D U A P U L U H E M P A T
I'm only left with the scars that were created
Tell me why you tried to leave my side like that,
No matter how much i try to throw you away and throw you away, i can't
(SS501 - Love That Can't Be Erased)
-
-
-
"Shad, tahu nggak kenapa aku nerima kamu?" tanya Vica yang tengah berbaring di atas pahanya sementara Arshad mengelus rambutnya dengan sayang.
"Kenapa?" tanya Arshad.
"Soalnya aku yakin kamu nggak akan pernah ninggalin aku."
Arshad mengerutkan keningnya, "Yakin dari segi?"
Wanita itu—Vica, terbangun dari posisinya. Ia mensejajarkan dirinya dan bersila di hadapan Arshad, "Pikir aja Shad. Kamu kan jahat, brengsek, bajingan, pokoknya yang jelek-jelek semua ada di kamu. Sementara aku... aku cantik, anak berbakti, cewek baik-baik, udah gitu mandiri juga karena usaha aku stabil. Jadi sebenernya kamu itu beruntung banget dapet aku. Nggak tahu diri banget kalau kamu ninggalin aku, hahahahaha."
****
Ha ha ha.
Ingatan itu benar-benar muncul di waktu yang tepat, menamparnya dengan keras hingga Arshad hanya bisa menyunggingkan senyumnya—menertawakan dirinya sendiri. Manusia paling tidak tahu diri yang harus dimusnahkan dari dunia ini memanglah dirinya. Bagaimana tidak, ia melepaskan orang yang sangat dicintainya—mengganggunya—kemudian menginginkan untuk berada di sekitarnya—menyembunyikan rahasia terbesarnya hingga bersumpah tak akan memberitahukan Vica yang sebenarnya, namun pada akhirnya ia memberitahu Vica, dengan semudah itu. Bahkan lamarannya pada Vica saja membuatnya gugup selama satu minggu.
Ternyata menyakiti orang lain memang semudah ini.
Ah, yakinkah Arshad bahwa ia menyakiti Vica? Memangnya Vica sepeduli itu padanya sampai-sampai kenyataan yang Arshad kubur sejak lama akan menyakitinya?
Oh, Arshad. Bahkan Gilang pun—seseorang yang tak pernah berbagi hidup dengannya akan sangat terluka karena Arshad tak pernah memberitahunya hal terpenting itu.
Oke, lupakan soal Gilang, dan persetan soal rasa malu yang menghantam dirinya. Yang jelas, Arshad hanya ingin memastikan kalau Vica tidak tersakiti dengan perkataannya tadi.
Benar, cinta memang membuat orang bodoh, dan Vica bahkan membuat Arshad goyah terus menerus. Hingga detik dimana Arshad sudah berjanji untuk menghilang dari hidupnya pun, Arshad masih saja dilanda kecemasan yang luar biasa hingga akhirnya dia memundurkan mobilnya—kembali ke tempat dimana dia meninggalkan Vica begitu saja.
Arshad menelan ludah. Ia memarkirkan mobil yang di bawanya di tempat kosong, membuka pintunya secara tergesa dan berjalan—nyaris berlari ke tempat dimana ia melihat Vica tengah terduduk tanpa berekspresi apapun.
Langkahnya sempat terhenti. Arshad sempat ragu, namun ia tak mau menyesali apapun dalam hidupnya. Sekalipun ia harus pergi dari hidup Vica, setidaknya Arshad harus melakukan hal yang benar, membuat Vica menerima kepergiannya.
Oh, pikiran sialan! Masih saja ia berharap yang tidak-tidak padahal ia tahu Vica membencinya? Dan siapa juga yang membuat Vica membencinya? Tentu saja dirinya sendiri!
Menelan ludah, Arshad berjongkok di depan Vica dan bertanya, "Kok nggak pulang?"
****
Kalau saja... kalau saja orang yang bertanya seperti itu kepadanya adalah orang mesum yang bisa saja menculik atau memperkosanya di parkiran yang sepi saat ini juga, Vica mungkin akan berteriak-teriak dan berlari ketakutan, tetapi masalahnya... yang ia dengar ketika Vica tengah menundukkan kepalanya adalah suara Arshad! Arshad Darmawan! Hey, ia mendengar suara orang yang sangat ingin ia dengar suaranya sekarang juga! Vica mendengar suara Arshad dan berharap kalau pria itu menyesal telah meninggalkannya dan siap kembali kepadanya sekarang juga!
Oh Tuhan... VICA MEMANG SUDAH GILA!
Benar, Vica memang sudah gila karena ia berpikir bahwa penyesalan akan membuatnya berhalusinasi seperti ini, namun rupanya akal sehatnya masih bekerja sehingga Vica lebih dulu mengangkat kepalanya dibandingkan memikirkan kebenaran yang menimpanya.
Dan mata Vica menangkap sebuah sosok di hadapannya.
Arshad—pria itu berjongkok di depannya dan tersenyum.
"Dii, aku anterin pulang ya?" tawarnya.
Sial memang. Pria ini kembali? Hanya untuk menawarkan tawaran sebodoh ini? Arshad lupa kalau tempat ini adalah tempatnya bekerja?
Padahal begitu melihatnya, Vica hampir saja melemparkan diri ke dalam pelukannya dan memohon Arshad untuk tidak pergi dari hidupnya, tapi pria ini... Pria ini memang benar-benar luar biasa. Pria gila ini selalu tahu cara membuat Vica membencinya!
Wanita itu bangkit dari posisinya. Ia berdiri dan menatap Arshad dengan nyalang, "NGAPAIN KAMU BALIK LAGI KE SINI? BUKANNYA MAU PERGI?!"
Good. Seharusnya kata 'kamu' ia ganti dengan 'Lo' atau 'anda' sekalian supaya terasa begitu asing, tapi lidahnya seperti bukan miliknya. Sial memang, benar sekali bahwa lidah itu tak bertulang, lancar mengucapkan apa yang tak ingin diucapkannya.
Arshad yang mendengar teriakan Vica mundur selangkah dan menatap Vica dengan rasa bersalah, "Aku hanya memastikan kamu pulang aja Dii, jadi aku bisa pergi dengan tenang."
"Ha! Mana ada orang yang pamitan mau pergi balik lagi buat memastikan yang ditinggalinnya pulang? KAMU GILA YA?!" teriak Vica lagi. Tidak tahu kenapa emosinya malah meledak-ledak sekali sekarang.
Arshad menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Aku—aku takut aja kalau kamu kaget terus kamu malah diem di sini seharian dan—"
"EMANGNYA KAMU PIKIR AKU NGGAK ADA KERJAAN HA? DIEM DI SINI SEHARIAN? Ngaco!"
Padahal sesungguhnya Vica juga berencana tinggal di sana seharian karena keinginannya untuk pulang atau bekerja sirna begitu saja. Tapi mendengar Arshad mengatakan hal itu... enak saja! Siapa dia berpikir kalau Vica bisa saja meratapi kepergiannya dari sini? Manusia paling GR memanglah Arshad Darmawan! Brengsek yang menyebalkan itu!
Arshad menelan ludah. Berarti kembalinya ia untuk memastikan keadaan Vica itu sia-sia?
Pria itu tersenyum, "Ya udah Dii, kalau gitu aku bener-bener mau pergi sekarang," katanya.
Sebuah serangan muncul dalam hati Vica, rasanya sungguh tak nyaman dan membuat Vica ingin berteriak-teriak saat ini juga. Namun ia lebih memilih untuk menelan ludah dan mengepalkan tangannya.
Dasar pria gila. Setelah pergi, ia kembali, dan sekarang malah berpamitan lagi?
"Kamu bener-bener tahu cara bikin aku benci sama kamu Shad," lirih Vica begitu saja.
Ia berjalan melewati Arshad, namun pria itu malah mencekal tangannya.
"Dii, ada satu hal yang belum aku sampaikan sama kamu, dan aku nggak mau aku menyesal."
Ya Tuhan, Vica benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Arshad. Sumpah!
Vica menghempaskan tangan Arshad begitu saja. Ia menatap pria itu dan berkata, "Kamu punya waktu satu menit dari sekarang."
Karena jika aku kasih kamu waktu lebih dari itu Shad, aku nggak yakin aku bisa. Aku pasti udah nangis-nangis minta kamu nggak pergi, dan aku nggak mau kayak gitu.
Arshad menghela napas. Ia menatap Vica. Pria itu bahkan berani untuk menyentuh wajah Vica dan membelainya dengan lembut, "Untuk yang barusan, maafin aku. Aku terlalu malu untuk berhadapan dengan kamu dalam waktu yang lama Dii, aku takut kalau aku nggak bisa menahan diri aku dan aku takut kalau aku akan mengacaukan semuanya. Jadi, aku setega itu sama kamu tadi."
Vica menatapnya nanar.
"Tapi karena kamu benci sama aku, kamu pasti nggak akan tersakiti juga kan Dii? Nggak tahu kenapa aku malah nggak nyaman, padahal mungkin kamu nyaman-nyaman aja," kata Arshad.
Tatapan Vica berubah menjadi sebuah keterkejutan. Arshad lupa kalau tadi Vica bilang 'Aku udah nyakitin kamu, bisa-bisanya aku masih pengenin kamu' kepada Arshad? Ya, walaupun dengan cara membahas masa lalu mereka. Tapi seharusnya Arshad bisa mengerti dengan apa yang Vica bicarakan. Atau setidaknya Arshad bertanya kalau ia tidak mengerti dengan perkataan vica, bukan malah...
Ya Tuhan. Apa yang harus Vica lakukan pada pria ini? Dia benar-benar sangat menyebalkan!
Vica membuka suara, "Satu menit kayaknya udah beres. Kamu bisa pergi Shad, aku masih banyak kerjaan, jadi—"
"Dii, aku masih cinta sama kamu."
Deg!
"Aku cuman pengen kamu tahu. Bahwa apa yang aku lakukan, semata-mata karena aku cinta sama kamu, keinginan aku untuk melihat kamu bahagia udah sampai di tahap dimana aku rela melakukan apa aja sekalipun aku harus pergi dari kamu."
"Sampai kapanpun, kamu akan menjadi orang yang paling membuat aku bahagia di dunia ini Dii, melebihi siapapun. Kebersamaan kita memang singkat banget, masa pengenalan kita juga, dan aku juga yakin kalau kita sebenernya belum memahami satu sama lain. Tapi sekali lagi Dii, aku nggak menyesal. Meskipun kita akhirnya berpisah, tapi karena pernah bahagia sama kamu, aku bener-bener nggak menyesal."
Arshad mengusap pipi Vica lagi dan berkata, "Aku denger kamu sama Aryan deket Dii? Lucu ya, kita sama-sama punya kejutan masing-masing. Kamu tahu kalau aku mandul, dan aku tahu kalau gebetan kamu yang selalu kamu sebut-sebut itu ternyata temen curhat aku, hahaha."
"Dii, Aryan baik orangnya. Dia juga setia, udah gitu... Aryan ganteng, kaya juga, aku mah jauh Dii dari dia. Kata kamu juga aku kan nggak ada kerjaan, sedangkan Aryan... dia produktif banget setiap harinya. Kayaknya kalian bakalan cocok. Dari profesi aja udah cocok Dii, tukang kain, sama tukang baju. Iya nggak?"
Vica hanya diam karena ia kebingungan harus berkata apa kepada Arshad. Selain itu, perasaannya juga campur aduk, jantungnya bertalu-talu namun hatinya terasa begitu ngilu. Oh Tuhan, rasa yang mana yang harus Vica percaya?
"Tapi sebenernya aku juga orang keren ya dulu, aku kan arsitek."
Vica mendengus.
"Sejak menikah sama kamu, rumah adalah hal favorit aku Dii. Tapi sejak berpisah sama kamu, rumah jadi tempat paling menyeramkan buat aku, karena nggak ada kamu di sana. Jadi, buat apa juga aku bikinin orang-orang rumah yang bagus, kalau aku sendiri malah nggak bisa kayak mereka, punya rumah yang bagus dan bahagia sama keluarganya. No, iri banget Dii, rasanya."
"Eh, udah semenit lebih ya? Ya udah deh kalau gitu Dii. Aku bener-bener mau pergi sekarang," kata Arshad.
Pria itu—yang beberapa saat lalu tak dikenali oleh Vica karena sikapnya yang dingin kini telah kembali. Arshadnya yang hanya hangat kepada dirinya sedang berada di hadapannya dan mengatakan pada Vica bahwa ia masih mencintainya. Tapi Vica... ia malah tak berbuat apa-apa. Bahkan sampai Arshad tersenyum seraya berpamitan kepadanya, Vica masih diam di tempatnya. Sampai kehangatannya menghilang pun, Vica masih saja membeku.
Barulah ketika suara mobil yang semula terdengar begitu dekat mulai menjauh dan menghilang dari telinganya, Vica ambruk. Ia menelan ludah, dan menatap sekelilingnya dengan tatapan kosongnya.
Vica benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, karena rasanya. Semua pintu tertutup sementara ia tak punya jalan keluar lain di hadapannya.
*****
Adel berjalan dengan cepat menuju parkiran. Beberapa orang mampir ke toko Vica untuk mengatakan bahwa Vica sedang terduduk di parkiran dengan tatapannya yang kosong tapi ketika diajak bicara, ia malah berkata tidak apa-apa dan ketika mereka menawarkan bantuannya, Vica malah menolaknya. Jadi, mereka mendatanginya karena Adel mungkin bisa menjemput Vica atau sekadar mengajaknya berbicara.
Vica di sana, ia dapat melihatnya dengan jelas. Wanita itu berjongkok di dekat barisan mobil dan Adel segera menghampirinya, "Odivica, ngapain lo di sini?"
Sayangnya, Vica tak bereaksi apa-apa.
Adel berjongkok di hadapannya, meraih bahunya dan mengguncang Vica, "Vic!" katanya dengan tekanan suara yang lebih tegas.
Vica menatapnya, tatapan matanya kosong, ia melihat sekeliling kemudian menatap Adel lagi dan tersenyum, "Del..." katanya.
"Ya, lo kenapa Vic?"
Vica tersenyum lagi, "Gue nggak nyangka kalau semua cuman sesimpel ini dalam waktu yang sesingkat ini," katanya.
Kening Adel berkerut, "Maksud lo apa? Gue nggak ngerti."
Vica menghela napas. Ia melepaskan tangan Adel dari pundaknya dan berdiri, "Barusan Arshad jelasin sama gue, kenapa dia cerain gue."
"Iya, terus?"
"Dia ninggalin gue."
"APA?!"
"Tapi dia balik lagi," kata Vica seraya tersenyum miring.
"Gue benci banget dengan caranya yang masih peduliin gue sekalipun dia mau pergi, dan gue juga benci dengan kenyataan bahwa dia bilang kalau dia melakukan semuanya karena dia masih cinta sama gue, dia mengusahakan kebaikan buat gue, dia menjunjung tinggi kebahagiaan gue, dan dia amat sangat menghargai kebersamaan kita dulu, bahkan dia bilang kalau dia nggak bisa bikin rumah karena nggak ada gue di sana, tapi yang gue lakuin malah..."
Vica tersenyum miring, "Padahal Del, gue juga kan masih cinta sama dia. Gue melakukan hal yang sama dengan apa yang Arshad lakukan. Gue minta cerai karena berpikir bahwa itu yang terbaik buat kita, terutama buat dia, tapi kenapa—"
Vica tertawa sumbang, "Tapi kenapa gue malah diem aja ya Del? Hahahaha. Lo tahu nggak kenapa? Ih, aneh banget ya. Hahahaha."
"Gue harusnya kan nangis Del, terus gue minta dia peluk gue. Eh Del, kalau dia emang masih cinta sama gue dan tahu kalau gue juga cinta sama dia, harusnya dia nggak jadi pergi. Gitu kan ya Del ya kalau di pilem pilem hahahahaha."
"Tapi kok, bilang hal sama ke Arshad sesulit itu ya? Padahal ketika gue bilang gue benci dia, bahkan ketika gue maki-maki dia, lancar banget ini lidah gue Del. Astaga, lidah memang nggak bertulang. Eh, lagunya Terry emang bener ya... Lidah tidak bertulang, ucapan cinta mengiris kalbuuu... huu huuuu."
Adel menatap Vica dengan iba. Wanita ini sudah berubah menjadi gila. Harusnya dia menangis, tapi Vica malah meracau tak jelas seperti ini. Jadi bagaimana cara Adel membuat perasaan sahabatnya membaik kalau begini caranya?
"Vic, kita ke toko dulu aja yuk. Ngobrolnya biar enak di sana. Atau... mau ke rumah gue?"
Alih-alih tersenyum dan menerima sarannya, Vica malah mencibir, "Cih. Apaan sih lo Del, mending juga gue ke Cigondewah, mau ngecek stock kain di toko Mama soalnya. Lagian kan gue barusan udah cerita semuanya hahahaha. Eh, ada yang kelupaan."
"Hah? Apa?"
"Arshad ternyata temennya kak Dimas, hahahaha. Terus tadi Arshad bilang kalau gue sama kak Dimas cocok. Hahahaha siapa dia coba ya, sok sok bilang kita cocok. Emangnya dia orang pinter yang bisa lihat kecocokan orang dari muka? Ngaco emang si Arshad. Udah ah Del. Gue mau pergi dulu ya, mau naik taxi aja deh di bawah. Dah Adel."
Secepat penjelasan Vica, secepat itu pula wanita itu menghilang. Ia pergi terburu-buru dari hadapan Adel, bahkan ketika Adel memanggil-manggilnya pun Vica malah melambai-lambaikan tangannya—tanda bahwa ia benar-benar akan pergi sementara Adel, tentu saja dia sangat khawatir.
Hey, fase apa yang barusan Adel lihat dari Vica?
Dan apakah Vica akan baik-baik saja?
TBC
Mumpung masih dalam suasana lebaran, aku mau mengucapkan selamat lebaran untuk kalian semuaaa :) lebaran ke berapa nih kita sama-sama? Wkwkwkwk
Maafkan kalau aku banyak salah ya sama kalian. Kalau ada janji yang belum aku tepati, kalau ada kata-kata menyinggung, kalau ada yg kesindir ga sengaja sama aku, maafin aku ya sayang sayangku :* semoga kita masih bisa bertemu di ramadan tahun depan. Aamiin.
Untuk cerita ini, tentu saja banyak banget kurangnya, jadi nikmatin dulu aja ya ders wkwkwk
Lagu yang aku dengerin waktu edit cerita ini adalah :
Ost Starlit – Gu Shi Wei Wan Cheng (iya, selera aku kalau ga dangdut, sundaan, korea, ya china)
BTW, lagu ini enak banget dipake ngedit, keinget jerry yan gendong si ceweknya huhuhu lawas sekali drama iniii. Pengen nonton tapi susah sekarang cari file nya :"
Ini salah satu lagu favorit aku yg selalu aku cari di karaoke tapi engga ada -_-
Ada yang tahu lagu ini gak kira-kira?
Yang tahu lagu dan dramanya, yang pertama kali jawab, aku kasih pulsa 10rb HAHAHAHA (APAAN DAN GIVEAWAY MENDADAK)
Ini serius wkwkwkwk lagu dan dramanya udah aku sebutin sih, maksudnya bisa kasih keterangan kayak "YA AMPUN LAGU INI TUH PAS BLABLABLA" wkwkwk atau apalah yang meyakinkan bahwa kalian tau wkwkwkwk
YA ALLAH AKU KANGEN NULIS YANG HEPI HEPIIII....
Okelah segitu aja yaaa...
Aku pegel ngetik dan duduk nih pengen rebahan.
Terima kasih udah baca dan tetap setia.
Daah...
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro