Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

L I M A B E L A S

Arshad ini... sombong juga ya!

Vica benar-benar tak menyangka. Bukannya ketika kita mengirimkan pesan tapi kemudian pesannya ditarik kembali, tetap ada pemberitahuan di ruang chat seperti 'Vica telah menghapus pesan ini.' begitu kan? Dan biasanya, baik Vica atau sebagian orang pasti mengirimkan pesan konfirmasi, sekedar bertanya, 'Kok dihapus lagi? salah kirim apa gimana?' begitu kan? Apalagi, yang Vica kirim pesan itu Arshad, pria paling kepo sejagad raya. Seharusnya pria itu mengirimkannya pesan kan? Benar kan? Masalahnya, KENAPA PRIA ITU TIDAK MENGIRIMKANNYA PESAN SAMA SEKALI? MEMANGNYA ARSHAD TIDAK PENASARAN KENAPA VICA MENGHAPUS LAGI PESANNYA?

Oh, Tuhan. Pagi-pagi begini Vica sudah dibuat emosi. Astaga. Ya, oke sih kalau pria itu sedang asyik dengan pacar-pacarnya, terserah lah apa yang dia perbuat, tapi setidaknya...

Oke, Vica... kenapa juga kau mengharuskan Arshad mengirimkanmu pesan?! Batinnya memperingati.

"Hoh! Kesel, gustiiii... emosi, emosi, sumpahhhh," geram Vica.

Wanita itu menepuk-nepuk dadanya untuk menenangkan diri, dan gerakannya itu ditangkap oleh Adel yang baru saja masuk ke dalam toko.

"Punten, tetehnya mau ngamuk-ngamuk?" tanyanya.

Vica mendesis, "Gue laper! Makanya emosi."

"Ya makan lah, lo udah beli sarapan juga kan? Tumben, belinya lontong kari."

"Lagi pengen aja lontong kari. Emang kalau gue sarapan harus nasi kuning terus gitu? Kan enggak. Kesannya kayak gue nggak bisa makan yang lain aja selain nasi kuning."

Mendengar respon Vica yang sensitif seperti itu membuat Adel menahan tawanya.

"Gue nggak nyebutin nasi kuning deh perasaan. Pertanyaan gue itu kenapa lo beli lontong kari? Dan seharusnya lo jawab, lagi pengen aja Del. Udah, as simple as that. Nggak usah ngegas juga," canda Adel.

Vica tak menghiraukannya. Wanita itu lebih memilih untuk fokus menuang bungkusan lontong karinya ke dalam mangkuk yang sudah ia bawa.

"Undur diri deh gue, mau ngejahit baju, sebelum bibir gue lo jahit," kata Adel lagi.

Vica mendelik, tapi Adel sudah tak bisa menahan tawanya lagi hingga tawanya pecah, dan ia puas sekali meledek Vica. Ya Tuhan.

"Paan niii, rame beut," sahut sebuah suara yang membuat Vica segera mengangkat kepalanya dan mendapati Arshad berjalan menuju kepadanya. Vica tidak tahu kenapa tapi jantungnya malah berdebar-debar dengan kencang. Gila, memangnya si Arshad ini preman yang mau memalaknya?

"Eh, M-kapsul udah dateng," ucap Adel tiba-tiba.

Arshad mengerutkan keningnya, "M-kapsul apaan?"

"Obat dateng bulan Shad. obat siklus, obat yang bisa bikin segala macam gejala datang bulan mereda, misalnya marah-marah atau emosi yang berlebihan gitulah," sahut Adel.

Vica menatapnya tajam, tapi Adel malah menjulurkan lidahnya, tak peduli dengan pelototan Vica padanya.

"Hai mantan!" sapa Arshad, tengil seperti biasa. Ia berdiri di sebrang Vica dengan terhalang sebuah meja dan pria itu mengangkat bungkusan nasi kuning yang ia bawa, "Sarapan," katanya.

"Nggak usah ya. Gue udah beli!" gerutu Vica.

Arshad mengintip isi mangkuk yang berada di depan Vica dan tersenyum, "Wah, ini mah favorit aku. Dah, sini buat aku aja. Kamu makan nasi aja nih, lagian lontong kari ada santennya. Kamu nggak bisa pagi-pagi begini makan santen," ucapnya seraya mengambil mangkuk itu dan menukarnya dengan nasi yang dibawanya.

Vica yang mendengar ucapan Arshad malah mengepalkan tangannya dan menatap Arshad dengan tajam, "Bukan urusan kamu juga aku makan santen apa enggak," gerutunya.

Arshad tertawa, "Tapi kalau kamu sakit Dii, nanti aku makin gabut, nggak ada yang bisa dikerjain."

"Yeuuu, makanya sana kerja! Aku bilang juga kak Gilang pasti butuh kamu, kok jadi orang nggak mau bantu kesusahan orang lain banget. Dulu aja, sehari semalem bisa ada di depan kertas sama komputer seharian, sekarang malah keliaran nggak jelas kayak gitu. Udah kaya sih udah kaya, tapi cewek juga males kali sama cowok yang kerjaannya keluyuran nggak jelas kayak kamu."

Sebenarnya ucapan yang Vica ucapkan itu seharusnya meyakiti hati Arshad, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Alih-alih tersinggung dan sakit hati, ucapan Vica malah menghangatkan hati. Arshad benar-benar merindukan wanita ini dan gerutuannya juga tingkahnya yang selalu membuatnya tertawa, dan setelah satu minggu tak melihatnya, akhirnya Arshad bisa menghilangkan rindunya dengan cara seperti ini.

"Liatnya biasa aja kali Shad, aku cantik ya?" canda Vica.

Arshad mengangguk seraya tersenyum, "Banget," katanya.

Bukannya tersipu, Vica malah menyumpal mulut Arshad dengan kerupuk, "Makan tuh cantik. Dasar bibir playboy."

Tergelak, Arshad memakan kerupuknya dengan gembira. Adel yang sedang bekerja di dalam tiba-tiba kembali dan menggelengkan kepalanya begitu melihat mereka berdua, "M-kapsulnya ampuh ternyata," ucapnya.

Vica tak mendengar, karena ia sedang memakan kerupuk dan nasi kuningnya sementara Arshad malah cengengesan kepadanya.

"Eh Del, tahu nggak. Kayaknya Dii kangen sama gue deh."

"NGIMPI!" teriak Vica.

Arshad merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menunjukkan sesuatu pada Adel, "Nih liat, dia kirim chat ke gue, tapi dihapus lagi. Pasti isinya 'Shad, aku kangen kamu,' gitu kan?"

Mata Adel melebar, terkejut karena ia tidak menyangka bahwa Vica berani juga mengirim Arshad pesan lebih dulu. Sementara Vica, wanita itu mendesis dan berteriak-teriak dalam hatinya. Jadi Arshad memang menyadari kesalahan Vica? Jadi pria itu melihat bahwa Vica menghapus pesannya, begitu? lalu, kenapa juga Arshad tak mengirimkannya pesan dan bertanya? Dan kenapa pria itu malah... Ya Tuhan, sumpah! Arshad memang menyebalkan.

"Wah, kayaknya emang kangen Shad," kata Adel.

"Ini harus diapain ya Del Divica nya? Dicium apa dipeluk?" goda Arshad.

Vica sontak berdiri dan berteriak, "Enak aja! Emang nomor cowok di HP aku kamu doang? Lagian nomor kamu juga nggak aku save tahu," kilah Vica. Berbohong sedikit ya sah-sah saja kan, menyelamatkan diri yang terpenting.

"Ya, walaupun nggak di save juga kamu hapal nomor aku Dii, orang beda 2 angka belakang doang sama nomor kamu."

Sial, sial, sial. Salah ternyata metode Vica membela dirinya.

"Kangen mah kangen aja," goda Adel, nambah-nambah kekesalan Vica saja, Ya Tuhan.

"Cie, jadi kamu kangen aku Dii?"

"Ih! Enggak ya! Enggak!"

"Ya biasa aja dong Vic, nggak usah panik begitu jawab enggaknya."

Ah, mampus! Mampuslah Vica, mampus! Ya ampun.

"Bukan gitu abisnya kalian—"

"Kita kenapa?"

"Shad! Nggak usah kegeeran. Itu tuh aku kemarin mau kirim chat buat gebetan aku tahu, kita janjian ketemu hari ini. Nama kalian huruf depannya sama, ya wajar lah aku salah. Makanya aku hapus tuh takut rame, emang kamu nggak akan nyinyir gitu waktu tahu kalau aku salah kirim yang isinya percakapan aku tentang jalan bareng sama cowok lain. Yang ada juga kamu pasti bilang kalau aku pura-pura. Hah! Emang yang bisa punya cewek baru kamu aja? emang yang laku duda aja? jangan salah, janda juga punya tempat di pasaran. Bangga banget ceweknya banyak. Percuma, banyak juga nggak ada yang bener. Kapan sih kamu mau hidup bener?"

Vica benar-benar tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan, karena yang ia lakukan adalah membela diri untuk menolak tuduhan-tuduhan Adel dan Arshad yang membuatnya tepojok sehingga Vica mengatakan apa saja yang tiba-tiba muncul dari mulutnya, tanpa berpikir dahulu, tanpa disaring dahulu, dan menatap ekspresi wajah Arshad yang tiba-tiba berubah, lalu menatap ekspresi Adel yang menyiratkan bahwa ia sudah terlalu jauh membuat Vica mengatupkan bibirnya seketika. Wanita itu menatap Adel dan Arshad secara bergantian, matanya mengerjap dan ia tidak tahu harus melakukan apa hingga keheningan tercipta sejenak di antara mereka.

Vica menelan ludah, pada akhirnya ia mengeluarkan suara, "Ini pasti karena udaranya dingin banget, aku mau pipis," katanya.

Konyol sih, tapi jika itu bisa menyelamatkannya dari situasi ini, Vica akan melakukannya!

Wanita itu pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Arshad dan Adel berdua saja di ruangannya.

Adel menatap Arshad tak enak, tapi pria itu malah tertawa sumbang, "Die mah ngarang ye Del. Ya gimana mau ada yang bener, wong yang benernya die doang," kata Arshad.

Adel ikut tertawa, namun sumbang juga. Ah, sial.

"Nggak usah dianggep lah Shad," kata Adel, mencoba menghibur dan menenangkan Arshad mungkin?

"Memang dia udah punya cowok lagi Del?" tanya Arshad. Wow! Perkembangan baru. Arshad sudah berani menanyakan hal seperti ini pada Adel.

"Setahu gue dia ketemu lagi sama gebetannya yang itu tuh, yang tempo hari kita obrolin."

Arshad tersenyum tipis. Ya bagus, kalau Vica sudah menemukan seseorang... berarti sudah waktunya Arshad untuk mundur teratur kan? Tapi, rasanya memang tidak nyaman sama sekali. Sampai kapanpun, Arshad tak bisa merasa rela, sungguh. Hanya saja, dirinya sudah memilih untuk menjadi pengecut kan? Sehingga, sepahit apapun rasanya, ya terima sajalah seperti seorang pengecut. Diam, dan tenggelam dalam kubangan luka yang dibuatnya sendiri.


*****


"Katanya mau pipis, kok malah ngejahit?" tanya Adel begitu ia masuk ke dalam dan Vica malah sibuk menjahit.

"Orderan numpuk Del," sahutnya begitu saja.

Adel menghembuskan napasnya kasar, "Emosi memang lebih bagus kalau disalurin lewat kerjaan Vic, bisa cepet beres. Bukan lewat 

orang," ujar Adel.

Vica menelan ludahnya, "Mana si Arshadnya?"

"Pulang lah, di sini juga ngapain. Lo bentak-bentak begitu."

"Perasaan nada gue memang begitu tiap ngobrol sama Arshad."

Adel duduk di samping Vica dan berkata, "Sebagai sahabat yang mencoba untuk mengerti lo dan melihat apa aja yang akan lo lakukan dengan mendukung lo, gue nggak pernah ngomong apa-apa, bahkan keberatan gue pun gue telen bulat-bulat Vic, tapi masalahnya... ini juga nggak bisa dibiarin. Oke, lo memang ngomong sama Arshad dengan nada begitu, memang, sejak kalian pisah. Tapi Vic, bisa nggak... lo jangan setengah-setengah begitu."

"Setengah-setengah gimana?"

"Kalau lo mau benci, ya benci sekalian. Boikot lah si Arshad di hidup lo, jangan biarin dia gangguin lo, jangan biarin dia kasih sarapan lo tiap pagi. Karena setahu gue, orang yang benci itu jangankan dikasih makanan, liat orangnya aja gedeg Vic, nggak suka, nggak tahan. Gitu loh."

Vica menelan ludahnya. Benar juga, selama ini Vica selalu menolak Arshad tapi tetap menerima kedatangannya, ia selalu meneriaki Arshad tapi tetap mendengarkannya kalau pria itu sedang bercerita.

"Yah, dipikir-pikir kasian juga Del, dia nggak punya siapa-siapa banget," gumam Vica. Ia benar-benar mengucapkannya dengan bergumam, ragu dengan apa yang ia ucapkan, tapi Adel masih bisa mendengarnya.

"Kalau lo kasian karena dia nggak punya siapa-siapa, ya kenapa juga lo pisah sama dia dan membuat dia nggak punya siapa-siapa? Kasian lo berwujud dari rasa bersalah Vic. Gue bukan menyalahkan perpisahan kalian, enggak, maafin gue kalau lo nangkepnya begitu, tapi gue ngomong gini tuh demi kalian juga. Masalahnya lo liat sendiri sepait apa muka si Arshad tadi pas lo kelepasan."

"Halah, besok juga dia tengil lagi," kata Vica, mencoba membuang jauh-jauh perasaan tak nyamannya.

Adel sudah siap menceramahi wanita itu lagi, tapi ponsel Vica berdering dan secara luar biasa wanita itu menjerit, "Kak Dimas chat gue!!!" pekiknya. Mendadak, Vica fokus dengan ponselnya dan Adel merasa bahwa hari ini sudah cukup, ia bisa menambahkan nasehat untuk Vica lain kali.


****


"Maneh udah beresin si Linda?"

Arshad baru saja berbaring di sofa kantor Gilang, hendak mendamaikan jiwanya tapi pria itu malah mengusiknya dengan menyebutkan nama Linda. Oh Tuhan, harus Arshad apakan sahabatnya ini?

"Aman, dia nggak akan macem-macem.Omnya lagi ditangkep, otomatis dia juga bisa masuk DPO."

Gilang bergidik, "Ngeri, tuh cewek nggak tobat-tobat. Kalau meninggal, dapet azab apa coba?"

Arshad berdecak, "Nggak ada kerjaan banget mikirin azab orang," katanya.

"Tapi serius sih, tuh cewek. Ah, udahlah, kalau jadi lo, gue mah pusing Shad. dikasih duit, pasti minta lagi, dikasih bantuan, apalagi."

"Ngapain dipusingin, emang kelakuan dia begitu. Dapet cowok yang bener juga kalau dia nggak niat perbaiki diri, pasti balik begitu lagi Lang."

"Dia kan mau sama lo Shad, lo nggak mikir buat jalin hubungan sama dia, membantu dia memperbaiki diri, dan sama-sama meraih ridho Ilahi gitu?"

"Ngomong sekali lagi gua tampol lu," kata Arshad memperingati.

"Tapi serius, lo nggak ada niat buat—"

BRUK!

"ANJIR! Maneh lempar-lempar aing sepatu begini?! Bau goblog!!!"

Seketika Arshad menggelengkan kepalanya, "Astagfirullahaladzim. Istighfar Lang, calon bapak nggak boleh banyak mengumpat."

"Sakit woy!" protes Gilang.

"Ya pertanyaan lo juga yang ngeselin. Lo sendiri tahu jawabannya. Mau si Linda sampe mohon-mohon segimana pun gue nggak mau sama dia, mending gue menduda sampe tua. Lagian, dia itu cuman terobsesi sama gue, dia nggak bener-bener cinta sama gue. Biarin aja lah kenapa lo yang pusing."

Gilang masih mencoba menenangkan dirinya. Ia masih menatap Arshad dengan penuh perhitungan, tapi rasa penasaran malah mengusiknya, "Lo kasih dia uang?" tanya Gilang tiba-tiba.

Arshad menggeleng, "Gue beliin tiket pergi aja ke Malaysia, sebodo amat dia mau ngapain di sana. Selama dia nggak mengacau apa-apa. Capek gue Lang, dia bikin gue nggak bisa kemana-mana, nggak mungkin juga kan gue ketemu Vica dengan diikutin dia?"

Gilang berdecak, "Perasaan Vica terus yang lo jaga, dianya mana ada. Mungkin udah punya cowok lagi kali," desisnya. Ingat saat tanpa sengaja Gilang melihat Vica sedang mengobrol asyik bersama seorang pria di Gasibu beberapa waktu yang lalu.

"Emang udah punya lagi," sahut Arshad.

Gilang melebarkan matanya, "Hah? Kata siapa?"

"Dia sendiri yang bilang."

"Terus gimana?"

Arshad tersenyum getir, "Nggak gimana-gimana. Gue kan cuman mantan suami dia, nggak ada urusannya sama cowok baru dia. Ya bagus kalau dia cocok sama cowok barunya."

"Anying. Fuck you! Mana ada maneh bilang bagus kalau dia cocok. Yakin Shad?"

Arshad mengangguk, "Apa lagi selain yakin coba Lang? Toh gue aja nggak akan ngajak Vica rujuk kok."

Menghela napasnya, Gilang menggelengkan kepala dan malah berteriak, "Teuing ah. Pusing anjir aing mah mikiran maneh. Serah maneh lah Shad."

(Tauk ah. Pusing anjir gue mikirin lo, terserah lo aja dah Shad.)


****


Aryan menatap Vica yang sejak tadi hanya mendiamkan makanan dengan kerutan dalam di keningnya. Padahal yang mengajak mereka bertemu juga Vica, tiba-tiba sekali di tengah obrolan mereka, Vica mengirimkan pesan, 'Kak, free gak? Maksi bareng yuk!' dan yang terjadi malah Aryan saja seorang diri yang menyantap makan siangnya yang terlalu awal ini. Benar, karena sekarang masih jam sebelas siang.

"Kania, kamu nggak mau makan?" tanyanya tiba-tiba.

Vica yang tersadar oleh suara Aryan menatap pria itu dan tersenyum, "Eh, maafin kak, maafin, auto ngelamun nih," katanya.

Aryan mendorong piring makan Vica dan memintanya makan, "Ngelamun juga butuh energi," katanya.

Vica tergelak, "Bisa gitu ya?"

Aryan mengangguk, "Meskipun kita diem, organ dalam kita kan tetap bekerja menjalankan tugasnya, memproses energi."

"Whoa, berasa belajar lagi aku denger penjelasan bawa-bawa organ sama energi."

Aryan tersenyum, "Makanya makan dong Kania, biar saya nggak bahas per energian. Makanan ini enak loh, ini favorit Irdina," kata Aryan. Ia sendiri mengucapkannya dengan penuh senyuman.

"Oh iya?" tanya Vica, "Ini tempat kencan kalian?"

Aryan mengangguk, "Dia suka banget iga bakar di sini. katanya paling empuk dari tempat-tempat lain."

Tahu tidak, bahwa selama bertemu lagi dengan Aryan beberapa waktu ini, Vica baru mendapati pria itu tersenyum sangat lebar adalah hari ini, ketika membahas Irdina—kekasihnya yang meninggal dan makanan kesukaannya.

"Tapi jauh banget, sampe BKR gini demi iga bakar?"

Aryan mengangguk, "Yang bikin malesnya itu, jauhnya Kania. Tapi setiap dia mau ke sini, saya pasti langsung nurut, ya gimana," katanya.

Vica mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya gimana, namanya juga cinta ya kak?"

Aryan mengangguk, tapi Vica senang tak ada ekspresi kesedihan di wajahnya. Omong-omong soal cinta, Vica ingat juga ia pernah mencoba memasak rendang yang sulitnya luar biasa hanya demi memuaskan keinginan Arshad karena tak sengaja makan rendang buatan ibunya Gilang yang katanya enak dan membuat Arshad ingin memakan rendang versi Vica. Jelas Vica menolak, tapi si Arshad malah merengek-rengek hingga akhirnya Vica mengerahkan semua kemampuannya untuk membuat rendang versinya, dengan bermodalkan bumbu instan yang ditambah santan instan pula, akhirnya Vica bisa menyumpal mulut Arshad dengan rendang buatannya. Dia ingat sekali, Arshad kalap sewaktu memakannya, pria itu seperti tak menemukan makanan berpuluh-puluh hari. Ough, seram juga, tapi menggemaskan pula, ditambah lagi jika Arshad menghabiskan banyak berarti rendang buatannya berhasil kan?

Dan... Vica... KENAPA MALAH MEMIKIRKAN MASA LALUMU BERSAMA ARSHAD SIH?! batinnya memperingati. Ya Tuhan, jangan karena Aryan membahas masa lalu, Vica juga jadi ikut-ikutan bahas masa lalu. Bagaimana sih dia ini?!

Fokuslah pada Dimas hey! Fokus! Cowok ganteng idola sewaktu muda ini ada di depan kamu loh Vica, fokus!

Berdehem, Vica meraih satu iga dan mulai mencobanya, "Kalau rasanya nggak enak, kak Dimas harus ajak aku ke tempat lain yang lebih enak."

"Kalau rasanya enak?" tanya Aryan.

"Ajak aku kesini lagi dooong," kata Vica dengan nadanya yang sedikit, centil.

Aryan tergelak, "Makan dulu aja," katanya.

Vica tersenyum. Ia bersyukur bisa bertemu Aryan hari ini, setidaknya semua hal yang mengganggu pikirannya bisa teralihkan sejenak. Well, Aryan gituloh. Aryan!



TBC



Meni ya, apa susahnya bilang kangen. Malah nyerobot ngomong sampe akhirnya kelepasan kan dosa bikin orang sakit hati tuh hahahaha

Tapi serius sih, karena kalau lagi emosi atau apapun, nggak usah ngomong, diem aja diem, atau makan, atau tidur, atau apapun lah lakukan sebuah kegiatan yang bermanfaat. Intinya, JANGAN INTERAKSI SAMA MANUSIA! Bahaya, selain bisa menghancurkan mood kamu, bisa juga bikin rusak hubungan kamu sama lawan bicara kamu.

Aku sempet lagi emosional dan temen aku curhat soal temen kami gitu, akhirnya apa coba? Aku nyolot, seolah-olah aku bela temen kami dan aku neken temen aku ini buat ngerti bahwa temen kami ini kasian dan tersiksa. Ujung2nya aku bilang aja, maapin aku lagi emosi dan ga bisa mikir jernih jadi aku gabisa diajak diskusi, nah udah, nggak rusak dah hubungan. Karena langsung minta maap dan menjelaskan hahahahha coba kalau ditunda2, beuh bisa perang dunia cuy!

Oke, part ini kembali setelah sekian lamaaaaa yang hampir 3 minggu apa ya wkwkwk

Ga akan banyak ngomong ah nanti ada yang komen "lebih panjang curhatnya daripada ceritanya" yeuuuu itumah kamunya aja gak bisa bedain, wong ceritanya 8 halaman ms word kok, curhatannya setengah halaman juga enggak. Lagian kan aku yang nulis, jari aku yang pegel. Klau gamau baca yo wes toh skip aja sampe tbc cukup, gak usah kepo scroll kebawah.

YAP! Itu adalah contoh komen ketika sedang emosi dan gabisa diajak ngomong apalagi diajak diskusi, yang begitu, enaknya diajak ribut muahahahaha

Soal IGA BAKAR di daerah BKR... perkenalkan, namanya Caravan.

Aku baru sekali kesana, kemarin2 DAN AKU MAU LAGI YA AMPUN! Rumah aku di dago, kantor aku di antapani, dan aku makan di BKR, dari ujung ke ujung, tapi dijabanin. Pas kesana ujan pula, mantap pokoknya. Aku nyobain si iga bakarnya, enak :" ini murah juga, dan gak usah gigit2an, dipocel (?) pake tangan juga bisa soalnya lunak banget. Daebaknya lagi, aku makan ini nambah nasi, karena begitu nasi abis, iga nya masih banyak hahahaha

Aku cuman ada foto ini euy, bisi mau coba wkwkwk

Hahahaha mulai promosi ini, KEBIASAAN WKWKWK

Okeydeh, Selamat hari jum'at semuanya semoga barokah.

Dah...

Aku sayang kalian :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro