah, jika tebakanmu benar, kalian boleh bayar setengah harga."
"Kalau aku salah?"
"Tentu bayar dua kali lipat."
Seringaian Hiro menjadi lebih lebar. Tangan kurus keriput terulur pada Shin. Anak itu mengetuk-ngetuk pipi. Berpikir.
"Deal!"
Mereka berjabat tangan. Mengikat perjanjian itu. Sebelum Shin menarik tuas di sampingnya. Kaki-kaki kursi heksapoda tersebut bergerak dan berbalik. Dengan control panel, dia mengarahkan kursi itu ke booth di sudut ruangan.
"Aku tunggu di meja biasa ya, Hiro-san! Terima kasih!"
"Aku yang akan berterimakasih setelah mendapat dua kali uangmu, nak!"
Shin terkikik. Kepala menggeleng kecil. Dia memposisikan kursinya di sudut meja yang tidak menempel pada jendela kaca. Booth itu memang tempat nongkrong paling cocok untuk mereka. Karena letaknya di pojok, kursi Shin tidak banyak mengganggu gerak pelanggan lain.
Itu kalaupun ada pelanggan lain. Toko Hiro lebih sering sepi. Letaknya yang terpencil di sudut keramaian Tokyo juga tidak membantu. Mungkin ada puluhan tempat yang lebih menarik dikunjungi daripada parlor es krim bobrok. Atau mungkin kurangnya turis, mengingat keadaan Dunia Baru yang seperti ini.
Setelah menekuk kembali control panel kursinya, Shin mengeluarkan communication pad—atau comm-pad, begitu para anak muda menyingkat sebutan alat komunikasi mereka—dari tas di samping kursinya.
Dia membuka perpustakaan digital lewat tablet itu dan mulai menjelajahi katalog. Ada beberapa judul baru dalam bagian karya klasik internasional. Shin memilih satu dan mulai membaca.
Beberapa menit kemudian, fokusnya buyar sejenak ketika pintu toko dibanting terbuka. Bunyi berdebam mengisi udara. Diikuti dua langkah ribut dan suara tinggi familiar.
"Ohayou, Hiro-san! Wan!"
"Halo, Hiro-san! Halo, Wan!"
Tidak melepas mata dari bacaannya, Shin sudah tahu siapa yang datang. Sudut bibir anak itu terangkat.
"Pagi Aiko-chan, Kai-kun!"
Shin bisa membayangkan senyum lebar di wajah Hiro bahkan tanpa melihatnya.
"Shin berjanji untuk mentraktir kami." Kali ini suara MK terdengar. "Apa dia sudah disini?"
"Yep, sejak tadi."
Shin bisa merasakan pandangan pria tua itu teracung padanya untuk beberapa saat, sebelum kembali pada MK dan Aiko.
"Jadi, kalian mau pesan apa?"
Momen penentuan...
"Sorbet kiwi!"
"Es krim rum raisin! Dengan waffle!"
Jackpot!
Barulah Shin berbalik. Pandangan mata beradu dengan Hiro yang melongo di belakang meja kasir. Dia melempar senyum bangga pada pria tua itu. Setelah mengerjap, si pemilik toko tertawa.
"Ahahaha! Kalian memang sahabat baik!"
"Eh? Apa maksudmu?"
"Tidak penting! Hanya ocehan seorang pria yang kalah dalam permainannya sendiri."
Senyum Hiro merekah ketika mengatakan itu, sepertinya tidak merasa kecewa sama sekali.
"Sebaiknya kalian duduk. Shin-kun sudah ada di tempat biasa. Nanti kuantar es krim kalian!"
Aiko dan MK berpandangan sebentar. Sebelum keduanya bersamaan mengangkat bahu dan berjalan ke meja mereka. Melihat Shin, Aiko langsung melambaikan tangan.
"Ini dia Si Dermawan kita!" ucap gadis itu. Langsung duduk dan menumpukan pipinya pada telapak tangan. Mata augmentasinya berdesing. Panel-panel berputar untuk menyorot Shin. Bibir sang anak tersenyum jahil.
"Apa panas ini melelehkan otakmu? Jarang sekali kau berbuat baik pada kami."
"Hush, Aiko!" ucap MK. Nampak menahan tawa. "Shin itu dari dulu anak baik! Tidak seperti kau yang mirip iblis!"
Seperti menekan poinnya, MK mengacak-acak rambut anak laki-laki yang sibuk membaca. Shin menghela napas dan menepis tangan besi kawannya itu.
"Kadang, aku tidak tahu kenapa aku berteman dengan kalian..."
"Karena MK rela kena skors untukmu," jawab Aiko santai. "Dan aku memperbaiki kursimu tanpa meminta imbalan."
"Kau ingin menaruh laser di kursi Shin, Aiko."
"Dan itu akan sangat keren jika kau tidak mencegahku, M!"
Kepala Shin hanya bisa menggeleng melihat kedua temannya kembali berdebat. Riuh rendah suara mereka sangat familiar. Dengan senyum simpul, Shin kembali menatap comm-pad. Melanjutkan bacaan yang sempat ditinggal.
Tidak lama, bunyi argumen dan cibiran berakhir. Kini, Aiko dan MK menatap ke gawai Shin dengan penasaran.
"Membaca apa?" tanya MK. Alis terangkat.
"Homer." Shin menjawab singkat. Mata tidak beralih dari rentetan huruf di layar. "The Illiad."
Aiko berceletuk, "Bukankah itu karya dari Dunia Lama?"
"Tidak juga. Ini sebenarnya lebih tua lagi. Bahkan untuk standar Dunia Lama."
Shin menggulirkan layar mencapai halaman berikutnya. Mata mengerling sedikit. "Jujur, buku klasik seperti ini jadi lebih menarik dibaca ketika kau tidak dituntut untuk menulis esai sepuluh halaman mengenai simbolisme di ceritanya."
"Dasar." MK bersedekap. Lengan augmentasinya menghasilkan bunyi 'klik-klik-klik' yang kentara.
"Aku tahu kau ini kutu buku, tapi membaca buku yang sudah ada ribuan tahun yang lalu itu bukannya agak—membosankan?"
"Hei!" Shin memekik protes. Lalu membersihkan tenggorokannya dengan batuk.
"Konflik yang kompleks, naik turunnya perang, dan naratif soal kepahlawanan tidak pernah membosankan di zaman manapun!"
MK memiringkan kepala. Bibir tersenyum. Dia selalu suka menggoda Shin. "Sungguh?"
Kawannya itu langsung mengangguk.
"Selain itu, bukankah keren, hal yang kita baca sekarang juga dibaca oleh orang yang hidup di zaman dulu? Seperti—membagi bacaan kita dengan hantu?"
"Malah seram," komentar Aiko. "Tapi aku paham. Itu memang agak keren."
"Karena yang paling keren untukmu itu hanya kursi laser, hmm?"
"Oi—!"
Shin menyerah. Memutuskan tidak melerai. Jangan salah, anak itu sayang pada Aiko dan MK. Namun, kadang perkelahian mereka bisa jadi melelahkan.
Untung saja, sebelum keduanya baku hantam, Hiro menghampiri meja. Memegang nampan berisi pesanan mereka. Alis terangkat melihat Aiko yang sudah menarik kerah MK.
"Jika kalian bertengkar, aku akan membawa ini kembali ke dapur."
Mendengar ancaman itu, MK dan Aiko kembali duduk. Walau mulut tidak lepas dari gerutuan kecil. Hiro mengangguk puas. Menaruh tiga mangkuk berisi pesanan mereka.
"Nikmatilah selagi dingin!" ucapnya. Seringai menghiasi bibir, sebelum dia melangkah pergi.
Tanpa pikir panjang, ketiga anak langsung menyerbu es krim itu. Tidak ingin hidangan tersebut meleleh karena udara Kubah Jepang yang menyengat. Perkelahian kini menjadi candaan. Dan tidak lama, comm-pad Shin disisihkan. Buku tua dari Dunia Lama terganti oleh ocehan dan obrolan mereka bertiga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro