Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

D U A P U L U H

Saying that this moment is the last to you whom i loved so much 

even if you try to turn it back, 

even if you hold onto me crying, 

 i was the one who said no and bid our farewell  

 i always act strong, 

but i'm a cowardly man didn't have the confidence to protect you forever and left  

(Super Junior KRY - Let's Not) 


-


 Vica benar tentang ucapannya pada Adel bahwa dia akan menyelesaikan baju pesanannya. Sejak dua jam yang lalu ia tetap berkutat untuk menjahit baju, memeriksanya sesekali, kemudian menjahitnya lagi. Tapi rasanya energinya terkuras sekali, karena bukan tangannya saja yang bergerak, seluruh tubuhnya bergerak-gerak sejak tadi, terutama pikirannya yang bergerak tak karuan, melanglang buana memutar waktu dan bersliweran pada saat-saat yang tak ingin diingatnya, kemudian pikirannya terus menerus berputar dan berpusat pada satu objek yang sama; Arshad. Dan itu semua benar-benar membuat Vica kelelahan. Ia terus menggeleng, memukul kepalanya, mengatakan bahwa dirinya bodoh berkali-kali, menghela napas dengan keras dan pada akhirnya menyerah. Biarkan saja pikirannya tentang Arshad ini mengganggu dirinya! Biar! Toh dibuang seperti apapun caranya juga tidak berhasil.

"Pikaaaa..."

Suara Adel membuat Vica menoleh, "Oh, kenapa Del?" tanyanya.

Adel tersenyum, aneh sekali melihat caranya tersenyum pada Vica sekarang.

"Lo kenapa?" tanyanya.

Adel menggeleng, masih saja tersenyum. Hih, aneh juga anak ini, pikir Vica.

Sahabatnya itu duduk di sebelahnya dan tiba-tiba saja memeluk Vica dari samping, "Gue mau minta maaf, Pikachu sayang," katanya.

"Minta maaf kenapa?" tanya Vica.

"Yah, tadi gue goblok-goblokin lo," sahut Adel. Wanita itu melepaskan pelukannya dan tersenyum, "Maaf ya, gue memang kesel sama lo kok Vic, tapi gue juga frustrasi sama diri gue sendiri. Sampe gue lupa mungkin lo juga lagi frustrasi."

"Frustrasi apaan?"

"Sama perasaan lo?" tanya Adel.

Vica mendengus, "Apaan dah Del."

"Eh tapi lo maafin gue nggak?"

"Iya, maafin. Gue kan orangnya pemaaf besar."

"Masa?"

"Nggak percaya?"

"Nggak."

Mendengar respon Adel, Vica mengerucutkan bibirnya, "Emang lo doang deh kayaknya sahabat yang paling kejam sama sahabatnya. Udah ngegoblok-goblokin, minta maaf tapi udahnya malah nyakitin lagi."

Adel tertawa karenanya. Wanita itu menatap Vica dan berkata, "Emang lo goblok kok Vic."

"Hiii, masih aja ya Del."

Adel mengangkat kedua bahunya.

"BTW, hp lo nyala tuh. Lo silent ya Vic?" Adel melirik ponsel Vica yang menyala di sampingnya, Vica juga mengikuti arah tatapannya. Ia melirik sejenak dan melihat bahwa Aryan menelponnya kemudian menghela napas.

"Biar aja. Itu kak Dimas."

"Nggak lo angkat?"

Vica menggeleng, "Gue belum siap, masih malu."

"Yah, tapi lo nggak bisa begini terus lah Vic. Apa temuin aja langsung?"

"Kayaknya begitu, tapi nanti deh. Lusa apa ya, gue free."

"Halah, bukannya biasanya juga lo nyempet-nyempetin?"

Vica tersenyum sendu. Tatapannya kosong, dan tiba-tiba ia berkata, "Gue mikir... gimana kalau seandainya, yang kemarin-kemarin itu, gue gembor-gemborin kedekatan kita dan gue obralin diri gue sampe banting harga ke dia, kemudian gue bela-belain waktu gue buat dia, cuman buat menutupi apa yang nggak pengen gue sadari."

"Seperti?" tanya Adel. Menanti-nanti jawaban Vica. Tapi bukannya mendapatkan jawaban, ia malah mendapatkan senyuman.

Vica tersenyum, bahkan terkekeh, kemudian tertawa sumbang dan berkata, "Ngaco nih pala gue Del."

Menghela napas, Adel hanya bisa menatapnya dan menepuk pundaknya, "Lo boleh nggak jujur sama semua orang di sekitar lo, tapi lo jangan pernah berbuat nggak jujur sama diri lo sendiri. Kalaupun semua orang mungkin nggak bisa menerima kejujuran lo, senggaknya diri lo sendiri harus bisa nerimanya."

Lama Vica berdiam setelah mendengar ucapan Adel padanya. Alih-alih merespon bahasan yang sama, ia malah membicarakan yang lain.

"Mau pulang ah, kayaknya nggak enak badan nih gue."

Karena menurutnya, pergi adalah cara terbaik untuk saat ini. Bukan apa-apa, Vica takut saja kalau tiba-tiba ia meledak di hadapan Adel. Oh, tidak. Itu menyeramkan.


****


"Del, Vica mana?"

Adel menoleh dan menatap Arshad dengan tatapan kesalnya, "NGAPAIN LO NYARIIN VICA?!" teriaknya.

"Buset! Biasa aja kali Del. Gue punya salah sama lo?"

Adel mengusap dadanya pelan, "Sabar Adel. Sabar. Istighfar," tenangnya pada diri sendiri.

Ia menatap Arshad dan berkata, "Vica pulang, katanya nggak enak badan. Padahal tadi dia semangat banget jahit baju."

"Kok bisa?"

MAKE NANYA LAGI NIH BOCAH! Batin Adel merutuki Arshad abis-abisan.

"Kemarin lo ketemu Vica? Pas toko tutup?"

Arshad mengangguk, "Dia curhat soal gebetannya Del."

"Terus lo malah nasehatin dia, gitu?"

Arshad mengangguk lagi dengan polos.

"Yang satu guobloook, yang ini tuooolool setolol-tololnya. Ya Allah, gue harus sholat tobat berapa kali buat hapus dosa rutuk mereka habis-habisan," gerutunya.

Arshad menatapnya tak mengerti, "Kenapa sih Del?"

Masih tanya kenapa? Ih sumpah ya. KENAPA SIH ADEL HARUS ADA DI ANTARA VICA DAN ARSHAD BEGINI?!

"Gue nyesel deh Shad pernah nanyain lo soal cewek-cewek fiksi lo itu."

"Anggap aja lo nggak denger Del."

"Kagak bisa ONTA! Masalahnya gue ini ada di tengah-tengah banget posisinya. Gue tahu soal lo, gue juga tahu soal Vica—walaupun masih nebak-nebak sih. Gue tahu rahasia kalian yang sebenernya tinggal gue beberin aja gimana perasaan lo ke Vica dan gimana Vica ke lo. Beres kan kalau kayak gitu. Tapinya gue nggak bisa gitu loh, nah karena ketidak bisaan ini bikin gue frustrasiiiii. Lo nggak akan seneng kalau gue beberin semua sama Vica. Nah Vica juga sama, jadinya kan gue cuman bisa diem, dan kesel juga lama-lama sama kalian berdua. Ya ampuuuun aaaaak gemes dah gue."

Setelah mengucapkannya, Adel berjalan meninggalkan Arshad begitu saja sementara Arshad menatap Hanum—karyawan Vica—penuh tanya, "Adel lagi PMS Num?"

Hanum menggeleng, "Tadi mbak Adel cerita. Katanya mikirin A Arshad sama Teh Vica bikin dia stress, gitu aja sih A," sahutnya.

Arshad menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Apakah ia sudah membuat kesalahan besar?

Tapi omong-omong, Vica sakit apa?


****


Arshad tersenyum senang melihat pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ibu Vica mengatakan bahwa beliau memasak untuk Arshad dan memintanya makan siang di rumah. Memang ya, Tuhan masih berpihak padanya, niat hati ingin memastikan keadaan Vica, jalan Arshad malah dimudahkan.

Pria itu keluar dari mobilnya dan melihat tetangga Vica menatapnya seraya tersenyum.

"A Arshad?" katanya.

Arshad menyapa balik. Kalau tidak salah, tetangga Vica ini namanya bu Aminah.

"Eh Bu, apa kabar?"

"Baik pisan Ibu mah. Aa apa kabar? Lama banget nggak keliatan. Udah punya gandengan baru belum A?"

Alih-alih menjawab, Arshad malah menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Masa belum punya. Neng Vica aja banyak gandengannya, tiap hari anterin ke sini, ganti-ganti pula. Biasanya naik motor, masa neng Vica bilangnya naik ojek. Ngaco banget ya, naik ojek kok nggak bayar, padahal kalau memang pacarnya mah ya nggak apa-apa atuh nggak akan diomongin juga."

"Nggak akan diomongin gimana, barusan ibu ngomongin."

Jeder! Ekspresi bu Aminah terkejut mendengar Arshad berkata seperti itu.

"Ah, si Aa mah suka gitu," katanya.

Arshad tersenyum tipis, hendak berpamitan tapi kemudian ia menatap bu Aminah lagi dan berkata, "Yang anterin Vica itu memang bener ojek bu. Cuman ojek sekarang kan pesennya online, bayarnya juga online—aduh gimana ya jelasinnya. Kayaknya Ibu juga nggak akan ngerti, soalnya kemajuan teknologi nggak masuk sih ke hidupnya ibu. Yang masuk malah gossip-gosip orang aja."

Bu Aminah membulatkan matanya. Tapi sebelum ia berbicara lebih banyak lagi, Arshad memilih untuk berpamitan, "Punten ya Bu. Mama udah nunggu," katanya.

Berjalan masuk ke pagar rumah Rina, Arshad bergidik dengan ngeri. Kesal juga dengan kelakuan bu Aminah itu.

"Kamu kenapa nak?" tanya Rina—ibunya Vica begitu melihat Arshad.

"Itu Ma, tetangga Mama parah ya. Masa katanya Dii ganti-ganti cowok dan dia nggak percaya kalau Dii naik gojek. Gila emang ibu-ibu itu. Tinggal di kota tapi otaknya kayak otak yang tinggal di goa."

Mendengar gerutuan Arshad, Rina tertawa, "Vica pasti seneng denger kamu ngata-ngatain bu Aminah begitu. Merasa terbela dia, hahaha."

"Terus, mana Ma, Dii nya?"

"Di Toko lah Shad, jam segini ngapain dia di rumah."

O-ow, jadi Vica tidak pulang ke rumah? Dan dia juga tidak ada di toko?


****


"Tuh kan, ternyata ada di sini."

Vica sedang menenangkan dirinya di cafe favoritnya. Ia bermaksud menghilang dulu sejenak untuk mengusir semua pikiran-pikirannya tapi salah seorang yang ingin ia hindari malah muncul di hadapannya. Oke ralat, sebenarnya ini café favoritnya dan Arshad, café yang selalu mereka datangi bersama, jadi salah Vica juga kalau dia pergi ke sini untuk bersembunyi karena ketika orang lain tak bisa menemukannya, Arshad malah dengan mudah bisa menemukannya. Bodoh.

Pria itu duduk di hadapannya seraya melambai pada pelayan cafe untuk memesan menunya yang biasa. Setelah itu ia menatap Vica dan terkekeh, "Nasi kuning kamu aku yang abisin jadinya Dii," katanya.

Vica menghela napas, "Sampai kapan sih kamu kirimin aku nasi kuning Shad? kamu pikir aku nggak mampu buat beli sarapan aku sendiri, sampai-sampai kamu harus bawain aku setiap hari?"

Arshad menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Nggak suka ya Dii?" katanya.

Vica menelan ludah, "Nggak," katanya. Bukan apa-apa, kalau Arshad masih saja mengirimi nasi kuning setiap hari, Vica tidak yakin kalau ia bisa menyangkal semuanya lagi.

Kemudian mereka berdua terdiam, sementara Vica malah kesulitan dengan pikiran dan perasaannya sendiri.

"Kamu buat aku bingung Shad," katanya tiba-tiba.

"Bingung kenapa?"

"Kita udah cerai dan nggak seharusnya kamu datangi aku setiap pagi, hantuin hidup aku, dan terus-terusan muncul di hadapan aku. Kamu lupa, aku bilang apa waktu kita mau cerai? Aku nggak kuat lihat kamu, dan seharusnya kamu sadar sama hal itu."

"Aku dengerin kamu cerita soal cewek-cewek kamu itu karena aku kasian sama kamu. Kamu bahkan nggak punya siapa-siapa lagi yang bisa dengerin kamu cerita, makanya aku dengerin. Karena kalau sama kak Gilang, dia pasti marahin kamu, tapi aku nggak kan? Seharusnya kamu tahu diri, bukannya malah keenakan gangguin aku dengan cerita-cerita sampah kamu!"

"Tapi cerita sampah aku bisa bikin kamu hidup sampai sekarang Dii, dan aku seneng banget dengan satu kenyataan itu."

Yang Vica rasakan ketika Arshad mengucapkan kalimat barusan adalah rasa sakit di hatinya. Tidak tahu kenapa.

"Mau aku hidup atau aku mati, terserah aku dong Shad."

"Ya memang terserah kamu, tapi alangkah baiknya kalau kamu tetap hidup," jawab Arshad.

Lagi dan lagi Vica tertegun dibuatnya. Wanita itu menatap Arshad dengan nyalang, "Shad, kamu ngerti nggak sih yang barusan aku omongin?"

Pria itu mengangguk, "Ngerti kok. Intinya kamu nggak mau lihat aku lagi kan Dii?"

Vica menelan ludahnya. Ia mengalihkan tatapannya pada hal lain.

"Iya," jawabnya.

"Jawabnya sambil lihat muka aku dong Dii," kekeh Arshad.

Tuhan, di saat Vica mati-matian menahan dirinya, pria ini masih bisa terkekeh? Dasar gila!

Mengatur napasnya, Vica menatap Arshad dalam-dalam dan berkata, "Aku bener-bener nggak mau ketemu kamu lagi. Harusnya kita berpisah itu kita jalani hidup masing-masing dan nggak usah bersinggungan kayak gini. Hal yang seharusnya kamu ketahui baik-baik Shad, aku bener-bener nggak suka ketemu kamu, dan kamu harus tahu kalau aku..."

Vica tidak tahu kenapa tapi suaranya tersendat karena ia terkejut dengan air mata yang mengalir di pipinya secara tiba-tiba, "Aku benci sama kamu."

"Lihat kan, saking bencinya sama kamu, aku sampe nangis gini," isaknya.

Arshad balas menatapnya. Pria itu tersenyum, lebar dan manis, juga menenangkan, seperti senyuman yang selalu Vica butuhkan kala dia keresahan dulu.

Pria hangat dan lembut itu kembali. Arshad yang kemarin membuatnya berdebar kini muncul lagi. Pria itu menggenggam tangan Vica sebentar kemudian menghapus air matanya, "Ya udah, jangan sampe nangis begini gara-gara aku Dii, kan aku jadi merasa bersalah," katanya.

Harusnya Vica melepaskan genggaman tangan Arshad dan merutukinya habis-habisan kan? Tapi yang terjadi, ia malah menganggukkan kepala seraya menangis.

"Maaf ya kalau kehadiran aku seberat ini buat kamu. Aku juga memang berniat buat pergi kok Dii. Tapi boleh nggak aku titip pesen sama kamu?"

Vica menatapnya, dan Arshad tersenyum lagi padanya.

"Yang salah tetap aku Dii, jangan salahkan diri kamu sendiri. Yang terjadi selama ini juga atas pilihan aku, jadi kamu nggak ada salah apa-apa. Jangan terlalu banyak ngejahit ya, lihat tangan kamu banyak luka-luka begini. Minta bantuin Hanum buat QC baju kamu, terus kayaknya kakak-kakakmu kangen banget sama kamu Dii, balik lagi dong kayak dulu, kumpul-kumpul sama mereka. Kan yang sayang sama kamu banyak, yang kangen kamu juga banyak. Kalau aku kan nggak punya siapa-siapa, sementara kamu punya mereka."

Setelah mengucapkannya. Genggaman tangan itu terlepas. Arshad mengusap air matanya lagi. Ia mengusap kepala Vica kemudian melambaikan tangannya dengan ekspresi tengil.

"Dah," katanya.

Seolah hal itu adalah perpisahan mereka yang sesungguhnya—yang seharusnya Vica syukuri. Tapi alih-alih tersenyum atas keberhasilannya mengusir Arshad dalam hidupnya, Vica malah menelungkupkan wajahnya dan menangis terisak-isak, tak peduli dimana ia berada.


*****


Adel sudah pernah menyangka bahwa saat-saat seperti ini akan datang dalam hidupnya. Saat dimana Vica mendatangi rumahnya dengan berlinang air mata seraya memintanya untuk menampung Vica sehari saja sampai ia merasa tenang.

Wanita itu masih tenggelam dalam tangisan dan tak mau bicara. Adel sengaja membiarkannya. Mungkin memang sudah sejak lama Vica menahan perasaannya. Ia perlu melepaskan semuanya sekarang.

"Lo tahu nggak sih Del kalau kita panik, yang kita lakukan itu nggak pernah bener? Bukan yang kita lakukan aja tapi yang kita katakana juga." Vica membuka suara secara tiba-tiba. Tangisnya sudah reda dan ia sepertinya sudah siap untuk bercerita.

"Gue tuh bingung Del, dengan semua yang terjadi dalam hidup gue, dengan Arshad yang masih aja gangguin gue padahal kita udah pisah, terus dengan Arshad yang malah hibur gue—lo tahu, waktu gue nangis itu dia peluk gue, nenangin gue, dan..."

"Kambing! Kayaknya gue kebawa suasana. Ya gue kesel aja sama dia, terus ya kenapa juga dia harus nemuin gue di café sih barusan? Jadinya apa coba? Gue emosi, dan akhirnya gue nyeroscos nggak jelas. Bahkan sekarang gue pun lupa, tadi gue bilang apa aja. Yang jelas gue usir dia, udah gitu aja."

"Dia bersedia?"

Vica mengangguk, "Tahu dah, nggak jelas banget si Arshad. Dia malah ngelantur sana sini, tahu ah gue juga lupa dia bilang apa tadi. Yang jelas katanya dia emang mau pergi."

"Ya bagus dong. Kan itu yang lo pengenin."

"Iya sih."

"Tapi..." kata Adel, menggantung. Sengaja melihat respon Vica dan wanita itu malah menghela napasnya.

Tiba-tiba saja Vica menatap Adel dan bertanya, "Lo tahu nggak Del, kenapa gue cerai sama Arshad?"

"Kenapa?"

"Lo inget kan, gue keguguran?"

Adel menganggukkan kepalanya.

"Semua orang nggak ada yang tahu, kalau keguguran gue ini nggak ada apa-apanya."

"Maksud lo?"

"Gue hamil kosong Del."

Adel hampir tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya karena kini mulutnya malah menganga mendengar penjelasan Vica.

"Sepanjang hidup gue, kayaknya gue harus menanggung rasa malu Del. Gue hamil, tapi ngotot nggak mau periksa, kepedean banget gue hamil, cuman periksa ke bidan, tunjukin test pack yang memang positif, tapi nggak mau USG dengan dalih, nanti aja kalau udah empat atau lima bulan. Tahunya apa? di saat seharusnya gue USG buat liat bayi gue, gue malah keguguran dan ternyata dalam perut gue ini nggak ada apa-apanya Del," kata Vica.

Kenangan tentang betapa menyakitkannya saat itu, ketika dokter harus mengambil tindakan, ketik Vica terkejut setengah mati, dan ketika Arshad menundukkan kepalanya untuk menangis membuat Vica meneteskan air matanya.

"Waktu gue hamil, setiap malem Arshad selalu elus-elus perut gue sambil ngucap syukurnya. Katanya, dia nggak punya siapa-siapa di dunia ini dan sekarang dia punya gue dan calon anak kita, keluarga kecilnya yang bisa bikin dia makin semangat lagi. Dia juga selalu bilang, Tuhan masih baik sama dia karena meskipun dia banyak dosa di masa lalu, dia masih bisa dapet kebahagiaan semacam ini dihidupnya."

"Setelah gue keguguran Del, gue bahkan nggak sanggup liat mukanya Arshad. Gue merasa malu, merasa bersalah sama dia. Beda cerita kalau dari awal gue nurut sama dia, kita mungkin nggak separah itu."

"Lo cerai gara-gara itu?"

Vica mengingat saat-saat itu lagi. Ia tersenyum seraya meneteskan air mata, "Gue nggak tahu gimana caranya untuk kita bisa berbaikan. Arshad memang masih ngajak gue bicara, tapi lama-lama kita berdua malah sibuk meratapi kehidupan masing-masing."

"Hari itu, Linda dateng ke rumah. Gue ngecek aja keluar, dia berulah ngapain lagi sama Arshad. Tahunya dia mabok, terus cium Arshad. Mereka lihat kalau gue nangkep basah mereka, tapi ya udah segitu aja. Gue masuk lagi, tapi lo tahu nggak Del? Setelahnya, Linda chat gue."

"Hah? Cewek gila itu?"

"Linda bilang, dia dulu bikin Arshad seneng-seneng. Terus tiba-tiba gue dateng dan rebut Arshad dari kehidupannya yang udah nyaman lalu gue malah nyiksa Arshad dengan apa yang sedang kita alami."

"Gila ya! Itu kan bukan salah lo! Memang takdirnya aja yang harus begitu."

Vica tersenyum pedih, "Iya, seharusnya gue lebih legowo dengan anggap omongan Linda angin lalu, tapi gue malah mikirin semuanya. Gue emosi, ditambah lagi Arshad nggak jelasin apa-apa soal Linda yang cium dia, dan akhirnya semua terjadi. Bahkan ketika gue minta cerai, dia nggak keberatan Del," kata Vica begitu saja.

Adel menatap Vica dan bertanya, "Terus sekarang, perasaan lo sama Arshad gimana?"

Ditanya seperti itu, Vica malah diam. Ia tak bisa mengatakan apa-apa. karena memang sebenarnya, sudah jelas-jelas Vica membenci Arshad karena pria itu menyebalkan sekali! Tapi... sebuah keraguan malah muncul dalam hatinya. Benarkah Vica membenci Arshad? Atau ia malah terus menerus menekankan dirinya untuk membenci Arshad di saat sebenarnya Vica justru...

Baiklah, ia tak harus memikirkannya. Karena Vica lelah jika harus berperang dengan pikirannya sendiri.

"Dengan Arshad pergi, mungkin memang saatnya kalian saling melepaskan diri kalian Vic," kata Adel begitu saja.

Vica tersenyum tipis.

"Kalian pernah sangat saling mencintai, jadi perpisahan itu pasti menyulitkan kalian, dan sejauh ini kalian juga nggak bener-bener berpisah kan? Gue yakin semua ini bikin lo dan dia juga bingung. Karena jujur Vic, gue aja yang lihatnya bingung. Lo benci sama Arshad karena kelakuan dia, tapi lo masih aja nerima kedatangan dia. Tapi satu hal yang mau gue kasih tahu sama lo Vic."

"Arshad, nggak sebajingan yang lo pikir."

"Gue nggak punya hak untuk menjelaskannya sama lo. Karena gue jelasin juga lo nggak akan percaya, lo kan udah dibutakan sama kebencian lo sama dia. tapi satu hal yang harus lo tahu. Mungkin, memang ada banyak hal yang nggak lo ketahui soal Arshad, begitu juga dia... banyak hal yang nggak dia tahu soal lo dan perasaan lo."



TBC



HALOOOO SEMUAAAAA

Maapin lama banget ya udah sebulan nggak update. Abis gimana, aku nggak mood banget. Karena kan kemarin sedih sedihan ya, terus feel aku teh akhir2 ini lagi seneng terus wkwkwkwk

Ya nggak seneng juga sih. Seneng enggak, sedih juga nggak. Ya kayak plat Jakarta. B aja wkwkwkwk

aku gatau mau bilang apa jadi intinya selamat membaca dan terima kasih buat kalian yang masih setiaaaaa banget sampe sekarang meskipun aku update nya jarang jarang banget.

Makasih banyak buat dukungan kalian ya ih cinta deeeh. 

lagu di atas adalah salah satu lagu yang masuk playlist akuuuu. DASHINA GATEUN SARAM SARANGHAJIIII MALGOOO... DASHI GEURIWO HAN SARAMANDEULJIIII MALGO HOOOO~ NEOMAN BARABOGOOO... lupa lagi liriknya wkwkkwwk intinya mah katanya JANGAN CINTAI ORANG SEPERTI AKU, UDAH KAMU CARI YANG LAIN AJA YANG LEBIH BAIK DARI AKU HUHU 

udah ah, segitu aja ya.

Dah, aku sayang kalian :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro