DUA PULUH
•Odiodidi•
©Elsy Jessy
Karena kemarin tak berangkat sekolah, Odi mendapat tugas yang cukup susah. Dia ingin mencari buku referensi di perpustakaan. Di sana, Odi tak sengaja bertemu Bella. Tumben, Bella terlihat di ruangan penuh buku ini. Dulu, ini adalah harapan Odi. Bertemu Bella saat sudah terkenal dan menjelaskan bahwa yang dituduhkan kepadanya adalah salah paham. Tapi kali ini Odi mencoba untuk tak acuh. Tahu-tahu Bella sudah berada di sampingnya, entah sedang mencari buku apa.
Tanpa melirik, Bella berujar, "Kayaknya sekarang lo udah tenar, ya."
Merasa diajak berbicara. Odi menoleh ke arah Bella.
"Bagus, deh. Berarti lo emang bukan orang yang suka panjat sosial demi popularitas."
Odi hanya diam. Tak berniat menyangkal maupun membenarkan. Sebenarnya dia tak mau menanggapi Bella. Lagipula sekarang dia ingin kembali menjadi orang biasa.
Bella seolah bisa membaca pikiran Odi. "Kenapa? Lo nyesel jadi terkenal?"
Odi menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Benar. Odi menyesal. Dulu, hanya segelintir orang yang mengenalnya. Odi bebas melakukan apa pun yang diinginkan. Tapi sekarang Odi tak hanya punya fans tapi juga punya haters. Apapun yang dilakukannya akan memicu komentar. Gerak geriknya seolah terbatasi dan diawasi oleh banyak mata. Itu yang membuat beban tersendiri. Belum lagi omongan seenaknya dari para pembenci yang membuatnya marah dan sedih. Rasanya ingin lari dan bersembunyi saja.
Bella menatap Odi. "Gue dari kecil cuma pengen hidup normal. Bisa bebas main sama siapa pun. Bebas ngelakuin apa pun tanpa harus mikirin image atau gengsi.
Bella mengembuskan nafasnya kasar. "Gue pengen ngelapasin topeng ini dan jadi diri gue sendiri."
"Tapi gue nggak bisa. Gue harus terus pura-pura kayak gini. Jadi, yang gue bisa lakuin adalah menjaga diri dari para haters. Sampai-sampai gue nggak bisa bedain mana yang beneran haters, mana yang bukan," lanjutnya.
Lagi-lagi Bella benar. Odi jadi ingat awal pertemuannya dengan Bella. Mungkin kalau Odi berada di posisi Bella saat itu. Odi juga akan melakukan hal yang sama. Berusaha melindungi diri sendiri dari para pembenci. Air matanya tak terbendung lagi.
Bella memberi tisu. "Jangan cengeng. Lo yang milih ini, jadi lo harus jalani sampai akhir." Bella mengambil buku yang dicarinya dan meninggalkan Odi.
Odi menatap punggung Bella hingga menghilang. Mengusap air matanya dengan tisu yang diberi Bella. Iya, Bella memang benar. Yang bisa dia lakukan adalah terus jalani apa yang sudah dicapainya. Menerima dan jangan melupan perjuangan untuk dapat di titik ini. Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula anginnya. Fans dan haters adalah dua sisi yang saling berdampingan. Odi harus siap menerima itu.
"Odi, lo harus ikhlas. Terima ini semua dan selalu bersyukur. Jangan mikirin perkataan orang." Odi menyemangati diri sendiri.
Setelah Odi menemukan buku yang dicari untuk tugasnya, dia segera keluar menuju kelas.
Dava yang berada di depan ruang eskul badminton melihat Odi yang baru saja keluar dari perpustakaan.
"Odi!" panggilnya.
Odi berhenti. Dia berusaha memperlihatkan keceriaan seperti biasa. Lalu berbalik ke arah Dava.
Dava menghampiri Odi. "Kemaren gue cariin ke kelas, ternyata lo nggak berangkat sekolah. Gue telepon, nomor lo nggak aktif."
"Lo nyari gue mau ngapain? Mau traktir gue?
"Iya tadinya gitu." Dava meringis. "Tapi lo nggak ada. Ke mana aja sih lo?"
"Iya, kemaren gue nggak enak badan." Odi berusaha terlihat baik-baik saja.
Dava bergerak mendekati Odi. "Lo sakit?" Dia meletakkan telapak tangannya di dahi Odi.
Odi gugup. Dia buru-buru melepaskan tangan Dava. "Gue udah nggak apa-apa, kok. Masuk angin biasa. Ini udah sembuh."
"Sebenernya kemaren gue mau ke rumah lo juga, tapi ada hal penting yang nggak bisa ditunda."
Terlihat mata yang masih bengkak dan ada jejak-jejak air mata yang tertinggal. Dava enggan menanyakan apa yang terjadi walaupun dia tahu, Odi berusaha menyembunyikan keadaan sebenarnya.
"Besok badminton di tempat biasa, kan?" Odi berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Iya, mau gue jemput?" tawar Dava.
"Boleh." Odi tersenyum. "Pulangnya gue traktir, deh. Sekalian shooting mukbang," imbuhnya.
"Cie, yang honornya udah turun."
"Bagi-bagi rejeki sekali-kali nggak apa-apa, dong."
Terdengar bel tanda istirahat telah berakhir.
"Udah, ya. Gue ke kelas dulu."
"Eh, bentar, Di. Ntar pulangnya bareng gue, ya."
"Tapi gue pulangnya bareng Bang Gery."
"Ntar gue bilang sama Gery kalo lo balik sama gue. Lagian kayaknya Gery lagi sibuk."
"Sibuk? Iya, dia emang sibuk sih akhir-akhir ini. Namanya juga mau ujian, kan."
"Bukan sibuk itu. Sibuk masalah cewek."
"Hah? Bang Gery ngurusin cewek? Itu nggak mungkin. Wibu garis keras gitu mah nggak doyan cewek."
Dava tertawa. "Lo aja yang belum tau. Udah sono masuk kelas."
"Emang lo nggak mau masuk kelas?"
"Gue lagi cabut. Mau tidur dulu."
Odi memaklumi. "Ya udah gue duluan, ya." Odi berjalan menjauh.
"Jangan lupa ntar pulang sekolah, ya," seru Dava.
Odi hanya membalas dengan gerakan tangan.
Sampai di kelas, untung saja guru belum masuk. Odi bergegas lari ke mejanya.
"Lo ke mana aja, sih?" tanya Rani.
"Gue abis ke perpus minjem buku ini. Kan gue dapet tugas khusus gara-gara kemaren nggak berangkat," jawab Odi.
"Kok lama bener? Gue tunggu di kantin, lo nggak nongol-nongol. Lo nggak mumpang tidur di perpus, kan?"
"Sembarangan aja lo kalo ngomong. Ya enggak lah. Gue beneran nyari buku. Terus tadi gue ketemu Kak Bella di perpus."
Rani kaget. "Hah? Terus-terus?"
"Gue ngobrol sama dia."
"Sumpah? Demi apa? Ya Tuhan. Lo nggak lagi becanda, kan?"
"Iya, beneran. Ya ampun, lo nggak percayaan banget, sih."
"Bukan gitu, gue takut lo malah berantem lagi sama Kak Bella. Tapi lo nggak berantem, kan?"
"Nggak! Justru karena Kak Bella, gue sadar. Gue nggak boleh terlalu berlarut dalam kesedihan."
"Dia ngomong apa emang?"
"Cuma sharing aja. Dia kayaknya tahu benar apa yang gue rasain. Jadi gue ngerasa cocok aja sama dia." Odi tersenyum mengingat perkataan Bella.
Rani semakin ingin tahu. "Terus?"
"Gue jadi berubah pikiran tentang dia. Ternyata dia nggak sejahat yang gue pikir. Dia baik. Buktinya dia ngasih gue ini." Odi memperlihatkan sekotak tisu pada Rani.
"Ya emang, sih. Kita nggak boleh melihat dari luarnya aja."
"Dari pembicaraan tadi sama Kak Bella yang sedikit itu, gue belajar banyak dari dia."
Bu Meti guru Ekonomi mendadak masuk kelas. Membuat kelas yang tadinya gaduh menjadi hening seketika. Guru berhijab cokelat itu berseru, "Masukan semua buku kalian. Siapkan kertas. Kita ulangan!"
Anak-anak sekelas terkejut. Odi dan Rani saling berpandangan. "Oh, tidak!"
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro