Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T I G A


 Kakek Vica adalah keturunan India—Indonesia dan usaha keluarga mereka sejak zaman dahulu adalah usaha tekstil. Rina—Ibunya mewarisi usaha kakeknya dan bisa menjalankan usahanya dengan lancar sampai beliau punya beberapa toko kain yang besar. Selain itu, Ibunya juga seorang penjahit professional yang tidak usah diragukan lagi kemampuannya. Setiap tahun, banyak sekali orderan yang masuk ke tokonya. Hanya saja, sejak punya cucu dari Kakak pertama dan adiknya, Rina berhenti menerima orderan banyak dan Ibunya itu benar-benar pemilih dalam menerima orderan. Menyebalkannya, ketika ada pasangan selebriti yang mendatanginya, akan Ibunya terima dengan meriah sedangkan jika pasangan biasa yang datang, akan Ibunya tolak mentah-mentah sekalipun bayarannya sama dengan bayaran pasangan selebriti. Err, satu sifat menyebalkan Ibunya ya itu, pilih-pilih konsumen.

Vica sendiri adalah satu-satunya anak yang menekuni bidang yang sama dengan Ibunya. Kakak pertamanya—Radifa adalah Bidan yang sudah buka praktek sendiri, suaminya bekerja sebagai Dokter Bedah di Rumah Sakit ternama di Kota Bandung, sedangkan Kakak keduanya—Ardan, bekerja sebagai dosen, istrinya pun sama, dan kakak ketiganya—Raihan, punya perusahaan konsultan kecil yang sekarang sedang mengerjakan proyek yang sangat besar, sayang... istrinya Raihan—Nina, adalah wanita terpayah yang pernah ada (setidaknya menurut Ibunya) lalu terakhir adiknya—Randi, bekerja sebagai PNS di Pemda sementara istrinya adalah Ibu Rumah Tangga,

Vica bukannya ingin warisan atau apa, tapi memang sejak kecil ia senang sekali membuat baju, mungkin karena orangtuanya senang membawanya ke toko. Jadilah, Vica seperti sekarang. Jangan salah, toko yang dikelolanya ini kini murni toko miliknya, bukan milik keluarganya lagi.

Berjalan menuju lemari tempatnya menggantung pakaian-pakaian jadi yang sudah ia bungkus rapi, Vica mengerutkan keningnya. Ada 1 paket pakaian yang belum diambil sejak satu bulan yang lalu. Padahal bajunya digunakan untuk pesta pernikahan yang katanya diadakan tanggal 1 Januari (Menurut keterangan dalam notanya). Dan sekarang, sudah 20 Februari. Malah hampir dua bulan.

Dipikir-pikir lagi, paket baju ini adalah baju untuk resepsi pengantin dan baju bridesmaid. Masa iya mereka tidak jadi menggunakannya?

"Num... Hanum. Sini coba," kata Vica—memanggil karyawannya yang bernama Hanum.

"Kenapa Teh?" Hanum datang seraya membawa satu gulungan kain di tangannya.

"Yang pesenan ini kok belum diambil ya? Ini nggak dipake atau gimana?"

"Nggak tahu juga ya Teh. Pesenan itu masuknya bukan ke aku. Kalau nggak salah sih ke si Lia. Tapi dia nggak masuk hari ini."

Vica menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Yang bikin juga bukan aku, kayaknya Mama deh. Hmm... Oke deh. Kamu lagi sibuk?"

"Iya, ada yang beli soalnya," katanya.

"Oh, ya udah Num. Biar aku aja yang telponin orangnya," ucap Vica pada akhirnya.

Hanum kembali dengan gulungan kainnya. Vica sempat mengikuti dan ia melihat banyak sekali pengunjung ke tokonya. Ah, 'musim kawin' seperti ini memang banyak orang yang membutuhkan kain. Untuk apa? seragaman pastinya.

Meraih ponselnya, Vica mencoba untuk menghubungi nomor yang tertera pada nota pembayaran yang menempel di bajunya.

"Halo?"

Jawaban Vica dapatkan pada deringan ketiga. Ia mengerutkan kening, melihat kembali nota yang dipegangnya kemudian memiringkan kepala. Di dalam notanya, baju ini atas nama Irdina Anggi Gita, tapi kenapa yang mengangkatnya malah seorang pria?

"Maaf, bisa berbicara dengan Mbak Irdina?" tanyanya.

"Ini siapa?"

"Saya Vica, dari toko VeeTex, yang ngerjain bajunya Mbak Irdina. Harusnya dipakai tanggal 1 Januari kan? Sampai sekarang bajunya—"

"Buang aja."

"Ya?"

"Buang saja bajunya."

"Loh, tapi—"

Kemudian telpon terputus.

Kenapa tidak sopan sih? Main tutup-tutup begitu saja.

Sudah Vica yang modal pulsa untuk menelponnya, Vica juga yang dirugikan karena ketidaksopanannya. Apa-apaan.


******


"Mammmmssss..." Vica berjalan masuk ke dalam rumah Ibunya seraya memakan cemilan yang ada di tangannya.

"Kenapa?" tanya Rina, datang dengan menggendong Andin—anak kakak sulung Vica yang sekarang ini berusia dua bulan.

"Mama tahu nggak mbak-mbak yang namanya Irdina? Itu bajunya Mama yang bikinin?"

"Irdina mana? Baju apa?"

"Itu loh Ma, baju pengantin. Buat resepsi gitu, yang bahannya Duchesse satin warna peach. Ini nih fotonya."

Menunjukkan gambarnya, Vica memperhatikan ekspresi wajah Ibunya yang masih mencoba mengingat-ingat baju yang sudah dibuatnya.

"Tanggal segitu Vica kan masih belum ke toko lagi. jadi Mama yang bikin kan?"

"OH! Iya Mama inget!"

Setelah bermenit-menit berlalu, ibunya ingat juga rupanya.

"Ini tuh ya sayang. Yang ituloh, Irdina yang model itu."

"Model apa sih, Vica kan nggak tahu."

"Yang dia sering jadi model pengantin. Sering di catwalk kalau ada wedding festival."

"Yah, itu sih kan Mama yang suka datengin acara begitu. Vica mana tahu."

"Katanya sih dia nikah tanggal 1 Januari ya. Kok belum diambil bajunya."

"Nah, itu kan yang Vica maksud. Tadi Vica udah telpon orangnya, eh malah yang angkat cowok, mana telponnya diputusin lagi. sebel nggak Ma? Padahal kan cuman mau kasih tahu aja. terus ya Ma, tadi orangnya bilang 'Buang aja bajunya' haish. Dari pada dibuang mending Vica jual aja di toko."

Rina tergelak, "Mereka dapet sponsor baju kali. Makanya nggak diambil-ambil."

"Tauk."

"Udah, besok kamu anterin aja lah ke rumahnya. Nggak enak, udah dibayar lunas juga."

"HEEEE? Kenapa malah nyuruh Vica?"

"Ehh, kamu nggak tahu aja. Irdina ini, dia kan cantik banget, semua orang pengen bikinin dia baju, terus... waktu dia diukur sama Mama, dia bilangnya memang pengen bikin baju sama Mama soalnya keluarga dia banyak yang saranin Mama. Padahal Mama juga nggak tahu siapa-siapa keluarganya. Tapi kan intinya, demi menghargai dia yang udah bilang begitu. Harus yang punya toko yang anterin barangnya."

Mendengus. Vica mengerucutkan bibirnya.

Padahal besok ia sudah menyusun jadwal untuk menonton sendirian. Ah, batal sudah.


****


Arshad tersenyum senang melihat Vica muncul dan mulai membuka rolling door tokonya. Pria itu sudah menunggu lama dan ia siap untuk muncul di hadapan Vica. Tapi wanita itu sedang sibuk dengan ponselnya. Entah berbicara dengan siapa yang jelas Arshad mendekat untuk mengupingnya.

".....Makanya kan, dipikir bawa baju sebanyak itu sendiri bolak-balik basemen itu gampang?"

Oh... Vica mau membawa baju?

"Sini tan, aku bantuin," ucap Arshad tiba-tiba. Ia meloncat dan tersenyum di depan Vica sementara wanita itu melebarkan matanya dan berteriak, "Arshaaad!" katanya.

Tentu saja Vica terkejut. Sibuk menelpon dan membuka toko, tiba-tiba saja ada makhluk aneh meloncat ke hadapannya. Tahu tidak, seramnya itu seperti ketika ia ke kebun binatang tapi tiba-tiba monyet berbunyi dan melompat ke hadapannya. Seperti itu!

Arshad tertawa dengan puas, "Ugh, si mantan kaget," katanya.

Vica melotot, "AWASS!" usirnya pada Arshad.

"Hiii, galaknya."

"BODO!"

Arshad bergeser sedikit untuk membiarkan Vica bergerak supaya ia bisa membuka tokonya dengan sempurna. Wanita itu menghentakkan kaki dan masuk ke dalam tokonya seraya memasukkan ponsel ke dalam tasnya sedang Arshad mengikutinya dari belakang.

"Lagi apa Dii?" tanyanya.

"Lagi boker," sahut Vica.

Arshad tergelak, "Mau dicebokin?" tawarnya.

Vica melotot, "Jangan coba-coba!"

"Eh, buat mantan kok coba-coba sih," goda Arshad.

"Sibuk ya?"

Vica mencoba untuk tidak menghiraukannya. Wanita itu berjalan masuk ke dalam dan mengeluarkan satu persatu baju yang akan ia kirimkan untuk Irdina—sesuai perintah Ibunya.

"Banyak banget. Baju buat siapa?" tanya Arshad.

Vica menghela napas, "Kamu bisa baca Shad. Baca aja sih," katanya.

"Lebih enak dibacain ah Dii."

Oke. Lelaki manja. Dasar menyebalkan!

Iya, Arshad memang menyebalkan, tapi Vica ya gila juga. Sudah tahu Arshad begitu, kenapa dia masih saja meladeninya?

Arshad ini adalah tipe pria yang kalau dibiarkan dia diam sedang diladeni dia bertingkah. Maka, lebih baik didiamkan saja. Walaupun dia masih mondar mandir ke sana kemari dan mengganggu Vica, tapi dia juga manusia yang punya rasa capek sehingga kalau sudah capek pasti berhenti sendiri. Seharusnya begitu sih.

Iya, seharusnya begitu. Tapi sudah setengah jam Vica mempacking baju yang akan dikirimnya dan ia mendiamkan Arshad yang sejak tadi masih saja mengganggunya dan berbicara—pria itu tidak berhenti juga!

Aneh. Baterai pria ini memang sedahsyat inikah?


****


Di dunia ini, hal paling menyebalkan itu tidak bisa kita hitung oleh jari kita sendiri. Tapi jika kita mengelompokkannya ke dalam tingkatan-tingkatan beserta klasifikasi tertentu, kita benar-benar bisa membedakan semenyebalkan apa hal yang baru saja kita alami. Dan menurut Vica, untuk saat ini hal paling menyebalkan dalam hidupnya adalah tiga; Menjadi janda di usia muda, Masih melihat Arshad yang hidupnya semakin bajingan saja, dan terakhir... membiarkan dirinya terjebak bersama Arshad karena ia tidak punya pilihan lain.

Errrr. Vica biasa berdebat dengan Arshad, tapi tidak mengobrol dengannya. Vica biasa berpapasan dengan Arshad, tapi tidak satu mobil dengannya, setidaknya sejak mereka bercerai. Dan lihat sekarang, gara-gara mobil Vica masih dipinjam oleh kakaknya sementara ia sudah berjanji pada Ibunya untuk mengantarkan baju Irdina-Irdina itu pagi ini, terpaksa sekali ia harus menerima ajakan Arshad untuk mengantarnya. Dan apa yang terjadi padanya saat satu mobil dengan Arshad?

Tentu saja kekesalan yang menggunduk di dadanya karena mobil Arshad berantakan dengan bajunya yang berserakan dimana-mana.

"Anak kecil aja, abis main, dia rapiin mainannya dan dia beresin semuanya. Kok kamu nggak sih Shad? Kalah amat sama anak kecil. Malu kali sama umur, malu juga sama badan, segede gitu juga."

Arshad terkekeh, "Kan mau pamer sama kamu Dii. Aku abis main di mobil. Enak ya ternyata, mobil bergoyang itu."

Vica bergidik, "Dasar gila," gerutu Vica.

Arshad tertawa tanpa suara. Ia melihat wanita di sampingnya sekilas kemudian menjalankan mobilnya. Mereka berdua menghabiskan waktu dengan sibuk sendiri selama perjalanan. Vica sibuk tertawa membaca twitter di ponselnya sementara Arshad sibuk merecoki Vica tapi tak diacuhkan sama sekali hingga akhirnya Arshad sibuk bersiul dan menyanyi sendiri dengan suara sumbangnya.

"Sampe Dii," ucapnya ketika GPS mobilnya sudah menunjukkan lokasi yang mereka cari.

Vica mengambil beberapa baju dan menyerahkannya pada Arshad untuk ia bawa. Masa bodoh, suruh siapa dia ikut Vica. Sayang juga kan kalau si Arshad ini tidak diberdayakan?

Berjalan dengan kesusahan, Vica memasuki pelataran sebuah rumah yang pagarnya sudah terbuka, dan belum sempat melangkah masuk ke dalamnya, Vica sudah benar-benar terkejut dengan apa yang berada dalam jarak pandangnya.

Ya Tuhan...

Vica benar-benar tidak mengerti. Bukankah rumah ini milik orang yang notabene-nya adalah sebagai model terkenal yang bolak-balik Catwalk sana sini—yang menurut Ibunya cantik luar biasa? Tapi... kenapa rumahnya ini malah lebih berantakan dari rumah tukang sampah? Serius. Bahkan tukang sampah pun tahu caranya memilah sampah sehingga ia akan membersihkan sampah yang ada di rumahnya. Tapi ini..

Ya Tuhan. Lihatlah!

Tamannya gersang karena semua tanaman yang berada di sini mati, rumput-rumput liar sudah mulai tinggi di depan pintu garasi, dan ketika Vica maju—oho... lantainya benar-benar kotor seperti tidak dipel satu abad lamanya. Ya Ampun.

"Apaan nih. Kotor banget."

Gerutuan Arshad di belakangnya membuat Vica menoleh. Ia memelototi mantan suaminya dan memintanya untuk tidak berisik.

"Nggak enak kalau yang punya rumah denger," bisiknya.

"Dii, ya pikir aja sama otak kamu yang biasa kamu gunakan untuk mola pakaian itu. Rumah ini, udah pasti nggak ada penghuninya. Gila kali, kalau orang tinggal di tempat ginian. Dia mau berteduh apa mau uji nyali," gerutu Arshad.

Vica memperingatinya sekali lagi, "Jangan cari masalah karena mulut kamu itu ya Shad."

Akhirnya, Arshad memilih untuk diam selagi Vica memencet bel—yang sebenarnya sudah tidak berfungsi sepertinya, karena berkali-kali memencet bel, suaranya tidak terdengar sama sekali.

"Belnya mati Dii," ucap Arshad.

Vica mendesis, "Sok tahu banget. Listriknya aja masih nyala."

"Ya, listrik kan beda lagi. Itu listrik kayaknya juga buat lampu doang. Bhah, lampunya aja udah mati. Lihat!" Arshad berjalan untuk menunjuk ventilasi dimana tak ada satupun cahaya yang muncul dari dalam melalui celah-celahnya. Ditunjukkan seperti itu, Vica menghela napas.

"Apa rumahnya emang kosong ya?"

"Aku udah bilang dari tadi kali Dii."

"Diem Shad. Karena aku nggak butuh komentar kamu," katanya.

Arshad mengangkat kedua bahunya. Ia memilih untuk berkeliling sementara Odivica—wanita itu memikirkan sesuatu dari kepalanya.

"Telpon aja lagi gitu ya?" tanyanya pada diri sendiri, tapi Arshad mendengarnya sehingga pria itu muncul di hadapannya dan berkata, "Kenapa nggak dari tadi?"

"Masalahnya aku curiga kalau HP Mbak Irdina ini kemalingan gitu Shad. Masa aku telpon buat kasih tahu baju malah suruh dibuang. Ya, apa coba kalau bukan ilang HP?"

Arshad menggelengkan kepalanya, "Ya, berpikiran nggak usah sempit gitu lah. Mana ada maling angkat telpon yang masuk Dii? Bunuh diri kali."

Vica tak menjawabnya karena ia yakin mereka pasti berdebat, dan berdebat bersama mantan suaminya bukanlah hal yang patut ia banggakan, jadi dari pada melakukannya, mending ia menghindarinya saja. Iya kan?

"Siapa tahu memang itu keluarganya. Mereka batal nikah kali, makanya bajunya disuruh dibuang aja. Ya udah lah, Dii. Buang aja bajunya."

"Ih. Jahat banget. tega ya kamu Shad. Ini jahitannya Mama. Masa mau dibuang begitu aja."

"Udah dibayar?"

"Udah."

Arshad membuang napasnya, "Ya ngapain ribet. Orangnya aja nggak mau. Kalau udah dibayar, ya terserah lah tuh mau kamu apain bajunya. Nggak rugi juga kan. Atau, kamu pake aja gimana Dii?"

"Ini baju buat pengantin sama bridesmaid, masa aku pake?"

"Ya. Nggak masalah. Siapa tahu kamu mau nikah lagi sama aku."

Hah?

Sebentar. Gimana? Gimana kata si Arshad ini?

Menatapnya dengan tajam, Viva mencibirnya dan berteriak, "NGIMPI!!!" kemudian ia berjalan meninggalkan Arshad seraya menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan.



TBC



HOLAA... Part 3 sampe sini aja.

Buru-buru nih aku editnya wkwkwk

Sengaja di posting sekarang karena rencananya malam ini aku mau mudik gais.

Kemana? Ke Panjalu, rumah nenek aku ada di sana hohoho

Doakan semoga bisa selamat sampai tujuan dan balik lagi yaah..

Gak ngarep bertemu jodoh juga wong di sana banyaknya balong balong ikan HAHAHAHAHA

Ada yang baru mau pergi mudik juga kah? Kemana? Jangan lupa hati-hati dan banyak berdoa ya sayang-sayangkuu :*

Pokoknya segitu aja.

Dah...

AKU SAYANG KALIAAAN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro