DUA PULUH SATU
•Odiodidi•
©Elsy Jessy
Tadinya Gery ingin mengajak Odi bersepeda di sekitar komplek. Namun ketika melihat motor sport merah yang terparkir di halaman rumah Odi, laki-laki itu mengurungkan niatnya. Gery tahu itu motor Dava, dia tak mau mengganggu keasyikan mereka. Apalagi sebagai laki-laki, Gery tahu benar, Dava sedang pendekatan dengan Odi. Walaupun Gery berani bertaruh, Dava bahkan belum menyadari perasaannya itu. Memikirkan hal itu, Gery menggeleng sembari terkekeh. Dia memutuskan untuk bersepeda sendirian saja. Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Hallo," sapanya pada si penelepon.
"Gue ada di taman deket rumah lo," kata orang dari seberang sana.
Tak lama setelahnya sambungan telepon terputus. Gery mengayuh sepedanya menuju tempat yang dimaksud. Sampai di sana, terlihat seseorang telah menunggu di bangku tepat bawah pohon beringin di sudut taman.
Gery menghampiri. "Udah lama?" Kemudian duduk di samping orang itu.
Gadis berambut panjang di sebelahnya itu menjawab sambil tersenyum. "Nggak kok, barusan nyampe juga."
Gery memperhatikan penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. "Lo kabur lagi?"
Gadis itu mengangguk cepat. "Padahal kemaren gue yang bilang ke Odi, harus terima dan jalani. Tapi gue sendiri malah kabur-kaburan mulu." Lalu meringis.
Gery menoleh. "Kapan? Lo nggak berantem sama Odi lagi kan, Bel?" Gery mencoba memastikan.
Bella tergelak. "Nggak kok, tenang aja." Dia menunduk menatap rumput. "Kemaren di perpus, nggak sengaja ketemu. Ngeliat dia galau, jadi kasian. Gitu-gitu dia kan adek lo. Ya walau pun bukan adek kandung, tapi gue tau kalo lo sayang sama dia. Jadi gue samperin, deh," sambungnya.
"Terus lo bilang apa ke Odi, Bel?"
"Sharing aja, sih. Gue pernah ada di posisi dia saat ini dan ngerti banget perasaannya. Semoga aja dia lebih kuat dari gue." Bella tertawa miris.
"Walaupun keliatannya dia kuat, kenyataannya nggak gitu, Bel."
Mendadak ekspresi wajah Gery menyendu. "Dua hari yang lalu, Odi kacau banget. Dia shock dapet komentar haters." Gery mulai bercerita.
"Lo tau nggak, Ger. Tuhan itu adil. Sebaik-baiknya orang pasti ada yang membenci dan seburuk-buruknya orang pasti ada yang mencintai. Hal itu nggak bisa dicegah."
"Iya, semua ada baik buruknya. Itu resiko yang harus dijalani." Gery menghembuskan napas lalu bertanya lagi, "By the way, gimana sama kontrak manajemen yang baru?"
"Gue belum tanda tangan, agensi ini lebih ketat dari nyokap gue."
"Lho, kenapa?"
"Gue nggak boleh skandal datting. Emangnya gue patung yang nggak punya perasaan?" Bella tersenyum kecut. "Kita bakalan semakin jauh," imbuhnya.
"Tapi lewat agensi ini karier lo bakal terus naik, tawaran film kolaborasi dari Korea yang lo impikan juga bakalan terwujud, dan nyokap lo juga pasti akan tambah seneng."
Bella mendengus. "Tapi itu agensi omnya Rio. Gue nggak mau harus terus pura-pura dan ngasih harapan palsu ke dia. Gue nggak bisa. Lo tau kan apa yang gue rasain ke lo selama ini?"
"Iya-iya. Lo juga tau kan apa yang gue rasain, Bel? Gue harus gimana? Gue pengen banget ngeluarin lo dari sana. Tapi, keluarga lo, nyokap lo, masih butuh lo. Siapa lagi yang bisa ngehidupin mereka selain lo. Gue juga belum bisa bawa lo kabur, Bel."
Bella mulai berkaca-kaca. "Lucu ya, kita punya rasa yang sama tapi nggak bisa bareng-bareng." Air yang sudah menganak di pelupuk mata akhirnya tumpah. "Sampai kapan gue hidup kayak gini?"
Gery memeluk Bella. "Sabar. Gue pasti jemput lo. Tunggu, ya. Gue janji."
***
Gery menuntun sepeda dengan kegundahan dalam benaknya. Bahkan Gery membiarkan rantai sepedanya lepas begitu saja. Dari kejauhan Gery melihat Dava dan Odi yang sedang berseda gurau di serambi depan rumah Odi. Ternyata dia salah. Benar kata Bella, Odi lebih kuat dari yang terlihat. Dia cepat bangkit dan melanjutkan hidup. Gery mengatur ekspresi wajahnya agar tak terlalu terlihat menyedihkan. Dia tak ingin orang lain tahu masalahnya itu.
Gery sedikit berteriak pada Odi. "Ceritanya udah nggak galau lagi, nih?"
Odi menegok ke sumber suara. "Eh, Bang Ger." Lalu mendekati tetangganya itu yang berada di depan pintu pagar. "Galau? Udah nggak, dong. Gue kan cewek kuat," ujar Odi sambil mengepalkan tangan kanan dan mengangkat ke atas membentuk sudut siku-siku, memperlihatkan otot di lengan bagian atasnya. "Ada yang bilang ke gue, ini pilihan gue jadi gue harus jalani dan terima segala resikonya."
"Nah, gitu, dong. Bagus, deh. Siapa yang bilang? Dia?" Gery pura-pura tak tahu jika itu nesehat dari Bella. Lalu menunjuk dengan lirikan pada Dava yang sedang memainkan ponsel.
Merasa dibicarakan, Dava menatap Odi dan Gery bergantian kemudian menunjukan senyum kotak ciri khasnya.
Buru-buru Odi menyanggah. "Hah? Pasti Bukan dialah, Bang. Sampe monyet bisa terbang juga nggak mungkin kata-kata bagus itu keluar dari mulut itu orang."
"Gery menyunggingkan senyum. "Ya udah siapa pun orang yang ngomong gitu ke lo, gue berterima kasih banget. Soalnya udah buat lo nggak nangis-nangis bombay kayak kemaren lagi." Kemudian Gery mengacak poni Odi. "Oh iya, nih, gorengan tadi gue beli di depan kompleks." Gery memberikan bungkusan pada Odi.
"Wah, makasi, ya." Bukan Odi yang bilang, melainkan Dava yang langsung merebut bungkusan itu.
"Woy, itu buat gue." Odi berusaha mengambil lagi.
Tapi karena Dava lebih tinggi dari Odi, dia tak bisa menggapainya. "Lo kan tadi udah mukbang banyak banget, gantian gue, dong." Dava terus menggoda Odi.
"Lo tuh nyebelin banget, sih! Siniin gorengannya?!" Odi mengejar Dava yang lari menghindarinya.
Dava semakin iseng menjahili Odi. Laki-laki itu lari ke dalam rumah. Bersembunyi di balik badan nenek. "Nek, nih Odi nggak mau bagi-bagi," adu Dava.
"Ih, bukan gitu, Nek. Dava duluan yang tadi ngerebut bungkusan yang dikasih Bang Gery." Odi membela diri.
"Udah-udah, nggak usah berantem dan rebutan gini. Malu sama tetangga. Masalah makanan aja ribut. Odi kan tadi udah makan banyak. Bagi Dava sedikitlah. Jangan pelit gitu," nasehat nenek.
Merasa di atas angin lantas Dava berkata, "Tuh, kan. Kalau makanan harus bagi-bagi ya, Nek," Disusul menunjukkan gestur meledek pada Odi.
Odi cemberut. "Iya, Nek. Ya udah itu buat lo aja.
"Di, gue balik dulu," teriak Gery dari luar pagar.
"Iya, Bang. Makasih, ya," saut Odi sambil sesekali terus mencoba mengambil bungkusan itu dari tangan Dava.
"Makasih, Bro!" Dava juga ikut menimpali.
Melihat keakraban Dava dan Odi, Gery hanya tersenyum sambil menuntun sepedanya menuju rumah. Dia tahu, sekarang ada Dava yang juga akan melindungi Odi. Saatnya dia melindungi hal lain yang juga penting untuk dijaga.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro