E N A M
"Kak Dimas, emangnya kak Dimas nggak suka sama aku? aku cantik tahu," Vica tersenyum lebar di hadapan Dimas—guru les temannya yang dua bulan ini senang sekali Vica temui. Saking sukanya pada Dimas, Vica sampai rela les dua kali, pertama di SSC tempatnya les sepulang sekolah, kedua di rumah Dewi—temannya yang mempunyai guru les setampan dan sekeren Dimas. Ya ampun!
Dimas tersenyum tipis, "Kita lanjutin ya bahasannya. Jadi, persamaan—"
"Persamaan aku sama kak Dimas, apa?" tanya Vica dengan polos.
Dewi menyikutnya, memberitahunya untuk diam dan mendengarkan tapi Vica malah tak menghiraukannya.
"Jawab dong. Jawab atuuuuh, jawab," pinta Vica.
Dimas menghela napas, "Kania, PR kamu banyak loh."
Dipanggil Kania seperti itu, Vica tersipu. Ia menundukkan kepala seraya senyam senyum nggak jelas, kesenengan karena Dimas memanggilnya seperti itu.
*****
Seketika mata Vica melebar. Ia teringat dengan semua masa lalu gila yang sudah ia lupakan. Vica menganggap semuanya sebagai dosa besar atas apa yang sudah ia perbuat dan sekarang... Vica benar-benar tidak menyangka kalau dosanya akan berwujud sebagai Dimas yang sekarang muncul dihadapannya. Dan... bodohnya lagi... KENAPA MULUTNYA HARUS REFLEK MENYEBUTKAN KATA DIMAS?!
Vica menelan ludahnya. Ia menatap Dimas dengan seksama, pria itu mengerutkan kening, menatap Vica penuh selidik, lalu mengerutkan keningnya lagi. Dari gelagatnya, Vica menyadari satu hal bahwa Dimas sepertinya tidak mengenalnya.
"Maaf, mbak—"
Sebelum pria itu melanjutkan ucapannya, Vica melihat Arshad sedang membeli rokok pada pedagang asongan yang lewat di depan tokonya, dan sebuah ide melintas di kepalanya.
Vica berteriak lagi, dengan nada suara yang sama, "D—Dimas!" panggilnya.
Arshad tidak menyahut. Tentu saja, namanya kan Arshad Darmawan, dan tidak ada unsur Dimas di sana, tapi Vica tidak menyerah dan ia menatap Dimas—pria yang menjadi gebetannya sewaktu ia SMP—kemudian berkata, "Sebentar ya Mas, saya lagi nyari-nyari orang ini," katanya.
Dimas memiringkan kepala, kemudian mengangguk sopan sedang Vica berjalan cepat menjauhinya dengan detak jantungnya yang tak terkendali. Ia menghampiri Arshad dan berteriak lagi, "Dimaaaas, dicariin dari tadi ya ampun," katanya.
Beberapa karyawannya yang mendengar Vica memanggil Arshad dengan sebutan Dimas kebingungan, mereka saling bertatapan kemudian mengedikkan bahu, tak peduli dan memilih untuk kembali bekerja sementara Arshad yang dihampiri Vica begitu saja... mundur dan mengerutkan keningnya.
"Hello, mantan... kenapa manggil aku—"
"Dimas, nanti kita bicara lagi ya. Sekarang tunggu di toko depan aja gimana?" tanya Vica lagi.
Arshad kebingungan, tapi Vica menatapnya seraya melotot dan memberinya peringatan.
"Apa sih Dii?" tanyanya tak mengerti.
Vica berbicara seraya merapatkan bibirnya, "Udah nurut aja nanti aku jelasin," katanya.
Arshad terkekeh, "Kalau gitu pulangnya temenin ke Karnifor," pintanya.
Vica memejamkan mata. Pria ini... Tuhan, pintar sekali mencari kesempatan.
Tapi ya bagaimana lagi, situasi Vica juga kan terjepit. Akhirnya ia mengangguk dan menyelesaikan sandiwara tiba-tibanya lalu kembali ke hadapan Dimas dengan laju jantungnya yang tak terkendali. Ya Tuhan... begini ya, orang yang punya dosa itu memang hidupnya nggak bakalan tenang.
"Jadi, gimana Mas? Maaf ya, tadi kepotong," kata Vica.
Dimas tersenyum tipis dan tak berkomentar apa-apa.
Ah, pria ini... masih pendiam saja rupanya.
"Jadi, Mas mau ambil baju?"
Diingatkan seperti itu, Dimas tersenyum. Ia menunjukkan sebuah ponsel berwarna pink dan menunjukkan nomor Vica yang berada dalam log panggilannya, "Mbak telpon saya untuk anterin baju atas nama Irdina. Dan kebetulan saya nggak punya notanya, jadi saya hanya punya ini saja sebagai bukti. Kira-kira bajunya bisa diambil?"
Seketika ekspresi wajah Vica berubah. Wanita itu mencelos. Ia menatap Dimas seraya menelan ludahnya dengan berat.
Ya ampun... apa yang Vica harapkan sih? Kenapa juga ia harus gugup barusan? Toh Dimas saja tidak mengenalnya. Tidak... tidak, bukan ini yang terpenting sekarang. Tapi kenyataaan bahwa Dimas mengambil baju atas nama Irdina yang jelas-jelas baju yang diambilnya saja baju pengantin.
Betapa konyolnya. Apakah Vica berpikir bahwa Dimas masih lajang? Jangan gila! Ia saja sudah pernah menikah. Masa Dimas belum?
Dari usia saja, mereka terpaut lima tahun. Dimas hampir tiga puluh tahun, jadi untuk ukuran orang Indonesia, usia segitu memang seharusnya sudah menikah. Sudah punya anak malahan.
Melupakan sejenak kekecewaannya yang tiba-tiba, Vica tersenyum dan berjalan menuju lemari penyimpanan lalu menyerahkan bajunya pada Dimas.
"Silakan dicek," katanya.
Dimas tersenyum tipis, "Memang benar ini," ucapnya. Ia menatap Vica dan tersenyum, "Terima kasih ya Mbak," katanya.
Vica tersenyum manis. Ia mengangguk, lalu melepas kepergian Dimas dengan helaan napasnya yang terdengar begitu berat.
Bertemu dengan gebetannya sewaktu SMP, cinta gilanya Vica... tapi kenapa ia malah tidak bahagia ya? Apa karena Dimas tidak mengingatnya? Lagi-lagi Vica menanyakan hal itu pada dirinya sendiri.
Tapi sesungguhnya, kalau Vica jadi Dimas pun, ia juga tidak mau repot-repot mengingat seorang gadis SMP yang centilnya keterlaluan dan gatelnya kebangetan kemudian hobinya malah modus-modusan nggak jelas sampai...
Arg! Tidak, itu kan dosa besarnya Vica!
****
Aryan Dimas—pria itu keluar dari toko dengan penuh kepedihan. Beberapa bulan yang lalu, ia dan Irdina mendatangi toko ini berdua, gadis itu bahagia sekali. Ia bahkan selalu membicarakan mengenai baju resepsi mereka yang sudah ia desain sendiri.
"Yandiiii... kamu nggak boleh bawa aku makan kesana kemari ya. Supaya bajunya muat."
"Yandi, Yandi... menurut kamu badan aku bakal melebar nggak ya?"
"Yandii... bu Rina ini, aku ketagihan pake baju buatan dia. Kemarin waktu di Wedding festival yang aku jadi modelnya Ayu Brenda ini, dia pake kebaya buatan bu Rina dan kamu tahu nggak, keren banget dipakenya."
"Yandi, sayang. Kamu pernah nggak mikir kalau sebuah baju diciptakan buat sendiri? Aku tuh ya pas cobain baju yang dikirim mbak Anne, sampe mikir... wow! Ini baju kayaknya diciptain buat aku. Pas gitu, enak banget."
Dan bagaimana bisa... seorang gadis yang begitu suka memakai baju pengantin dan memimpikan gaun pengantin miliknya sendiri malah pergi dan meninggalkan gaunnya di sini bersama Aryan?
Serangan rasa sakit dalam hatinya kembali muncul. Ia tidak pernah tahu kalau kehilangan Irdina akan sedahsyat ini efeknya untuk dirinya.
Pria itu menundukkan kepalanya sejenak. Ia menatap baju yang dibawanya, lalu mencoba melupakannya dan memilih berjalan dengan cepat meninggalkan tempat yang menurutnya terasa menyakitkan ini.
****
"Jadi, coba lo jelasin sama gue. Kenapa lo tiba-tiba menghebohkan toko, teriak-teriak manggil Arshad Dimas, dan malah panik nggak jelas, tapi setelah itu lo malah kayak orang kena anemia. Lemas dan nggak berdaya."
Di jam istirahat, saat semua karyawan sedang makan dan hanya Vica yang berjaga di depan kalau-kalau ada pelanggan yang datang ke tokonya, Adel yang menemaninya mulai mengutarakan apa yang sejak tadi ingin ditanyakannya. Dan tebak, apa jawaban Vica.
Wanita itu menceritakan bahwa Dimas—pria yang mengambil baju yang sempat Vica antarkan—adalah gebetannya semasa SMP. Tapi itu tidak begitu mengejutkan bagi Adel. Yang justru mengejutkan adalah kalimat Vica ini, "Deeel, Adeeeel. Lo tahu nggak kebodohan apa yang gue lakuin buat si Dimas ini dulu?"
Vica terus menerus mengucapkan kalimat yang sama seraya mondar mandir kepanikan dengan suaranya yang memekik, matanya yang melebar, lalu badannya yang berjalan kesana kemari, berhenti sebentar, menatap Adel, kemudian berjalan lagi. Baru mau Adel jawab pertanyaannya, Vica sudah menanyakannya lagi. Begitu saja terus sampai kucing bertelur dan keluar naga.
"Iya. Jadi si Dimas ini kenapa?" tanya Adel untuk kesekian kalinya.
Vica menatap Adel dengan matanya yang berapi-api, "GUE MELAKUKAN DOSA BESAR SAMA DIA ADELLLLL... GIMANA DOOOONG?"
Adel, yang tidak tahu sahabatnya ini kenapa, menggaruk kepalanya, "Vic. Sini deh, lo duduk, terserah mau dimana dan gimana, kemudian lo ceritain sama gue pelan-pelan. Okey?"
Vica diam sejenak. Seperti tersadarkan, ia akhirnya mengangguk dan duduk.
"So?" tanya Adel.
"Iya, dia kan gebetan gue ya Del dulu," kata Vica.
Adel mengangguk, "Lo udah kasih tahu barusan."
"Iya, dan... jadi, intinya. GUE TUH GATEL BANGET SAMA DIA DULUUUU," teriak Vica, kembali ke mode kepanikannya yang sebelumnya.
Ya Tuhan....
Wanita satu ini, minta banget di solasi ban, mulut dan badannya?
"Contohnya?"
"Contohnya gue sering modusin dia Deeel."
"Seperti?"
"Yang paling ringan begini."
"Gimana?"
"Kak Dimas. Kalau kakak sama aku, maka hidupku seperti nilai sinus 90 derajat, sempurna seperti angka 1. Jika aku kehilangan kakak, maka hidupku seperti nilai cosinus 90 derajat, kosong seperti angka 0, dan dari semua hal yang bisa diungkapkan dengan logika, cintaku sama kakak seperti nilai tangent 90 derajat, tidak pernah bisa didefinisikan."
Seketika, Adel bergidik dengan ngeri dan ia menatap Vica tak menyangka, "Tetehnya... itu versi ringan?"
Vica mengangguk, sedang Adel kembali bergidik, "Lo kerasukan setan apaan!!!" pekiknya.
"Justru itu! mungkin karena gue abis baca FF nya Doublechoi waktu itu, yang lo saranin ke gue itu loh Del. Tuh kata-kata jadi nampol di kepala gue dan... karena Dimas ini guru matematika, ya gue mikir pasti dia seneng denger kata beginian."
"Ya ampun. Begog lu Vic, begog sumpah! Hahahahaha."
(Begog itu bahasa sunda, kayak sok dewasa begitu. sok udah bener)
"Dan lo mau tahu versi beratnya? Yang membuat gue merasa sangat berdosa pada dia, pada semua dan pada diri sendiri?"
"Apa?"
"Gue sakit. Dan gue SMS dia. Lo pikir aja, gue SMS dia dan gue bilang... kak, aku sakit. Dan aku hampir mati, tapi aku yakin. Kalau obatnya cuman satu, kakak."
"Astagaa Vicaaaaaa. Hahahahahahaha. Iiiih, sana jauh-jauuu. Gue nggak mau kenal sama lo," teriak Adel.
"Dan... Adel, lo mau tahu nggak dia bales apa?"
Adel yang masih tertawa dengan puas, menatapnya dan bertanya, "Apa?"
"Dia bales, Kania... kamu memang sakit, dan harus segera ditangani dokter."
"HUAHAHAHAHAHAHAHA. Dokternya ini berkonotasi Vic, dia nyuruh lo ke rumah sakit jiwa! Hahahahaha."
"Ya, itu dia. Gue ngerti, makanya gue bales lagi."
"Apa? lo bales lagi?"
"Ya, dan gue bales dengan.... aku kan memang gila. Gila sama kakak."
Tawa Adel pecah. Benar-benar pecah sampai gadis itu mengeluarkan air mata saking puasnya ia tertawa. Sementara Vica, malah mengerucutkan bibir seraya menggelengkan kepalanya. Dosanya pada Dimas... memanglah dosa besar. Sebuah aib yang sempat Vica lupakan namun ia ingat lagi karena Dimas malah muncul di hadapannya.
"Tapi untungnya sih dia nggak inget gue, walau gue reflek udah manggil namanya tadi."
"Oh, jadi lo manggil Arshad dengan sebutan Dimas itu... kamuflase?"
Vica mengangguk, sementara Adel tertawa lagi dengan keras, "Ya ampun. Nasib si Arshad. Kasian amat, hahahahaha."
"Tapi kok dia minta bajunya dibuang ya Del?" tanya Vica tiba-tiba. Ia menceritakan tentang bagaimana sulitnya ia mengembalikan baju Irdina hingga pada akhirnya Dimas sendiri yang mengambilnya ke toko.
"Ya mana gue tahu, kenapa lo nggak tanya coba?"
"Ih ngapaiiiin. Tanya-tanya gebetan gituan? Nggak mau!"
"Tolol!" desis Adel, "Lo kan bisa nanya, Mas... bajunya kok telat diambilnya. Bukannya mau dipake blablabla ya gitulah. Basa-basi penjual, you know?"
"Iya juga ya. Ah, bodo ah. Orang mau nikah juga, emang gue pikirin."
"Apaan?" Arshad tiba-tiba. Pria itu masuk ke toko seraya membawa sebuah bungkusan.
"Kepo!" ketus Vica.
Arshad tertawa, "Kepo is care," katanya.
"Care is love Shad," goda Adel.
Pria itu cekikikan, tengil seperti biasanya. Ia menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada Vica dan berkata, "And love is you, Dii," katanya.
Vica menggeplak kepalanya dengan keras, "GELIIIIII!"
"Hahahahahah Shad, Shad. Kasian amat, malah digeplak," ledek Adel.
Arshad mendesis. Ia menyerahkan lagi bungkusan yang belum diterima Vica sebelumnya, "Nih. Es campur gelap nyawang favorit kamu," katanya.
"Pake Alpuket?" tanya Vica.
"Nggak dong. Itu kelapanya dibanyakin, alpuket sama timun surinya nggak ada, dan extra susu soalnya suka nggak manis kan kata kamu juga."
"Uuuh, hapal banget Shad," ucap Adel.
Ucapannya tak dijawab oleh Arshad karena pria itu malah bertanya pada Vica, "Jam empat ya?" katanya. Memastikan.
Vica mendengus, namun pada akhirnya ia mengangguk hingga Arshad cekikikan dan berlalu dari hadapan mereka.
Adel yang mendengar ucapan Arshad bertanya, "Lo mau pergi sama dia?"
Vica mengangguk, "Dia pengen ke karnifor."
"Tempat nge date kalian? Ya ampun! Teteh sama aanya ini mau CLBK?"
Satu gulungan kertas mengenai kepala Adel karena Vica memukulnya dengan ringan, "Sengene!"
TBC
Ini kali ke berapa ya aku ngetik, keempat kayaknya. Karena pertama dan kedua aku kurang sreg dan akhirnya sreg di bagian ini.
Untuk bagian yang con, sin, tangen itu aku kutip dari FF Favoritku sepanjang masa punyanya doublechoi yang uwow uwow yeyeyeh keren banget dan membekas banget di hati aaaak tabiiiii *mulai histeris* jadi untuk yang tahu dimana doublechoi eonni berada, tolong kasih tahu dia, "Mbak, ini ada fans nya hyun couple sama wonmi couple mulai kejang kejang karena kangen tulisannya mbak!" wkwkwkwkwk
COBA ANGKAT TANGANNYA YANG PERNAH GATEL DAN ALAY KAYAK VICA KE GEBETAN!!! Hahahahahaha gila ya, itumah aib terbesar banget. Si Vica kalau gatel emang gak ketulungan, gilanya kebangetan. Malu aku malu... pada semut merah... yang berbaris di dinding menatapku curiga, seakan penuh tanya... sedang apa di sini... menanti jodoh jawabku :"
Tuhkan aku mah kalau ngomong gak akan bener wkwk
BTW MAU LIAT DIMAS GAK? HAHAHAHA
Nih fotonya! Hihihihi
Aku sebenernya lagi suka dia, karena abis nonton 13 Reason Why, dan wow! Si Zach Dempsey ini punya charm yang... dia jalan aja bikin jantung kebat kebit HAHAHAHAHA senangnya jadi jomblo, bisa menikmati ketampanan pria lain tanpa harus bersalah pada pasangan sendiri *inimah akal akalan jomblo aja ngobatin hati*
Oh iya omong2 soal film ini, karena aku suka, aku bahas dulu deh sebentar.
Jadi, pesan yang bisa aku ambil dari film ini adalah... bahwa ucapan, sekecil apapun, seringan apapun, yang menurut kita biasa-biasa aja, rupanya bisa berdampak berat banget pada orang lain, bahkan bisa bikin orang separah itu menderitanya. Jadi kepada kalian para penghuni wattpad... bijaklah dalam berkata-kata :) ini media sosial, dan komentar dalam bentuk tulisan, setiap orang punya nada berbeda-beda dalam membaca, dan bisa jadi yang tadinya komen biasaaja malah jatohnya pas dibaca, malah kayak nyindir atau nyolot. Sekecil gini loh gaes, segini doang, dampaknya itu bisa luar biasa. Kita nggak tahu, kalau kata-kata "Lama amat" misalnya, begitu doang, bisa membuat si orang yang kita komen ini down berhari-hari, bahkan berminggu2. Ya oke sih, kita bisa mikir dia baperan... tapi... tahukah kalian bahwa tingkat sensitifitas orang berbeda2? Iya! Itumah dianya aja sensitif! Nah, pikir lagi. apakah kita tahu, apa yang bikin dia sensitif? Kan nggak tahu juga. Bisa aja, dia lagi ditimpa masalah besar dan komentar kita malah semakin menjatuhkannya kan? Nggak ada yang tahu. Semoga bisa jadi bahan introspeksi diri ya, aku juga selalu menyadarkan ini pada diri sendiri. Ya, namanya juga manusia. Intinya sih kalau nggak suka, cukup tinggalkan, jangan menjelek-jelekkan. Kalau kasih kritik, yang membangun, bukan menjatuhkan, dan kalau mau nyepik... yah yang bener biar bisa sampai ke pelaminan. Karena orang yang nyepik itu kata katanya bagai busur panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku HUAHAHAHAHAHA
Fyi gaes. Aku full schedule banget yang makanya untuk part ini lamanya kebangetan. Semoga masih tetap setia menunggu :3
Akhir kata, selamat hari kamis.
Dah...
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro