S E M B I L A N
Sudah satu minggu Arshad tak menunjukkan batang hidungnya, namun nasi kuning kirimannya tetap sampai dengan selamat pada Vica. Wanita itu sempat bertanya-tanya, kemana Arshad pergi, lalu kemudian ia mengambil kesimpulan; Arshad pasti sedang berlibur bersama wanita yang ia koleksi. Meskipun dia bilang sudah memutuskan semuanya, tetap saja... wanitanya Arshad itu mati satu tumbuh seribu kan?
"Neng Vica, olah raganya di sini aja atuh, kita senam."
Suara Bu Aminah membuat Vica yang baru saja menutup pintu pagar menoleh. Ia melihat sekumpulan Ibu-ibu komplek sedang bersiap untuk senam pagi. Tahu tidak, yang menyebalkan dari acara senam pagi rutin milik ibu-ibu ini adalah... mereka sampai menutup jalan segala. Sumpah! Memang sih komplek juga komplek mereka, senamnya juga di depan rumah mereka, tapi karena menutup jalan begini, Vica harus selalu mempersiapkan diri untuk memarkirkan mobilnya jauh-jauh sejak pagi hari kalau-kalau ia mau pergi. Untung saja, sekarang ia lebih senang memakai gojek sehingga Vica tak harus kerepotan dengan acara menutup jalannya ibu-ibu.
"Nggak apa-apa bu, saya lebih seneng lari," sahut Vica, menjawab pertanyaan bu Aminah.
"Iya Ceu, atuh ya biarin aja Neng Vica lari. Lagian kalau senam juga buat apa."
"Bener Ceu, kan hari ini kita mau senam kegel. Buat mengencangkan otot bawah. Atuh Vica mah da suaminya juga nggak ada, kenceng juga buat siapa."
"Bener nya, da nggak akan digempur. Hahahaha."
Ajang bercandaan Ibu-ibu yang berada di sana membuat Vica mengusap dadanya, mencoba untuk bersabar. Ya Tuhan, Ibu-ibu ini... kenapa sih kalau terhadap janda, perilakunya begini sekali? oke, anggap saja mereka bercanda. Tapi, ya nggak segitunya juga! Memangnya sedekat apa Vica dan mereka hingga bercanda saja bisa sampai seperti ini? kalau Adel yang mengatakannya, Vica mungkin akan tertawa. Jelas, karena mereka dekat, tapi ini kan...
"Udah dulu ya Bu, kalau larinya siang. Keburu penuh," ucap Vica seraya berlalu begitu saja. mulutnya mendumel. Ia bersumpah bahwa Ibu-ibu yang katanya mau mengencangkan otot bawahnya untuk digempur itu akan mendapat balasan yang setimpal. Oke, misalnya mungkin alih-alih mengencangkan... malah sakit badan?
"Hahahaha, jahat juga," gumamnya.
****
"Shad! Maneh mau gini aja?"
Gilang menendang halus tubuh Arshad yang masih menggulung di dalam selimut. Saat dimana Arshad bersikap sangat menyebalkan itu datang hari ini, di saat yang tidak tepat sekali. Tahu-tahu kemarin sore Arshad datang ke kantornya dengan penampilannya yang kuyu, rambutnya yang semakin gondrong tak terurus dan kumis juga brewoknya yang terlihat mengerikan karena pria itu tidak bercukur. Menyebalkannya, sejak mendatangi kantornya kemarin sore, Arshad belum juga beranjak dari tempatnya. Pria itu menggulung dirinya dalam selimut, tidak makan, tidak minum, tidak ke kamar mandi, atau bahkan mungkin tidak bernapas?
Buru-buru Gilang membalikkan tubuh Arshad, namun tubuhnya terperanjat, bola matanya melebar dan Gilang berteriak, "ANJIR! ARSHAD!!!!"
Bagaimana tidak terkejut. Saat Gilang membalikkan tubuh Arshad, mata pria itu melotot—oke maksudnya terbuka namun karena Arshad tak berkedip, jadi Gilang kaget juga melihatnya, ditambah lagi si Arshad ini tidak menampilkan ekspresi apa-apa karena tatapannya juga kosong! Ya Tuhan, sungguh. Tatapan si Arshad ini kosong. Dia sedang melamun, sampe digeber gitu aja nggak bisa sadar.
"WOY!" Gilang berteriak lagi. Kali ini Arshad bangkit. Pria itu duduk, menatap Gilang dan bertanya, "Apa?"
"AI SIA CAGEUR?" (Lo sehat?! Sia: artinya kamu, tapi kasar.)
Sudah dibentak begitu, Arshad malah menggerak-gerakkan bibirnya seraya menggaruk rambutnya, gaya orang-orang ketika bangun tidur.
"Gue pinjem baju lo ya, mau olah raga Lang. Hari Minggu gini kan jadwalnya Vica lari ke Gasibu," katanya.
Gilang menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan cara pikir Arshad, "Kalau lo masih aja nemenin Vica lari di hari minggu begini, ngapain lo cerai bego?!"
Arshad tidak menjawab. Pria itu malah tersenyum tipis dan berlalu begitu saja dari hadapan Gilang.
"Ya Tuhan, untung aing udah nikah. Nggak akan kualat kalau maki-maki duda," gumamnya.
*****
Lucu, ketika aku menyusuri jalanan yang pernah kulalui bersamamu hanya untuk menghidupkan semua kenangan tentangmu dalam hidupku.
Perih memang, karena ketiadaanmu menyakitkan kenangan itu
Sakit, benar. Karena kehilanganmu... keberanianku pupus untuk sekedar berjalan di jalanan yang pernah kita lalui dulu.
Namun ada kalanya bibirku tersenyum,
Mengingatmu.
Yang tersenyum
Ketika melalui jalan ini bersamaku.
Dulu.
Arshad duduk dengan wajahnya yang cekikikan ketika melihat Vica dari kejauhan tengah membungkuk dengan napasnya yang tersengal-sengal. Wanita itu bakatnya memang bukan di bidang olah raga karena baru setengah lapangan berlari saja, ia sudah kelelahan. Padahal Vica melakukannya setiap minggu, tetapi masih saja belum ada peningkatan. Dasar.
"Sanaa. Samperin. Temenin olah raga, bukan ngeliatin di sini kayak emak lagi ngeliatin anaknya baru pertama masuk sekolah."
Suara yang menginterupsinya membuat Arshad menoleh. Gilang di sana, ternyata ia mengikutinya.
"Ngapain lo kesini?" tanyanya.
"Gue mau olah raga lah. Emang maneh, kesini buat ngintipin cewek."
Arshad mendengus, "Ya udah sana olah raga. Ngapain malah duduk di sini?"
Gilang menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Mana tahu sebelum olah raga lo mau curhat dulu sama gue? Semisal kayak lo merindukan malam-malam dingin lo tanpa pelukan Vica?"
Dengan kencang, Arshad menoyor kepala Gilang dan berlalu dari sana sementara Gilang mendesis, "Woy! Gue mau jadi Bapak woyy! Ntar nggak lucu kalau aing jadi bapak yang belegug kalau ditoyor begini!!"
Mendengar hal itu, Arshad kembali dan menatap Gilang tak percaya, "Serius? Istri lo hamil?"
Gilang menaik-naikkan alisnya, "Tokcer juga aing Shad. Hahahaha. Kata dokter kan lakuin pas masa subur, begitu dia masa subur gue geder aja tiap hari. Anjay, akhirnya jadi benih juga. Hahahahaha."
"Udah lo pastiin?" tanya Arshad.
Gilang mengangguk, "Test pack 3 kali, hasil tetap sama. Garis duaaaaa," teriaknya dengan bahagia.
Arshad tersenyum lebar, "Udah ke bidan?"
"Udah Shad."
"Ke Rumah Sakit? Udah?"
"Belum sih, belum ada kebutuhan."
"Eh, lo harusnya ke Rumah Sakit!" ucap Arshad tiba-tiba. Nada suaranya naik dan Gilang kebingungan dibuatnya.
"Ya elah, woles aja kali. Istri gue sehat kok, kandungannya juga sehat."
"Berapa minggu?"
"Tiga minggu."
"Kalau gitu lo ke rumah sakit! Atau entah apalah lo USG kek atau gimana kek buat meyakinkan kalau istri lo hamil."
Seketika Gilang menatap Arshad dengan tatapan tak nyaman, "Eh Shad, lo bukannya ikut bahagia. Kok malah suruh gue mastiin istri gue hamil apa enggak. Wong yang hamilin dia juga gue, ya... yakin lah gue, kalau dia hamil."
Mendegar ketidaksukaan Gilang dari nada suaranya, Arshad mengusap wajahnya dengan kasar. Untuk hal satu ini, Arshad belum bisa mengendalikannya, sungguh. Responnya selalu sama. Bukan apa-apa, ia hanya tidak ingin kalau Gilang akan merasa seperti dirinya, lebih parahnya lagi Gilang tak bisa bertindak selayaknya ia dan akhirnya...
Oke, lupakan!
Tersenyum, Arshad menepuk bahu Gilang dan berkata, "Sorry. Soal yang satu ini, gue masih rada sewot," katanya.
Gilang lupa satu hal; bahwa Arshad yang menurutnya menyebalkan seperti barusan, hanya mengingatkan Gilang saja.
Pria itu mengalihkan pembicaraan, "Si Otong bisa dipakein kamera kecil nggak sih? Kalau bisa, biar pas dia nengok ke dalem, dia yang pastiin, ada yang nyangkut nggak di dalem sana," ucapnya tiba-tiba.
Arshad tertawa dengan lebar, "Toyoran gue yang barusan ngaruh. Lo jadi tolol," katanya.
****
Aturan pertama Vica ketika ia berolahraga di lapangan terbuka seperti ini adalah; fokus olah raga dan jangan lihat sekitar! Kenapa? Karena kalau Vica melihat ke sekitar, pasti ada keluarga kecil yang sedang berolahraga bersama, atau sekedar mengajarkan anaknya berjalan, atau mungkin bermain kejar-kejaran dengan anak balitanya yang sudah bisa berlari, selain itu ada juga pasangan yang sibuk olah raga berdua, seraya berlari sambil bercanda, atau ada juga pasangan lansia yang masih saja berpegangan tangan seraya berjalan mengitari lapangan, yang tentu saja akan membuat rasa iri muncul dalam hatinya. Ingat, iri itu tanda tidak mampu, jadi kalau Vica merasa iri, berarti ia merasa tidak mampu kan? Dan ketidak mampuannya ini sungguh-sungguh menyebalkan, jadi untuk menghindari semua itu, mending Vica fokus saja berolah raga, yang sebenarnya bukan olah raga juga sih karena Vica hanya berlari setengah lapangan lalu berjalan, lalu duduk, berjalan-jalan kecil di atas bebatuan, kemudian berlari setengah lapangan lagi, mengulang kegiatannya seperti itu dan akhirnya... Vica duduk di tangga seraya melihat jam di ponselnya. Sudah mulai siang. Matahari juga mulai terasa panas. Itu berarti Vica harus seger pergi dari tempat ini, karena gasibu menuju siang itu selain panas, jalanannya juga akan sangat padat. Menyebalkan? Benar! Memang menyebalkan.
Memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, Vica turun dari tangga dengan cepat, namun matanya terbuka dengan lebar dan langkahnya berhenti sejenak.
Di sana, tepat di hadapannya... Vica melihat ada seorang pria—si tumpukan dosa miliknya yang sialnya sedang berdiri bersama seseorang yang Vica kenal—Dewi! Ya ampun! Jangan sampai Dewi melihatnya karena kalau Dewi sampai melihat Vica, Dimas yang sudah lupa siapa Vica pasti akan mengingatnya dan dosa-dosa Vica... Ya Tuhan!
Memutar tubuhnya, Vica buru-buru berjalan meninggalkan tempat duduknya. Vica benar-benar harus lari dari sini sekarang. Ya Tuhan, padahal Bandung itu luas! Padahal jarak dari rumahnya ke Gasibu cukup jauh sedang jarak dari rumah Dewi ke Gasibu juga sama jauhnya, dan siapa sangka kalau Vica akan bertemu dengan Dewi di sini? oke, bukan Dewi masalahnya! Tapi... Aryan. Ya ampun!
"Loh, loh, loh... Vicaaaaaa."
Suara seorang wanita menghentikan langkah Vica. Wanita itu berhenti berjalan. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Dewi masih berdiri bersama Aryan di tempatnya semula. Lalu, siapa yang memanggil Vica sekarang?
"Vicaaa! Ini tanteeee!"
Sesaat setelah pundaknya ditepuk lembut, Vica menoleh dan matanya melebar. Ya ampun! Tante Sekar! Ibunya Dewi.
"Eeeh, tante."
"Kamu suka ke sini juga? Ih kebetulan banget ketemu. Sama siapa ke sini?"
Vica tersenyum tipis,"Sendiri tante. Tante sama siapa?"
"Tante sama Dewi dong, oh iya. Tante juga ke sini sama Aryan. Eh kamu kan ngeceng dia waktu SMP, ayo. Temuin mereka yuk!"
Belum sempat menjawab apa-apa, tangan Vica sudah dibawa dan tante Sekar malah sibuk melambai-lambaikan tangan pada Aryan dan Dewi yang berdiri tak jauh dari mereka.
Astaga, ini sih namanya kabur dari kandang buaya dan masuk ke kandang singa. Sama-sama saja hasilnya, celaka! Dan Vica rasa ia tidak akan selamat! Sungguh.
"Aryaaan. Ini Vica loh yang ngeceng kamu waktu SMP, yang suka kasih banyak barang aneh-aneh hahahahahahaha."
Secepat apa yang terjadi dengan tarikan tante Sekar dan ucapannya, Vica merasa bahwa kesadarannya hilang. Ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun karena kepanikan tengah melandanya.
Yang ia dengar dengan sangat jelas setelah situasi mereda adalah ucapan Aryan yang bertanya kepadanya penuh dengan senyuman, "Jadi kemarin teriak Dimas itu, kamu panggil saya?"
o-ow... habis sudah.
*****
"Senang bertemu kamu lagi."
Vica tersenyum manis, sangat manis hingga ia merasa bahwa senyuman yang ia berikan adalah senyuman terbaiknya dalam beberapa waktu terakhir. Tante Sekar dan Dewi sedang berkeliling untuk berlari di lapangan sementara Vica malah berakhir dengan kembali ke tempatnya duduk dan berbincang-bincang dengan tumpukan dosanya—Dimas. Yang sesungguhnya, hanya keheningan yang menemani keduanya—yang akhirnya berhasil dipecahkan oleh Dimas dengan ucapan tiba-tibanya.
"Maaf ya Kania, saya nggak ngenalin kamu waktu itu."
Jantung Vica hampir melompat dari tempat asalnya ketika Aryan menyebutnya dengan nama 'Kania'. Nama kebanggaan Vica yang selalu ia berikan pada pria-pria yang disukainya, karena kesannya Kania itu manis, baik, dan cantik. Benar tidak sih? Setidaknya menurut dirinya. Karena dari rangkaian namanya Odivica Kania Lestari, nama yang paling indah disebut adalah Kania, dan siapa sangka Aryan masih memanggilnya Kania dengan lamanya waktu berlalu? Ah, Tuhan... perasaan excited macam apa ini? kenapa Vica senang sekali?
"Hahahaha santai aja Kak. Santai, lagian kalau aku jadi kak Dimas juga aku pasti nggak akan inget. Secara, udah lama banget, dan mungkin bisa aja nama Kania jadi pengalaman paling menggelikan di masa lalu. Ya kan? Hahahaha."
Prinsip Vica adalah, sebelum disadarkan oleh orang lain, maka ia harus menyadarkan dirinya sendiri. Kenapa? Supaya ia siap dengan rasa sakit akibat kesadarannya. Seperti sekarang. Tapi, suara Vica terdengar aneh dan tawanya sumbang sekali, sangat jelas kalau Vica memaksakan tawanya pada Aryan.
Pria itu terkekeh, "Pengalaman lucu mungkin ya," katanya.
OKE. Lucu! Setidaknya lucu bisa diartikan sebagai cara lain dari menyebut seseorang menggemaskan. Betul tidak sih? Ya ampun, kenapa Vica malah tidak karuan begini sih?
"Toko yang kemarin itu punya kamu?" tanya Dimas lagi.
Vica mengangguk, "Asalnya sih punya Mama, tapi sekarang udah punya aku Kak," sahutnya.
Menyebut Dimas dengan sebutan Kakak kenapa membuat dirinya merasa sangat antusias sih? Apakah karena Vica tak pernah menyebut pria lain dengan sebutan Kakak?
"Maaf ya, saya agak kasar waktu itu," ucap Dimas.
Vica tersenyum tipis, "Maaf juga, harus mengingatkan soal—"
Bagaimana ya bilangnya? Vica tidak mungkin membahas kematian kekasih Dimas di hari pertama mereka berbincang-bincang hangat seperti ini kan? Tapi, sudah terlanjur juga! Ah, Vica sih, tidak berpikir dulu sebelum mengucapkan sesuatu.
"Aku tahu dari Dewi. Turut berduka cita, ya kak," ucap Vica dengan tulus. Pada akhirnya dibahas juga berita duka ini.
Aryan tersenyum manis, "Terima kasih, Kania."
"Boleh jujur nggak?"
"Apa?" tanya Aryan.
Vica tersenyum, "Dari terakhir kali aku ketemu kakak di toko, sekarang Kak Dimas terlihat lebih baik lagi."
Dimas tersenyum tipis, "Setelah mendengar banyak ceramahan dari orang-orang di sekitar saya dan setelah menyelami isi pikiran saya, sepertinya memang cara satu-satunya yang harus saya lakukan adalah tetap menjalani hidup. Toh, hidup saya juga nanti dipertanggung jawabkan di akhirat kan?"
"Cakep," puji Vica.
Aryan menatapnya dengan geli, "Apanya?" tanyanya.
MUKANYA LAH. APA LAGI? batin Vica berteriak dengan semangat.
Vica menggeleng, "Nggak akan dikasih tahu ah Kak. Malu soalnya."
"Dasar," sahut Aryan.
Suasana mendadak hening dan Vica berusaha untuk keluar dari keheningan itu dengan berkata, "Pertama kali ngobrol panjang setelah sekian lama, kita malah obrolin ini. Aku jadi nggak enak."
"Nggak apa-apa. Toh obrolan begini harus saya siapkan," kata Aryan begitu saja.
"Semangat kak Dimaaaas. Walaupun rasanya sakit, pake banget, sampe rasanya kayak mau mati, tapi percaya deh... waktu bisa menyembuhkan kita kok! Meskipun memang kehilangan seseorang bikin kita kehilangan kendali kita, tapi pada akhirnya, pada waktunya tiba, akan ada saat dimana kita bener-bener ikhlas dengan apa yang sudah terjadi di hidup kita. Dan satu hal yang paling penting, Kakak nggak sendiri. Banyak juga kok orang yang kehilangan di luar sana."
Mendengar ucapan semangat dari Vica yang tiba-tiba, Aryan mengerutkan keningnya, kemudian tersenyum, "Ucapan kamu mirip dengan seseorang," katanya.
"Siapa?"
"Ada. Tiba-tiba datengin saya, tiba-tiba kena semprot, dan tiba-tiba dia juga ucapkan kata-kata motivasi. Yang waktu itu anterin baju."
"Hah? Anterin baju?"
Aryan menganggukkan kepalanya, "Kakak kamu mungkin?"
"Kakak?" sekarang Vica malah kebingungan.
"Sewaktu kamu telpon saya untuk anterin baju pengantin, ada cowok yang datengin saya ketika saya menyuruh dia untuk membuang bajunya, katanya masa capek-capek Ibunya buat, saya buang seenaknya."
Vica mengerutkan keningnya, "Perasaan nggak ada—"
Sebentar! Sebentar... Sewaktu Vica mengantarkan baju. Ia kan mengantarkannya bersama...
"Cowok yang rambutnya gondrong dan berkumis itu Kania."
Aha! Benar ternyata. Si Arshad orangnya!
"Oh, dia."
"Kakak kamu?" tanya Aryan.
Sesungguhnya, Vica ingin mengatakan bahwa Arshad adalah kakaknya—karena dengan mengatakan bahwa Arshad adalah mantan suaminya, Aryan pasti akan memandangnya dengan... ugh, sumpah! Jadi janda di usia muda itu bukan hal yang gampang! Vica berusia enam tahun lebih muda tapi dia sudah menjadi janda sementara Aryan—pria itu masih bujang. Malu Vica, malu. Sungguh!
Tapi bukannya lebih memalukan lagi kalau Vica justru menyembunyikan siapa sesungguhnya Arshad dalam hidupnya? Arshad itu manusia, meskipun menyebalkan tetapi dia nyata dan kehadirannya juga tidak bisa disembunyikan.
Pada akhirnya Vica terkekeh dan ia mengeluarkan jawaban terbaiknya, "Alumni hidup Kak," sahutnya.
Aryan mengerutkan keningnya, pria itu tertawa, "Loh, udah lulus di hidup kamu?" tanyanya.
Vica mengangguk seraya tertawa, "Udah dapet ijasah," sahutnya.
Aryan tergelak, "Ternyata kamu masih lucu kayak dulu ya Kania," sahutnya.
Vica malah tersipu. Ah, elah. Segini aja memang pertahanannya.
"Yah, aku masih menggemaskan kok kak. Di usia aku yang udah dua empat ini," katanya.
Aryan tergelak lagi, ia teringat dengan tingkah konyol Vica dulu yang selalu membuatnya tertawa. Pria itu menatap Vica dan tersenyum, "Senang sekali, bisa ketemu kamu lagi. Ingat kelakuan kamu, saya bener-bener nggak bisa berhenti ketawa."
Aryan sibuk menertawakan tingkah konyol Vica yang belum sempat ia tertawakan di masa lalu, dan rasanya... bebas sekali. Karena Aryan sendiri tidak tahu, kapan terakhir kali ia tertawa selepas ini?
****
Arshad sibuk menghisap rokoknya seraya duduk di pojok paling luar di pinggiran lapang. Acaranya memperhatikan Vica sudah selesai karena jam segini Vica pasti sudah pulang, jadi sekarang adalah waktunya bagi ia untuk bersenang-senang dengan dirinya sendiri. Merokok, contohnya. Dan Gilang masih di sampingnya. Pria itu sibuk melihat kesana kemari, mencari-cari penyegaran lewat wanita-wanita yang berlari menyusuri lapangan namun kemudian matanya berhenti pada satu titik dimana Vica sedang mengobrol bersama seorang pria dan mereka sedang tertawa bersama! Catat. Tertawa bersama! Dan itu berarti, pria menyedihkan yang sedang menghisap rokok di sampingnya tidak boleh melihat mereka, karena kalau Arshad melihatnya... pria itu pasti akan... ah, Gilang yakin kalau Arshad akan menghilang lagi selama satu minggu kemudian dia kembali dan mengotori kantornya dengan...
Oh tidak! Itu semua tidak boleh terjadi.
"Shad! Balik yuk!"
Arshad menggeleng, "Emoh. Masih betah."
"Betah ngapain sih? ngerokok duang juga. Udah, ke rumah aing aja yuk. Biar dimasakin sama Intan."
"Nggak mau, mending ke rumah Mama Rina, gue pasti dimasakin Kari."
Errr. Gagal ternyata percobaan pertamanya ini.
"Kalau gitu ke Sultan Agung yuk, gue mau beli kaos. Lo temenin aing lah Shad."
Arshad menggeleng lagi, "Males ah. Pergi sendiri aja sana."
Pria itu bangkit dari duduknya ia berdiri sedang Gilang dengan cepat berdiri juga dan merangkul bahu Arshad lalu menariknya untuk berjalan bersamanya ke arah depan, "Ya udah, apalah gitu yang penting pergi aja dari sini Shad. Panas nih," katanya.
Arshad mendengus, "Suke suke lo aja lah, kenapa harus ikutin gue kesini sih!"
Menghela napas. Gilang bersorak dalam hatinya dengan gembira. Percobaan kedua, berhasil!
****
"Si Vica ini ya, tadi malu-malu. Lihat sekarang mereka malah cekikikan aja berdua," ucap Sekar pada anaknya ketika mereka beristirahat di pinggir lapangan seraya meminum air yang mereka bawa.
"Ya, malu juga kali Ma. Dulu kan Vica centil banget sama kak Aryan, hahahaha."
"Centil itu perlu tahu Wi, kalau dibutuhkan."
"Ugh, liat mukanya Vica Ma, bebas gitu. Lupa dia, udah punya suami. Hati-hati ah Ma, pertemuan mereka nanti bikin Vica nggak mau lihat suaminya lagi, hahahaha."
Ucapan Dewi mendapat respon sebuah kerutan di kening Ibunya.
"Suami apaan Wi?" tanya Sekar.
"Arshad Ma, suami Vica. Vica kan udah nikah, minggu kemarin aja Dewi ketemu mereka lagi makan bareng di Karnivor."
"Loh, memangnya kamu nggak tahu?"
"Apaan Ma?"
"Vica udah cerai."
"Apa?! Mama kata siapa?"
"Kata Mamanya Vica lah, kan kita sempet ketemu di pengajian gitu Wi, terus Mamanya cerita. Mereka udah enam bulan kok cerainya. Ya kamu mikir aja, kalau si Vica masih punya suami, ngapain Mama biarin mereka ngobrol berdua lama-lama? Dosa Wi, kasian suami si Vica nanti. "
Ibunya masih terus berbicara sementara Dewi malah mengerjapkan matanya. Ya Tuhan, minggu lalu, ketika Dewi bertemu dengan Vica di Karnivor... ia memuji kebersamaan Arshad dan Vica yang ternyata...
Mampus! Dewi dirundung rasa bersalah sekarang. Ya Tuhan!
TBC
Lama nggak update karena aku punya pekerjaan super urgent yang gak bisa aku tunda pake banget.
Dan aku cuman mau menyampaikan.
Kenapa, setelah 3 tahun aku nulis di wattpad, akhir-akhir ini banyak orang ngeselin yang muncul tanpa tahu apa-apa tiba-tiba aja jebred bilang ini itu seenaknya. Tanpa bisa memaklumi, tanpa bisa menyadari yang seharusnya dilakukan, dan pada akhirnya malah menghakimi. Terima kasih ya, semoga suatu saat kamu kamu sekalian disadarkan. Karena aku kasih tau aja, kalau udah sadar. Bawaannya pengen lupain apa yang udah terjadi. Malu coy. Maluu.
Oke.
Di atas adalah foto aryan yang sebelumnya gak keupload wkwkwk yepp, aku bayangin dia sebagai ross butler karena aku lagi suka sama dia :3
Selamat hari senin yang bahagia iniiii! Yang puasa semoga diberkahkan, yang punya urusan semoga dilancarkan, yang bekerja semoga diberkahkan, yang mau nikah semoga disegerakan, dan aku.. yang masih mencari jodoh, semoga dipertemukan. HAHAHAHA
Sampe sini aja.
Dah.
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro