Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

S E B E L A S

"Bye Dii. Mau aku temenin nggak?"

Vica yang sudah keluar dari mobil mendelik dengan ekspresi wajahnya yang enggan, "Nggak usah,"katanya seraya membanting pintu mobil. Arshad tertawa dengan keras sedang wanita itu berjalan menghentakkan kakinya dan masuk ke pelataran toko yang berada di sana.

Kawasan Tekstil Cigondewah adalah pusat tekstil terkenal yang berada di Kota Bandung, dan di sinilah pertama kalinya Arshad bertemu dengan Vica. Ya Tuhan, kalau ingat akan hal itu, Arshad selalu ingin tertawa. Sungguh.

Pria itu memutuskan untuk keluar dari mobil alih-alih pergi. Ia berjalan untuk menghampiri sebuah kios dan memesan kopi. Kalau Vica tidak mau ditemani ya tidak apa-apa, Arshad bisa menunggunya di sini seraya nongkrong di depan kios. Lagi pula mau di sini, di depan toko Vica, atau dimana pun ia berada, pekerjaan Arshad tetap sama; nongkrong.

Ia mengalihkan tatapannya, menelusuri setiap sudut dari jajaran pertokoan yang berada di hadapannya, tapi matanya bertemu tatap dengan seseorang yang tak jauh darinya. Arshad yang mengenal siapa dia tersenyum seraya melambaikan tangannya dengan heboh.

Seorang pria—yang menerima lambaian tangan Arshad terlihat ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk berjalan mendekat hingga kini pria itu berdiri di hadapan Arshad.

"Hey, haloooo. Inget gue nggak?" tanya Arshad dengan antusias. Senang bertemu lagi dengan orang yang pernah ia temui sebelumnya. Kalau begini kan acara nongkrongnya jadi asyik.

Pria itu—Aryan tersenyum, "Mustahil kalau nggak inget. Mas nasehatin saya kemarin," sahutnya.

Arshad cekikikan, "Itu mah bukan nasehatin. Berbagi pengalaman aja," katanya dengan ramah.

Aryan mengangguk, bingung harus merespon apa pada pria asing yang malah melambaikan tangannya dan berlaku sok akrab kepadanya. Sebenarnya sih bukan sok akrab juga, mungkin memang pria ini orangnya seperti itu.

"Oh iya, kenalin... nama gue Arshad," ucap Arshad tiba-tiba. pria itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Aryan dengan menjabatnya, "Aryan Dimas," sahutnya.

"Panggil Aryan saja."

"Ah, lebih enak panggil Dimas," ujar Arshad.

Aryan mengerutkan kening, tapi ya bebas saja lah. Toh bukan kewajiban juga untuknya memanggil Aryan dengan nama depannya.

"Sini bro, ngopi," tawar Arshad begitu saja.

Aryan duduk di sampingnya namun ia malah membeli minuman botolan, "Saya nggak suka kopi," katanya.

"Oh, ya bagus," sahut Arshad.

Kemudian mereka mengobrol mengenai beberapa hal yang terlihat seperti wawancara karena hanya Arshad yang bertanya lalu Aryan yang menjawab. Aneh juga memang, karena Aryan bukan orang yang bisa akrab begitu saja sementara Arshad—pria itu baru kedua kali bertemu, sudah seperti bertemu dengan kawan lama saja.

"Jadi ngapain di sini?" tanyanya.

Aryan menjawab, "Biasa. Butuh bahan kaos buat distro. Ambil dari sini, harganya miring."

"Mas sendiri ngapain di sini?"

Oke, ada kemajuan. Aryan sudah bisa bertanya sekarang.

"Abis anterin si cinta," kekeh Arshad.

"Bu Atalia?"

Keduanya tertawa, tapi Arshad heboh sekali, pria itu sampai menepuk-nepuk pundak Aryan saking antusiasnya, "Gawat itu. bisa dideportasi RK kalau anterin bu Atalia mah."

"Loh, bukan orang Bandung memangnya?"

Arshad menggeleng, "Gue orang Jakarta, tiba-tiba nyasar di Bandung dan tinggal di sini karena terjebak sama takdir, hahaha."

"Si Cintanya?" tanya Aryan memastikan.

Arshad menyeruput kopinya kemudian mengangguk, "Iya. Lo tahu nggak? Gue itu makhluk terbajingan di jakarta, tapi begitu ke Bandung, nemu orang yang bisa mungut gue dan buat gue tobat. Hebat banget kan dia?"

Suara Arshad terdengar begitu bangga. Aryan tebak kalau si Cinta nya pria itu adalah orang yang sangat tepat. Eh tapi... sebentar... bukankah dia orang yang Aryan tanyakan pada Vica? Yang menurut Vica alumni hidupnya?

Omong-omong soal alumni hidup, maksudnya apa? diingat lagi, Aryan benar-benar tak penasaran dengan jawaban Vica dan ia menganggap wanita itu bercanda, tapi alumni di sini... dalam konteks apa? Pria ini mantan pacarnya Vica? Atau dia mantan mentornya? Mantan gurunya?

"Cewek memang hebat sih."

Aryan memutuskan untuk melupakan 'alumni' itu sejenak. Diungkit soal wanita hebat, ia juga punya satu, dan seiring waktu berlalu lewat obrolan mereka, Aryan juga mulai merasa nyaman. Arshad ternyata bisa dijadikan teman bicara yang baik untuknya.

"Gue juga punya cewek yang hebat. Dia bener-bener bisa bantu gue buat bangkit," kata Aryan.

Arshad menyeruput kopinya lagi "Yang itu?" katanya. Merujuk pada seseorang yang membuat Aryan membuang baju pernikahannya.

Pria itu—Aryan mengangguk dengan lemah, namun ia segera meneguk air minumnya.

"Dia meninggal saat semua persiapan pernikahan kita udah seratus persen."

"Gue turut berduka," sahut Arshad.

Aryan tersenyum, "thanks."

"Tapi mending ditinggal mati aja nggak sih?" tanya Arshad tiba-tiba.

Aryan mengerutkan kening, tidak mengerti dan ia mengisyaratkan Arshad untuk menjelaskannya.

"Kalau seseorang yang kita cintai mati, kita tahu bahwa cintanya tetap untuk kita sampai akhir, tapi kalau seseorang yang kita cintai pergi, kita tidak tahu... siapa yang akan dia cintai sampai akhir. Egois kan? tapi, memikirkan bahwa akan ada orang yang dia cintai di dunia ini selain gue, rasanya sakit aja."

Aryan tertawa, "Kaum kita memang egois."

"Asli, bro."

"Tapi sebenernya lo tinggal perjuangin aja dia kan?"

Arshad tersenyum pedih, "Maunya sih gitu. Tapi gue nggak bisa."

"Why?"

"Gue nggak punya hal yang sangat dia inginkan, dan gue juga bukan orang yang bisa membuat dia lupa dengan apa yang dia inginkan, nggak seberharga itu kali gue ini."

"Ironi," kata Aryan.

Arshad menganggukkan kepalanya.

"Si Cinta itu?" tanya Aryan lagi.

Arshad tersenyum, bukti bahwa ia mengiyakan pertanyaan Aryan.

"Gue kira udahan," timpalnya.

Arshad menghembuskan napasnya, "Memang udahan, gue aja sih yang gangguin dia terus. Lo pikir aja, kehadiran dia singkat banget dalam hidup gue, nggak puas rasanya kalau begitu kita pisah, gue harus jauh dari dia."

"Kalau begitu kenapa nggak lo ajak balikan lagi aja?"

"Yah, itu tadi," kata Arshad.

"Kadang susah memang buat cowok untuk berkomitmen lebih serius. Tapi cewek juga butuh hal itu sih. menurut gue kalau lo cinta, ya wujudkanlah keinginannya. Cewek juga nggak bisa nunggu lama-lama."

Karena menurut Aryan, yang 'Cinta' nya Arshad inginkan adalah sebuah komitmen; pernikahan. Padahal kenyataannya bukan itu, hanya saja Arshad memilih untuk tak menyanggahnya ataupun membenarkannya.

"Kang Aryan! Hayu pulang!"

Obrolan mereka tak bisa berlanjut karena pegawai Aryan rupanya sudah selesai dengan belanjaannya. Pria itu berdiri, berpamitan pada Arshad kemudian memberikan kartu namanya.

"Kayaknya lo suka pake kaos. Dateng aja ke distro gue," katanya.

Arshad cekikikan karena senang, "Thanks ya. Gue borong ke sana, sebagai bayaran karena hari ini gue curhat colongan."

"Yah, gue juga curhat," kata Aryan hingga membuat keduanya tertawa.


****


"Padahal kalau teteh telpon si A Arshad, dia juga pasti mau jemput teteh. Kenapa harus aku coba yang jemput?"

Vica mendeplak kepala adiknya yang hanya punya selisih satu tahun dengannya—Randi yang menggerutu begitu ia masuk ke dalam mobilnya. Seharusnya seorang adik itu bisa diandalkan, tapi Randi ini adalah contoh adik paling durhaka di dunia. Kalau jadi suami sih dia sudah jadi yang terbaik, tapi kalau jadi adik... maaf-maaf saja, bagi Vica—tittle adik dari si Randi ini tidak berguna.

"Sekalian. Kan kamu baru pulang juga," sahut Vica.

Adiknya mendengus, ia bahkan menjalankan mobilnya dengan emosi. Hadeuh, memang ya... padahal Randi baru pulang dari diklatnya setelah dua minggu, tapi kangen-kangenan juga nggak ada tuh pada Vica. Dasar, padahal dulu saat Vica mau menikah dengan Arshad, si Randi ini paling sok diantara semua kakak-kakaknya, segala Arshad dia berikan tes ketahanan untuk jadi kakak iparnya. Oh Tuhan...

"Tapi kan aku kangen Ana, pulang pengennya langsung ketemu dia. Kenapa malah ketemu teteh dulu."

Sekali lagi Vica menggeplak kepala adiknya, "Dibilangin sekalian lewat!"

"Lewat gimana, orang muter-muter juga."

Oke, Vica tak mau meladeni ocehan adiknya.

"Rumah apa kabar?" tanya Randi tiba-tiba.

Yang Randi tanyakan adalah kondisi di rumah mereka, tepatnya rumah orang tua mereka. Contohnya saja prakteknya Radifa—kakak pertamanya, lalu anaknya yang masih bayi—yang selalu diurus oleh ibunya, kakak iparnya, kemudian Ana—istri Randi yang sesungguhnya tidak Vica ketahui juga bagaimana kabarnya. Begini, gimana Vica bisa tahu... sehari-hari Vica menghabiskan waktunya di toko, pulang malam dan langsung masuk ke dalam kamar, bahkan makan malam pun di kamar—itu juga kalau Vica lapar. Ia tak pernah berinteraksi dengan keluarganya yang lain selain Ibunya. Mereka juga tidak pernah mengganggu Vica—satu hal yang Vica syukuri, jadi selama pindah kembali ke rumah ibunya, Vica hanya hidup sebagai bayang-bayang saja.

"Rumah ya gitu aja, kamu kan suka telponan sama Ana, ya... bisa kali tanya dia."

"Aku lagi ribut juga sebenernya Teh, sama Ana."

"Loh, kenapa?"

Randi menggeleng seraya menghembuskan napasnya dengan kasar, "Nikah muda memang sulit. Ego kita masih pada tinggi," gerutu Randi.

Benar, Randi dan Ana ini menikah muda. Mereka menikah saat usia masih dua puluh tahun, dan sekarang sudah menikah selama tiga tahun tapi kelakuan keduanya seperti remaja yang masih berpacaran, sama-sama labil, yang untungnya Ana bisa sedikit mengendalikan dirinya sehingga ia bisa menyembunyikan setiap masalah mereka dari Ibunya Vica. Bayangkan saja kalau Ana kelakuannya seperti kompor, beuh... musuh ibunya bertambah satu, dia dan Nina. Ya Tuhan.

"Yah, mau apapun masalah kalian. Intinya cuman satu sih Ndi. Komunikasi, udah. Itu aja," kata Vica. Ia menatap adiknya dan melanjutkan, "Kalau kalian berkomunikasi, mau kalian ribut sampe saling ngomong kasar pun ya nggak apa-apa, yang jelas kalian pada akhirnya akan tahu apa yang diinginkan dari pasangan masing-masing, jadi kalian nggak menebak-nebak juga."

"Masalahnya Teh, Ana ini kalau tiap aku bahas dia selalu bilang Skip, Skip aja terus. Aing bukan iklan di youtube, ngapain di skip."

Seketika Vica tertawa. Kesalnya pria dengan kelakuan wanita memang sangat terlihat frustasinya. Ia menganggukkan kepala, "Kasih tahu aja sih Ndi, aku sama Arshad kehilangan komunikasi. Makanya kita malah sama-sama jatuh, dan... ini dia, keputusan akhirnya. Kita malah cerai. Kamu nggak mau kan gitu juga sama Ana?"

"Amit-amit atuh Teh. Jangan sampai," gerutu Randi.

Vica tersenyum, "Ya makanya."

"Jadi, yang bikin kalian cerai itu karena masalah komunikasi?" tanya Randi memastikan.

"Iya, itu juga. Tapi sebenarnya mungkin ada beberapa hal lainnya juga sih."

"Seperti?"

Randi menunggu kakaknya melanjutkan ceritanya namun Odivica Kania Lestari—wanita itu malah terdiam membisu.


****


9 bulan yang lalu,

usia kehamilan Vica 3 bulan.


"Kehamilan kosong adalah satu kondisi di mana rahim wanita hamil ternyata kosong. Artinya, tidak ada janin atau calon bayi yang ada di dalam kandungan. Kondisi ini terjadi karena ada masalah pada proses menuju kehamilan. Sel telur yang telah dibuahi oleh sperma tidak dapat berkembang sehingga janin pun tidak bertumbuh bahkan sama sekali tidak ada."

Selama beberapa hari ini Vica terus mengeluarkan flek, dan mereka berdua sudah memeriksanya pada bidan namun hasilnya adalah Vica terlalu kelelahan sehingga bidan menyarankannya untuk beristirahat, dan Arshad tidak pernah menyangka bahwa kram perut yang terjadi pada Vica pagi ini—yang membuat istrinya menangis kesakitan hingga membuatnya hampir mati karena kepanikan akan membawa keduanya pada kondisi dimana mereka tak bisa menyerap dengan benar informasi yang dokter sampaikan.

Arshad belum pernah merasa seterkejut ini, bahkan ketika Vica bersedia menikah dengannya pun rasanya tak pernah semengejutkan ini, tapi hari ini... penjelasan dari dokter membuatnya merasa tak bisa bernapas. Saking terkejutnya, Arshad bahkan tak bisa berkata-kata.

Genggaman tangannya terlepas begitu saja karena Vica melepaskannya. Wanita itu menaruh tangannya di atas meja dan ia berbicara dengan dokter, "Nggak mungkin dok! Aku mual-mual kok, aku kena morning sickness, di testpack berkali-kali juga positif! Itu berarti aku hamil kan?"

"Gejala yang ditunjukkan pada kehamilan kosong tidak jauh berbeda dengan kehamilan biasa Bu. Terlambat datang bulan, tes urin positif hingga . Karena proses yang terjadi pada kehamilan kosong adalah sama dengan proses awal kehamilan normal. Kehamilan kosong juga melewati proses di mana sel telur dibuahi oleh sperma. Namun sayangnya hasil pembuahan itu tak berkembang."

Jadi maksudnya, Vica merasa bahwa dirinya hamil tetapi pada kenyataannya... dia tidak hamil? Begitu?

Vica merasa bahwa sebuah nyawa tumbuh di tubuhnya namun ternyata itu bukan apa-apa, begitu?

Jadi... muntah-muntah vica yang sampai membuat Arshad kewalahan untuk memberinya makan, lalu makanan pemberian setiap orang yang selalu Vica repotkan karena ia ngidam, vitamin yang dibelikan oleh Adel, susu yang gonta-ganti karena Vica merasa tak cocok meminumnya, dan tangisan bahagia ia juga Arshad di hari ulang tahun Arshad... untuk apa?

"Ta—tapi kok. Tapi, cara mastiinnya?"

"Sampai saat ini, cara paling ampuh untuk mendeteksi kehamilan kosong baru USG saja Bu, dan karena kita melakukan USG sekarang, jadi kita mengetahuinya."

Vica merasa lemas tak berdaya. Ucapan dokter benar-benar menghentak kesadarannya. Saking terkejutnya, Vica ingin ambruk saat ini juga. Padahal sejak awal Arshad terus memaksanya dan mengajaknya untuk USG, sekedar ingin melihat isi rahim Vica saja, namun Vica malah egois sendiri. Ia tidak mau USG sebelum usia kandungannya 4 atau 5 bulan. Vica bersikeras dengan dalih sekalian melihat jenis kelamin anaknya yang akan menjadi kejutan bahagia untuk mereka berdua. Karena jika Vica hitung, saat kehamilannya menginjak 4 bulan adalah di bulan ketika ia berulang tahun, jadi Vica akan menganggap jenis kelamin bayinya sebagai kado untuk ulang tahunnya. Tapi ternyata.....

Vica menoleh pada Arshad yang sejak tadi tak mengeluarkan suara. Padahal dia menggendong Vica dengan kepanikan, bahkan berteriak-teriak pada pengemudi jalan raya yang terus menerus menyalipnya, tapi setelah penjelasan dokter barusan... Arshad tak mengatakan apa-apa.

Vica ingin meraih tangannya, namun batinnya berteriak. Menyalahkan Vica atas kabar yang baru saja didengarnya. Seandainya... Seandainya Vica menuruti Arshad untuk USG. Mereka berdua pasti tahu sejak awal, dan kabar menyedihkan ini tidak akan terlalu mengejutkan.

Astaga... padahal berita kehamilan Vica adalah kado ulang tahun Arshad dan sekarang... Vica menghancurkannya?! Bagus! Vica, apa yang kau lakukan pada pria ini? pria yang berlari kepanikan karena kesakitanmu yang ternyata adalah kesalahanmu sendiri?!

"Ja—jadi, g—gimana dok?"

Dokter kembali menjelaskan dan mereka berdiskusi banyak hal, namun hanya Vica saja yang berdiskusi, Arshad tidak. Pria itu tetap diam, sampai ketika dokter mengatakan bahwa Vica harus menjalani pembersihan rahim—kuretase, Arshad baru mengeluarkan suara—pun sebuah isakan tangis yang membuat Vica semakin merasa bersalah pada suami yang sangat dicintainya.

Oh Vica... lihatlah. Suamimu, menangis. Dia pasti sangat sedih. Karena kado ulang tahunnya, rupanya bukan apa-apa.

"Untuk kuretasenya..."

Ucapan selanjutnya yang dikatakan dokter benar-benar tak bisa Vica dengar sama sekali. Rasanya sakit, sungguh. Tidak ada apa-apa di dalam rahimnya, tapi Vica harus menjalani proses seolah-olah ada sesuatu di dalam sana, ada sesuatu yang bernyawa—yang Vica sayangi dan harapkan sepenuh hati, yang ia pikir akan menjadi pelengkap kebahagiaannya bersama Arshad, yang ia kira akan menjadi seorang makhluk kecil yang mewarisi gabungan dari wajah Arshad dan wajahnya, yang pada akhirnya malah membuatnya merasa begitu bersalah pada Arshad. Bahkan sekarang, mendengar Arshad menangis saja, rasanya Vica ingin menyiksa dirinya sampai ia pingsan.



TBC



Penjelasan mengenai kehamilan kosong aku dapet dari alodokter. Kalian bisa baca selengkapnya di sana, tinggal dicari aja ya. *lagi-lagi promosi tapi tak kunjung di endorse*

Cerita sedikit soal hamil kosong. Mama aku pernah begitu, beliau keguguran waktu mau 4 bulan dan ternyata nggak ada bayinya, nggak ada nyawanya, ya sama sih si gejalanya, kayak yang penjelasan dokternya. Pada akhirnya, dikasih obat, tapi nggak mempan, akhirnya kuret. Dan menurut setiap wanita yang mengalaminya, kuret itu kebangetan sakitnya. Gimana nggak, badan sakit, hati juga sakit. Apalagi posisi hamil kosong begini, badan di uwek-uwek untuk bersihin dalem rahim tapi yang dibersihinnya juga bukan sesuatu yang bernyawa.

Oke deh, sedikut-sedikit (yang part ini sih banyak) ketauan masa lalu mereka kayak gimana.

Btw, mood menulis memang begini. Abis nulis scene yang agak serius begitu, agak susah juga kembali slengean. Masih blue gini hahahahaha

Oke deh hari ini adalah hari dimana yang muslim puasa arafah, semoga yang berpuasa bisa mendapatkan pahala, keberkahan, dan kemuliaan ya gaes. Aamiin ya robbal alamin.

Akhir kata, sampai ketemu di part depan.

Dah...

Aku sayang kalian :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro