D E L A P A N B E L A S
Pernah sakit tapi tak pernah sesakit ini versi kalian apa ders?
Hayuk berbagi cerita. Nanti aku posting di part selanjutnya! Wkwkwk
Enjoy~
****
Vica belum pernah segelisah ini ketika ia hendak pergi keluar rumah. Sungguh! Karena jadwal 'jalan' nya bersama Aryan hari ini dan pria itu sudah berjanji untuk menjemput Vica ke rumahnya jam 11 siang, Vica memutuskan untuk bersiap-siap dari jam 10 dan sekarang ia sudah berdiri di salah satu minimarket yang berada di dekat komplek rumahnya seraya melihat kesana kemari. Vica sudah mengabari Aryan untuk menjemputnya di sini karena Vica sedang membeli sesuatu—yang Vica tidak tahu apa itu sehingga akhirnya ia masuk dan memilih sembarang produk yang membuat Vica menyesali pilihannya. Tolak angin. Demi apa! Dari semua produk yang ada, Vica malah memilih tolak angin. Satu dus pula. Tuhan, ampunilah dosa Vica.
Habis, bagaimana lagi coba. Kalau Vica tidak menunggu Aryan di sini, pria itu pasti ke rumahnya, dan kalau Aryan ke rumahnya akan membuat keributan besar yang bisa mengundang tanya tetangga hingga akhirnya nama Vica akan digosipkan di forum tukang sayur komplek selama seminggu kedepan. Tidak, itu menyeramkan! Tapi sesungguhnya yang lebih menyeramkan dari itu semua adalah ibunya sendiri. Bagaimana tidak, sampai saat ini Vica tidak pernah bercerita kalau ia sedang dekat dengan pria—yang setiap hari ia temui—dan pria itu adalah klien ibunya dan calon suami—tapi ngga jadi—model idola ibunya sendiri. Mampuslah ia, Vica benar-benar tak siap dengan respon yang akan ditunjukkan oleh ibunya.
"Loh, Neng Vica lagi ngapain di sini?"
Suara bu Ajeng—tetangganya membuat Vica menoleh seketika. Ia tersenyum tipis, "Ini bu, abis beli tolak angin," jawabnya.
"Mau jalan-jalan ya?"
"Hah? Enggak kok bu, hehe."
"Eyy, masa enggak. Itu udah dandan begitu. Mana wangi juga, terus beli tolak angin. Euleuh-euleuh, ini mah kayaknya mau momotoran ya? Kamana neng? Ka Lembang? Atau touring?"
Buset. Memang Ibu-ibu dan rasa penasaran tak pernah bisa bersahabat.
"Enggak kok bu, bukan. Ini temen saya yang nitip," sanggah Vica.
Bu Ajeng menganggukkan kepalanya, tapi bukannya pergi, beliau malah duduk di samping Vica dan menatapnya penuh selidik, dan semua itu membuat Vica tak nyaman. Ini seperti Vica sedang dihukum dan semua orang memperhatikannya seraya bergumam dan sesekali menyumpahinya atas hukumannya. Wow, seram juga!
"Ibu nggak pergi?" tanyanya memberanikan diri.
Bu Ajeng terkekeh, "Nunggu bu Aminah, itu masih di dalem katanya mau beli minyak dulu mumpung promosi."
Seketika mata Vica membulat lebar. Di dalam ada bu Aminah? Serius? Bu Aminah yang tinggal di samping rumahnya? Ya Tuhan! Matilah Vicaaaa. Bu Aminah adalah sumber dari segala sumber ketidak tenangan Vica hidup di dunia karena omongannya! Dan sekarang Vica sedang menunggu Aryan di sini untuk menghindari ibunya tetapi ia malah bertemu dengan bu Aminah? Habislah ia! Habis sudah!
Menatap ponselnya, Vica buru-buru mengirimkan pesan pada Aryan untuk menanyakan keberadaannya. Kalau Aryan sudah dekat, ya bagus, ia bisa pergi sebelum ada bu Aminah, dan kalau Aryan masih jauh, lebih baik pria itu menunggunya di sana saja supaya Vica mendatanginya seraya menaiki ojek. Ah, benar. Ide yang bagus, Vica! Bagus sekali!
"Kania!"
Tapi ide yang bagus itu pupus seketika, tak terpakai sama sekali karena Aryan malah sudah muncul di hadapannya seraya berjalan kaki dan sekarang Vica berpikir—DIMANA MOBIL ARYAN? KENAPA PRIA ITU JALAN KAKI?
Sebelum menjawab Aryan, Vica lebih dulu melirik kea rah bu Ajeng yang kini sedang memperhatikan Aryan sama seperti beliau memperhatikan Vica sebelumnya, barulah setelah melihat bu Ajeng, Vica melirik ke belakang dan melihat bu Aminah yang masih antre di kasir seraya berbicara lewat telpon.
"Kamu udah lama?"
Sekarang Aryan malah mendekat kepadanya. Vica menelan ludah, buru-buru ia berjalan dan meraih tangan Aryan lalu menariknya untuk menjauh dari bu Ajeng dan bertanya, "Mobil kakak dimana?"
"Oh, itu di sebrang," jawabnya seraya menunjuk parkiran minimarket yang satunya lagi.
"Kalau gitu kita pergi sekarang aja ya Kak!" pintanya. Vica menoleh dan tersenyum untuk berpamitan kepada bu Ajeng, Aryan juga melakukan hal yang sama dan bu Ajeng melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Seperti melihat anaknya hendak naik ke atas panggung untuk menyanyikan sebuah lagu di depan orang banyak.
"Kamu kenapa?" tanya Aryan, kebingungan dengan sikap Vica yang tiba-tiba.
"Nggak apa-apa sih cuman itu ibunya suka kepo. Sebenernya bukan ibu yang itu sih, yang dalem minimarketnya, ibunya rese. Suka kepo terus sebar-sebar gosip nggak jelas," sahutnya.
Aryan mengangguk saja. Ia berjalan bersama Vica dan masuk ke dalam mobilnya. Vica sendiri terkekeh karena ia berhasil lolos dari kekepoannya bu Aminah. Yes! Vica, berhasil!
"Loh, neng Vicaaaa. Gandengannya naik mobil sekarang?"
Gubrak! Mata Vica melebar sementara pegangannya pada pintu mobil mengencang. Ia tidak siap untuk berbalik tapi kepalanya ini malah menoleh dan melihat bu Desi baru keluar dari mini market.
"Keren euy, si neng Vica," kekehnya.
Bu Desi ini... CS nya bu Aminah. Astaga!
"Hehe, duluan ya Bu," pamit Vica begitu saja.
Begitu masuk ke dalam mobil, Vica memekik tertahan, "Kak ayo cepet pergi sekarang ngebut aja ngebut ngebut, ngebut pleaaase."
*****
"Linda nyariin lo."
Arshad baru saja duduk di kantor Gilang, dan ia tidak menyangka kalau sahabatnya itu akan memberikan ucapan selamat datang dengan cara memberitahukan hal yang tak ingin Arshad ketahui.
"Emang bebal dia. Nggak akan nurut gue suruh pergi pun."
"Abis kali duitnya. Mau minta duit jangan-jangan."
"Nggak akan gue kasih, gue nggak punya duit juga," sahut Arshad.
Gilang menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Kerja lah, kalau mau punya duit. Rancangan banyak yang nganggur nih."
Mendengar bujukan tidak langsung dari Gilang, Arshad tersenyum, "Nggak mempan Lang."
"Kalau Vica yang bujuk pasti mempan kan?"
Arshad menggeleng, "Nggak semua hal bekerja dengan cara paksaan Vica buat gue kali. Lagian memang gue udah nggak mau bikin rumah. Buat lo aja semua kerjaannya. Kejar setoran kan buat biaya lahiran?"
"Masih lama kali," dumel Gilang.
Arshad mengangkat bahunya. Ia berjalan menuju meja dispenser dan menyeduh kopi di sana, "BTW Lang, kalau gue pindah... lo bisa kontrol toko-toko yang gue sewain nggak? Hmm, kalau soal listrik sih karena memang gue belum ganti ke pulsa, gue putusin buat ganti aja per toko, biar mereka sendiri. Jadi bayarnya pun mereka cuman sewa bulanan aja, tapi masalah tagihan ini, kalau orangnya nggak ada biasanya males bayar ya nggak sih lo?"
"Tauk."
"Serius, bro."
"Emangnya kenapa? Lo mau pindah?"
Arshad berhenti mengaduk kopinya. Ia menatap ke depan sejenak kemudian berkata, "Rencana. Ya nggak sekarang, tapi segera. Kayaknya."
****
"Kuat juga kamu jadi bahan obrolan mereka ya," sahut Aryan. Pria itu tersenyum seraya meminum kopinya. Mereka sudah sampai di tujuan pertama mereka, salah satu cafe yang berada di daerah dago sih. Sengaja ke sini karena Vica ingin menghirup udara segar. Untung saja cuacanya mendukung, menyejukkan karena angin yang berhembus di sekitar sini, cuacanya juga tidak panas. Memang hari yang tepat untuk berjalan-jalan.
Sejak perjalanan mereka, Aryan penasaran sekali dengan konflik Vica dan ibu-ibu. Pria itu terus-terusan membujuknya untuk menceritakannya hingga akhirnya Vica bilang kalau Bu Aminah dan yang lainnya memang senang menggosipkan orang. Pokoknya hari ini Vica meledak di depan Aryan, ia benar-benar mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Padahal kata Mama juga bu Aminah tuh kurang apa sih. Masih aja urusin hidup orang lain, si ibu belum tahu aja yang ngomongin dia banyak," gerutu Vica.
"Termasuk kamu ya Kania."
"Ih, kakak!"
"Lah, kan barusan kamu memang ngomongin beliau."
"Yah, kan kakak yang nanya."
"Saya kan cuman tanya kamu ada konflik apa, terus bisa kamu jawab dengan cara bu Aminah usil. Gitu aja kan?"
Err.. benar juga sih.
"Ya maklum gitu ka, aku kan cewek. Cewek itu nggak bisa diungkit dikit."
"Masa?" goda Aryan.
Vica tersenyum menggoda, "Iya," katanya seraya mengedipkan mata.
Aryan menggeleng, "Menyesal, godain kamu," katanya.
Seketika Vica tertawa, "Seneng kok digodain Kakak. Aku juga orangnya gampang diajak dalam situasi apapun kok kak, digodain pun aman-aman aja, nggak akan minta tanggung jawab."
"Seperti?"
"Narik Kakak ke KUA misalnya?"
Aryan tertawa dengan keras, "Nggak bisa kamu narik-narik orang begitu aja, orang KUA juga paham yang dipaksa yang mana."
"Halah, orang KUA mah kasih aja uang, tar juga dia mau kok ngawinin."
Sebuah jitakan ringan Vica rasakan di kepalanya, "Salah satu tindakan penyuapan," kata Aryan.
Vica mengerucutkan bibir, tapi ia malah merasa kegirangan.
"BTW Kak, coba jitak lagi dong. Kok aku suka ya?"
JEGER! Matilah Aryan! Ia menggelengkan kepalanya, bergeser dan berpura-pura menjauh dari Vica untuk menggodanya lagi dan Vica tertawa, "Jauhin aja aku, tar aku lari buat deketin Kak Dimas lagi."
"Kania, kania. Nggak ada abisnya banget kamu ini," kata Aryan.
Vica terkekeh, "Aku gitu loh. Sini dong, jitak lagi kak! Kan ceritanya sebel sama aku.
"Nggak. Saya takut dituduh aneh-aneh."
"Apaan, tangannya juga nggak akan jamuran kali jitak kepala aku," gerutu Vica.
Aryan menggeleng lagi. ia selalu tak habis pikir dengan tingkah Vica yang satu ini. pada akhirnya ia mendekat, Aryan mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga Vica memejamkan matanya.
Satu detik....
Dua detik....
Tiga detik.
Alih-alih menjitak kepala Vica, Aryan malah mencubit Vica pelan seraya berkata, "Nakal."
****
GUE DICUBIT KAK DIMAS DEL MASYAALLAH BAHAGIANYA GUE YA AMPUN DEL, GIMANA NIH? TAKUT MATI GUE!!!
Adel membaca pesan dari Vica seraya menggeleng, "Orang gila," gerutunya.
"Siapa Del? Siapa yang gila?" tanya sebuah suara tiba-tiba. Itu suara Rina—ibunya vica.
"Eh, tante."
"Siapa yang gila?" tanyanya lagi memastikan.
Adel terkekeh, "Anaknya tante."
"Gila kenapa?"
"Nemu yang seger tan, baru kembali hidup lagi dia merasa jatuh cinta. Hahahahaha."
Bukannya senang, wajah Rina malah berubah muram, "Yah, bener ya yang kata ibu-ibu tadi. Katanya Vica jalan bareng cowok, tante sih senyum aja, mana tahu gojek. Kan biasanya si ibu-ibu usil kalau ada gojek. Taunya bukan ya. Yah, anak tante udah move on dong Del."
Adel tersenyum, "Ya baguslah tan, namanya hidup kan harus berlanjut."
"Tapi tante maunya Vica sama Arshad aja Deeel. Ini gimana ya, bisa nggak kalau tante kayak emak-emak di sinetron yang misahin anaknya dari gebetannya?"
Adel tak bisa berkata-kata karena ia malah tertawa dengan keras.
*****
Vica merasa konyol sekali karena bahagia akan hal sekecil ini. jalan bareng gebetan, saling menggoda dan meledek, ya gitu deh ala-ala pacaran anak SMA—yang tak pernah ia alami. Rasanya menyenangkan dan mendebarkan. Ugh, dari seluruh momen terbaik yang ada dalam hidupnya, Vica akan memasukkan hari ini ke dalam daftar. Secara, pergi bersama Aryan selain makan siang itu begitu istimewa untuknya!
Omong-omong soal Aryan, pria itu sedang berbicara di telpon. Ia terlihat kesal, tapi tak mengeluarkan suara apapun, hanya mencoba mendengarkan seraya menepikan mobilnya.
"Ya Mama ke toko Aryan aja langsung."
Setelah mengucapkannya, pria itu melepas headset kemudian mematikan ponselnya. Ia menoleh pada Vica dengan eskpresi wajahnya yang masih kesal. Tapi pria itu memulihkan dirinya dengan cepat. Seraya menarik persneling, Aryan berkata, "Maaf nggak bisa lanjut buat liat sunset di sini. Kita ke toko saya aja yuk Kania? Mama saya ada perlu katanya."
"Oh kalau ada perlu gitu turunin aku di bawah aja Kak, nggak apa-apa aku pulang aja deh, mana tahu darurat."
Aryan menggeleng, "Nggak bisa. Kamu ikut aja, Mama saya sebentar kok ketemu saya. Lima menit juga enggak."
Hah? Sesingkat itu?
"Tapi—"
"Ikut aja ya?" pinta Aryan dengan lembut.
Jangankan diminta dengan lembut, diperintah, bahkan sampai diteriaki untuk ikut saja Vica akan menurut. Secara... Aryan gituloh, Aryan ini tuh!
*****
Vica tersenyum senang. Akhirnya ia bisa duduk dengan santai di tokonya Aryan dan menyaksikan pria itu mengurus langsung pekerjaannya. Ih, keren juga ya punya bisnis clothing seperti ini. Mana desain kaos Aryan bagus-bagus lagi.
"Dibawa ke sini malah dianggurin ya," ucap Aryan begitu kembali ke hadapan Vica seraya membawa satu gelas minuman.
"Nggak apa-apa kak, kan kata aku juga kakak nggak usah berbuat banyak. Kakak bernapas aja aku udah seneng."
Dasar. Si Vica ini benar-benar.
Aryan tersenyum karenanya, tapi senyumnya berubah seketika ketika seseorang membuka pintu dan berjalan ke arahnya. Vica yang menyadari perubahan ekspresi Aryan mengikuti arah pandangnya.
Seorang wanita paruh baya berjalan dengan angkuh seraya memamerkan tas chanel nya dan berhenti tepat di hadapan Aryan.
"Mana," tagihnya seraya menengadahkan telapak tangannya di hadapan Aryan.
Pria itu memejamkan mata. Ia menatap Vica dan meminta izin, "Sebentar ya Kania," katanya.
"Pake minta izin segala," sahut wanita itu. Vica tersenyum canggung karenanya, tapi malah dibalas dengan delikan. Astaga, siapa pula wanita ini?
"Sama Mama sendiri kamu nggak pernah minta izin kayak begitu. Sama dia kok kamu sampe minta izin gitu sih? dia lebih penting dari Ibu kamu?"
Oh, ternyata ibunya Aryan. Tapi omong-omong, kenapa malah marah begini?
"Ma, Ke ruangan Aryan aja."
"Cewek ini siapa? Temen kamu?" tanya wanita itu.
Aryan tak mau repot-repot menjawabnya tapi Vica langsung berdiri dan memperkenalkan dirinya, "Vica tante," katanya.
Wanita itu menatap Vica dari atas ke bawah penuh penilaian kemudian ia menatap Aryan, "Cewek baru kamu?"
Vica tersipu, tapi wanita itu berkata, "Bagus Irdina kemana-mana Aryan. Kalau mau lupain cewek tuh sama yang lebih bagus dikit. Sama yang begini tuh ya, bukannya lupa, kamu malah keinget-inget terus."
DEG!
Bagusan Irdina kemana-mana.
Bagusan Irdina kemana-mana.
Bagusan Irdina kemana-mana.
Vica belum pernah seterkejut ini sebelumnya.
Tanpa bisa berkata apa-apa, Vica membatu di tempatnya. Ia bahkan tak sanggup menatap wanita itu ataupun sekedar melirik Aryan untuk memastikan ekspresinya.
"Ma! Mama nggak usah sembarangan dan bikin orang lain nggak nyaman dong!"
Pria itu menyeret ibunya untuk menjauh dari Vica sementara Vica—ia malah tertawa sumbang karena sesuatu menyadarkan dan menamparnya sekaligus.
Sesungguhnya sampai saat ini, sejauh mereka menghabiskan waktu bersama, Vica tak pernah menceritakan statusnya.
Aryan sama sekali tidak tahu kalau Vica adalah janda, dan itu semua membuat Vica menatap kosong ke depan seraya meneteskan air matanya.
Astaga, Vica... baru sadar tempatmu sekarang?!
*****
"Yaaah kok tokonya gel—"
Arshad tak melanjutkan ucapannya karena apa yang dilihatnya sekarang. Setengah jam yang lalu toko Vica tiba-tiba saja tutup, padahal masih jam lima sore dan Arshad bertanya pada Adel tapi gadis itu malah menjawab, "Bos yang nyuruh tutup, gue mah ngikut aja." Tapi setelah itu, yang Arshad dapati adalah Vica berlari masuk lewat pintu samping tokonya. Karena tingkat kekepoan Arshad tinggi, ia mengikuti Vica seraya terkekeh, tapi Vica tak kunjung menyalakan lampu tokonya dan begitu Arshad masuk, wanita itu sedang meringkuk di pojokan seraya terisak.
Terisak.
Vica dan isakannya adalah sebuah kenangan buruk bagi Arshad, keduanya menjadi sebuah bukti kegagalan terbesar Arshad dalam hidupnya dan ia tak siap untuk menyaksikannya sekarang. Mau tahu rasanya?
Rasanya seperti semua kesakitan yang sudah kau lupakan sejauh ini kembali terasa. Sesak memenuhi dada dan menyerang dengan menyeramkan. Arshad bahkan hampir lupa caranya bernapas saking terkejutnya. Tapi Arshad tak boleh tinggal diam kan? Pada akhirnya ia menutup pintu, menyalakan lampu, berjongkok di depan Vica kemudian menggodanya, "Walah, bisa nangis juga ter—"
Sebelum selesai berbicara, Vica sudah lebih dulu melompat ke dalam pelukannya dan membuat mata Arshad melebar.
Sebentar.
Tunggu sebentar.
Biarkan Arshad mencerna apa yang terjadi lebih dulu.
Ia masih terkejut. Sungguh.
Demi apa...
Vica yang sangat ia rindukan keceriaannya, sikap manjanya, dan bahkan pelukannya... sekarang memeluknya dengan erat? Sumpah?
"Shad..." Vica memanggil namanya dalam isakan. Wanita itu bahkan mengeratkan pelukannya untuk dapat menangis lebih keras di dalam dekapan Arshad.
Sesuatu seperti ini sulit sekali Arshad dapatkan bahkan ketika ia bersujud untuk memohon selama sehari semalam, dan Arshad tidak peduli dengan apa yang membuat Vica menangis, yang ia pedulikan adalah pelukan Vica yang kini menghangatkan hatinya dan malah membangkitkan kembali seluruh perasaannya yang sejak lama tersembunyi.
Arshad membalas pelukannya, ia memeluk Vica dengan erat, bahkan menggoyang-goyangkannya sedikit—seperti cara mereka berpelukan sebelumnya. Bagian terpentingnya, Arshad bisa mengusap punggung vica dengan lembut dan ia bahkan mencuri ciuman di kepala Vica.
"Hadeuh, kenapa nangis ini?" tanyanya setelah menenangkan diri. Aneh, Vica yang menangis tetapi ia yang malah menenangkan diri.
Vica masih tenggelam dalam isakannya, ia menggeleng, memberitahu Arshad bahwa saat ini ia belum siap untuk bercerita. Akhirnya Arshad mengangguk dan memeluk Vica lagi, caranya masih sama, menggoyang-goyangkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri seraya berkata, "Puas-puasin dulu Dii, sampe puas banget, sampe plong, sampe kamu sadar dari semuanya."
Termasuk sadar dari kenyataan bahwa yang tengah Vica peluk adalah orang yang paling dia benci di dunia.
Lama mereka berpelukan hingga akhirnya Vica melepaskan pelukannya. Ia menatap Arshad seraya cemberut sementara Arshad tertawa dan menghapus air matanya. Pria itu bahkan membenahi rambut Vica yang berantakan.
"Jadi?" kata Arshad.
Vica cemberut.
"Kangen aku?" tanyanya.
Vica sedang tidak bisa bercanda. Bukannya memprotes Arshad habis-habisan, ia malah menyanggah dengan cara menggeleng. Wah, perih juga penolakan ini.
"Terus? Soal apa?"
"Gebetan aku," keluh Vica.
Satu hantaman keras menghantam Arshad secara tiba-tiba. Ekspresinya berubah seketika. Ah, pergi lebih baik dari pada harus mendengarkan Vica bercerita soal gebetannya kan?
Benar. Pergi adalah jalan terbaik, tapi pergi ketika Vica menangis adalah jalan terbaik menuju ke neraka. Memangnya Arshad bisa tahan meninggalkan Vica begitu saja?
Terkutuklah perasaan dalam hatinya yang membuat Arshad malah tinggal diam di sini!!!
"Kenapa?"
Air mata Vica kembali turun, "Aku nggak sadar tempat aku," isaknya dengan hebat. Nah kan, dia menangis lagi.
"Nggak sadar gimana?"
"Shad! kamu tahu nggak, hari ini aku lagi seneng banget tapi tiba-tiba aku dijatohin gitu aja. Aku gila kali ya kemarin-kemarin. Berasa anak gadis baru lulus SMA. "
"Maksud kamu apa Dii?"
"Aku tuh janda Shad! janda!" teriak Vica dengan emosi.
Wanita itu meneteskan air matanya lagi, ia mengusapnya dengan kasar, "Muka aku nggak cantik, badan aku juga nggak tinggi dan langsing sementara pekerjaan aku cuman tukang jahit di tokonya sendiri yang ini tuh bukan apa-apa, sama sekali bukan apa-apa."
"Aku nggak dikenal siapa-siapa, aku nggak dikagumi siapa-siapa, aku bukan orang yang kalau foto aja langsung dipuji kecantikannya sama orang lain. Aku bukan artis, aku bukan anak konglomerat teratas di Indonesia. Intinya aku bukan siapa-siapa dibandingkan dia Shad. tapi—tapi kenapa..."
Vica menundukkan kepalanya lagi. Kenapa bisa-bisanya Vica dengan lancangnya mendekati Aryan tanpa memikirkan semua hal? Vica sesombong itu? dia sepercaya diri itu? Vica pikir hanya karena Aryan selalu tertawa ketika bersamanya, pria itu mau kepadanya? Begitu? Jangan gila! Mimpinya ketinggian sekali!
Bagusan Irdina kemana-mana.
Terkutuklah ucapan ibunya Aryan yang malah terngiang-ngiang di benaknya sekarang! Iya, memang bagusan Irdina kemana-mana. Dia model, terkenal, cantik, dan orang-orang mengaguminya. Kemana pun Irdina pergi, orang-orang akan memujinya. Berbeda dengan Vica. Kemanapun ia pergi, orang-orang akan menggunjingkannya. Seolah menjadi janda adalah dosa besar. Padahal mereka juga tidak tahu kan penderitaan Vica? Memangnya menjadi janda mudah? Vica bahkan tak bisa mengangkat kepalanya selama beberapa bulan, ia kehilangan kepercayaan diri dan semua hal yang menjadi kekuatannya. Menjadi janda bagai bencana besar baginya, dan Vica sudah bisa melewatinya. Ia sudah pulih dari keterpurukannya.
Tapi rupanya, Vica pulih dengan cara yang tak tahu diri.
"Aku kok nggak tahu diri banget ya Shad. Bisa-bisanya aku haha hihi genat genit sama cowok sementara aku ini orang yang nggak pantes buat kayak gitu. Emang aku siapa? Toh kalau orang-orang liat status aku juga mereka pasti pandang rendah aku kan Shad?"
Kalimat yang Vica lontarkan membuat ekspresi Arshad berubah. Pria itu terlihat marah, tangannya mengepal erat—tak terima dengan apa yang sudah Vica pikirkan terhadap dirinya sendiri.
"Di! Berhenti berpikiran begitu!" kata Arshad dengan nadanya yang tinggi.
Vica terperanjat. Ia menatap Arshad—masih dengan air matanya.
"Siapa yang berani-beraninya membuat kamu berpikiran begitu Di? Siapa?" tantang Arshad.
Vica tidak menjawab. Ia tidak mungkin bilang kalau ibunya Aryan yang bilang begitu kan? Lagipula ibunya Aryan tak bilang begitu juga, Vica saja yang berasumsi sendiri—karena tiba-tiba saja ia bisa berkaca dengan jelas.
"Orang lain mungkin boleh berpikir begitu Dii, orang lain boleh merendahkan kamu, tapi kamu nggak boleh merendahkan diri kamu sendiri," tegas Arshad.
"Kamu itu berharga Dii. Kamu terlalu berharga untuk merasa bukan apa-apa. Kamu bisa merasa begitu karena kamu nggak tahu apa yang sudah kamu lakukan untuk hidup orang lain!"
Arshad menggenggam tangan Vica dan mengatakannya dengan jelas, "Kamu lupa apa yang udah kamu perbuat untuk hidup aku? Seberapa besar peranan kamu di sana?"
Pria ini, ketika Vica sendiri tak tahu apa hal yang bagus dalam dirinya, ia malah dengan senang hati memberitahu Vica.
Vica menatapnya tanpa bisa berkata-kata dan Arshad melanjutkan ucapannya, "Kamu selalu bilang bahwa yang bisa membuat diri aku berubah adalah aku sendiri, tapi kamu nggak tahu siapa yang membuat aku tergerak untuk berubah kan?"
"Ucapan kamu yang mengatakan kalau kamu bukan apa-apa itu menghina banget Dii. Aku nggak suka. Karena nyatanya kamu nggak begitu."
"Kalau nggak ada kamu Dii, aku nggak bakalan bisa jadi manusia yang menjalani hidup dengan benar."
Karena sekarang pun tanpa Vica di sampingnya, hidup Arshad sangatlah berantakan. Semua tak pada tempatnya dan semua terlihat begitu kacau. Setidaknya itulah hal yang ingin Arshad katakan pada Vica, namun ia tahu tak seharusnya ia mengatakan itu. Pada akhirnya Arshad mengusap air mata Vica lagi dan tersenyum, "Inget ya Dii. Kamu itu berharga. Kalau ada orang lain yang nggak bisa hargain kamu, mending nggak usah kenal aja. Banyak kok orang di luar sana yang bisa hargain kamu. Kalau mereka nggak percaya seberapa berharganya kamu, suruh mereka datangi aku dan biar aku kasih tahu alasan terkuat aku."
"Mereka nggak tahu aja, sehebat apa peran seorang Vica dalam hidup aku."
"Memangnya kenapa kalau kamu janda? Mereka tahu kebenarannya? Nggak sama sekali."
"Kenapa juga kamu harus mengkhawatirkan secantik apa kamu dan sebagus apa badan kamu? pada akhirnya kamu bakal tua. Cantik bakal hilang seiring berjalannya waktu. Nggak tahu aja, hati kamu sebaik apa."
"Bilang sama dia atau mereka. Aku adalah bukti nyata atas keberhasilan hidup kamu Dii. Karena sama kamu, aku bisa jalani hidup dengan baik, dan karena sama kamu, aku bisa melawan semua kesulitan aku. bilang sana, teriakin dengan cara kamu berteriak seperti biasanya."
Arshad sudah selesai dengan ucapannya. Tapi vica tak berkata apa-apa, wanita itu mengerjapkan matanya, ia menatap Arshad dalam-dalam. Lama, dan penuh perhatian hingga Arshad bertanya padanya, "Dii?"
Vica masih menatapnya. Ia menelan ludah kemudian mundur dari Arshad.
Tangan kanannya meminta Arshad untuk berhenti sementara tangan kirinya menahan dadanya, "Shad... bentar. Aku... deg degan," katanya dengan lirih.
Vica tidak tahu, ia benar-benar tidak mengerti. Tapi cara Arshad menjelaskan semuanya padanya—yang sesungguhnya mengandung arti mengomeli Vica—membuat dadanya bergemuruh.
Getaran yang tak pernah Vica rasakan lagi sebelumnya kini mulai menyerangnya dengan gila.
Ada apa ini?
TBC
JEONGMAL GASEUMI OTTOHKE DWAENNABWA~ (Alias SOMETHING HAPPENED TO MY HEART)
Aku ini seperti punya dendam pada laki laki karena malah nyiksa kaum mereka di sini. Duh Arshad, mending aku kasih kamu penyakit kanker aja kali ya biar mati mati sekalian. Kalau kayak gini kan aku bunuh dia pelan pelan ya gak sih? Wkwkwkwk
Soal cowok yg melakukan hal bego buat cewek, ada beberapa contoh!
Kata Mama aku sih ya kalau udah berurusan sama cinta, mau cewek apa cowok yha.. bisa melakukan hal bego gais. Nih ya, aku pernah menyaksikan si cowok nangis2 depan aku karena nggak mau pisah sama pacarnya yang mana aku dating untuk menegaskan mereka gak bisa balikan, tapi yang ada aku malah kasian, malah mikir..buset secinta ini nih cowok. Tapi gimana lagi, NYEBELIN JUGA SIH DIA.
Kedua, aku pernah mendapati cowok yang begonya ketulungan. Saking cintanya, dia mau mau aja gak dihargain sama ceweknya, diminta ini itu mau. Aduh mas kalau kamu sama aku mah aku jagain lah ga akan aku gituin, diminta juga akumah minta kawinin aja HAHAHAHAHA
Okelah ujan besar di sini, dan aku selesai nulis part sedih ini gara2 abis baca thread tentang kisah cinta terlarang dan malah aku yang nyesek sendiri. Ga bisa bayangin jadi ceweknya kayak gimana, duh susah emang jadi penulis tuh. Baperan banget, ini sih versi aku, yang tiba-tiba bisa nangis gitu aja kalau liat ada anak kecil di jalan diajak muter2 ama emaknya buat minta-minta.
Aku ini ya ders, takut kucing kan, tapi hati aku lemah banget. Kucing uwa aku kan ditinggal selama seminggu, terus dia duduk aja gitu bersedih depan rumah aku karena ga ada yang kasih makan ga ada yang manjain, karena sangat lemah, akhirnya aku beliin dia ikan, aku gorengin terus aku kasih makan. Dia makan tuh jadi kayak "YA ALLAH, ODI, KAMU KASIAN BANGET GA ADA YANG URUS." SEDIH MBAAA... SEDIH BANGET AKUTUH YA ALLAH. Gila emang nih, hatinya kayak beras raskin, berjatuhan gitu aja. Tsk.
TAPI KOK NAHAN KANGEN KE KAMU AKU KUAT YA? GAK LEMAH? WKWKWKWK
Duh jadi inget satu hal juga ders, kemarin aku abis dari Jakarta ada kerjaan, di kereta aku mandang jalanan terus inget si onoh tetiba netes aja AKU MENANGIS WKWKWKWKWKWK dasar cengeng :(
Mohon dimaafkan kalau ada typo atau salah nama dan kata ya udah enek ini aku main komputer. Mana penuh perjuangan tau gak.
Jadi, laptop aku rusak, engselnya kebuka, layarnya penyok. Makanya aku pake laptop kantor yang dah rusak juga (ini batrenya udh gakuat, mamenit juga mati) dan dia itu colokannya kegoder dikit mati. BAYANGKAN PENDERITAAN YANG KUALAMI KALAU AKU LUPA SAVE :"
Doain ya bisa dapet laptop baru, sukur2 cowok baru. HAHAHAHAHAHA
Okedeh segitu aja yah, ini sangat panjang jadi kalian pasti puas.
Part terpanjang selama update vica wkwkwkwk
DAH.
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro