D U A P U L U H T U J U H - END
Dua Tahun Kemudian.
Rina memiringkan kepala dengan keningnya yang mengerut. Ia menatap sebuah bingkai foto yang terpajang di toko anaknya seraya menggelengkan kepala kemudian berdecak, tak habis pikir.
"Tan, susu buat Kamas bener kan segini?"
Suara Adel membuat Rina terperanjat. Ia segera berbalik dan melihat cucunya yang masih menggigit mainan yang dipegangnya di strollernya. Wanita paruh baya itu memegang dadanya, merasa lega. Ia melirik Adel, memperhatikan botol susu yang Adel bawa dan mengangguk, "Udah bener segitu. Penuhin aja Del, cucu tante ini sama kayak mamanya, suka rakus kalau lagi laper."
Adel tergelak, "Mamanya nggak usah ditanya sih tan."
Rina mengangguk. Ia meraih botol susu dari tangan Adel dan menyerahkannya pada cucunya. Setelah memastikan bahwa cucunya sudah nyaman dengan posisinya, Rina kembali berkutat pada kesibukannya yang sebelumnya; menatap bingkai foto yang masih saja membuatnya kebingungan.
"Del, kamu paham nggak sih fungsinya pigura ini disimpen di sini buat apa?" tanya Rina tiba-tiba. Jangankan Rina, semua orang juga akan kebingungan dibuatnya. Bukan apa-apa, yang Vica pajang di bingkai foto itu bukan lukisan atau karya seni lainnya melainkan sebuah kartu nama pesantren! Catat. Kartu nama pesantren! Yang seharusnya dibaca sekali saja juga sudah tahu alamatnya, tapi ini... Vica malah sengaja memajangnya dalam pigura. Anaknya itu memang sudah tidak waras, bahkan sampai beberapa tahun berlalu.
"Di mata Vica, yang keliatan sama dia itu kayaknya muka Arshad deh Tan, bukan kartu nama," sahut Adel.
Arshad. Tepat, kartu nama itu berhubungan dengan Arshad, karena pria itu ada di sana.
Dua tahun yang lalu, ketika pertama kali Vica menempelkan pigura itu, Adel bertanya maksudnya apa, tapi Vica tak menjawab apa-apa. Kemudian dua bulan setelah pigura terpasang, tiba-tiba Vica berkata bahwa ia akan mengirimkan seragam setiap dua bulan sekali untuk anak-anak pesantren yang akan dibuat langsung olehnya. Vica tidak meminta Adel membantunya, wanita itu benar-benar menjahitnya sendiri. Bayangkan saja! Dua ratus seragam dikerjakan sendiri? Vica memang kurang kerjaan! Atau memang dia sengaja mencari-cari pekerjaan?
Dua tahun yang lalu, karena rasa penasaran dan khawatirnya bercampur menjadi satu, Adel berdiskusi dengan Rina dan akhirnya mereka mendatangi pesantren itu tanpa sepengetahuan Vica.
Di sana...
Adel dan Rina melihat Arshad. Dan kejanggalan-kejanggalan dari perilaku Vica sebelumnya tiba-tiba saja terkuak. Rupanya... Vica bermasalah dengan perpisahannya bersama Arshad, dan wanita itu... tidak pernah baik-baik saja.
"Tapi kenapa atuh Vica nggak nemuin-nemuin Arshad ya Del? Udah dua tahun loh ini."
Adel mengangkat bahunya, tidak tahu.
Padahal sebenarnya Adel tahu. Adel pernah bertanya pada Vica, dan wanita itu menjawab, "Gue belum siap ketemu dia kalau gue masih bawa luka dari kebersamaan kita yang sebelumnya Del."
*****
Hidup dalam kenangan dan penyesalan adalah penderitaan paling menyakitkan yang membuatmu ingin berteriak menggugat atas takdir yang menimpamu. Namun, kau bisa apa? Berteriak hingga suaramu habis pun percuma. Kembali pada kenyataan bahwa dalam hidup ini, kau hanyalah seorang manusia yang jalan hidupnya sudah ditentukan.
Tentu saja, ada hal-hal yang masih bisa kita ubah seperti nasib kehidupan kita, dan mungkin mengenai hubungan kita antara sesama manusia, kita bisa memperbaikinya, kita bisa menguatkannya, tapi pada akhirnya... yang ditakdirkan untukmu memang akan kembali kepadamu sekalipun ia jauh, sementara yang tidak pernah ditakdirkan untukmu... tidak akan pernah jadi milikmu. Bahkan ketika kau berusaha setengah mati pun, ia tidak akan pernah menjadi milikmu.
Vica menghela napasnya. Sesungguhnya ia tahu dimana Arshad berada. Vica jelas tahu kemana seharusnya ia mengejar Arshad, tetapi Vica tetap bertahan pada satu hal; Arshad yang pergi darinya. Arshad yang melepaskannya, dan Arshad lah yang ingin menghilang dari hidupnya.
Benar, bisa saja begitu. Tapi sebenarnya ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa Vica pertimbangkan seperti alasan Arshad yang sesungguhnya sampai saat ini masih belum bisa ia pahami. Well, Vica bersyukur karena ia berada dalam posisi yang tahu diri. Ia tahu betul setidak pantas apa dirinya untuk Arshad sehingga ia juga bisa semudah itu melepasnya. Kalau dipikir lagi, untuk apa juga Vica masih memperjuangkan orang yang melepaskannya? Untuk apa ia meminta Arshad tinggal ketika pria itu bahkan tak pernah memberikannya penjelasan yang masuk diakalnya.
Kebahagiaan Vica? Persetan! Arshad hanyalah seorang pengecut. Dia tidak berani mengambil semua resiko yang akan mereka hadapi, dan lebih dari apapun itu... Arshad bahkan tidak pernah percaya pada Vica. Ia meragukan Vica, pria itu tidak yakin kalau Vica akan menerimanya bagaimana pun keadaannya.
Menghela napas. Vica memiringkan senyumnya. Dua tahun terakhir, pikiran yang bergelut dalam kepalanya masihlah sama. Mereka saling bertengkar, menabrak logika dan nurani Vica hingga membuatnya kewalahan. Namun pada akhirnya... Vica tetaplah sama.
Ia berakhir menjadi wanita bodoh yang menanti Tuhan memberinya waktu yang tepat. Ya, waktu yang tepat untuknya melihat kebahagiaannya lagi. Apakah bersama Arshad, atau bersama laki-laki lain. Tapi sayangnya, bahkan setelah dua tahun berlalu... Vica tak bisa menemukan lelaki lain yang ia harapkan kehadirannya.
Dua tahun berlalu, Vica tetap saja merindukan Arshad.
Dua tahun berlalu, Vica tetap saja mengingat Arshad.
Dan sudah dua tahun berlalu, hatinya tetap sama... Vica tetap saja mencintai Arshad.
"Hahh!" berteriak, Vica menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua pikiran-pikiran negatif dalam kepalanya.
Ia keluar dari mobilnya dan berjalan memasuki pelataran toko Aryan yang ramai dikunjungi pengunjung.
Aryan sibuk dengan komputernya seperti biasa, namun yang berbeda adalah... seorang wanita cantik tengah menemaninya di sana. Vica tersenyum. Wanita itu adalah Ika—istri Aryan yang baru dinikahi oleh Aryan dua bulan yang lalu. Wah, kabar baiknya adalah... Ika langsung hamil, dan mereka benar-benar menikmati waktu bahagia sebagai pasangan baru dan calon orangtua baru.
"Hellooooo priakuuuu," goda Vica seraya duduk di sebrang Aryan. Ika yang mendengar Vica memanggil suaminya dengan kata Priaku mendesis, "Cari pria lain lah yang bisa kamu panggil priaku."
"Nggak mau ah, maunya kak Dimas," goda Vica.
Ika mendesis, "Aku nggak mau anak aku kayak kamu mukanya Vica, jadi jangan bikin aku sebel. Udah dua bulan nih aku kasih kesempatan buat kamu berhenti manggilin Ayang aku 'Priaku.'"
Vica tergelak, "Emang ya, kalau udah sebel tuh hal-hal baik dari aku nggak keliatan gitu sama Teteh. Ampun deh, yang ngenalin kalian juga kan akuuu!" protes Vica.
Benar, yang mempertemukan mereka adalah Vica.
Enam bulan yang lalu, Vica tak sengaja bertemu dengan Ika yang notabene nya adalah teman SD nya yang baru kembali ke Bandung setelah pindah ke Padang. Ika sedang sendiri saat itu sementara Vica bersama Aryan, anehnya... tidak tahu kenapa, Vica malah tiba-tiba mengajak Ika bergabung bersama mereka, Vica mempromosikan Aryan dengan gila-gilaan pada Ika... dan yang terjadi setelahnya adalah; mereka berhubungan baik, lancar, dan akhirnya setuju untuk saling mengikatkan diri dan menyempurnakan separuh agama mereka.
Hah... kisah cinta orang lain memang indah. Kisah cinta sendiri, masih saja belum menemui titik terindah.
Oke, kembali pada Ika!
"Makasih ya Vica, kamu udah punya mesjid di surga," katanya.
Vica tertawa, "Jodohin siapa lagi ya, supaya mesjidnya banyak?" sahutnya.
Aryan menatap Vica dan tersenyum, "Jodohin diri sendiri, Kania," katanya.
Vica mengerutkan keningnya, "Gimana?"
"Kamu masih butuh waktu ya? Udah dua tahun loh, masih belum cukup?" tanya Aryan tiba-tiba.
Well, pertanyaan yang sama lagi.
Menghela napas, Vica menggelengkan kepala dan menjawab dengan acuh tak acuh, "Nggak tahu."
"Jangan jawab nggak tahu. Kamu tahu kok jawaban sebenarnya. Iya kan?"
"Iya, kali. Nggak tahu juga."
Tersenyum, Aryan menatap Vica lagi dan berkata, "Gini deh, kalau kamu nggak sanggup buat ketemu Arshad... coba tanya diri kamu, apa kamu sanggup kalau Arshad ketemu orang lain? Kalau Arshad—yang mana sekarang masih aja sendirian dan mungkin nunggu keajaiban buat hidup dia—nikah sama orang lain, apa kamu sanggup?"
Dan sampai kapanpun jawabannya adalah tidak.
Persetan dengan cinta yang terasa seperti mempermainkan hidupnya, tapi Vica memang benar-benar tidak sanggup, dan ia tidak mau kalau Arshad harus bersama wanita lain.
Vica tak akan bisa menerima kenyataan kalau sampai wanita lain mampu mencintai Arshad melebihi apa yang Vica lakukan. Tidak, karena rasanya Vica akan mengalami kegagalan terbesar dalam hidupnya.
Tapi... Vica bahkan sudah berkata pada Adel bahwa ia masih menunggu waktu yang tepat.
Vica hanya ingin mendatangi Arshad, ketika ia sudah merasa lebih tenang, itu saja.
Dan sekarang... sejujurnya Vica masih merasa sangat kewalahan. Jadi, bagaimana bisa ia menemui Arshad begitu saja?
"Vica, tahu nggak... kadang, ketika kita berjauhan sama orang yang kita sayang, semua perasaan campur aduk. Rindu, marah, sedih, senang, cemas, semua bersatu dan membuat kita bingung, membuat kita kewalahan dengan perasaan kita sendiri. Tapi kamu tahu nggak? Ketika kita bertemu dengan orang yang kita sayang... semua kemelut yang memberatkan kamu akan lenyap begitu saja, dan yang tersisa hanyalah perasaan tenang... bahwa semua, tetap baik-baik saja bahkan seiring waktu yang telah lama berlalu."
Ucapan Ika membuat Vica menatapnya dan tertegun lama. Wanita itu tersenyum tipis, dan ia mulai memikirkan sebuah kemungkinan dalam kepalanya. Bukankah setidaknya Vica harus mencobanya? Yah, kamu akan tahu kalau kamu punya peluang atau tidak ketika kamu mencobanya bukan?
*****
Dua Minggu Kemudian
Adel memang selalu kehabisan kesabaran kalau menghadapi sahabatnya yang satu itu. Sejak subuh tadi, Vica tiba-tiba saja menggedor pintu rumahnya, wanita itu sudah siap dengan setelannya dan tiba-tiba saja mengajak Adel untuk pergi ke luar kota! Bayangkan! Pagi buta mengajak ke luar kota tanpa persiapan? Memang hanya Vica yang bisa melakukannya.
Oke, Adel akan mengampuni Vica untuk ajakannya yang tiba-tiba, tapi untuk kelakuannya selanjutnya... Oh Tuhan, Adel bahkan sudah bersiap-siap untuk pergi, tapi yang dilakukan wanita itu malah mondar mandir seraya menggigit kukunya dan bertanya hal yang sama kepadanya.
"Menurut lo, pergi nggak ya Del?"
"YA MANA TAHU GUE TUH VICA! YANG MAU PERGI KAN ELO! KEMANA KEMANANYA JUGA GUE NGGAK TAHU!" teriak Adel, meneriaki kalimat yang sama. Tapi sepertinya percuma, diteriaki seperti apapun juga tidak didengar oleh Vica. Ya Tuhan.
"Gu—gue mau ngajak lo ketemu Arshad."
"APA?!"
"Vic? Serius?"
Vica menggigit bibirnya. Ia menatap Adel dan berkata, "Dooh, gimana ya Del. Pergi jangan?"
"Pergi lah! Gas! Ayo! Kita pergi sekarang juga!" Adel menarik tangan Vica, mengajaknya bergegas pergi, namun Vica malah menghentikannya.
"Bentar Del, gue masih ragu."
"Ya Salam, emang makin dipikirin ya makin ragu sih Vic. Harusnya lo pergi aja sendiri, nggak usah ajak-ajak gue, jadi galau kan lo bingung."
Vica menghela napas, "Ya, gue... yah... gimana ya Del?"
"Gini deh, gunting batu kertas mau?" tanya Adel.
Vica menatapnya dengan heran.
"Lo pilih nggak jadi pergi, gue pilih pergi ya. Satu dua ti—"
Adel segera mengeluarkan jarinya dan menunjukkan gunting pada Vica sementara Vica... wanita itu menatap Adel tak percaya, "Kalau begini, ya curang dong Del," katanya.
Adel menggeleng, "Semua balik lagi ke pilihan lo sendiri sih Vic. Lo mau kalah, atau lo mau menang. Lo kalah, berarti kita pergi. Lo menang, berarti kita tetep di sini."
"Tapi asal lo tahu aja, mengalah bisa membuatmu menang, namun kadang menang juga bisa membuatmu merasa kalah."
Menatap Adel, Vica mengerucutkan bibirnya, "Gue aja udah kewalahan mikirin mau pergi apa nggak, kok lo malah nambah-nambah ribet gini sih Del?"
Seketika Adel tertawa, "Udah sih, kasih aja batu atau kertas, clear deh urusan."
Vica menatapnya lagi. Ia melihat jari Adel yang sudah membentuk gunting di hadapannya kemudian memejamkan mata untuk menenangkan diri dan berpikir.
Lama, Vica berpikir sampai Adel menyunggingkan senyumnya begitu melihat Vica pada akhirnya memilih kertas. Wanita itu terkekeh, menatap Adel dan berkata, "Gue mau jadi kertas baru Del, masih belum tertulis apa-apa dan siap buat menanti tulisan pertama yang akan Tuhan tulis untuk gue."
"Dan tulisan itu?" kata Adel.
Vica tersenyum, tapi ia tak menjawabnya, karena Vica yakin Adel juga tahu apa yang sedang dipikirkannya. Arshad.
*****
Arshad menatap papan catur di hadapannya dengan serius. Ia sedang mempertimbangkan bidak catur mana yang akan ia ambil. Raja? Ah, tidak... tidak.
"Pak Acaaad."
Belum sempat ia mengambil bidak catur miliknya, suara seorang anak perempuan menghentikan kegiatannya. Arshad menoleh dan melihat Nadia tengah berlari-lari seraya memanggilnya.
Pria itu bangkit dari duduknya. Ia berlari juga menghampiri Nadia dan menggendongnya, "Kenapa? Ada apa?" tanyanya.
"Ada yang mau temu Pak Acad," katanya dengan suara cadelnya.
Arshad mengerutkan kening, "Siapa?"
"Nda tahu Pak, Teteh tantik yang mau temu," sahutnya.
Arsyad malah semakin bingung, Teteh cantik? Siapa?
Berbalik pada bapak-bapak yang barusan bermain catur dengannya, Arshad berpamitan sebentar. Ia berjalan seraya menggendong Nadia dan mengikuti arah yang ditunjuk anak itu.
Di ujung sana, Arshad melihat sebuah mobil yang terparkir...
Tunggu sebentar...
Bukankah itu mobil...
"Adel?" tanyanya begitu mendekat dan melihat Adel baru keluar dari mobil.
Adel membelalakkan matanya, bukan kaget melihat Arshad, tapi kaget melihat anak yang digendong oleh Arshad, "Shad... nikah sama janda?" tanyanya polos.
Arshad tertawa, "Enak aja! Gue masih belum nikah lagi tahu. Ini anak yang punya pesantren."
"Ooh, ya bagus sih kalau belum nikah."
"Emangnya kenapa?" tanya Arshad.
Adel menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Aduh, gimana ya... lagi ke WC lagi."
"Siapa?"
"Hmm, gini deh Shad. lo mending simpen dulu anaknya, terus lo balik lagi deh ke mobil."
"Hah? Buat apa?"
"Ya, supaya lo khusyuk gitu Shad nanti ngobrolnya. Udah, nggak usah banyak nanya. Sana lo balikin dulu anaknya."
Adel malah mengusir Arshad sehingga pria itu kebingungan. Tapi pada akhirnya Arshad menurut juga. Ia berjalan menjauhi mobil dan masuk kembali ke area pesantren sementara Adel... ia bisa bernapas dengan lega sekarang.
Untung Vica sedang ke toilet, kalau tidak... Vica pasti akan salah paham melihat Arshad menggendong seorang anak. Haduh, jangan sampai, jangan.
****
Vica berterima kasih kepada salah satu warga yang meminjamkan toiletnya. Ia berjalan seraya merutuki dirinya habis-habisan. Kenapa Vica bodoh sekali sih? ia kan pergi ke pesantren, tapi... atas dasar apa Vica pergi hanya memakai celana bahan dan kaos pendek saja? Bukan apa-apa, kalau Vica pakai jilbab kan rasanya lebih sopan masuk ke lingkungan berjilbab juga, kalau begini kan... ya, mau ikut ke toilet saja dia malu bukan?
Wanita itu berjalan dengan cepat. Anehnya ia malah seperti dikejar-kejar, padahal siapa juga yang mengejarnya? Menyebalkan sekali kan, padahal Vica ke sini juga hanya untuk menemui Arshad saja. Aihs, lagi pula... kenapa Arshad harus berada di sini sih?! Kenapa dari sekian tempat yang ia kunjungi, Arshad harus berada di pesantren? Tapi, yah setidaknya... ini lebih baik daripada Arshad berada di klub malam ataupun bar.
Masuk ke dalam mobil, Vica menatap Adel dan bertanya, "U—udah dipanggilin?" tanyanya pelan-pelan.
Adel menganggukkan kepala, namun beberapa detik kemudian ia menyenggol tubuh Vica dan mengisyaratkan sahabatnya untuk mengikuti arah tatapannya.
Vica menurut, ia mengikuti arah tatapan Adel dan matanya membulat sempurna sementara mulutnya menganga. Di depan sana, Vica melihat Arshad sedang berjalan keluar pesantren dengan menggunakan sarung, baju koko, dan peci.
"ALLAHUAKBAR, DEL. MANTAN GUE DEL, JADI USTADZ SEKARANG!" teriak Vica dengan penuh keterkejutan.
"Iya namanya diem di pesantren ya jadi ustadz lah Vic."
"Ta—tapi dia ustadz Del..."
"Ya terus kenapa?"
"Ini masalahnya gue kan pengen nangis, liat dia aja gue maunya nangis, tapi kalau dia kayak gini ya gue nggak bisa meluk dia lah!"
"Peluk aja kali!"
"Lo gila apa ya? Masa meluk-meluk orang di pesantren sih Del?"
"Ya, nggak apa-apa kan posisinya lo lagi kangen."
"BUKAN MUHRIM, BEGO!"
"HAHAHAHAH."
Sialan. Adel malah menertawakannya.
"Gimana dong Del, masa gue ketemu terus nangis nangis doang? Nggak mau! Gue maunya nangis dipelukan dia."
"Jijik gue sama lo Vic."
"Del IH GIMANAAA?!"
"YAUDAH LO SAMPERIN AJA ORANGNYA TERUS BILANG, 'INI AKU MAU MELUK KAMU TAPI GIMANA DONG KAN BUKAN MUHRIM?'
"MALU GOBLOK!"
"Ih kok kasar?"
"YA LO MAH NGGAK NGERASAIN JADI GUEEE!!!" teriak Vica dengan frustrasi. Adel malah terkejut dibuatnya. Tapi ia justru tertawa, tidak menyangka dengan tingkah Vica yang seperti ini. Hey, waktu dua tahun benar-benar membuat Vica kembali seperti dirinya yang dahulu.
"Vic, lo tenang ya lo tenang oke? Lo tenangin dulu diri lo," pinta Adel. Lagian, heran juga ia pada Vica, kemarin-kemarin bukannya dia tidak menemui Arshad dengan alasan yang... menyedihkan? Lalu tadi pagi juga dia masih kebingungan kan? Lah, sudah sampai di sini, dia malah langsung ingin berlari memeluk Arshad. Dasar.
"Del, aduh nggak pantes juga kan—"
Suara Vica terhenti karena kaca mobilnya yang sudah diketuk lebih dulu oleh Arshad. O-ow, terlambat sudah. Vica tidak bisa mempersiapkan diri ataupun sekedar menenangkan dirinya! Ya Tuhan!
Menelan ludahnya, Vica membuka pintu mobil dan keluar dari sana.
Ia menatap Arshad dengan senyuman lebar di wajahnya.
Wanita itu melambaikan tangannya dan berkata, "Hai... Arshad!" sapanya.
Rupanya, tidak ada tangisan yang mewarnai wajahnya seperti yang Vica bayangkan sebelumnya. Buktinya, alih-alih menangis... Vica malah tersenyum sangat lebar pada Arshad, menyambut pria itu kembali dalam hidupnya.
****
Aku ingin mendatangimu saat aku terlahir kembali hanya untukmu.
Karena pada saat itu, semua jejak jejak masa laluku telah lenyap seiring berjalannya waktu.
Semua rasa penyesalanku
Semua luka dalam hatiku
Bahkan semua ketakutan dalam diriku
Sudah melebur, dan siap untuk menyambut kebahagiaan bersamamu.
Dan inilah aku.
Diriku yang baru.
Yang telah berdamai dengan lukaku dulu.
Yang telah bersahabat dengan kesakitanku.
Dan yang telah merindukanmu sepanjang waktuku.
Arshad masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Odivica Kania Lestari, mantan istri yang sampai detik ini masih ia cintai, masih ia rindukan setiap hari, kini tiba-tiba saja berada di sampingnya, duduk dengan menundukkan kepalanya seraya menautkan jari jemarinya. Ya Tuhan, rasanya Arshad ingin menggenggam jemari itu, bahkan ia ingin memeluk Vica dengan erat. Tapi... tolong, Arshad sedang berada di lingkungan pesantren. Ya, sebenarnya sih mereka tidak bertemu di pesantren juga, karena Arshad membawa Vica ke sebuah tempat makan yang tak jauh dari pesantren.
"Dii..." Arshad membuka suaranya dengan ragu.
Wanita itu menoleh dan ia menatap Arshad lalu tersenyum, "Hai, Shad."
"Hai mulu dari tadi," gerutu Arshad.
Vica tergelak, "Kamu jadi ustadz sekarang? Kok bisa?" tanyanya. Alih-alih menanyakan kabar, ia malah menanyakan hal lain. Bukan apa-apa, kalau menanyakan kabar, Arshad pasti bilang baik-baik saja, lalu pria itu akan bertanya kepadanya, lalu setelah itu apa? Ya hening! Mereka tidak punya obrolan lain lagi. Mampus saja kau Vica, jauh-jauh pergi hanya untuk tenggelam dalam keadaan canggung yang luar biasa. Oh tidak, itu menyeramkan.
"Enggak, enak aja jadi ustadz. Belum bener juga jadi manusia. Aku di pesantren cuman jadi tukang anter anak-anak aja."
"Hah? Gimana Shad? tukang anter anak-anak?" tanya Vica terkejut.
Arshad menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Iya, anterin anak-anak sekolah, jadi supir gitu Dii."
"Serius? Kamu? Jadi supir? Kok bisa?"
"Iya, soalnya aku nggak menemukan yang bisa aku lakukan selain jadi supir di sini."
"Kan kamu bisa jadi ustadz."
Arshad menggeleng, "Belum bener juga hidupnya. Memangnya kenapa? Kamu maunya aku jadi ustadz?"
Vica menggeleng dengan kuat.
"Kamu nggak mau aku jadi orang bener?" tanya Arshad.
"Emangnya selama ini kamu nggak bener?"
"Iya, kan kamu selalu bilang aku brengsek."
O-ow. Kenapa harus diungkit sih hal itu?
"Ya, itu kan pas aku lagi emosi, Arshad!" timpalnya.
"Terus, sekarang lagi apa? Emosi juga?"
Menatap Arshad, Vica mengerucutkan bibirnya kemudian berkata, "Aku pengen bilang kalau aku sebenernya kangen sama kamu tapi aku takut aku aja yang kangen, kamunya enggak."
Mendengar penuturan Vica barusan, Arshad tertawa.
"Dii... kamu bilang kangen ke aku?"
"Ya iya! Kamu emangnya nggak bisa denger? Congean ya?"
"Hahahahahaha," pria itu malah tertawa dengan keras.
Ia menatap Vica dan mencubit pipinya dengan gemas hingga membuat Vica mendelik ke arahnya. Namun lama-lama, cubitan itu berubah menjadi sebuah gerakan lembut. Arshad menatap Vica dan membelai wajahnya dengan sayang, "Kamu ke sini... nyusulin aku?"
Melepaskan tangan Arshad dari wajahnya, Vica menggenggamnya dan tersenyum dengan lebar, "Aku udah bisa damai sama semuanya. Termasuk aku, kamu, dan masa lalu kita. Dan aku pikir, sekarang saatnya yang tepat."
"Buat apa?" tanya Arshad.
Vica menatapnya seraya tersenyum dengan manis, "Buat kamu, percaya kalau aku bisa nerima kamu apapun kondisi kamu. Gimana? Kamu mau nggak?" tanya Vica lagi.
Arshad menatapnya lama, kemudian ia mengeluarkan senyum tengilnya yang sudah lama hilang dari wajahnya, "Enggak mau jawab ah, biar kamu nunggu," katanya seraya meledek Vica dan membuat wanita itu mendelik tajam kemudian berteriak, "DASAR NGGAK TAHU DIRI!!!!!!"
END
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
MENYEBALKAN EMANG YA ENDING SEMACAM INI. TAPI KAN YANG JELAS MEREKA KETEMU WKWKWKWK
Aku belum pernah bikin open ending yang kayak gini gais jadi ini ending pertama aku yang begini wkwkwkwk
Dan memang ending ending cerita aku itu yaaa, apa sih kayak tiba2 jedar jeder gitu ya kebanyakan wkwkwkwkwk
Belom puas? Extra part ada di buku ya, buat bedain yang beli buku sama enggak, hehehe
Aku bakalan open PO minggu depan, aku cek ombak dulu kalau yang beli lebih dari 50, ayo gas. Kalau dikit mah nggak usah ya wkwkwkwkwk baca di sini aja.
SESUNGGUHNYA IKA ADALAH NAMA PANGGILAN AKU YUHUUU JADI ISTRINYA ARYAN DI SINI MAU DONG WKWKWKWKWKWK
Oke, terima kasih buat kalian yang selalu setia baca tulisan tulisan aku. Terima kasih selalu ada dan bisa warnain hari hariku ya sayang sayangku. Menulis bener-bener terapi jiwa banget. Aku bisa lupa semua masalah pas nulis, jadi hepiiiii banget jadinya tuh, apalagi kalau si responnya luar biasa wkwkwkwk
Maafkan kalau ada yang gak berkenan ya, ambil yang baiknya buang yang buruknya. Selalu ingat bahwa komunikasi itu pentiiiiing banget dalam sebuah hubungan. OKE?!
Aku lelah nulis yg sedih, soalnya bwaannya sedih terus hahaahha
Setelah ini, tepat hari ini juga aku posting cerita baru aku, Semoga kalian suka!
Sekali lagi makasih ya semuanya.
Dah...
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro