S E M B I L A N B E L A S
"Shad... bentar. Aku... deg degan."
Vica serius dengan apa yang dikatakannya. Ia memang degdegan! Bukan degdegan karena ia mempunyai jantung yang memompa darahnya, bukan. Tapi degdegan yang membuat Vica merasa resah, yang iramanya tak seperti biasanya, yang efeknya membuat mata Vica mengerjap tak percaya.
Wanita itu menatap Arshad lagi, ia bahkan tak segan-segan untuk maju dan menggenggam tangan Arshad secara tiba-tiba.
Vica menelan ludahnya, dengan ragu ia menatap Arshad dan meminta, "Coba bales genggaman aku, Shad," katanya.
Arshad kebingungan, tapi dia menurutinya. Pria itu menggenggam tangannya, mengisi kekosongan di sela jemarinya—kedekatan pertama setelah sekian lama sejak Vica selalu mengusirnya jauh-jauh dari hidupnya, dan apa yang sekarang Vica rasakan malah membuatnya tak bisa berkata-kata.
Tadi pagi ia bahkan sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama Aryan. Dua bulan belakangan, vica sangat bahagia karena ia bisa dekat kembali dengan gebetannya semasa sekolah. Cubitan Aryan di pipinya juga membuat Vica hampir berteriak kegirangan, bahkan Vica yakin kalau ia Arshad, ia akan melompat-lompat seperti monyet saking senangnya. Tapi sekarang... ketika getaran itu kembali ia rasa, ketika Arshad menggenggam tangannya, Vica menyadari satu hal.
Buru-buru ia melepaskan tangannya, "Lepas kali, rabies kalau lama-lama," gerutunya. Mencoba bersikap biasa-biasa saja. Beruntung tangisnya sudah berhenti jadi Vica bisa bersikap cuek semudah itu.
"Dasar. Yang pengen dipegang juga siapa coba?" kata Arshad. Meledek Vica sih, tapi suaranya itu loh. KEMANA SUARA TENGILNYA? KENAPA SUARA ARSHAD MALAH TERDENGAR LEMBUT BEGINI SIH?
"Awas ah! Aku mau pulang!"
Buru-buru Vica berdiri dan mengusir Arshad. Ia bahkan mendorong Arshad untuk keluar dari tokonya. Pria itu berhenti sejenak. Ia mengangkat tangannya kemudian terkekeh, "Nggak usah diusir, mau pergi sendiri kok. Kan kamunya udah nggak nangis."
"Mampus, jadi bahan bully an besok," gerutu Vica.
Arshad tertawa, dengan lepas, dan ringan. Sekilas Vica terpana karenanya. Sesungguhnya tawa ini jarang Vica lihat, karena tertutup dengan tawa tengil menyebalkan miliknya. Hih, sebal juga kalau ingat tawa Arshad yang satu itu.
"Nggak kok Dii, bahan bully an bukan ini aja," kekeh Arshad. Vica mencibirnya.
"Tapi btw, aku baru aja kepikiran satu hal."
Vica menatapnya dengan tatapan nyolot, "Apa?"
"Coba aja ya, kalau setiap kamu nangis aku kayak barusan," kekehnya.
Vica menelan ludah, sedang Arshad tak berusaha untuk menjelaskan. Ia malah melambaikan tangan dan berjalan seraya tertawa seperti biasa. Pria itu masuk ke dalam ruangannya. Ia menutup pintu dan tak menoleh pada Vica sama sekali.
Tanpa Vica tahu bahwa di balik pintu, Arshad menertawakan dirinya sendiri.
Jika saja memang yang ia lakukan Sembilan bulan lalu adalah mendampingi Vica, menghiburnya, dan mengomelinya karena terus menerus menangis, mereka tak akan seperti ini.
Penyesalan itu menyeramkan bukan?
****
Aryan menatap ibunya tak suka, "Mama, keperluan mama ke sini hanya minta uang Ma. Jadi kenapa Mama harus mencampuri urusan Aryan?" tuntutnya.
Ibunya mencibir, "Kamu ini gimana sih. Mama kan ibu kamu, ya wajarlah kalau Mama ikut campur. Lagian memang bener kok, cewek barusan nggak ada bagus-bagusnya. Kamu kan sampe mau gila ditinggal Irdina, harusnya kamu dapetin ceweknya artis atau siapa kek yang kaya banget, bukan cewek barusan yang tampilannya aja biasa-biasa aja."
Satu hal yang membuat Aryan selalu membenci ibunya sendiri adalah... dia berlaku layaknya seorang ibu ketika sebenarnya dia tak pernah melakukannya.
"Aryan nggak pernah mengomentari suami Mama, calon suami Mama, atau bahkan mantan suami yang Mama biayai sampai sekarang. itu bukan urusan Mama, jadi Aryan minta hal yang sama. lagi pula, sejak kapan Mama jadi Ibu buat Aryan? Kerjaan Mama bukannya cuman lahirin Aryan, tinggalin Aryan, dan sekarang porotin Aryan?!"
"ARYAN DIMAS!" teriak Ibunya.
Aryan tersenyum miring, "Memang bener kan Ma? Kalau kita nggak ada hubungan darah, Aryan bener-bener mau mutusin hubungan kekeluargaan kita. Tapi sayangnya, Mama ibunya Aryan. Bagaimana pun juga Aryan nggak bisa durhaka, bisa masuk neraka nanti," katanya.
Pria itu berbalik untuk pergi, tapi ia menatap ibunya sekali lagi, "Asal Mama tahu. Seberapa muaknya pun Aryan sama Mama. Aryan tetap sayang sama Mama."
Setelah mengucapkannya, Aryan memberikan sebuah ATM pada ibunya dan berkata, "Mama nggak usah hubungin Aryan lagi kalau butuh uang. Penghasilan dari toko Aryan yang di Jakarta masuk ke rekening itu," ucapnya.
Ia benar-benar meninggalkan ibunya. Aryan keluar dari ruangannya karena ia benar-benar tidak enak juga sudah meninggalkan Vica terlalu lama. Terlebih lagi Vica juga sudah dibuat tak nyaman oleh ibunya. Tapi ketika Aryan kembali, Vica malah sudah tidak ada.
Merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel, Aryan menghubungi Vica.
Tidak diangkat.
Oh Tuhan, apakah Vica baik-baik saja?
*****
Ini pasti gara-gara Arshad playboy!
Playboy kan pintar menjual banyak hal. Pesonanya, dirinya, hartanya, caranya berasmara, kata-kata gombal, dan kata-kata pujian yang tadi Arshad berikan kepadanya. Benar kan? itu memang Arshad nya saja yang ahli membuat wanita seperti itu. Makanya Vica jadi deg-degan kan?
TAPI ARSHAD BENAR-BENAR TULUS, VICA! Batinnya meneriakinya habis-habisan.
Benar, Arshad terlihat sangat tulus. Vica bahkan bisa merasakannya. Pria itu serius mengatakan semuanya pada Vica, ia bahkan menggenggam tangannya dan menatap Vica dalam-dalam. Persis dengan apa yang dilakukan olehnya ketika ia melamar Vica.
Arshad menggenggam tangannya, menatapnya, tersenyum padanya seraya berkata, "Dii, aku memang belum bener-bener amat jadi manusia, tapi niat aku buat nikahin kamu udah paling mantep. Kamu mau nggak Dii, nikah sama aku? kalau kamu nikah sama aku, bebas loh kamu marahin dan siksa aku, kalau sekarang waktu kita kenal begini kan kamu pasti banyak batasin diri kan Dii? Ya, walaupun orangtua kamu yang mendesak sih, hehehehe tapi aku nggak kepaksa kok, serius deh."
SUMPAH! Kenapa juga Vica harus mengingat-ingat itu sih?
Menggelengkan kepalanya, Vica mencoba untuk mengusir pikirannya yang tidak-tidak. Ia berdiri untuk meraih ponselnya yang masih berada di dalam tas.
Lima panggilan tidak terjawab.
Dari Aryan.
Ah, Aryan ya?
Menghela napas, Vica melemparkan ponselnya begitu saja.
Ia belum siap berhubungan dengan Aryan. Bukan apa-apa, Vica malah merasa malu dengan dirinya sendiri, sungguh.
****
"Gelisah banget."
Aryan menoleh dan terkekeh melihat Arshad mendapatinya tengah mondar mandir seraya memegang ponselnya.
"Kapan dateng?" katanya.
"Baru aja."
"Oh. Duduk Shad, duduk. Lo mau pesen minum apa?"
"Kopi aja lah, yang paling pait," sahutnya.
"Gue juga berarti," sahut Aryan.
Pesanannya ia sampaikan pada karyawannya dan ia duduk di hadapan Arshad. Tapi bukannya berbincang, keduanya malah terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Lama mereka terdiam hingga Arshad mengeluarkan suara, "Lo kenapa Yan?" tanyanya.
Aryan tersenyum getir, "Ibu gue bikin masalah," katanya.
"Apaan?"
Aryan mengangkat kedua bahunya, "Gue lagi bareng cewek tadi, terus ya Ibu gue bandingin dia sama Irdina. Ya, nggak nyaman aja. bahasa ibu gue nggak ngenakin."
"Bhah. Lo udah mulai jalan sama cewek? Eh, yang temen makan siang lo itu?"
Aryan mengangguk seraya tersenyum, "Dia bener-bener luar biasa sih. Karena bareng-bareng terus sama dia, gue jadi berasa hidup lagi."
"Buset. Ngiri gue, hahahaha."
Aryan tersenyum tipis. Ia terdiam lagi, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Aryan membuka banyak hal pada seseorang selain Irdina. Ia menceritakan bagaimana masalah yang datang padanya hari ini, dan Aryan bahkan menceritakan hubungannya dengan ibunya kepada Arshad. Mereka sibuk bercerita dan mendengarkan hingga tak sadar kopi yang mereka pesan sudah berada di atas meja.
"Tapi setidaknya lo beruntung Yan, masih punya Ibu," kata Arshad dengan iri.
"Gue nggak punya siapa-siapa Yan, serius. Gue cuman punya diri gue dengan rasa pengecut yang berada diambang maksimal."
Aryan tertawa, "Ngapain juga lo jadi pengecut kalau lo bisa jadi pemberani, Shad."
Arshad tersenyum getir, "Iya. Ngapain juga ya? Dari semua hal yang bisa gue lakukan. Gue malah pilih jadi pengecut."
Keduanya terdiam lagi, kini mereka sudah menyadari kopi yang mereka pesan sudah sampai. Arshad menyesapnya, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, menatapnya dengan kosong dan berkata, "Untuk pertama kali setelah sembilan bulan kehilangan hidup gue, hari ini gue ngerasa hidup lagi Yan."
Aryan mengerutkan keningnya, meminta penjelasan lebih pada Arshad.
"Gue bisa meluk dia, erat dan lama, bisa genggam tangan dia, ditambah lagi, gue juga bisa cium kepalanya, dan bahkan bisa tatap matanya dalam-dalam, lama."
"Kok bisa?"
Arshad mengangkat kedua bahunya, "Dia lagi sedih, karena memang lagi ada gue di situ makanya gue yang dia peluk. Tapi... gue malah bersyukur sama Tuhan karena gue yang ada di sana. Karena gimana pun juga, udah sejak lama gue pengen peluk dia, tapi nggak bisa."
Melihat Arshad, Aryan yakin kalau keresahannya hari ini bukanlah apa-apa.
"Memangnya hubungan lo sama dia apa sih Shad?"
Arshad menghela napas, ia menyesap kopinya lagi dan berkata, "Mantan istri Yan."
Sebuah keterkejutan muncul di mata Aryan. Serius? Mantan istri?
Aryan kira. Oh tidak, ia sudah gila! Aryan pernah mengira Arshad tak mau serius kepada pacarnya yang meminta sebuah pernikahan, tapi ternyata...
"Kami pernah menikah, dan sangat bahagia. Gue bahkan merasa nggak butuh apa-apa lagi karena punya dia. Bukan dia aja, keluarganya juga berkah banget buat gue. Gue yang nggak punya siapa siapa ini Yan, jadi punya banyak keluarga, punya istri yang cinta sama gue, dan punya Ibu yang sayang sama gue, bahkan kata dia, ibunya lebih sayang sama gue dibanding sama dia."
Arshad tertawa, tapi air matanya malah menetes. Sial. Ia tak menyangka kalau dirinya secengeng ini.
Untuk menenangkan dirinya, Arshad menyesap kembali kopinya. Ah, akan lebih menyenangkan kalau yang masuk ke tenggorokannya adalah alkohol, bukan kopi. Tapi Arshad tak pernah ingin menyentuh minuman itu lagi. Ia sudah berjanji.
"Terus kenapa lo bisa pisah?"
"Dia hamil, kita bahagia banget. Tapi ternyata hamil kosong. Jadi dia keguguran. Salah gue juga sih Yan, hari dimana dokter bilang begitu, gue malah nangis depan dia."
Aryan menelan ludahnya. Ia menatap Arshad seraya meringis. Bahkan penderitaannya bukan apa-apa dibanding penderitaan Arshad. Ya, walaupun tingkat kesakitan bagi seseorang itu berbeda, tapi level kesakitan yang dialami Arshad ini jauh berada di atasnya.
"Dia mungkin merasa bersalah sama gue, kita sama-sama merasa bersalah Yan. Tapi gue yang paling bersalah di sini. Hari ini, waktu dia nangis di pelukan gue, gue menyadari satu hal. Bahwa seharusnya yang gue lakukan waktu itu adalah meluk dia dan nangis bareng dia, sama-sama lewatin kesedihan kita, tapi gue malah egois."
"Alih-alih nangis bareng dia, gue menyerah hanya karena setiap gue samperin dia, dia nggak mau bicara sama gue, setiap gue masakin makanan buat dia, berakhir di tong sampah karena dia nggak makan, akhirnya kami malah sibuk dengan penderitaan kami sendiri. Dia sibuk jahit baju berpuluh-puluh, gue sibuk gambar-gambar berlembar-lembar, bahkan gue menyentuh kembali apa yang dia benci; rokok."
Tatapan Arshad melambung jauh pada saat-saat kegagalannya bersama Vica. Ia sudah terlanjur menceritakannya, sekalian saja ia ceritakan semuanya. Lagipula Aryan juga tidak tahu siapa yang Arshad bicarakan. Lain halnya dengan Gilang.
"Kata Ibunya, masalah anak gampang, kita bisa bikin lagi, terus gue ke dokter Yan. Gue periksain kesehatan gue, dan tahu nggak apa kata dokter?"
"Gue nggak bisa buat dia hamil."
Aryan terkejut sekali lagi.
"Dokter bilang ini karena pola hidup gue yang nggak sehat, sebelum nikah sama Dii, gue mabok-mabokan, ngerokok nggak tahu diri, makanya jadi ngaruh ke kesehatan gue. Sebenernya kehamilan dia ini sebuah keajaiban, karena mungkin gue berhenti, gue jadi sehat. Tapi begonya, di saat keterpurukan kita, gue ngerokok lagi, makanya kondisi gue ini jadi nggak tertolong Yan."
"Dan lo milih pisah karena lo nggak bisa buat dia hamil?"
Lagi, Arshad tersenyum getir, "Di saat gue yakin bahwa gue bisa hibur dia dengan bilang kalau kita bisa usaha lagi untuk anak, gue malah nggak bisa kasih itu. Satu-satunya harapan dan kebanggaan gue hilang Yan, gue bisa apa? nggak ada lagi cara buat memperbaiki hubungan kita."
"Tapi dengan lo pergi gitu aja bukannya malah nyakitin dia? seolah dia nggak bisa hamil, lo malah ninggalin dia?"
Arshad menggeleng, "Bukan begitu kejadiannya. Waktu itu ada temen gue, dia lagi mabok, dan datengin gue, tiba-tiba malah cium gue. Dii liat. Sebenernya Dii pun tahu, kelakuan temen gue yang satu itu, dan dia selalu maki-maki temen gue karena masih gangguin gue, tapi mungkin karena dia lagi ada di titik terendah, dia nggak kuat."
"Malem itu, untuk pertama kalinya kami bisa bicara lagi. Gue kira dia mau baikan sama gue supaya gue bisa bilang kalau gue nggak bisa bikin dia hamil, tapi dia malah bilang kalau dia nggak kuat lagi liat gue."
"Lo bayangin Yan. Dia yang selalu bilang cinta dan sayang sama gue, sambil nangis dia bilang kalau dia nggak kuat liat gue. Terus gue bisa apa? ada di samping dia dengan tak tahu diri? Nyiksa dia yang ada."
****
Kania, saya mau minta maaf. Ibu saya memang begitu, beliau kalau ngomong seenaknya bnget. Bukan sama kamu aja, sm saya jg gitu. Heu.
Kalau udah baca Chat ini, bisa miskol saya gk? Biar saya telpon kmu.
Vica menatap pesan yang belum ia balas sejak kemarin. Bukannya tidak mau membalasnya, Vica bingung saja harus berkata apa pada Aryan. Masalahnya, ia juga punya keresahan sendiri yang harus ia selesaikan dahulu dengan dirinya sendiri, dan untuk menghubungi Aryan sekarang... jujur, Vica malu. Karena sekarang ia sadar tempatnya dimana, jadi ia rasa ia juga tak bisa seperti kemarin-kemarin lagi. Ah, menyebalkan memang.
"Wih, kok ekspresi liat HP nya nggak kayak kemaren-kemarin sih Vic? Biasanya lo liat HP sambil cengar-cengir," ucap Adel begitu saja. Ia duduk di sebrang Vica dengan ekpresi penuh tanya.
Menghela napas, Vica menatap Adel dan berkata, "Gue malu Deeel."
"Malu kenapa?"
"Malu sama kelakuan gue sendiri," akunya.
"Emang kelakuan lo apaan?"
Vica menggelengkan kepalanya, "Gue godain kak Dimas habis-habisan, berasa anak SMA yang baru puber, nggak tahu malu, nggak tahu diri, padahal... Ya Allah. Padahal Del, padahal gue jandaaaa," kata Vica. Ia menutup wajahnya saking malunya berbicara begitu pada Adel.
Tapi alih-alih menenangkannya, Adel malah menertawakannya, "Kok lo bisa sadar begitu?"
Vica mengerucutkan bibirnya, "Kemarin gue ketemu Mamanya kak Dimas. Katanya ya Del, bagusan Mbak Irdina kemana-mana, katanya lagi... kalau mau lupain Irdina, jangan sama gue, yang ada kak Aryan makin inget sama dia. Buset, emangnya dikira emaknya gue apaan? Pelarian?"
Adel tertawa sumbang, "Bukannya memang iya?"
"Hah?"
"Tanya aja sama kak Dimas lo itu. Dia jadiin lo pelarian nggak?"
"Del, sumpah ya jahat banget."
"Ya, mana tahu lo juga jadiin dia pelarian?"
Mata Vica membulat, "Mulut lo belum pernah disambelin ya Del?"
Adel mencebikkan bibirnya, meledek Vica dan itu semua membuat Vica kesal padanya.
"Tapi kok lo nggak nangis sih? dibanding-bandingin gitu nggak melukai harga diri lo?"
"Udah puas kali nangisnya. Gue sampe rendahin diri gue serendah-rendahnya tahu Del. Tapi kata Arshad juga, gue itu berharga, jadi nggak usah pikirin apa kata si emak-emak itu."
"Hah? Kumaha? Kok bisa kata Arshad?"
"Iya. Kemarin kan gue minta lo tutup toko, terus gue sedih banget. Gue nangis di sini, kebetulan banget ada Arshad."
"Terus lo cerita gitu sama dia?" tanya Adel tak percaya.
Vica menganggukkan kepalanya, "Arshad bilang katanya gue harus percaya diri, soalnya gue itu berharga, gitu del."
"Goblok," desis Adel.
Vica tak mendengarnya karena suara derit kursi yang dipindahkan oleh karyawannya di toko.
"Tapi BTW Del. Arshad ini, emang playboy banget deh."
"Maksud lo?"
"Kemarin dia bisa banget ngejual gue dengan sangat menjanjikan sampe-sampe. Gila, Del. Kemarin gue degdegan! Whah, gue sampe megang tangan dia buat mastiin, dan gue emang deg-degan. Ini kayaknya dia emang ahli deh bikin cewek deg-degan. Iya nggak sih?"
Menggelengkan kepalanya, Adel menatap Vica dan berkata, "Orang paling bego itu biasanya dibilang goblok, tapi kasusnya, lo ini bukan goblok Vic. Tapi GUOOOOOOBLOOOOOOK!!!! Nggak ketulungan banget! Istighfar gue Vic, Istighfar!"
"Ih, Del kok malah ngatain gue sih lo?!"
Adel berdecak, "Ini gue hampir ngamuk-ngamuk sama lo dan jelasin semua hal yang kayaknya selama ini nggak masuk daya tangkap lo, tapi nggak bisa. Ini nggak adil. Lo harus sadar dengan sendirinya, bukan dengan cara gue sadarin lo."
"Gue sayang sama lo Vic, sebagai sahabat lo, gue nggak mau apa yang gue beberin malah bikin lo malu sama gue hingga hubungan kita jadi nggak enak nantinya."
Vica mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti.
"Dah, sana jahit baju. Pesenan banyak nih," kata Adel.
Vica menepuk jidatnya. Benar juga, pesanan bajunyaaa...
TBC
Melihat respon part kemarin, aku menyimpulkan; KALIAN JAHAT YA! VICA INI LOH LAGI MERASA RENDAH DIRI, MALAH DITAMBAH-TAMBAHIN~ wkwkwk
Tapi aku kasih tau ya. KITA INI BERHARGA. AKU BERHARGA. KALIAN BERHARGA. Udah, itu aja. kenapa? Karena kemarin-kemarin aku hampir gila dengan masalah rendah diri.
Ada cowok yang aku suka gitu ders, tapi dia jauuuuh gitu dari aku sampe aku mikir, "Cikan. Riska, maneh teh ngomong sama kaca! Berkaca! Lo punya apa sih, sampe mikir dia mau sama lo?"
BLAEM! JEDAW! Sedih mikirnya tuh gaisss. Sedih. Tapi itu tuh nggak boleh tahu! Sekarang mah aku juga udah sadar. Kalau ada yang tanya "Lo punya apa blablabla." Ya jawab aja: AKU PUNYA DIRIKU YANG HEBAT. YANG MELEWATI SEMUA COBAAN DALAM HIDUP AKU. YANG TETAP BISA BERTAHAN SAMPAI SEKARANG. DAN BAHAGIA DENGAN APA YANG AKU PUNYA."
HASYEEEK BAHASANYAAA! Wkwkwkwk ini ucapinnya ke diri sendiri ya, jangan ke orang lain nanti yang ada mereka nyinyir hahahaha
Oiya, nggak ada yang salah dengan menjadi janda. Sama sekali nggak salah, dan cara vica berkaca ini jangan jadikan sebuah sindiran, soalnya beda konteks ya :)
Inilah sebuah tips untuk hari ini.
Hmm... Pagi-pagi di hari minggu ini aku ngetik secara langsung 9 halaman tanpa jeda sama sekali. Punggung ampe sakit ini pegel banget. Wew, hebat banget. Mana pagi di hari minggu ini kuhabiskan dengan cara menangis karena nulis ini lagi. Sedihnya jadi penulis kayak jadi pengagum rahasia; jatuh cinta diam-diam, terluka diam-diam, menangis diam-diam. HALAH HAHAHAHAHAHAHA
Tau gak aku kira sekarang hari minggu! Ya allah.
Tadi bangun subuh mau siap-siap anterin adek sekolah, terus mikirin menu apa yang mau aku masak hari ini buat ke kantor, taunya pas lagi di WC mama aku bilang, "Teh, lari yuk!" bingung kan, gila aja lari sebelum kerja, ngantuk yang ada. Terus aku tanya, "Ngapain Mama ngajak lari, sekarang hari apa?" dan SEKETIKA AKU TERSADAR BAHWA INI HARI MINGGU WKWKWKWKWK
Apaqa aku merindukan hari senin? Busetdah wkwkwkwk
Oiya untuk cerita ini, aku minta maaf kalau yang kuberikan pada kalian adalah air mata dan kesedihan HAHAHAHAHA
Nggak nyangka juga malah sesedih ini, padahal niatnya mau lawak, apa banget ya wkwkwkwk
Mungkin karena suasana hati juga kali ya, sekarang aku lagi mood bikin yang sedih-sedih, ya walaupun kelemahan aku adalah kurang bisa membuat cerita sedih yang bikin orang nangis tersedu-sedu wkwkwkwk
Bikin ketawa mah gampang, bikin nangis yang susah.
Bikin dia ketawa, gampang. Aku bertingkah konyol aja.
Tapi bikin dia nangis, susah. Aku nggak seberarti itu untuknya. HASSSSYEEEEK!!!
YA UDAH DEH SEGITU DULU AJA.
SELAMAT HARI MINGGU, SEMOGA KALIAN MENDAPAT APA YANG KALIAN TUNGGU-TUNGGU! AAMIIN YA ROBBAL ALAMIN.
DAH...
AKU SAYANG KALIAN! :* MWAH!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro