Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

S E P U L U H

Sebelum ke cerita, aku mau tanya:

ADA YANG BACA DARA-DIRA? Atau ada yang mau baca Dara-Dira?

Kebetulan udah proses penerbitan dan PO juga segera dibuka yeayyy!! Besok aku mau tanda tangan novelnya hahahaha gaya yah ya ampun :"

Untuk info lengkap pemesanan bisa pantengin IG nya RDM Publisher aja ya. Atau ke IG aku tanya juga boleh @riset95.

Okey.

Selamat membaca ^^



***


"Ma, waktu Mbak Irdina fitting buat baju pengantinnya, dia dateng sama cowoknya kan?"

Rina yang sedang sibuk mengelap bunga-bunga plastik di rumahnya menoleh pada anaknya, "Enggak. Dia bawa contoh baju buat cowoknya aja. Katanya sih cowoknya susah buat diajak ngukur-ngukur baju begitu, kebetulan lagi sibuk juga katanya."

"Tapi Mama tahu kan muka cowoknya?"

"Tahu lah kan Mama follow instagramnya Irdina."

"Terus masa Mama nggak ngenalin gitu siapa cowoknya?"

Rina menatap anaknya dengan kerutan di keningnya, "Emang dia siapa?"

Tersenyum, Vica menjawab, "Dia guru les Vica waktu SMP Ma, yang vica les di rumah Dewi itu loh."

Rina mengerutkan keningnya, "Wah? Yang kamu kegatelan sama dia itu?" tanya Ibunya tak menyangka.

Oh Tuhan, sepertinya 'Vica yang kegatelan pada Dimas' akan selalu terbawa hingga ujung usianya. Sungguh memalukan. Kenapa juga orang-orang tak melupakannya sih?

Vica memilih untuk tak menjawabnya sementara ia sibuk menunggu Ojek online yang sudah dipesannya. Begitu sampai, wanita itu berpamitan dengan penuh senyuman, ceria seperti anak sekolah baru dibelikan tas dan sepatu baru hingga membuat Ibunya mengerutkan kening.

Apa yang terjadi dengan anaknya pagi ini?

Yang barusan tersenyum cerah begitu, Vica kan? Anaknya yang kemarin-kemarin seperti ayam sedang sakit?


****


Adel datang lebih dulu untuk membuka toko, tempat kecil di sebrang toko Vica masih gelap, si Arshad belum kelihatan juga batang hidungnya. Sementara Vica, wanita itu mengabarinya kalau dia masih di jalan sehingga Adel membereskan toko seorang diri. Ia memindahkan beberapa gulungan kain untuk dipajang di bagian depan kemudian Adel juga membenahi letak jarum-jarum yang menyatukan kain yang tersampir dalam manekin yang sudah ia pindahkan ke bagian terdepan toko.

Selesai.

Walaupun tidak secepat Vica, tapi Adel sangat senang karena ia bisa membereskan semuanya. Pencapaiannya ini sebuah prestasi kerja loh. Serius.

"Selamat pagiiiii..."

Suara Vica menyapa telinganya. Adel menoleh dan ia mengerutkan kening saat melihat Vica merentangkan tangan untuk mengucapkan selamat pagi dengan wajahnya yang sumringah.

Sebentar... sebentar.

Kenapa wajah Vica bisa secerah itu pagi ini?

"Tumben amat nyapa selamat pagi?" tanya Adel keheranan.

Vica tersenyum lebar, "Emangnya nggak boleh? Kan berbagi kebahagiaan di pagi hari."

Dengan jawaban yang dilontarkan oleh Vica, Adel malah semakin kebingungan, "Lo kenapa? Ada hal baik yang terjadi?"

Seketika Vica menganggukkan kepalanya dengan antusias, "Deeel, kemarin gue ketemu sama Kak Dimas. Ya ampuuuuun, gue ngobrol tahu sama dia."

"Kak Dimas?"

"Iya, kak Dimas. Tumpukan dosa gue. Gebetan gue di SMP," pekik Vica.

"Awalnya gue ngehindar sih, tapi gimana lagi udah terlanjur. Ya udah deh, akhirnya kita ngobrol. Meskipun malu, pake banget. Ya gimana, itu kan masa lalu, saat gue belum dewasa sepenuhnya. Beda sama sekarang, gue udah dewasa, dan seharusnya gue berlaku dengan dewasa juga kan? Jadi gue buang aja tuh rasa malu dan gue coba bersikap biasa aja," kekehnya.

Adel masih mendengarkan Vica bercerita panjang lebar seraya memperhatikan wajahnya yang seperti anak SMA sedang jatuh cinta. Matanya penuh lope lope sementara suaranya juga berbunga-bunga dan ekspresi wajahnya... Ibu-ibu dapet diskon mah kalah, ekspresi wajah Vica itu yang terbaik. Sumpah.

"Jadi, lo udah bisa ngobrol biasa kayak temen gitu?" tanya Adel menyimpulkan.

Vica menganggukkan kepalanya.

"Terus dapet nomor Hpnya?"

Vica menggeleng.

"Bego!" hardik Adel.

"Vica, kalau lo nggak punya nomor Hpnya, obrolan kalian kemarin nggak akan bisa dilanjutin. Ah elah, kok lambat banget sih geraknya."

Vica menggerak-gerakkan bibirnya dengan kesal, "Gue nggak butuh juga kok. Lagian kemarin itu kayak acara reuni aja. Ya, gue seneng aja gue bisa mengatasi situasi dengan baik. Nggak ngarep bisa berhubungan sama dia lewat HP. Ya sebatas kalau nggak sengaja ketemu, bisa ngobrol gitu," jelasnya.

"Dan harus secerah ini muka lo waktu ceritainnya?" sindir Adel. Ekspresi wajah Vica langsung berubah datar. Wanita itu menyimpan tasnya dan membereskan meja kasir miliknya sementara Adel menggeleng-gelengkan kepala. Dasar. Ada-ada saja memang tingkah si Vica ini.

"Mantaaaan kehidupankuuuuuu... nasiiii kuning untukmuuuu.."

Belum reda telinga Adel karena cerita Vica yang tiba-tiba, suara Arshad malah menyusulnya dengan menyanyikan lagu Lyla-Mantan kekasih yang liriknya dia ubah sendiri. Astaga. Pria itu.

Vica bangkit dari duduknya. Ia menatap Arshad dengan penuh senyuman dan melambaikan tangannya, "Hai Shad! selamat pagiiii," sapanya.

Arshad yang baru saja menyimpan bungkusan di atas meja mengerutkan keningnya, "Dii, kamu lagi sakit?" tanyanya.

Vica menggeleng, "Nggak. Aku sehat kok. Sangat sehat malah."

"Ceria banget," komentarnya.

"Ya gimana nggak ceria Shad. Dii mu ini kemarin baru ketemu mantan gebetannya waktu SMP dan mereka berbincang-bincang banyak hal. Kabar mengejutkannya, si Vica ini katanya bisa mengatasi diri untuk nggak ngacir karena malu sama tumpukan dosanya," timpal Adel.

Arshad menatap Adel untuk memastikan lalu menatap Vica untuk meminta konfirmasinya, "Gebetan kamu? ah! Yang kata Mama dulu kamu kejar-kejar itu Dii?" tanyanya.

Adel mengiyakan sementara Vica melotot, meminta Adel untuk tak berbicara.

"Iya Shad, yang ngejar-ngejarnya sampe si Vica banting harga," timpal Adel lagi.

Arshad tertawa, "Jadi iri sama Masnya. Dulu sama aku, kamu mana mau banting harga Dii, jual mahalnya kebangetan. Diminta diskon aja nggak kasih," candanya.

Vica menjulurkan lidahnya, "Kamu kan nyebelin wleeee."

Arshad tergelak, "Iya ya, aku nyebelin. Bahkan sampe sekarang. Iya nggak Dii?"

Vica mengambil bungkusan nasi kuningnya seraya mengangguk, "Banget Shad. tobat sana, kan mulai tua," ledeknya.

Arshad tersenyum pedih tanpa Vica tahu.

"BTW gimana liburan kamu Shad?" tanya Vica.

Arshad duduk di hadapannya seraya mengerutkan kening, "Liburan apa Dii?"

"Yah itu, minggu kemarin kan kamu ulang tahun. Terus seminggu kamu ngilang, dan aku yakin kamu pasti liburan sama cewek-cewek kamu itu kan? Terus oleh-olehnya mana Shad?"

"Wiiii, tahu juga aku ngilang seminggu. Cewek emang gitu ya, selain ahli sejarah, ahli matematika juga. Pinter ngitung," katanya.

Vica berdecak. Mulai kesal.

"Kalau mau oleh-oleh Chat dong Dii, telpon. Jangan maunya dibawain aja," gerutu Arshad.

Vica mencebikkan bibirnya. Tuh kan, sikap menyebalkannya datang lagi. Memangnya kalau Vica chat, si Arshad mau bagaimana? Mau pamer kan pastinya?

"Males banget," desis Vica.

Arshad tertawa, "Jangan bilang males banget dong Dii. Bilangnya kangen banget," sahutnya.

Vica bergidik, "Ngimpiiiiii," katanya.

"Why not? Semua kan berawal dari mimpi."

"Hadeeeeeh, Shad. Shad. pagi-pagi udah nyepik-nyepikin anak orang aja."

Adel yang sempat menghilang dan membiarkannya berdua dengan Vica kembali dengan ucapannya yang tiba-tiba hingga Arshad menoleh dan tersenyum.

"Abis gimana, gue nggak ada kerjaan lain Del," katanya.

Sekarang Vica yang menimpali, "Makanya, ngantor lagi lah Shad. Kak Gilang pasti butuh kamu banget tahu. Kasian dia, ditinggal tiba-tiba."

Arshad berdiri dari tempatnya, ia menatap Vica dan tersenyum, "Kalau kamu yang butuh, pasti aku lakuin. Tapi kalau Gilang yang butuh, maleeees."

"HASEEEK PEPET TEROOS JANGAN KASIH KENDORRR," timpal Adel. Lagi-lagi.

Vica terdiam sementara Arshad menghampirinya dan mencubit pipinya, "Bye, Dii.. aku mau beli gorengan dulu ah ke Mang Ucu. Pake daleman dulu sebelum pake kaos. Tuh kaos kamu transparan, keliatan BH nya pink. Hahahahha."

Vica mendengus. Ia menatap Arshad penuh perhitungan. Sudah siap meledak, namun pria itu segera berlari seraya cekikikan tak jelas, persis seperti topeng monyet banget ya ampun larinya si Arshad ini, sedikit meloncat dengan suaranya yang aneh. Ugh, menyebalkan memang.

Tapi matanya tak lepas dari Arshad yang berlalu di sana. Seiring dengan hilangnya Arshad dalam jarak pandangnya,Vica mengerjapkan mata dan menelan ludahnya. Ia menghela napas untuk mengatur sistem pernapasannya yang terganggu. Efeknya masih sama, masih seperti ini. Tapi, kalau Vica bersikap seperti biasa... semua akan terlewati seperti ketika ia berbicara dengan Dimas kan? Meskipun jantungnya hampir jatuh ke perutnya, Vica tetap bisa menuntaskan semua obrolannya.


*****


"Halo Kak Dimas!"

Kalau boleh jujur, sebenarnya Aryan lebih senang Dewi tidak pulang ke Bandung. Bagaimana tidak, sejak ia pulang ke Bandung, pekerjaan Dewi hanya merecoki hidupnya saja. Alasannya sih tetap sama; katanya demi menghibur Aryan, katanya juga orang yang sedang kehilangan itu tidak boleh sendirian, nanti bunuh diri. Well, kalau Aryan sampai bisa bunuh diri segala, kenapa ia tidak bunuh diri dari sejak ia ditinggalkan oleh Ibunya saja dulu? Kan lebih enak, Aryan tidak usah merasa bahagia lalu kembali menderita saat kebahagiaannya menghilang selamanya.

"Masih pagi Wi," kata Aryan sekenanya. Ia sedang sibuk dengan desain terbaru yang sedang ia kerjakan.

Aryan memiliki sebuah bisnis clothing, dimana ia sudah punya pabrik konveksi sendiri dan beberapa cabang distro di Kota Bandung, Jakarta, Surabaya, dan satu lagi yang ia rencanakan bersama Irdina; Bali. Sayang sekali, rencana itu belum bisa terealisasi.

Setelah sekian lama tidak terlibat dengan proses produksi, akhirnya Aryan memulai kembali jalan hidupnya. Seperti apa yang ia katakan pada Vica bahwa hidup harus terus berjalan dan Aryan juga sedang berusaha melakukannya. Selain itu, bukankah melupakan sesuatu bisa dilakukan dengan cara menyibukkan diri?

Dan inilah yang ia lakukan. Bukan melupakan Irdina, melainkan melupakan rasa sakit untuk membuat dirinya bersabar dan mengikhlaskan semua yang terjadi dalam hidupnya. Karena sesungguhnya, belum sabar jika kita masih merasakan sakit, dan belum ikhlas jika semua hal masih terasa berat.

Ah, Aryan bisa mengatakan semua ini pada dirinya sendiri setelah ia benar-benar sadar. Kalau kemarin, mana bisa. Yang ia lakukan hanyalah menyendiri layaknya orang yang ingin mati.

"Justru masih pagi kak, aku dateng buat nyapa kak Aryan supaya hari-harinya menyenangkan."

Aryan menggelengkan kepalanya, "Aku udah nggak apa-apa kok Wi. Kamu nggak usah takutin hal yang macem-macem," katanya.

"Boleh bahas nggak?" tanya Dewi tiba-tiba.

Aryan masih sibuk dengan laptopnya, ia tak memperhatikan Dewi sama sekali namun ia masih bisa mendengar dan berbicara dengannya.

"Bahas aja."

"Kalau lagi kangen kak Irdina, Kak Aryan sedih?"

Aryan tersenyum tipis, "Kalau lagi begini sih ya biasa aja. Paling kalau lagi di rumah, sendiri, terus keinget. Ya sedih Wi, manusiawi kan itu."

Dewi menganggukkan kepalanya. Ia menepuk-nepuk pundak Aryan, "Puk-puk ya Kak. Kirim do'a aja, yah?"

"Hmm."

"Terus gimana kemarin ketemu Vica?" tanyanya tiba-tiba.

Aryan menjawab dengan suaranya yang datar, "Ya begitu aja."

"Begitu gimana ih? Jelasin dong."

Sekarang Aryan mengalihkan fokusnya dari komputer dan beralih pada Dewi, "Yah, kamu ketemu Vica gimana? biasa aja kan Wi. Seperti ketemu teman lama gitu."

"Wew, kemarin aku liat kalian ketawa-ketawa heboh tuh."

Mengingat hal itu, Aryan tersenyum tanpa sadar, "Gimana nggak ketawa. Dia masih tetep lucu abisnya, kita bahas kelakuan dia dulu Wi," sahutnya.

Mata Dewi memicing. Boleh tidak sih kalau Dewi berpikiran untuk menjodohkan Aryan dengan Vica? Kabar bagusnya, Vica sudah bercerai. Oke, sebenarnya bukan kabar bagus juga, tapi untuk kelangsungan hidup Aryan, itu sebuah kabar bagus kan? Bukan apa-apa, Vica kan sudah pernah menyukai Aryan, dan siapa tahu kalau wanita itu masih menyukai pria yang hampir menjadi kakak sepupunya ini. walaupun Vica sudah pernah menikah, tapi kan bukan itu yang terpenting. Lagi pula, kemarin pertama kalinya Aryan tertawa lagi sejak Irdina meninggal kan? Dipikir-pikir, kenangan konyol yang berada diantara mereka bisa membuat mereka berdua tertawa seperti itu, jadi tidak ada alasan lagi bagi keduanya untuk mencari bahan candaan. Dewi yakin, keduanya pasti sangat butuh tertawa kan?

Ya ampun... kenapa otaknya bisa berpikir secara brilian begini sih? Dewi jadi kagum pada dirinya sendiri.

"Kelakuan si Vica memang ajaib, segala ngasih gantelan kunci yang bentuknya bantal sambil bilang kalau sekarang dia kasih gantelan dulu, di masa depan dia bakal kasih bantal beneran buat kalian bobo berdua hahahahahaha gila tuh anak."

Aryan tertawa dengan keras, "Masih ada loh Wi, gantelannya."

"Serius kak?"

Aryan mengangguk, "Aku simpen," katanya.

Dewi tersenyum menggodanya, "Dulu sok jaim, padahal mau-mau aja ya kan. Sebell."

Menggelengkan kepalanya, Aryan menyanggah, "Bukan gitu juga sih Wi," katanya.

"Terus apa dong?"

Pria itu mengedikkan bahunya, tak mau menjawab dan malah fokus kembali dengan desain kaos yang sebelumnya ia buat.


****


"Vica, kamu ke Cigondewah dulu gih. Si Mang Ukin lagi sakit katanya, di sana nggak ada yang ngurusin."

Telpon dari Ibunya membuat Vica lesu. Sungguh, ke Cigondewah itu adalah kegiatan paling menyebalkan bagi Vica. Bagaimana tidak, lain hal nya dengan toko tekstil miliknya, toko ibunya di Cigondewah menjual kain-kain gulungan besar khusus untuk keperluan konveksi yang pegawainya rata-rata pria karena pekerjaannya lebih berat dan pengunjungnya juga selalu penuh, jadi sebentar saja diam di toko yang berada di sana, rasanya sudah seperti diam di tokonya selama sehari semalam. Lagi pula, kenapa juga Mang Ukin—adik ibunya yang mengelola toko itu harus sakit hari ini sih? lihat saja keluar, matahari sedang terik-teriknya. Ke sana pasti panas sekali.

Vica berjalan dengan kesal seraya mendumel habis-habisan. Rush hour coy! Susah dapet ojeknya. Vica naik apa dong? Naik Taxi? No! Mahal. Mending naik angkot saja. Tapi macet.

OKE! Kalau begitu Vica akan bersabar dan terus mencoba untuk memesan ojek online yang akan membawanya ke toko Ibunya.

Wanita itu berbelok pada toko minuman untuk membeli Jus yang terlihat sangat menyegarkan, cocok sekali untuk dijadikan penyegaran di siang hari begini.

Kepalanya menoleh dan ia melihat Arshad sedang nongkrong di depan toko yang berada di samping tempat Vica berdiri. Pria itu tengah membagi-bagikan rokoknya pada pedagang di sana, kemudian ia sibuk berbicara tak jelas seraya memakan makanannya. Dan lihatlah, kelakuan si Arshad ini bocah banget memang. Tangan kanannya memegang bakwan sedang tangan kirinya memegang lontong dan cabe rawit yang berada di sela-sela jarinya. Ya ampun. Pria itu...

"Eh, Dii, mau kemana?" tanya Arshad begitu ia berbalik dan mendapati Vica di dekatnya.

Vica mendengus. Si Arshad ini. Padahal kan dia sedang asik makan dan ngobrol. Kenapa juga harus nengok? Dan kenapa juga harus melihat Vica?

"Cigon," jawabnya begitu saja. Suaranya ketus, seperti biasa.

"Naik apa?" tanya Arshad lagi.

"Burok."

"Buseeet, ancur yang ada badan kamu. hahahaha."

BODO SHAD! BODO! BODO AMAT! Batin Vica.

"Ini neng jusnya."

Bersyukurlah Vica pada Ibu-ibu penjual jus yang sudah menyelesaikan pesanannya sehingga Vica bisa pergi dari Arshad tanpa perlu melanjutkan ucapannya.

Wanita itu berjalan meninggalkan Arshad begitu saja seraya memasukkan kembalian ke dalam dompetnya, ia tahu Arshad pasti menyusulnya. Pria tengil itu pasti melompat-lompat di hadapannya sehingga berjalan dengan cepat pun percuma bukan?

"Sama aku aja," ucap Arshad yang berjalan mendekatinya, menyamakan langkah kakinya dengan Vica dan menunggu Vica menjawabnya.

"Nggak mau ah. Sama aja bohong kalau sama kamu, macet. Males kalau naik mobil."

"Ya, siapa bilang aku naik mobil. Aku bawa motor kok hari ini."

"Eh. Aku juga nggak mau naik motor. Anginnya lagi kenceng."

"Ya udah kalau gitu kita naik bis aja. Biar aku bawa Damrinya dulu," sahut Arshad.

"Mas Edan," desisnya.

Arshad tertawa, "Ya udah makanya ayok. Mau pake becak juga, demi kamu aku kayuhin."

"Males."

"Kalau males, ya udah duduk di mobil Bang Shad ya, biar Bang Shad yang anterin neng Vica," godanya.

Vica mengerucutkan bibirnya. Aaaak, "Memang BANGSHAD sih anda! BANGSHAD!" pekiknya tertahan.

Arshad tertawa dengan kencang sementara Vica semakin kesal, tapi pria itu malah menarik tangannya dan membuat Vica mengikutinya. Ih, si Arshad ini apaan banget sih?

Tapi sebenarnya percuma juga kalau Vica menolak saat Arshad sudah segencar ini memaksanya. Ah, Hancur sudah penolakan yang Vica bangun dengan susah payah. Sia-sia saja upayanya. Ya Tuhan.


*****


Vica baru menyadari satu hal. Ada yang berbeda dari Arshad hari ini. Pria itu lebih rapi dari sebelumnya. Walaupun memang rambutnya masih terlihat agak acak-acakan, tapi setidaknya penampilan Arshad lebih manusiawi lah. Dia memang tidak memotong rambutnya, hanya saja Arshad sedikit merapikannya sehingga rambutnya yang tebal itu tidak terlalu menyeramkan. Untung saja gondrongnya si Arshad ini bukan gondrong seperti Thor. Kalau gondrongnya begitu, ugh... Vica yakin Arshad malah terlihat seperti kuntilanak tengil yang hobinya mengganggu manusia. Ah, dan satu lagi. Selain merapikan rambutnya, Arshad juga menghilangkan brewoknya dan hanya menyisakan kumis di wajahnya. Wow! ada apa ini? tumben sekali.

"Shad, kamu mau kondangan hari ini?" tanya Vica tiba-tiba.
Arshad menoleh dengan ekspresinya yang kebingungan, "Kondangan? Nggak kok."

"Terus kenapa kok rapian?" tanyanya.

"Emangnya aku nggak boleh rapian Dii?"

"Yah nggak gitu juga. Cuman memang tumben aja, biasanya kan keliaran dengan rambut acak-acakan, terus bewokan juga."

Tangan Arshad terulur menuju kepalanya dan tanpa Vica duga, pria itu mengacak-acak rambutnya seraya tertawa, "Ciee, merhatiin aku banget."

Mata Vica melebar. Ia menatap Arshad penuh perhitungan, hampir meledak namun laju jantungnya tak karuan hingga akhirnya ia hanya bisa tergagap-gagap, tapi Vica harus tenang kan?

Setelah memejamkan matanya, wanita itu menghempaskan tangan Arshad dari kepalanya, "Iiih nanti rambut aku berantakaaan," Protesnya.

Arshad tertawa, "Masih rambut. Bukan hidup."

"Yeu, itu mah kamu kali. Hidupnya berantakan," ledek Vica.

Arshad tersenyum pedih, "Memang," sahutnya.

Suaranya datar dan tanpa nada tetapi mampu membuat Vica menelan ludahnya dan merasa bersalah karena ia sudah mengungkit kata 'Hidup Arshad yang berantakan' di depan pria itu.

Sementara Arshad, pria itu bergumam, "Apalagi setelah kamu rapiin, lalu aku berantakin lagi Dii."

Vica sibuk memperhatikan jalanan di luar sehingga ia benar-benar tidak mendengarkan apa yang baru saja Arshad katakan.


*****


Aryan harus berkonsentrasi kembali dengan pekerjaannya. Ia harus membangun rutinitasnya yang dulu lagi supaya ia bisa terbiasa dengan semuanya. Pria itu keluar dari toko kain seraya melihat catatannya. Ia menunggu salah satu karyawannya yang masih sibuk berada di dalam seraya melihat-lihat sekitar. Ada banyak sekali toko di wilayah ini. beruntungnya, Aryan tak pernah membawa Irdina ke sini karena gadis itu alergi terhadap debu sehingga tempat kain begini bukan tempat yang aman baginya. Bayangkan saja kalau Irdina pernah kesini bersamanya. Aryan yakin, ia tak akan pernah bisa menginjakkan kakinya dengan ringan di tempat ini.

Baiklah. Mau seperti apapun ia mencoba untuk menjalani hidupnya, bayang-bayang Irdina akan tetap ada bukan? Jadi yang harus Aryan lakukan adalah bertahan dan tetap kuat.

Menggelengkan kepalanya, pria itu tersenyum geli dengan pemikirannya sendiri.

Ia menoleh pada toko di belakangnya lagi dan memberikan sinyal pada pegawainya untuk memberitahukan bahwa Aryan akan menunggu di parkiran saja. Pria itu berjalan, namun langkahnya terhenti, ia menatap seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

Hey, itu kan...



TBC



HEY, ITU KAN TEBECE HAHAHAHHAHAHAHA

Kesel gak? Kesel gak? Kesel gak? Wkakakaka

Oke, udah jam pulang kantor ini. aku harus segera pulang. Jadi aku ga akan bahas banyak hal.

Kasih tau kalau ada typo, salah kata, salahnama, atau salah perbuatan ya.

Dah, aku sayang kalian :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro