D U A P U L U H T I G A
"LO APA-APAAN SIH LINDA?!"
Suara yang memekakkan telinga itu membuat Linda terperanjat, Arshad memaksanya untuk masuk ke dalam mobil, dan begitu mereka berada dalam mobil, Arshad malah membawa mobilnya tanpa arah, Linda sendiri tidak tahu pria itu akan membawanya kemana karena yang Linda dapatkan adalah teriakan emosi yang berasal dari Arshad.
Dalam beberapa tahun terakhir, rasanya ini pertama kalinya Arshad berteriak dengan penuh emosi seperti ini. Karena, semarah apapun Arshad pada Linda, ia selalu mencoba untuk tak membiarkan emosi menguasainya, tapi yang barusan Linda lakukan sudah melewati batas, sungguh. Kalau tahu Linda akan membocorkan rahasianya, Arshad bersumpah akan menutup mulutnya rapat-rapat, bahkan sampai ia mati.
"Gue ngasih tahu lo bukan untuk membocorkannya sama Vica Lin, bukan. Sepercaya itu gue sama lo, dan ternyata lo memang selalu tahu caranya ngecewain gue."
Linda menelan ludah, ia hampir berubah menjadi wanita lemah, tapi tak bisa, Linda bukan wanita seperti itu.
Ia menatap Arshad dengan nyalang dan berkata, "Gue cuman belain lo! Eh Shad, lo tahu nggak kalau mantan istri lo yang nggak tahu diri itu tadi lagi pegangan tangan sama temen lo yang punya toko itu!"
Pegangan Arshad pada kemudi semakin erat. Ia sendiri tidak tahu kenapa Vica berada di sana, tapi bukan itu yang terpenting sekarang.
"Terus urusannya sama lo apa?" tanya Arshad.
Linda mendengus, "Lo masih nggak sadar dengan apa yang gue bicarain barusan? Gue bilang, gue cuman belain lo Shad! belain lo. Gue nggak kuat aja liat hidup lo begitu menyedihkan kayak sekarang, dan gue selalu mikir, nggak mungkin kalau lo seancur ini hanya karena perceraian kalian atau hanya karena lo mandul aja, dan hari ini gue dapet jawabannya. Lo, sehancur ini karena Vica ninggalin lo begitu tahu lo mandul kan? Parahnya lagi, dia mungkin ninggalin lo karena dia udah punya lagi—yang ternyata temen lo itu. Bener kan Shad?"
Arshad benar-benar tak paham dengan jalan pemikiran Linda, bisa-bisanya ia menyimpulkan sendiri apa yang dilihatnya tanpa bertanya lebih dulu. Sekarang apa yang terjadi? Kacau! Semua menjadi kacau dan Arshad bahkan tak bisa menyalahkan Linda juga, toh menyalahkan Linda tak akan membuat keadaan membaik, membuatnya kesal malah iya.
"Terima kasih Lin, sikap sok tahu lo itu udah ngancurin semuanya. Makasih."
"Yang penting dia sadar sama kelakuannya!"
"Lo, linda. Lo yang harus sadar sama kelakuan lo!" bentak Arshad.
"Pagi ini gue dapet kabar kalau lo udah bikin masalah lagi. Ya Tuhan, Linda. Mau sampai kapan lo kayak gini? Lo mau buat gue mati karena capek urusin masalah lo terus?"
"Ya, lo tinggal nggak usah urusin gue aja Shad, gampang kan?"
"Selama ini bukannya gue memang nggak pernah urusin lo? Lo nya aja selalu cari-cari gue waktu lo kesusahan, begonya lagi gue masih aja mau nolongin lo."
Arshad memutuskan untuk menepikan mobilnya. Berbicara dengan Linda seraya menyetir sama saja dengan menyerahkan nyawanya pada Tuhan. Wanita itu menatapnya heran, ia menelan ludah, mengabaikan ucapan Arshad barusan dan malah mengalihkan pembicaraan, "Eh Shad, tahu nggak, gue seneng loh karena barusan lo lebih milih pergi sama gue dari pada sama cewek nggak tahu diri itu."
PLAK!
"Jangan pernah panggil Vica dengan sebutan yang seharusnya lo sebut untuk diri lo sendiri!"
"Gue ajak lo pergi karena gue tahu kalau gue pergi sama Vica, lo bakal kejar kita dan membuat keributan yang lebih parah lagi. Gue udah tahu tabiat lo Linda, dan gue minta. Cukup, nggak usah ikut campur lagi. Perpisahan gue sama Vica, nggak ada hubungannya dengan gue mandul atau dia selingkuh, semua memang udah terjadi dan itu udah menjadi pilihan gue. Masalah betapa menyedihkannya hidup gue, lo harusnya ngaca, semenyedihkan apa hidup lo sekarang. Dan soal kasihan, lo nggak perlu mengasihani gue, yang butuh lo kasihani itu diri lo sendiri."
"Sorry, harus nampar lo seperti barusan," katanya.
Setelah mengucapkannya, Arshad keluar dari mobil dan meninggalkan Linda begitu saja.
Seraya memegang pipinya, Linda menatap kepergian Arshad tak menyangka. Untuk pertama kali dalam hidupnya, pertahanan yang Linda bangun hancur begitu saja. Air mata yang tak pernah ia tunjukkan, turun secara tiba-tiba.
Sesungguhnya, sulit bagi Linda melepaskan Arshad dalam hidupnya, sesulit ketika ia harus lepas dari kehidupannya yang menurut orang lain tak beres, tapi melihat bahagianya Arshad saat ia mengatakan akan menikahi Vica, Linda mencoba untuk merelakan Arshad bersama Vica. Dan siapa sangka, penderitaannya ketika ia merelakan Arshad untuk Vica malah dibalas dengan begitu kejamnya oleh Vica. Kenyataan yang Linda lihat beberapa saat lalu membuatnya tak terima. Yang Linda harapkan, seharusnya Vica memperlakukan Arshad dengan baik, membuktikan pada Linda bahwa melepaskan Arshad adalah hal yang paling baik yang pernah ia lakukan. Tetapi... wanita itu malah tidak tahu diri. Dalam benak Linda, ia berharap Arshad menampar Vica karena melihatnya bersama Aryan, tapi rupanya... malah Linda yang ditampar dan disadarkan begitu saja.
Karena sejak awalpun, kehadiran Linda tak berarti apa-apa dalam hidup Arshad.
Karena sejak awalpun, Linda selalu menampik kenyataan bahwa ia tak akan pernah bisa bersama Arshad.
Hingga pada akhirnya, yang tersisa hanya dirinya yang terluka karena harapan yang ia buat untuk dirinya sendiri tak pernah bisa terwujud untuk selamanya.
****
Kak, maaf. Tapi aku harus pergi, makasih airnya.
Aryan kembali dengan membawa segelas air untuk Vica, tapi wanita itu malah menghilang dan meninggalkan sebuah memo. Pria itu menghela napas. Jelas Vica memang seharusnya pergi, karena ia juga tidak akan nyaman berada di sini bersama Aryan, bukan apa-apa... Aryan sendiri masih terkejut dengan apa yang telah terjadi sehingga yang bisa ia lakukan adalah memberikan Vica minum dan terus bertanya mengenai keadaannya.
Pria itu meraih ponselnya yang masih terpasang wallpaper Irdina. Ia tersenyum tipis.
Jadi Vica dan Arshad...
Salahnya sendiri, tak pernah memastikan pada Arshad apa yang pernah Vica maksud dengan 'Alumni hidup.'
"Y—yan."
Mendengar suara di belakangnya, Aryan menoleh, "Gue nggak akan nanya, dan gue nggak akan minta lo buat jelasin semuanya."
***
Shad, kamu dimana?
Shad, kita harus ngobrol.
Shad, kamu emangnya gamau jelasin apa2 sama akuu?
Arshad! Ih! Kalo kamu gamau ketemu yaudah, jelasinnya di telp aja gmn?
Etapi gbisa, harus ketemu. Kamu dimana?
Shad?
Arshad?
ARSHAD DARMAWAN!!!
Loh, kok jadi ceklis satu sih?
Vica menatap pesan yang ia kirimkan pada Arshad dengan gusar. Kenapa Arshad tidak segera membaca pesannya seperti biasa sih? padahal biasanya, Vica baru mengetik satu baris, pria itu sudah langsung membacanya. Apakah Arshad serius dengan kepergiannya bersama Linda?
Menengadahkan kepalanya, Vica mencoba untuk mencegah air matanya turun. Kalau mau menangis, jangan sekarang. Nanti saja, di depan Arshad. Keluarkan semua air mata, menangis sepuasnya, dan biarkan Arshad memeluknya.
Ha! Vica sudah gila rupanya.
Dengan apa yang sudah terjadi, bagaimana bisa ia malah merencanakan untuk menangis supaya Arshad memeluknya? Sepicik itukah pikirannya? Gila! Bahkan sekarang ia ingin Arshad memeluknya? Tidak salah? Sadarlah Vica! Tahu dirilah sedikit jadi manusia!
Wanita itu mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya. Ia berjalan ke area pertokoan dan masuk ke dalam tokonya. Adel melambaikan tangannya begitu melihat Vica.
"Dah makan Vic?"
Vica malah diam, ia melamun.
"Vic?"
Suara Adel membuat Vica tersadar. Wanita itu menoleh dan tersenyum pedih, "Lo bener Del, Arshad nggak sebajingan yang gue kira."
"Ada apa nih?"
Vica menggelengkan kepalanya, tidak ingin memberitahu Adel soal kejadian hari ini.
"BTW Del, jahitan hari ini banyak nggak?"
"Mayan sih, tadi ada 4 orderan yang masuk. Pengen beres seminggu, makanya dia bayar extra."
Vica tersenyum tipis, "Oke, gue kerjain."
Menjahit baju terus menerus dengan harapan kecemasannya bisa terjahit juga. Pikirannya sebodoh ini memang.
****
Arshad meneguk tetesan kopinya yang terakhir. Aryan tak menuntut penjelasan, tapi Arshad malah berkata, "Lo udah tahu dari cerita gue. Ya, orang itu Vica, yang tadi ditampar Linda. Lucu juga ternyata selama ini kita ngobrolin cewek yang sama." Yang dijawab oleh Aryan hanya dengan senyuman tipis. Mereka tak lanjut berbicara, hanya menghabiskan kopi dalam waktu yang sama hingga akhirnya Arshad terganggu dengan getaran di ponselnya yang tak berhenti sejak tadi.
Arshad merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan melihat banyaknya pesan yang masuk—yang ternyata berasal dari orang yang sama—Vica.
Ekspresinya datar. Pria itu membaca pesannya satu persatu, dan keinginan untuk membalasnya sirna ketika ia ingat kejadian sebelumnya.
Oh Tuhan, setelah semua yang terjadi, memangnya Arshad masih punya muka untuk bertemu dengan Vica? Setelah wanita itu mengetahui betapa menyedihkannya hidupnya? Tidak. Tentu saja tidak.
Menghapus pesannya, Arshad menyimpan ponselnya di atas meja, tapi kemudian sebuah foto muncul dari notifikasinya.
Foto Vica dan Arshad sedang menaiki Bianglala di dufan tahun lalu.
Dii: Shad, inget gak, kalau kamu bilang ada saat dimana kamu pengen naik bianglala, liat laut ancol, terus setelah merasa fresh bgt, kamu bakalan loncat kebawah tanpa penyesalan. Harus aku cobain?
Seketika pria itu beranjak dari duduknya. Ia berlari begitu saja tanpa berpamitan pada Aryan. Tetapi begitu sampai di parkiran, Arshad ingat kalau ia meninggalkan mobilnya bersama Linda di pinggir jalan.
Ya Tuhan. Emosi sih emosi, tapi bagaimana bisa Arshad meninggalkan mobilnya begitu saja?!
*****
Ambil mobil Arshad, gue parkirin di Braga. Kuncinya di valet, kartunya gue simpen di kolong mobil.
Menatap pesan yang baru masuk ke dalam ponselnya, Gilang membelalakkan mata. Hey, siapa dia yang disuruh Linda untuk mengambil mobilnya Arshad? Memangnya Gilang supirnya Arshad? Pesuruh Arshad? Atau pengasuh Arshad? Ya Tuhan, kalau Arshad bukan ladang uang yang sangat besar, Gilang sudah pasti memboikotnya dari hidupnya sendiri. Bagaimana tidak, sahabat dan orang di sekitarnya benar-benar membuat Gilang emosi. Sebenarnya sih hanya Linda saja, kalau Vica... tidak, wanita itu baik sekali padanya. Makanya, Gilang menyayangkan sekali ketika Arshad malah bercerai dengan Vica yang artinya kedamaian hidup Gilang harus sirna karena Vica yang damai menghilang sedangkan Linda yang penuh kerusuhan itu mendekat. Tuhan, apakah umurnya masih panjang? Kenapa Gilang merasa bahwa ia bisa terkena serangan jantung kapan saja?
"Lang!" sebuah teriakan diiringi suara pintu yang terbuka dengan kencang membuat Gilang mendongak.
"Woy! Si Linda WA gue bil—"
"Mobil lo mana?"
"Hah? Ada di parkiran lah, masa gue sakuin."
"Kuncinya," pinta Arshad kepadanya. Gilang merogoh saku celananya dan memberikan kunci mobilnya pada Arshad. Pria itu tersenyum dan berbalik seraya berteriak karena ia sudah mencapai pintu, "Gue pinjem dulu sebentar!"
Belum sempat Gilang menyampaikan apa yang ingin ia katakan, Arshad malah sudah lebih dulu menghilang dan membawa mobilnya. YA TUHAN! Rasanya asap di kepalanya sudah berkumpul dan berubah menjadi gumpalan awan panas.
"EMOSI! ASTAGFIRULLAH!!!!"
****
Aku jemput kamu. tunggu di parkiran.
Vica tersenyum seraya meneteskan air matanya. Ternyata Arshad masih peduli juga padanya. Ha! Tentu saja peduli. Jangankan Arshad, orang yang baru ia kenal saja akan mendatanginya kalau membaca pesan Vica. Dirinya sudah gila memang, bisa-bisanya mengirim pesan yang menyiratkan sebuah ancaman seperti itu. tapi Vica tidak peduli. Bahkan jika seluruh dunia menghujatnya karena ini, Vica tidak peduli. Selama ia bisa berbicara dengan Arshad, Vica akan melakukannya.
Wanita itu nyaris berlari saat ia keluar dari tokonya. Teriakan Adel bahkan tak ia hiraukan. Vica menunggu Arshad di parkiran seraya menguatkan dirinya.
Meraih cermin dan membuka lipstiknya, ia memoles dirinya sedikit, namun gerakannya terhenti. Vica menatap dirinya di cermin dan mendengus.
Odivica! Masih berpikir untuk tampil cantik di hadapan Arshad setelah semua ini? dasar gila! Lagipula, memangnya mereka mau berkencan?
"Dii..."
Sebuah suara membuat Vica menoleh. Arshad ada di ujung sana dan mati-matian Vica menahan dirinya untuk tidak berlari dan memeluk Arshad. Pria itu berjalan dan memanggilnya, "Jalan sekarang, yuk," katanya.
Tanpa menunggu Vica, pria itu berjalan lebih dulu dan masuk ke dalam mobilnya sementara Vica... Ah, kenapa ia merasa jauh sekali dengan Arshad?
Menelan ludah, ia mempercepat langkahnya dan masuk ke dalam mobil.
"Shad kita ke—"
"Kita ngomong di sini aja," kata Arshad.
Vica menatapnya, "Ya?"
"Kamu bukannya pengen denger penjelasan aku? makanya kamu sampe ancem mau loncat di bianglala kan?"
Vica tersenyum tipis, "Childish ya?"
"Kamu retoris, Dii."
(Retoris : Pertanyaan yang gak perlu dijawab)
"Maaf, aku cuman nggak tahu harus gimana lagi supaya kamu mau jelasin semuanya sama aku. Jadi aku mikir kalau mungkin—"
"Mungkin emang aku harus jelasin semuanya sama kamu. Tadi, yang Linda bilang ke kamu itu bener. Aku mandul, aku nggak bisa bikin kamu hamil."
Arshad tidak menyangka, mengatakan kelemahan terbesarnya pada Vica akan terasa selancar ini. Sementara Vica, ia merasa tertohok mendengar ucapan Arshad. Bukan apa-apa, tapi nada bicaranya, dan cara bicaranya yang membuat Vica sakit hati.
"Itu sebabnya kamu setuju waktu aku minta cerai?"
Vica menoleh, ia mencoba untuk menatap Arshad dan berharap Arshad akan membalas tatapannya juga supaya ia tahu apakah pria itu berbohong atau tidak. Tapi yang Arshad lakukan malah menatap barisan mobil di hadapannya.
"Kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak tahan lihat aku Dii."
"Biasanya kamu bujuk aku Shad, aku bahkan pernah marah dan usir kamu dari rumah, tapi kamu bujuk aku habis-habisan."
"Itu saat dimana aku sangat percaya diri dengan hidup aku Dii."
"Terus, kamu ceraiin aku karena aku minta dan karena kamu mandul?"
"Iya. Karena aku nggak punya lagi apa yang kamu inginkan."
Kali ini Vica mendapatkan keinginannya, Arshad menoleh dan menatapnya, namun tatapan Arshad malah membuatnya menyesal. Pria itu terlihat berbeda. Ia terlihat dingin dan tak terjangkau. Vica benar-benar merasa jauh dengannya.
"Shad, apa kamu pikir aku sejahat itu? Kalau aja aku tahu, aku mungkin nggak akan setega itu minta cerai sama kamu. Bisa banget kamu bikin aku jadi wanita paling jahat Shad."
"Asal kamu tahu, aku nggak kuat liat kamu bukan karena apa-apa. Aku cuman malu aja sama diri aku sendiri. Masalah keguguran aku, semua juga karena salah aku. Kebodohan aku... Aku hanya mengandalkan pemikiran bahwa... Ah, aku hamil, dan aku harus begini dan begitu. Aku sibuk memastikan apa yang aku lakukan, bukan apa yang seharusnya aku perhatikan."
"Kalau kamu mau tahu Shad, rasanya aku pengen meluk kamu setiap kali aku sedih dan inget insiden itu. Aku pengen tidur di pelukan kamu karena aku bahkan nggak bisa tidur nyenyak setiap malam, tapi aku balik mikir... setelah kebodohan aku, aku nggak pantes buat dapetin semua itu. Toh aku juga udah nyakitin kamu, bisa-bisanya aku masih pengenin kamu."
Arshad mengepalkan tangannya. Ia dengan jelas bisa mendengar isakan Vica, keinginannya untuk memeluk Vica dan menangis bersamanya begitu besar, namun Arshad menahannya mati-matian. Tidak, ia tidak boleh membuat Vica mengasihaninya. Tujuannya menemui Vica hari ini adalah untuk mengakhiri semuanya dengan damai agar kepergiannya juga tak akan menyakiti siapapun. Maka, Arshad tak boleh membuat dirinya sendiri goyah.
"Ya udah Dii, intinya sekarang kita udah tahu perasaan masing-masing waktu itu. Jadi kayaknya ini udah cukup."
Seketika Vica menoleh, "Maksud kamu?"
Arshad menatapnya dan tersenyum, "Aku minta maaf kalau aku pernah menyakiti kamu, atau membuat kamu benci banget sama aku. Aku juga minta maaf untuk semua yang terjadi hari ini, Linda memang begitu, kamu sendiri tahu, dan setelah ini aku harap semuanya sampai di kamu aja Dii. Mama nggak perlu tahu, yang lain juga. Toh, kamu tahu juga nggak akan mengubah apa yang terjadi."
Vica menatap Arshad tak mengerti. Hey, bukan ini yang ia inginkan dari penjelasan Arshad.
"Masih banyak yang harus kita bahas Shad."
"Nggak Dii, ini udah cukup. Aku minta maaf sekali lagi. Besok, kamu dapet apa yang kamu mau kok Dii tenang."
"Apa?"
"Kepergian aku di hidup kamu."
Deg!
Vica menelan ludahnya. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri dan tersadar saat Arshad membuka pintu mobil di sebelah kirinya.
Pria itu menunggu di luar dan berkata, "Ngobrolnya udahan Dii, udah clear juga. Kamu kayaknya harus lanjut kerja, aku juga harus lanjut packing."
"Shad, kamu kok—"
"Aku bisa telat nih Dii," desaknya.
Dengan kebingungan, Vica keluar dari mobilnya. Arshad bahkan langsung memutari mobilnya dan masuk untuk menyalakan mesinnya.
Hey, tunggu sebentar. Arshad akan pergi sekarang?
Meraih kenop pintu, Vica mendesis karena Arshad menguncinya. Oh sial!
Tapi pria itu membuka kaca mobilnya dan menyerahkan sebuah kunci pada Vica, "Rumah kita, sama sekali nggak aku jual Dii. Harta gono gini yang kamu terima itu dari gedung yang aku beli atas nama kamu, berhasil aku jual waktu itu."
Setelah menjelaskannya, Arshad menutup kaca mobilnya begitu saja dan pergi dari hadapan Vica secepat kilat. Sementara Vica, wanita itu hanya menatap kunci yang Arshad berikan tanpa bereaksi apa-apa.
Bahkan Arshad melihat diamnya Vica dari spion mobilnya. Ia menepikan mobilnya sejenak kemudian membenturkan kepalanya pada stir mobilnya.
"Aku terlalu malu buat berhadapan dengan kamu dalam waktu yang lama Dii, maafin aku," sesalnya.
TBC
ALLAHUAKBAR TERNYATA PART INI UDAH BERES DARI SATU MINGGU YANG LALU DAN AKU GAK NGEH DONG MAKANYA BARU AKU POSTING HARI INI WKWKWK DASAR PELUPAAA YAAMPUUUN.
Oh iya, Apa kabar kalian wahai orang orang yang tersakiti karena aku menggantung arshad dan vica di waktu yang segemes-gemesnya? Wkwkwkwk
Jadi, waktu itu kan lagi klimaks banget yg namanya gemes ya, aku masih ngetik lanjutan ini tapi kerjaan banyak banget di kantor, tak ada hentinya sampai2 aku lupa, feel ilang, dan tahu gak? AKU BAHAGIA TERUS, jadi gimana bisa ngetik scene sedih kalau akunya bahagia? Gak masuk wkwkwkwkwk
Dan setelah berkali kali, akhirnya sampai pada tahap ini.
Akhirnya sudah selesai aku ketik part ini.
Abis ini 2 part lagi tamat.
Aku gak tau ya bagaimana feelnya di part ini karena menulis setelah 4 bulan berhenti, mayan juga wkwkwk jari-jari aku menyesuaikan lagi nih ngetiknya kaku wkwkwkwkw
Semoga kalian masih menikmati ya
Makasih banget karena masih nungguin Arshad sama Vica yaaa gais.
Dah...
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro