Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

E N A M B E L A S

NOVEL PERTAMA AKU! NOVEL DARA-DIRA SUDAH BEREDAR DI SELURUH GRAMEDIA GAIS YANG MAU BELI MELUNCUR AJA KESANA YA HIHIHI

-

-

-

-

"Yang lo minta Shad," kata Aryan seraya memberikan kaos yang sebelumnya sudah Arshad pesan.

Pria itu mengambil bungkusan yang Aryan berikan. Ia membukanya, merentangkan kaos pesanannya dan tersenyum lebar, "Memuaskan banget Yan, bagus nih," sahutnya.

Aryan tersenyum bangga, "Gue tunggu repeat order dari lo."

Arshad hanya menjawab ucapan Aryan dengan senyuman. Ia tak berbicara sama sekali karena fokus memperhatikan kaos yang ia pesan khusus untuk Vica. Wanita itu senang memakai kaos, dan Arshad tebak walaupun Vica akan mengomelinya, besoknya ia pasti akan memakai kaos pemberian Arshad ini.

Ah, padahal beberapa hari yang lalu Arshad sudah memutuskan untuk mundur teratur, tapi hari ini ia malah mengubah pendiriannya. Mulai hari ini, Arshad sudah bertekad untuk tetap memperhatikan Vica, mengganggunya, dan melakukan banyak hal bersama Vica-dalam artian Arshad saja yang melakukannya, toh respon Vica tetap sama kan, mengomel, mendesis, atau berteriak tidak suka. Arshad akan melakukannya sampai ia memastikan kalau pria yang sedang dekat dengan Vica adalah pria yang bisa diandalkan dan pria yang sudah pasti bisa membahagiakan Vica. Bahkan kalau perlu, Arshad akan mengajak pria itu tes kesuburan, sungguh!

"Gue penasaran Shad, ini buat siapa kaosnya?" pertanyaan Aryan memecah konsentrasi Arshad. Pria itu melipat dan membungkus kembali kaosnya kemudian menatap Aryan untuk menjawab pertanyaannya, "Buat orang yang suka banget pake kaos," sahut Arshad.

"Cewek?"

Arshad mengangguk.

"Yang kemarin?" tanya Aryan lagi.

Arshad mengerutkan keningnya, "Kemarin yang mana?"

"Yang ki-"

Ucapan Aryan terhenti karena getaran yang berasal dari ponselnya. Pria itu cepat-cepat merogoh saku celananya dan tersenyum mendapati caller id yang muncul di sana.

"Shad, bentar ya." Aryan hendak berdiri untuk menjauh dari Arshad tapi pria itu malah membiarkan Aryan untuk mengangkat telpon di hadapannya. Lagi pula Arshad juga tidak akan menguping, ia malah sibuk dengan ponselnya sekarang sementara Aryan mulai berbicara pada seseorang yang menelponnya.

"Kenapa Kan?" tanya Aryan pada Vica yang menelponnya.

"Kak Dimas hari ini free nggak?"

"Mau ajak kemana?"

"Aku tadi lewat ke jalan yang belakang Dipatiukur, ada ayam geprek gitu, dan dia penuh banget."

"Mau ke sana?"

"Wih, peka banget nih kak Dimas ini," puji Vica disebrang sana. Dimas tertawa, sampai membuat Arshad menatapnya dengan penuh tanya sedang ia hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan.

"Kalau gitu nanti kita ke sana aja, saya kabarin kalau saya udah deket aja ya."

"Siaaap. Aku tunggu loh kak!"

Setelah itu Aryan memutuskan telponnya. Ia menggelengkan kepalanya seraya tertawa sementara Arshad yang sudah berhenti memainkan ponselnya menatap Aryan dengan heran, "Gebetan baru?" katanya.

Aryan menggeleng, "Bukan, kita teman makan siang," katanya.

"Kirain. Tapi keren juga sih kalau memang itu gebetan baru lo. Berarti proses move on lo cepet Yan."

Aryan menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Gue nggak tahu sih Shad. Cinta ya tetep sama Irdina, tapi lo juga dulu bilang kalau hidup masih harus berjalan kan?"

Arshad tertawa kecil, ingat pertemuan pertama mereka yang membuat Arshad tiba-tiba berubah menjadi seorang motivator bijak yang sudah bisa menasehati hidup orang lain padahal hidupnya sendiri juga masih belum benar.

"Kalau move on versi gue Yan, gue cuman bisa main-main sama cewek dari mulut aja."

"Maksudnya?"

"Maksudnya, gue selalu panas-panasin seseorang dengan bilang kalau gue tidur dengan si ini, si itu, si anu, siapa lah gue asal ngarang nama dan tempat kerjanya, cuman buat manas-manasin dia aja, dan cuman buat memberikan kesan bahwa gue nggak menderita atas perpisahan kita."

"Nyatanya lo menderita kan?"

Arshad tersenyum tipis, "Udah cinta mati kali hahaha. Sakit sih, rasanya kayak gue tahu kalau gue bakalan mati, tapi gue terus menerus menunggu kematian gue yang sampai sekarang belum datang juga."

"Ngeri juga," ucap Aryan.

Arshad tertawa, "Gue punya tempat bagus Yan. Kalau lo inget Irdina dan lo nggak kuat sampe rasanya pengen mati, gue bisa saranin tempat ini."

"Dukun?"

Seketika Arshad tertawa, "Muka gue muka-muka orang yang suka ke dukun ya? wah, kalau temen gue denger, dia pasti ketawa gila banget Yan. Parah lo."

"Hahaha sorry Shad."

Arshad tak menjawab dan malah sibuk mencari-cari sesuatu di dalam dompetnya.

"Ini diaaa," kata Arshad seraya menyimpan sebuah kartu nama di dalam genggaman tangan Aryan.

"Kalau udah nggak kuat, kalau rasanya udah pengen mati, kalau gue ngerasa hidup gue ini nggak berarti banget, gue ke sana Yan. Hasilnya mantap, gue bisa ngilang dan berminggu-minggu di sana, saking betahnya, ya gimana... tempatnya asik buat mulihin diri," katanya.

Pria itu melirik jam tangannya. Ia berdiri dan mengambil bungkusan berisi kaos pesanannya, "Dah ah. Gue mau kirim kaos ini dulu. Lo juga mau ketemu cewek bernama Kan itu ye kan?"

Aryan menepuk pundak Arshad, "Wey, lo nguping gue telponan?"

Pria itu-Arshad mengangkat kedua bahunya. Ia menepuk pundak Aryan untuk berpamitan kemudian pergi meninggalkan toko Aryan sedang pria itu melihat kartu nama yang Arshad berikan padanya.

Pesantren Al-Amin.

Ya Tuhan!

Aryan mengerutkan keningnya, ia melihat Arshad yang masih berada dalam jarak pandangnya kemudian melihat kartu nama yang Arshad berikan.

Hey, apakah tempat yang Arshad maksud untuk memulihkan diri adalah... pesantren?

Oh tidak, Aryan tidak menyangka bahwa dibalik penampilan dan sikap aneh Arshad, pria itu sereligius ini.

Padahal Aryan kira Arshad mendatangi sebuah tempat hiburan atau sesuatu lain untuk bersenang-senang. Ternyata...

****

"Taraaaa!"

Vica sedang sibuk mengemas baju pesanan yang akan diambil hari ini dan ia tidak menyangka kalau Arshad akan mengunjunginya dan mengganggunya di saat ia butuh fokus seperti ini. matilah Arshad! Matilah ia karena Vica akan meneriakinya habis-habisan.

Iya, niatnya memang meneriaki dan memarahinya, tapi begitu melihat sebuah kaos yang Arshad rentangkan di hadapannya membuat Vica mengerutkan keningnya.

"Apaan tuh?"

"Kaos, buat kamu." Arshad mengatakannya seraya menyerahkannya pada Vica.

Tidak ada yang spesial, hanya kaos biasa berwarna putih dengan tulisan-sebentar, sebentar... tulisan apa sih ini? ah, kalau Vica tidak salah bukannya ini tulisan Korea?

"Eh ngapain kamu kasih aku kaos tulisannya korea-korea begini Shad? Aku kan bukan fans Kpop."

Arshad malah nyengir, "Kalimat ini ada artinya tahu Dii."

"Apa?"

"Yang pake baju ini cantik," sahut Arshad.

"Bhah! Masa sih Shad?"

"Itung aja kalimatnya."

"Dih, malesin."

"Kalau males itungin kalimatnya, sini dong bacain kalimat di kaos aku."

Vica mengerutkan kening. Ia menatap kaos Arshad dan melebarkan matanya, tak menyangka bahwa Arshad membeli kaos dengan tulisan...

Oh Tuhan! Apakah semua playboy dan bajingan itu segombal si Arshad? Bisa-bisanya pria itu memakai kaos dengan tulisan 'Kesayangan kamu' dan berkeliaran kemana-mana?

"Shad! Kamu mau godain semua cewek yang liat kamu pake kaos ini?" tanya Vica dengan suaranya yang meninggi.

Arshad tidak langsung menjawab. Ia malah mengambil plastik di dekat Vica dan ikut mengemas pakaian yang tengah Vica kerjakan.

"Emangnya kenapa? nggak boleh? kalau nggak boleh, aku buka aja ini bajunya? Buka nih?"

Bugh!

Sebuah kain terlempar tepat di wajah Arshad, "Buka, buka! Enak aja! dipikir toko aku ini kamar pas? Awas ah! Sana, aku mau lanjut beresin ini tahuuuuu."

"Ye, kan lagi aku bantuin."

Sejenak, sebuah ide muncul di kepala Vica. Oho! Arshad serius mau membantunya?

"Kalau gitu, bener ya! kamu bantuin."

"Iya Dii, kan lagi aku bantuin."

Vica menyeringai, "Ya udah, kerjain semuanya. lagian kamu juga nggak ada kerjaan kan, aku mau pergi aja kalau gitu."

"Emang mau kemana?" tanya Arshad.

Vica tersenyum lebar, "Temu gebetan doooong. Wleeee," ledeknya pada Arshad.

Pria itu menelan ludah, kemudian ia menatap Vica dan tersenyum lebar, "Semoga gebetan kamu tahan sama kamu,"ucapnya.

Yang Arshad dapatkan dari respon Vica adalah desisannya dan cibirannya. Wanita itu pergi dengan amarah yang menumpuk di dadanya sementara Arshad-ia melihat pekerjaannya dan mencoba untuk menyelesaikannya.

"Dasar ya teh Vica. Aku yang bantuin packing mah nggak boleh, beda katanya sama dia. Kalau A Arshad yang packing malah dibiarin gitu aja," gerutu salah satu karyawan yang masuk ke dalam dan mendapati Arshad tengah menggantikan Vica.

Pria itu tersenyum, merasa senang karena Vica mempercayainya. Ey, jangan salah... begini-begini juga ia asisten nomor satunya Vica, bahkan Adel saja kalah.

****

"Jadinya malah kamu yang jemput saya Kania?"

Aryan memberikan segelas minuman dan menyodorkannya pada Vica yang pertama kali datang ke tokonya.

"Abis aku mendadak free sih, ada asisten sukarela," katanya.

"Siapa memangnya?"

"Adalah. Kelakuannya nyebelin, tapi nggak bisa memungkiri juga kalau dia itu bisa diandelin. Hehehehe."

"Temen kamu?" tanya Aryan.

Vica menggeleng, mana bisa Arshad jadi temannya. Jadi musuhnya saja sudah merepotkan, "Adalah pokoknya kak. Udah ah, nggak usah bahas dia. Mending bahas kita aja gimana?"

"Tuh ya! baru juga sampe, udah mulai lagi begitu-begitu." Aryan memperingati sementara Vica malah terkekeh.

"Abis kakak lucu sih, ih gemes deh, hahahahaha."

"Memangnya saya anak kecil, gemes. Enak aja."

"Ya udah ganti, jangan gemes."

"Terus apa?"

"Ganteng?" tanya Vica dengan ekspresi polosnya, membuat Aryan menjitak kepalanya lembut seraya memperingatinya, "Sekali lagi begitu, satpam angkut kamu dari sini loh Kania."

"Ugh, takuuuuud." Lagi, Vica malah menggoda Aryan habis-habisan sementara pria itu juga tak bisa memarahi Vica, karena ia malah merasa terhibur, sial. Vica ini memang luar biasa sekali. ia bisa membuat orang lain tersenyum, tertawa, bahkan bahagia hanya dengan melihat tingkah-tingkah tak jelasnya yang seperti barusan.

*****

"Loh, kesayangan Mama kok ada di sini?"

Rina terkejut dengan apa yang dilihatnya ketika masuk ke dalam ruangan Vica, malah Arshad yang didapatinya, bukan anaknya.

Arshad menyelesaikan pekerjaannya yang terakhir kemudian menghampiri Ibu mertuanya dan memeluknya, "Mamakuuuuu, kangen Ma," rengeknya.

"Eihs, kangen ya ke rumah lah, dasar nakal," gerutu Rina seraya menepuk pundak Arshad.

Arshad melepas pelukannya. Ia menempatkan Ibu mertuanya di sebuah kursi kemudian ia duduk di bawah menghadapnya, "Mama ke sini sama siapa?"

"Sendirian nak. Tadi mama lewat aja sih, penasaran udah lama nggak mampir. Kamu ngapain di sini?"

"Bantuin Dii, Mama."

"Terus dianya mana?"

"Kencan," kekeh Arshad. Membuat kedua mata Rina melebar.

"Serius kamu?!"

Arshad menganggukkan kepalanya, "Serius Ma. Seneng banget dia keliatannya. Adel sih bilang katanya dia gebetan Dii sewaktu sekolah dulu. Mereka ketemu lagi."

Sekarang ketekejutan di wajah Rina bertambah. Serius? Vica dan guru lesnya? Tidak-tidak, maksudnya... Vica dan calon suami Irdina itu? Vica dan Aryan? Wow! apakah anaknya mulai bersemangat untuk menjalin kasih dengan orang baru? Tapi tunggu sebentar...

Rina menatap Arshad penuh dengan rasa penasaran, "Kamu baik-baik aja nak?"

Pria itu-yang sejak tujuh bulan lalu sorot matanya redup tersenyum, "Baik dong, sehat nih aku Ma."

"Nggak. Bukan gitu, maksud Mama, Vica sama-terus-kamu emangnya nggak-"

Arshad meraih kedua tangan Rina dan menggenggamnya, "Ma, ini kan pilihan Arshad. Nggak apa-apa kok. Lagian, Arshad juga seneng, kalau Dii seneng."

Bisa-bisanya. Ya Tuhan, sungguh! Bisa-bisanya Arshad mengatakan semua ini dengan sorot mata yang bisa Rina lihat kalau dia justru sebaliknya. Arshad justru sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, tapi...

Oke, Rina tahu bahwa semua adalah keputusan anak dan menantunya, tapi sungguh, bahkan hari ketika Arshad mendatanginya dan memohon maafnya masih membekas di ingatannya dan Rina bisa melihat kalau Arshad masih sangat mencintai anaknya, tapi kenapa-kenapa Arshad malah...

"Nak, Mama jadi-"

"Ma, lagi pengen makan Sate Maranggi nggak? Kayaknya enak. Ke tempat biasa yuk Ma."

Pria itu malah mengalihkan pembicaraannya. Ia segera berdiri, membuat Rina juga berdiri. Arshad merengek dan terus merengek hingga akhirnya Rina melupakan ucapannya dan memilih untuk pergi bersamanya untuk makan siang.

Ah, tidak tahu kenapa. Arshad lebih suka membuka dirinya pada orang-orang asing yang dia temui, bukan orang-orang yang dekat dengannya. Bukan apa-apa, kalau orang yang dekat dengannya seperti Ibu mertuanya atau Gilang, mereka akan mengetahui perasaan Arshad yang sesungguhnya dan Arshad juga yakin kalau mereka akan melakukan banyak cara untuk membantunya. Tapi Arshad tidak suka itu.

Lain halnya dengan orang asing yang tak mengenalnya. Kalau-kalau Arshad menjelaskan segala jenis perasaannya bahkan hingga menyebutkan nama Vica pun, mereka tidak akan tahu. makanya, ia bisa dengan santai bercerita pada Aryan mengenai perasaannya. Sebenarnya bukan karena Aryan orang asing juga sih, tapi karena... yah, Arshad merasa mereka berbagi sebuah nasib yang sama. walaupun tetap saja konteksnya berbeda. Aryan ditinggal mati, sedang Arshad ditinggal pergi-lebih tepatnya membuat dirinya sendiri ditinggal pergi.

****

7 bulan yang lalu

Dua minggu sebelum perceraian

Rina masuk ke dalam rumah Arshad dan Vica yang selama satu bulan terakhir seperti tak berpenghuni. Setelah keguguran Vica akibat kehamilan kosongnya, rumah ini benar-benar tak bernyawa, dan lihatlah apa yang terjadi di dalam rumah ini.

Di ruang tamu, berserakan banyak baju bayi yang Vica jahit sendiri, gulungan-gulungan kain bahkan tergeletak dimana saja. RIna berjalan, masuk ke dalam kamar besar di sana dan melihat punggung Vica yang tengah bergetar, anaknya itu sedang menangis sendirian di kamarnya. segera, Rina berjalan ke arah lain, sebuah ruangan yang tak kalah berantakan dengan ruang tamu.

Biasanya, kalau Rina berkunjung ke rumah ini, Arshad dan Vica sedang bermain berdua, entah bermain kartu atau bermain monopoli di sana, atau sekedar melihat Vica mewarnai rancangan rumah yang gagal dibuat Arshad. Tapi hari ini, lagi-lagi ia malah melihat hal yang sama.

Bungkus rokok, puntung rokok, bahkan abunya ada dimana-mana, banyak kertas berserakan, bergulung-gulung dan bahkan tabungnya pun terbuka begitu saja di banyak tempat. Sebagian malah sudah rusak, entah diapakan oleh Arshad.

Dan pria itu di sana, membelakangi Rina, sibuk mencoret-coret rancangannya, menjambak rambutnya, kemudian menyingkirkan kertasnya begitu saja. tidak berhasil menggambar apa yang sedang ia kerjakan.

Kelakuan anak dan menantunya ini sungguh memprihatinkan, Rina menutup pintu ruangan itu dan menghampiri Arshad. Ia menepuk pundak menantunya dan berkata, "Nak. Bisa bicara sama Mama sekarang?"

Arshad terperanjat. Buru-buru ia bereskan pekerjaannya dan menatap mertuanya, "Maaf Ma, berantakan," katanya.

Rina tersenyum tipis, "Kamu abisin berapa rokok? Banyak begitu puntungnya."

Arshad tak menjawab.

"Shad, Mama sayang loh sama kamu. Makanya Mama coba untuk nggak marahin kamu juga. Tapi ini salah. udah satu bulan kalian diem-dieman begini. Mau gimana coba ke depannya?"

"Kalian itu harusnya saling menguatkan, bukan saling menjauhi begini. Lagi pula, kalau Vica keguguran, ya mau bagaimana lagi, udah harusnya begitu juga kan? janganlah berlarut-larut dari kesedihan yang kalian alami. Ini takdir Allah loh. pernikahan kalian itu takdir Allah, tapi kalian bisa menerima dan menyambutnya kan? kenapa takdir begini nggak bisa kalian terima juga?"

Arshad menelan ludahnya. Masalahnya, ia juga tidak tahu harus melakukan apa. Setiap kali ia mendekati Vica, wanita itu malah semakin menjauhinya, lebih parahnya lagi Vica terkadang malah berteriak-teriak, dan Vica juga berkata bahwa sangat sulit untuk melihat Arshad. Ia butuh waktu, maka dari itu Arshad juga memberinya waktu. Hanya saja, ia tidak menyangka bahwa waktu yang Vica masih saja belum berakhir bahkan setelah satu bulan.

"Arshad. Dengerin Mama, ini bukan apa-apa. kalau begini aja kalian nggak bisa lewatin, mau gimana kedepannya? Kamu sehat kan Shad? Apa masalahnya coba? Kalian bisa mencoba lagi sampai Vica hamil lagi. beres kan? kenapa harus memperumit suasana begini sih?"

"Sekarang. Kamu bujuk Vica, mau dia lempar kamu, maki kamu, biarin aja. durhaka juga dia kalau kayak gitu ke suami. Yang penting kamu aja jadi suami yang bener. Samperin dia, ajak dia ke dokter. Sana, konsultasikan semuanya ke dokter. Kesehatan Vica, kesehatan kamu, kalian bisa mulai promil juga. Menurut Mama, satu-satunya jalan memang itu Shad. Kalau memang masalah kalian karena kegugurannya Vica. Lagian kamu ini Shad, hamilinnya mau, masa menghiburnya nggak mau sih. usaha dong, Mama tahu kok anak Mama nyebelin, makanya Mama ngomongnya ke kamu. Tapi kan kamu-ah, udah ah nanti kita malah ribut lagi. maafin Mama ya sayang kalau kamu kesinggung. Abis kesel juga."

Arshad tersenyum, "Sebelum ajak Vica, Arshad mau pastiin sendiri dulu aja Ma, supaya Arshad tahu apa yang harus Arshad jelasin sama Vica," katanya.

Rina tahu kalau ia sudah melakukan hal yang benar, bahkan senyuman di wajah menantunya pun membuat Rina yakin kalau hubungan mereka akan kembali ke sedia kala.

Tapi sayangnya, semua hanya keyakinannya saja, pada kenyataannya... yang terjadi justru berbeda. satu minggu kemudian, Arshad mendatangi rumahnya dan menangis di hadapannya.

"Mama, maafin Arshad. Maaf Ma, Arshad memang nggak becus jalanin rumah tangga sendiri."

"Duh, Shad. Kamu kenapa? tiba-tiba begini?"

Arshad menatapnya dengan air mata yang membasahi wajahnya, "Arshad mau cerai sama Dii Ma,"

"A-"

"Sampai kapanpun anak Mama tetap menjadi satu-satunya wanita paling berarti di hidup Arshad. Dia orang yang tak pernah bisa tergantikan sama siapapun juga. Semenyebalkan apapun Dii, itu nggak masalah buat Arshad Ma. Dan apapun yang terjadi, Arshad tetep cinta sama dia dan Arshad tetap akan mendo'akan dia. Tapi masalahnya..."

Detik itu berhenti. Arshad tak bisa melanjutkan ucapannya dan malah menangis seraya meminta maaf pada Ibu mertuanya. Rina bahkan tak bisa berkata apa-apa. ia terlalu terkejut dengan kedatangan Arshad yang tiba-tiba. Padahal Rina kira, Arshad dan Vica akan berbaikan. Tapi ternyata...





TBC





Tapi ternyata, dilanjut di part selanjutnya hahahahaha

Hai semua, apa kabar? Ya allah maapin udah hampir sebulan ya aku gak muncul. abis gimana, kerjaan kantor bener2 numpuk. Kerjaan rumah sama aja, aku bener-bener gak ada waktu nulis (tapi waktu buat fangirl an ada HAHAHAHAHA)

Buat yang menebak2 apa ibunya Vica tau, ini dia jawabannya... dia gak tau kalau acad nggak sehat :(

Si acad keren ya, galau ke pesantren. Kalah euy aku, kalau galau malah karaokean terus nyanyi lagu lagu sedih cem tiada guna. JANGAN KAU UCAPKAN CINTAAA KUTAK MAU MENDENGARNYAAA AKU SUDAH TAK PERCAYA, AKAN ADANYAAA CINTAAA~

Banyak cara sih buat mengatasi kesedihan, kalian bebas mau melakukan apapun juga. Toh yang tahu apa yg kita butuhkan jg diri sendiri kan, yg tau self healing juga kan kita sendiri. mau karaokean, teriak2 di tengah jalan, luntang lantung di jalan bawa motor ga jelas tujuan, atau apapun itu... bebas. Boleh kok. Yang gak boleh itu menyakiti diri sendiri, sayat-sayat tangan, gedor2 kepala, jangan ya. dari pada begitu mending cari seseorang dan ceritakan keresahan kamu. Kalau ga bisa bilang, ya tulis aja apa yang kamu rasakan, biarkan kamu aja yg tau apa yang ganggu kamu, biar kamu sendiri aja yg tau seberapa menderitanya kamu, gak apa apa asalkan tidak menyakiti fisik sendiri. ya sayang sayangku?

Oke kita lihat ya kedepannya gimana.

Btw soal ayam geprek di belakang DU aku sendiri gatau apa namanya tapi pernah lewat dan wow! gelaaa, penuh bgt antriannya hahahaha

Oiya, ada kabar mengejutkan gaiesss...

BESOK SENIN MUAHAHAHAHAHA!

Ya udah deh, gitu aja. ini udah aku edit dalam keadaan mata ngantuk, jadi kalau ada typo atau kalimat ngaco, komen aja ya, tapi tolong banget... jangan sengaja cari typo sama kalimat ngaco. Itu bakalan bkin kalian gak menikmati cerita karena sibuk cari cari kesalahan. Ya gimana lagi, mohon dimaklumi aja ya.

Dah,

AKU SAYANG KALIAN :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro