E M P A T B E L A S
Sudah empat hari Arshad mengurung dirinya di kamar guest house yang ia tempati. Sebenarnya Arshad hendak pindah dari sini untuk beberapa hari saja sampai Linda pergi dari hadapannya, tapi sesungguhnya ia terlalu lelah. Arshad masih mencoba untuk mendiamkan Linda agar wanita itu tak berulah, tapi lama-lama pusing juga kepalanya. Pada akhirnya, Arshad malah sudah duduk di kamar Linda, melipat tangan di dada dan menatap wanita itu dengan datar.
"Lo mau apa?" katanya, "Atau lo butuh apa?" lanjutnya.
Linda yang masih memakai kimono satinnya berdiri seraya menyandarkan dirinya di meja belakangnya, "Lo," sahutnya.
Arshad mendengus, "Oke, gue pergi. Karena lo nggak jujur," kata Arshad.
Pria itu bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju pintu namun tangan Linda meraihnya dan menghentikannya, "Bantuin gue," katanya.
Sekarang Arshad menatapnya lagi dan memutuskan untuk kembali duduk, "Ceritain semuanya," pinta Arshad.
Linda menautkan jemarinya. Ia menatap Arshad dan menjelaskan semuanya dengan ringan, "Om Kurniawan yang biayain gue sekarang ternyata bandar narkoba. Dia baru ditangkep, dan gue takut kalau gue kena juga. Secara, gue makan uang dia."
Astaga....
Arshad benar-benar tak habis pikir dengan isi kepala Linda. Sudah tahu caranya hidup itu salah, wanita itu masih saja tidak mau bertaubat.
"Berapa kali gue bilang untuk berhenti. Lo masih nggak kapok juga? Kepala Dinas yang sebelumnya, korupsi, kepala Lapas... kena suap, Pak Tomi... penggelapan uang, dan sekarang lo terjebak sama orang yang jadi bandar narkoba? Lin, kalau lo mati sekarang, lo nggak perlu dihisab. Langsung masuk neraka sih gue jamin."
Perkataan Arshad memang setajam itu kepadanya, tapi Linda tidak peduli. Arshad mau menasehatinya seperti ini saja ia bersyukur, sungguh.
"Gue baru bisa berhenti kalau gue dapetin lo."
"Dan itu nggak akan pernah bisa lo dapetin."
"Kalau gitu gue tetep pada jalan gue."
"Itu pilihan lo, dan konsekuensi lo juga yang nanggung, bukan gue."
Linda menghela napasnya, "Lo sangat peduli sama Vica sampai-sampai lo nggak mau hidup dia hancur karena dia hidup sama orang kayak lo, tapi ke gue? lo lupa sejarah kita dulu?!"
Arshad menggelengkan kepalanya, "Sejarah kita apaan? Seinget gue, lo adalah orang yang seret gue buat kenal dunia gelap, lo menghibur gue dan mengajarkan gue untuk melampiaskan semua kehancuran hidup gue karena gue nggak punya siapa-siapa lagi dengan cara yang salah. Cukup Lin, gue udah cukup malu dengan masa lalu gue yang nggak jauh dari minuman, rokok, dan cewek-cewek yang nggak pernah gue pake tapi kerjaannya malah abisin uang gue. Udah untung gue nggak masuk perangkap lo buat kenal yang namanya narkoba."
Linda mendesis, "Lo ngomong seolah-olah lo benci dengan apa yang pernah lo lakukan, padahal bukannya dulu lo merasa bersyukur?"
Arshad tersenyum miring, "Lo harus menemukan orang yang menyelamatkan lo dari semua ini Lin. Lo mau apa? ke pesantren? Oke, gue anterin lo kesana sekarang juga."
Alih-alih tergugah, Linda malah menatap Arshad dengan nyalang.
"Sebenernya gue nggak suka cara lo berbicara kayak barusan, tapi hati gue nggak bisa bohong, cinta ya cinta aja," katanya.
Dan kata-kata cinta yang Linda ucapkan ini benar-benar membuat Arshad muak. Bukan apa-apa, Arshad bukannya tidak menghargai perasaan seseorang, hanya saja... dalam kasus Linda ini, wanita itu tak pernah bisa dipedulikan. Seharusnya, kalau Linda memang mempunyai perasaan kepada Arshad, ia harus bertekad untuk berubah, bukannya menghancurkan dirinya sendiri dengan dalih ia akan berhenti jika Arshad bersamanya. Memangnya semua itu menjadi jaminan? Toh sekaya apapun Linda sekarang, pekerjaannya tetap sama; menghabiskan uang. Sebanyak apapun uang yang dia punya, pasti Linda masih belum merasa puas hingga akhirnya ia mencari mangsa lagi untuk memberikannya kepuasan berupa uang yang melimpah. Sumpah, Arshad tidak tahu lagi harus seperti apa menasehati wanita ini. Meminta bantuan pada Gilang pun percuma, baru Gilang mengucapkan satu kata saja wanita ini sudah melenggang pergi. Menyebalkan bukan?
"Lo tahu nggak, apa yang membuat gue berhenti?" tanya Arshad tiba-tiba.
Linda menatapnya, wanita itu tak menyahutinya namun ia mendengarkannya.
*****
Arshad tidak pernah menyembunyikan dirinya pada siapapun, ia selalu menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya, pun kepada Vica... wanita yang tanpa sengaja ditemuinya dan yang kini duduk di hadapannya, keluar bersamanya hanya untuk menyantap makan siang.
Wanita itu makan dengan lahap sementara Arshad malah sibuk menghabiskan rokoknya yang ketiga. Sungguh, ia sangat kecanduan sekali dengan yang satu ini.Uuntung saja VIca tak masalah dengannya. Wanita itu tidak terganggu sama sekali dengan asap yang mengepul di sekitarnya.
"Kamu lebih suka ngerokok daripada makan nasi?" tanya Vica begitu selesai makan.
Arshad mengangguk, "Aku jarang makan."
"Kenapa?"
"Udah kebiasaan."
"Emang nggak laper?"
"Nggak tahu," sahut Arshad begitu saja. Ia sudah selesai dengan rokoknya yang ketiga. Pria itu mengambil satu lagi namun tangan Vica menahannya. Gadis itu menatap Arshad dengan polos, "Lebih suka ngerokok lagi? atau mending ngobrol sama aku di sini. nggak sayang emangnya ada cewek cantik di depan kamu terus malah kamu anggurin?"
Seketika Arshad tergelak, "Aku nggak anggurin kamu, aku temenin kamu makan."
Vica menggeleng, "Tapi kamu nggak makan. Sebentar ya, biar aku pesenin makan dulu."
Gadis itu buru-buru mencari-cari menu yang menurutnya pas untuk Arshad dan segera memesannya. Arshad tidak bisa menolak, pergerakan Vica ini cepat sekali menurutnya, bahkan rokoknya saja sudah menghilang di atas meja, entah VIca buang atau Vica masukkan kedalam tasnya.
"Besok pulang ke Jakarta ya?"
Arshad mengangguk.
"Kalau pulang ke sana, pasti kamu dugem lagi, minum-minum lagi, terus kamu main cewek lagi. iya nggak sih?"
Arshad tertawa, "Aku nggak pernah main cewek seperti yang kamu pikirkan Dii, mereka cuman temenin aku aja, dan aku bayar atas permintaan mereka."
"Nggak ngerasa sayang sama uang kamu Shad? Maksudnya, orangtua kamu capek-capek bikin usaha buat anaknya, begitu mereka meninggal, uangnya malah dipake buat nggak bener. Kalau mau ditemenin, kenapa nggak cari istri aja Shad. Kamu bisa ditemenin seumur hidup, dan uang yang kamu keluarin pasti muter, buat makan kamu juga, buat baju kamu juga, buat hidup kamu juga. Gimana, tertarik nggak?"
Detik itu, Arshad menatap Vica dalam-dalam, sebuah perasaan hangat melingkupi hatinya dan Arshad tidak tahu kenapa ia bisa tiba-tiba saja seperti itu.
Vica merogoh ponselnya dan mencari-cari sesuatu kemudian ia menunjukkan sebuah foto bayi pada Arshad, "Ini ponakan aku. Lihat deh, lucu nggak?"
"Iya, anak kecil memang lucu kan?" tanyanya.
Vica mendesis, "Ih, bukan gitu harusnya jawabnya. Intinya gini deh... Kamu nggak mau punya anak gitu? nggak mau punya seseorang yang lucu, yang mirip sama kamu terus manggil kamu Papa?"
Arshad merasa geli, "Nggak kepikiran itu sama sekali," sahutnya.
"Kalau gitu pikirin itu mulai dari sekarang."
"Enak banget Dii, nyuruh-nyuruh orang mikirin sesuatu," canda Arshad.
Vica menjulurkan lidahnya untuk mengejek pria itu kemudian ia menatap Arshad dengan serius dan berkata, "Pikirin itu baik-baik, tapi sebelumnya... Sebelum kamu punya anak suatu saat nanti Shad, kamu harus lepas dulu dari semua ini. kamu harus sehat, kamu harus jadi manusia yang membanggakan, it's okay sama apa yang udah terjadi sebelumnya, itu kan masa lalu. Sekalipun masa lalu kamu sehancur itu, masa depan kamu kan masih bersih, jadi nggak ada kata terlambat tuh untuk memperbaiki diri kamu. Gimana? Tergugah nggak?"
Pada saat dimana VIca menatapnya dengan hangat, dan tersenyum padanya lalu memberikan Arshad sebuah nasehat yang tak menghakimi dirinya, Arshad benar-benar jatuh untuk Vica. Gadis itu bisa menarik Arshad keluar dari semuanya hanya dengan tatapan hangat dan senyumannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Arshad mempunyai sebuah harapan. Detik itu juga ia memutuskan, bahwa Arshad tidak akan melepaskan Vica.
Bahkan setelah pertemuan mereka siang itu, Arshad kembali ke Jakarta untuk menjual semua toko peninggalan orangtuanya, ia pindah ke Bandung, membeli gedung tempat Vica menjual kainnya, fokus dengan pekerjaannya bersama Gilang, dan satu lagi... berjuang untuk bisa mendapatkan Vica dan hidup bersamanya.
*****
Arshad tersenyum mengingat kenangan manis yang kini malah mengiris hatinya. Pria itu menghembuskan napas dan menatap Linda yang masih terdiam di hadapannya.
"Itu cerita pertaubatan gue, sekalipun mungkin itu hidayah dari Tuhan, tapi gue nggak memungkiri kalau Vica turut andil dalam perbaikan hidup gue. Toh meskipun semuanya balik lagi antara hubungan gue dan Tuhan, yang bantu gue juga Vica," lanjutnya.
Linda mendengus, "Pada intinya lo suruh gue mikir yang sama juga, tentang anak?"
Arshad berdecak, "Lo nggak bisa mukul rata, gue cuman cerita, tergantung seperti apa lo mengambil hikmah dibalik semuanya."
"Tapi kayaknya gue bisa berhenti juga kalau gitu caranya. Karena lo udah bahas anak, kalau gitu gue mau punya anak dari lo aja. Gimana?"
Arshad bangkit dari duduknya, ia menatap Linda dan berkata, "Sorry to say Lin, gue nggak bisa punya anak."
Setelah mengucapkannya, Arshad pergi dari kamar Linda begitu saja. Pria itu menghembuskan napasnya dengan keras, berharap beban dalam hatinya bisa berlalu dengan mudah. Disembunyikan seperti apapun juga, rupanya rahasia yang Arshad timbun dalam-dalam di hidupnya terkuak juga, dan ia tidak menyangka kalau ia akan mengatakan semuanya pada Linda. Tapi setidaknya, Linda tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun, Arshad yakin itu.
Membuka pintu kamarnya, Arshad mengambil dompetnya di atas meja, mencari-cari sebuah foto yang berada di dalam dompetnya—foto testpack garis dua yang Vica berikan di hari ulang tahunnya tahun lalu, yang membuat Arshad tidak percaya, karena ia akan menjadi seorang ayah—setelah menjadi seorang suami. Sayangnya, manusia pendosa sepertinya memang tak boleh bahagia. Vica keguguran karena kehamilan kosongnya, hubungan mereka renggang, wanita itu mengisolasi diri dan menarik dirinya dari Arshad, kemudian Arshad... ketika ia mengecek kesehatannya—mencoba untuk menghibur Vica dan mengatakan kalau mereka masih mempunyai banyak waktu untuk bersama dan memiliki anak lagi—Arshad malah menjadi satu-satunya orang yang patut dihibur, karena ia ditampar keras oleh kenyataan yang membuatnya tak bisa mengangkat kepala. Arshad tak bisa membuat Vica hamil, dia mandul, dan semua karena gaya hidupnya, salah satunya adalah rokok yang Arshad konsumsi selama ia dan Vica tak berbicara selama satu bulan. Padahal sebelumnya ia bisa membuat Vica hamil—walaupun keguguran karena kehamilan kosong—tapi setelahnya... Ah, pendosa sepertinya memang tak bisa berharap apa-apa. Bahkan masih hidup di muka bumi saja ia sudah beruntung. Tuhan masih memberikan Arshad kesempatan untuk menebus segala dosanya dengan cara mendatangkan rasa sakit yang tak terhingga untuknya. Kehilangan cara untuk menghibur Vica, melepaskannya, dan yang paling penting adalah... memutuskan untuk hidup seorang diri sampai tua ketika sebelumnya ia sudah berpikir akan menghabiskan masa tuanya dengan Vica yang begitu ia cinta.
****
Adel menatap Vica yang sejak tadi sibuk cekikikan dengan ponselnya tetapi begitu ia menatap tempat Arshad di hadapannya, wanita itu malah cemberut, kemudian cekikikan lagi dengan ponselnya, dan cemberut lagi saat menatap kehadapannya. Terulang seperti itu sampai Adel menggelengkan kepalanya.
Ia mengirimkan pesan pada Arshad, bertanya tentang dimana pria itu berada dan apa yang dilakukannya sampai-sampai Arshad membiarkan Vica kelaparan setiap pagi, tapi Arshad malah tak membalasnya.
"Vic, makan siang sama gue yuk di luar," kata Adel begitu saja.
Vica yang sibuk dengan ponselnya tersenyum tipis,"Males ah."
"Karnivor?"
Vica menggeleng.
"Serayu?"
Vica menggeleng lagi.
"Batagor Riri?"
Vica masih menggeleng.
"Terus maunya apa dong? Tumis Arshad dengan saus penuh kedermawanan?" goda Adel tiba-tiba.
Mata Vica melebar. Wanita itu menatap Adel seraya menggoyang-goyangkan tangannya, menyanggah dengan hebat apa yang Adel katakan, "Apaan sih Del. Ngarang banget!" katanya.
Adel berdecak, "Udah lah nggak usah disanggah. Lo kangen si Arshad kan?"
"APAAN?!"
Wih, suaranya saja langsung naik beroktaf-oktaf.
Adel tertawa. Ia menatap Vica, mood sahabatnya itu sedang tidak baik hari ini. jangan banyak digoda juga, kasian lama-lama.
"Gue rekomendasiin lo tempat makan aja deh. Serah, mau makan sama siapa. Asal jangan cemberut gitu aja lah Vic."
Sekarang Vica mengerucutkan bibirnya. Ia menghela napas, "Mau pulang aja," katanya.
Wanita itu meraih tasnya dan berjalan dengan lemas meninggalkan tokonya begitu saja, bahkan Vica lupa berpamitan pada semua pegawainya. Ya Tuhan.
"Si Arshad ini, menuainya apa, menaburnya apa. sengaja bikin si Vica benci, malah bikin si Vica kangen. Hadeuh, ribet ye urusan mereka. Padahal mah tinggal ngobrol aja berdua, susah amat.," gerutu Adel.
*****
Aryan tertawa melihat daftar pesanan yang Arshad kirimkan padanya. Arshad batal datang lagi ke tokonya kemarin dan hari ini ia mengirimkan pesanannya, tapi Aryan tidak pernah menyangka bahwa kata-kata yang Arshad pesan semenggelikan ini. ada-ada saja.
"Mama minta uang."
Sebuah suara membuat Aryan menghentikan tawanya dan mengalihkan tatapannya dari ponsel menuju asal suara yang barusan ia dengar. Ibunya. Ada di hadapannya tengah menjulurkan tangannya, seperti preman yang sedang memalak seseorang yang lewat di hadapannya.
"Buat apa?" tanya Aryan.
"Buat apa kamu bilang? Ibu sendiri minta uang, harus kamu wawancara begitu? makanya! Seharusnya kamu izinin aja Mama lelang baju calon kamu, Mama jadi nggak akan minta uang ke kamu Aryan."
Astaga, kepalanya. Aryan memijatnya perlahan dan memejamkan matanya. Ia mengusap wajah sebentar lalu menatap ibunya.
"Ya, memang salah kalau tanya buat apa?"
"Buat makan."
"Aryan sudah sediakan semua di rumah, uang kuliah dan bulanan adek juga Aryan kirim Ma."
"Kalau gitu Mama minta toko kamu aja satu. Biar Mama yang kelola, dan biar Mama nggak usah minta uang lagi sama kamu."
"Ma, Aryan cuman nanya uangnya—"
"Mantan suami Mama butuh uang. Kasian dong, masa nggak Mama kasih?"
Oh, Tuhan! Ada apa dengan isi kepala ibunya ini?!
"Mama mau balikan sama dia?" tanya Aryan begitu saja. Tunggu dulu, sepertinya ini bukan urusannya. Buru-buru Aryan mengambil ponselnya dan mengirimkan uang pada Ibunya.
"Cukup nggak cukup, Aryan harap Mama nggak minta buat laki-laki itu lagi."
Setelah mengucapkannya, Aryan meraih jaketnya dan berjalan dengan cepat meninggalkan Ibunya yang malah mengerucutkan bibirnya. Wanita paruh baya itu mengecek ponselnya dan mendesah, "Cuman lima juta? Cukup buat apa?"
*****
"Kok udah ada di rumah lagi jam segini?" tanya Rina begitu Vica sampai di rumah.
Vica duduk bersandar di sofa seraya memainkan ponselnya, "Ngantuk, mau tidur," katanya.
"Eyy, orang yang banyak tidur itu biasanya depresi loh Vic."
"Mana ada. Mama kali itu," gerutunya.
Ibunya mendesis, "Liburan gih. Ke Karimun Jawa kek, ke Bali kek, atau mau ke Jepang? Nanti Mama kasih deh uangnya kalau kamu ngerasa rugi mah, gimana."
Vica menggeleng, "Nggak seru kalau sendirian."
"Ajak Arshad aja," sahut Ibunya tiba-tiba.
Vica mendelik, "Dari semua orang, kenapa harus Arshad, Mama?"
"Ya, nggak apa-apa. Kan dia bisa jajanin kamu banyak di sana, jangankan jajanan murah jepang, pohon sakura aja pasti dia beliin buat kamu sayang."
Hadeuh. Ada yang tidak beres dengan ibunya ini.
"Ma, kita kan udah pisah. Nggak usah lah Mama sebut-sebut dia lagi. toh si Arshad juga kayaknya lagi selimutan sama cewek lain sekarang."
"Eh, ya nadanya biasa aja sayang. Kenapa ngegas gitu, kayak omongin suami lagi selingkuh, hahahaha."
Sial, Vica malah diledeki habis-habisan oleh ibunya sendiri.
Wanita itu memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tengkurap di atas ranjang lalu menatap ponselnya.
Vica melihat room chat nya bersama Arshad yang kosong—karena selalu Vica hapus. Wanita itu mengetikkan sesuatu.
Seneng ya selimu—oke, hapus.
Wey! Playboy! Kema—tidak, hapus.
Cewek kamu pasti—oh, tidak, tidak, tidak. Hapus!
Melemparkan ponselnya, Vica memutuskan untuk tidak mengirim pesan apa-apa pada Arshad. Sebodo amat, mau si Arshad kemana pun juga, bukan urusannya!
Iya, bukan urusannya, tapi setelah satu jam berlalu dengan lambat bagi Vica yang hanya tengkurap di atas ranjang seraya menatap ponselnya. Ia menyerah juga. Tanpa berpikir apapun, Vica mengirimkan sebuah pesan pada Arshad.
Dimana ai maneh?!
(Dimana kamu? Maneh: kasar, tapi tidak terlalu kasar. Tingkatannya bahasa ke sebaya)
Menyadari bahwa pesan yang ia kirimkan mungkin terlalu kasar, Vica memutuskan untuk menarik kembali pesannya. Aaaarrggg! Bodo amat! Terserahlah! Pokoknya terserah dan Vica tidak peduli!
TBC
Ada, dicuekin.
Gak ada, dicariin.
Hadeuh, kelakuan.
Semacam ada, tapi nggak mau, nggak ada, tapi mau-mau. Ini nih, penyakit cewek paling parah yang sulit sekali disembuhkan sekalipun
Oke, udah ketauan ya kenapa Arshad menjauh bikos he is mandul :( SEPULUH TAHUN SUDAH KITA BERUMAH TANGGA TAPI BELUM JUGA MENDAPATKAN PUTRAA~ (tanpa mengurangi rasa hormat, aku cuman nyanyi aja, maafin bgt kalau ada yang tersinggung)
Ya nyesek juga sih ya... sayang-sayangku, mari kita analisis:
Arshad: cakep, slengean, petakilan, kaya, tapi hidupnya menyedihkan, ga punya rumah karena tinggal di guest house, gak punya kerjaan karena nunggu setoran kayak preman, perhatian sama cintanya gede bingit, kepeduliannya juga gede, tapi gak bisa kasih anak.
Aryan: cakep, dewasa, baik hati, pengertian, pribadi yang tenang, kaya, kreatif, punya rumah tapi dibangun untuk tinggal sama istri yang gak jadi, kerjaan pengusaha yang menjanjikan bingits, tapi punya emak yang nyebelin pake banget, dikasih hati minta jantung, dikasih lambung minta usus.
Ah, kusungguh lelah. Namanya juga manusia yah, gak sempurna. Bikos kesempurnaan adalah milik Allah dan kesempurnaan cinta adalah milik... *isi sendiri ah cape aku menyampaikan hal yg sama bertahun2 di setiap cerita* wkwkwkwkwk
Bonus aku kasih foto arshad~
Namanya Boy Pakorn, dia aktor dan penyanyi thailand yang sedang kugandrungi banget banget banget hahahahahaha
Oke deh sampai di sini aja part ini, part selanjutnya ga janji cepet tapi semoga gak selama kayak kemarin ya.
Selamat hari rabu yang rasa senin ini.
Dah...
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro