Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02

Tala berdiri di depan pagar tinggi sebuah rumah berlantai dua.

Rumah itu tergolong mewah, meski tidak semegah rumah-rumah gedong berpilar gemuk yang kerap muncul di sinetron. Separuh halamannya hijau oleh hamparan rumput. Dua pohon mangga dan sebatang pohon jambu biji tumbuh di sudut-sudut halaman. Dahan-dahannya terentang, membentuk naungan kanopi alami yang sanggup mengusir gerah di kala siang. Jalan setapak membelah halaman di tengah, bermuara ke teras yang penuh pot-pot tanaman hias.

Tala mengenal rumah itu sebaik garis di telapak tangannya sendiri.

Itu rumahnya.

Sekonyong-konyong, teriakan nyaring seorang perempuan merobek kesunyian. Tala sontak tersentak. Tanpa pikir panjang, dia berlari menuju rumah. Tetapi langkahnya terhenti mendadak di teras saat dia berpapasan dengan sesosok laki-laki asing. Laki-laki itu mengenakan setelan serba hitam; celana panjang hitam, kaus hitam dan luaran jaket kulit hitam. Topi baseball yang juga hitam bertengger di kepalanya, membuat Tala cuma bisa melihat separuh bagian bawah wajahnya. Ada bercak merah di seputar dagu dan lehernya.

Bercak merah itu... jangan-jangan darah?!

Perlahan, Tala mengambil langkah mundur. Ketakutan mengguncang benaknya, menjalarkan tremor ke sekujur tubuhnya. Nalurinya untuk bertahan hidup mengambil alih, membuat tubuhnya bergerak dalam mode otomatis. Dia bahkan tidak sadar kapan tepatnya dia berbalik. Adrenalin mengalir deras, memaksanya berlari menjauhi bahaya. Panik menderanya begitu dia mendengar derap langkah mengejar di belakangnya.

Laki-laki itu kini memburunya.

Napas Tala mulai tersengal. Paru-parunya serasa bakal meledak. Namun, dia tahu dia tidak boleh berhenti. Hidupnya tergantung pada kecepatan larinya. Jika laki-laki misterius itu berhasil menangkapnya, maka habislah dia!

Sambil berjuang mempertahankan kecepatan larinya, Tala menatap ke sekeliling. Suasana jalanan di sekitarnya benar-benar sepi. Tidak ada yang melintas. Bahkan pedagang nasi goreng gerobakan atau penjual bakso cuanki yang biasa berkeliling saban malam pun tak kelihatan. Tala menelan ludah. Keputusasaan mulai menghinggapinya ketika secercah cahaya tahu-tahu muncul di ujung jalan.

Secercah cahaya yang ternyata bersumber dari lampu sebuah mobil berwarna silver kebiruan.

Akhirnya ada yang lewat!

Kelegaan membanjiri Tala. Harapannya batal padam. Berbekal sisa tenaganya yang telah menipis, Tala mempercepat larinya. Dia melambaikan tangan sebagai isyarat agar pengendara mobil silver kebiruan itu sudi menghentikan mobilnya. Tetapi, mobil silver kebiruan itu tidak melambat. Sebaliknya, laju mobil silver kebiruan itu justru bertambah cepat. Tala terperenyak. Tenggorokannya tercekat. Segalanya terjadi dalam waktu yang kelewat singkat.

Mobil silver kebiruan itu menghantam Tala, menabraknya hingga terpelanting ke udara. Sejenak, Tala serasa melayang. Pada detik berikutnya, gravitasi menarik tubuhnya, memaksanya terhempas keras ke aspal.

Tala terkesiap, lalu kedua matanya terbuka.

Aspal kasar yang menggesek pipinya lenyap, terganti ubin kusam berselaput debu. Masih terengah-engah, Tala menatap sekelilingnya. Dia terbaring dalam sebuah ruangan mirip gudang. Kardus-kardus beragam ukuran bertumpuk di sekitarnya. Lakban cokelat menempel malang-melintang tak beraturan di permukaan sebagian besar kardus, menandakan kardus-kardus tersebut sudah pernah dipakai sebelumnya. Lampu ruangan tidak menyala. Satu-satunya sumber penerangan hanyalah cahaya lampu yang datang dari lubang ventilasi di salah satu sisi dinding penuh sarang laba-laba. Tala terjebak dalam keremangan yang buram.

Saat mencoba bergerak, Tala baru sadar kalau kedua tangannya terikat di belakang punggung. Tidak hanya itu, kedua kakinya pun dipaksa merapat, dan dibelenggu oleh lilitan lakban. Ruangan ini tidak familiar. Tala tidak tahu bagaimana dia bisa berakhir di sana. Namun menilik keadaannya, sepertinya dia diculik.

Tetap tenang, Tala.

Diingatnya pelatihan keselamatan yang pernah diikutinya semasa sekolah dulu. Dalam situasi semacam ini, kepanikan tidak akan banyak membantunya. Yang terpenting, dia harus melepas belenggu di tangan dan kakinya lebih dahulu. Maka, Tala mulai menggerakkan pergelangan tangannya. Untungnya, ikatan tali di pergelangan tangannya tidak terlalu ketat. Masih ada cukup ruang baginya untuk menarik-narik tali. Setelah ikatannya agak melonggar, Tala mulai menggesekkan kedua telapak tangannya. Gerakannya mirip gerakan orang yang tengah mencuci tangan. Dia mengulang gerakan itu berkali-kali. Butuh setidaknya sepuluh menit sampai akhirnya ikatan di tangannya betul-betul longgar dan mudah dilepaskan.

Beralih ke lilitan lakban di kakinya, Tala menyelipkan tali yang semula mengikat pergelangan tangannya di antara kedua kaki. Seakan sedang menggergaji, Tala menggesekkan tali ke tepi lakban berulang-ulang. Gesekan itu mengikis lakban, membuatnya lebih gampang disobek.

Setelah itu, Tala bangkit dari lantai. Dia segera disambut oleh bayangannya sendiri, yang terpantul di sebuah cermin retak. Tampangnya mengejutkannya. Dia tampak lebih dewasa. Rambutnya tak lagi sepanjang yang dia ingat. Rambutnya kini dipotong sebahu, tanpa poni tipis yang biasa menutupi keningnya. Bagian paling mengejutkannya, dia memakai seragam pegawai minimarket. Ragu-ragu, Tala menyentuh cermin, merasa perlu bukti tambahan bahwa pantulan sosok di cermin itu memang pantulannya sendiri.

Oke, Tala. Tala menghela napas. Nggak ada waktu untuk bingung. Kalau lo benaran diculik, seragam ini jelas bikin lo gampang dikenali. Solusinya? Lepas.

Tala bersyukur dia belum meninggalkan kebiasaan lamanya yang selalu mengenakan tank top di balik baju. Dilepasnya atasan seragam itu dan dibuangnya ke dalam salah satu kardus. Mujur, pintu ruangan tempatnya disekap tidak dikunci. Dengan hati-hati, Tala pun lanjut menyelinap keluar.

Begitu keluar, Tala langsung berhadapan dengan sebuah lorong panjang. Terdapat deretan pintu-pintu yang tertutup di kiri-kanan lorong. Dari suara-suara yang terdengar, Tala menyimpulkan bahwa pintu-pintu itu adalah pintu-pintu bilik karaoke. Kerlip cahaya lampu warna-warni berkedip-kedip, terlihat dari kaca persegi panjang yang melekat di bagian atas setiap pintu.

Tala meneruskan berjalan, sebisa mungkin tetap terlihat santai agar tidak memancing kecurigaan. Ternyata, lorong itu berujung di sebuah tangga. Di mulut tangga, Tala sempat berpapasan dengan sejumlah pemuda hidung belang. Pemuda-pemuda itu memandangnya dengan tatapan lapar. Salah satu dari mereka bahkan cukup kurang ajar untuk bersiul sambil memandang bokong Tala sewaktu Tala berjalan melewati mereka.

Perhatian Tala sekonyong-konyong tertuju pada sebuah balkon terbuka yang terletak tepat di seberang tangga yang baru dia turuni. Dua gadis berpakaian seksi tengah nongkrong di balkon itu. Yang satu sedang memoles lipstik sambil berkaca ke kamera depan ponsel, sementara yang satu lagi sibuk merokok. Tala benci asap rokok, namun kebutuhannya akan informasi jauh lebih mendesak. Dia perlu menakar seberapa tinggi bangunan tempatnya berada sekarang, sekaligus memperkirakan ada berapa tangga yang mesti dia turuni untuk mencapai lantai satu. Dan jika dia cukup beruntung, mungkin salah satu dari gadis itu bersedia membagi lipstik dengannya supaya dia bisa menyaru lebih baik.

"Lo anak baru?" tanya si gadis yang merokok begitu dilihatnya Tala mendekat.

"Eh—iya, Kak," Tala membalas.

"Pantasan! Muka lo pucat banget! Pakai lipstik gih!"

"... lupa bawa, Kak."

"Bisa-bisanya lupa bawa lipstik di hari pertama kerja," gadis lainnya berdecak. "Nih. Bisa nggak pakainya?"

"Bisa kok."

Angin membawa pekatnya asap rokok menampar muka Tala. Mati-matian, Tala menahan batuk.

"Lo nggak ada baju lain apa? Tank top lo menang seksi doang, tapi nggak ada cantik-cantiknya sama sekali!"

"Iya, Kak. Belum sempat belanja. Mungkin besok atau lusa," Tala tangkas berdusta.

"Lipstik lo belepotan dikit. Sini, gue rapiin," balasnya. "Udah mulai kerja apa masih training?"

"Masih training."

"Rakai atau Gie?"

Tala mengerjap. "... hah?"

"Yang bawa lo ke sini. Rakai atau Gie? Jelas nggak mungkin Sore."

Mampus gue. Ini murni pertanyaan atau ujian?

"Rakai."

"Oh?" Gadis itu memiringkan wajah. "Pantasan cantik."

"Hng?"

"Dingin-dingin gitu, Gie lebih gampang kasihan sama orang. Nggak kehitung berapa banyak cewek-cewek yang sebenarnya nggak capable dia bawa ke sini buat kerja. Ujung-ujungnya cuma jadi tukang cuci-setrika atau dagang nasi di blok sebelah. Rakai lebih jago soal seleksi cewek. Yang dia bawa ke sini selalu cakep."

"... oh."

"Nama lo siapa?"

"Ehm—Mara."

"Apa? Ngomongnya kerasan dikit! Nggak kedengaran!"

"Amara."

"Bagus juga nama lo. Nama asli apa nama ngarang?"

"Nama asli."

"Oh, oke."

Meski terkesan jutek, tapi kayaknya mereka baik.

"Makasih, Kak. Saya duluan ya."

"Buset, ngomongnya sopan amat!" tawa gadis itu meledak. "Ini memang tempat kerja, tapi ini bukan kantor. Pakai gue-lo aja. Resmi banget pakai saya-kamu. Berasa kayak kerja di tempat benar aja!"

"Oiya—ehm—say—gue duluan ya, Kak. Ada perlu di bawah."

"Bentar."

Detak jantung Tala serasa berhenti berdetak mendadak.

Jangan-jangan... dia sadar kalau gue lagi menyamar?!

"... ya, Kak?"

"Nih." Gadis itu menyodorkan ikat rambut. "Potongan rambut lo... apa ya? Terlalu lugu. Lo jadi kurang menjual. Mending rambut lo diikat. Sekalian biar leher lo yang bagus nggak ketutupan."

"Oh, oke. Makasih, Kak."

"Yo."

Seraya menuruni tangga berikutnya, Tala menggulung rambutnya, mengikatnya dalam buntalan berantakan. Disisakannya beberapa helai anak rambut untuk membingkai tepi wajahnya. Di ujung tangga, dia kembali berpapasan dengan lebih banyak laki-laki. Semua laki-laki itu meliriknya tanpa terkecuali. Beberapa berlama-lama memandang ke lehernya, atau ke belahan dadanya. Risih menyergapnya, namun Tala pura-pura tidak peduli.

Sesampainya di lantai satu, di tengah usahanya menemukan jalan menuju pintu belakang, Tala mendengar suara tangis lirih tertahan yang datang dari balik salah satu pintu. Tidak seperti pintu-pintu di lantai-lantai sebelumnya, seluruh pintu itu terbuat dari kayu. Tidak ada bagian kaca yang memungkinkan Tala mengintip situasi di dalam.

Lo diculik, Tala. Lo harus kabur, terus lapor polisi. Bukannya malah ikut campur urusan orang-orang yang nggak lo kenal.

Tanpa sadar, kedua tangan Tala mengepal. Kebimbangan menguasai pikirannya. Keputusan paling masuk akal yang bisa diambilnya sekarang adalah buru-buru pergi. Melarikan diri ke tempat yang aman.

Tapi suara tangisnya kedengaran serius.

Saat itulah, suara tangis yang Tala dengar bertambah kuat.

Sialan.

Mengabaikan logika, Tala meraih gagang pintu. Rupanya pintu itu lebih berat dari yang Tala duga. Dia mesti susah payah mendorongnya. Setelah didorong pun, pintu hanya terbuka sedikit, menciptakan celah sempit bagi Tala untuk mengintip.

Lewat celah pintu, Tala melihat seorang gadis berambut panjang setengah telanjang tengah dibaringkan telungkup di atas sebuah meja berkaki rendah. Gadis itu tidak mengenakan apa-apa di bagian bawah tubuhnya. Pantatnya merah, penuh bekas sabetan dan tamparan. Kedua tangannya terikat di belakang. Mulutnya disumpal kain berenda yang kelihatannya adalah celana dalamnya sendiri.

Selain gadis itu, ada tiga laki-laki di dalam ruangan. Yang satu bertubuh gempal, dengan lingkar perut setara perempuan hamil enam bulan. Yang dua lebih muda, bertubuh kekar dengan kedua lengan penuh tato.

"Balik badannya."

"Siap, Bos!"

Tubuh gadis itu dibalik, berganti posisi dari telungkup menjadi telentang. Tala membekap mulutnya sendiri, hampir memekik tertahan. Bilur-bilur kebiruan menghiasi perut dan paha gadis itu. Tampak seperti memar-memar yang masih baru.

"Pegang dia kuat-kuat."

"Siap, Bos!"

Sambil membawa botol rum merek Captain Morgan yang sudah kosong, si laki-laki gempal menghampiri meja. Dibukanya paha si gadis yang terbaring. Dilanda ketakutan, gadis itu sontak meronta-ronta. Kengerian tergambar di wajahnya yang bersimbah air mata. Tala sukar membaca niat si laki-laki gempal, hingga dilihatnya si laki-laki gempal mulai memasukkan ujung botol rum itu ke area kewanitaan si gadis.

Sekuat tenaga, Tala mendorong pintu hingga menjeblak terbuka.

"BERHENTI!!"

Si laki-laki gempal menoleh. Kentara sekali, kemunculan Tala mengejutkannya. Namun, keterkejutan itu tidak bertahan lama. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum miring yang bikin Tala kepengin meninjunya sampai gigi-giginya rontok.

"Oh, kayaknya ada yang tertarik bergabung..."

"Berhenti atau—"

"Ikat dia."

Serentak, dua centeng laki-laki gempal itu menyerbu Tala.

***

Sialan.

Tak henti-henti, Rakai merutuki kecerobohannya sendiri. Bisa-bisanya dia mengeksekusi Fajar tanpa memastikan bahwa lokasi yang dipilihnya sudah benar-benar steril. Padahal selama ini, di antara mereka bertiga, dialah yang dikenal paling cermat. Setiap tugas yang datang padanya selalu dia tuntaskan dalam waktu singkat, minim jejak dan tanpa saksi. Harus diakui, peristiwa sore ini telah menodai reputasinya. Jika Irwan sampai tahu, laki-laki itu pasti bakal luar biasa kecewa padanya.

Sebenarnya, mudah saja bagi Rakai untuk menghabisi gadis itu. Yang diperlukan hanya bidikan akurat dan sekali tarikan di pelatuk. Gadis itu menyaksikan apa yang dilakukannya terhadap Fajar. Gadis itu layak dibungkam. Tetapi, keraguan terbit di hatinya begitu mata mereka saling menemukan. Sesuatu tentang gadis itu terasa familiar, dan butuh setidaknya sepuluh detik hingga Rakai menyadari alasannya.

Gadis itu adalah salah satu pegawai minimarket yang disinggahinya sebelum dia mendatangi lokasi eksekusi Fajar.

Dia sempat melihat gadis itu berjongkok menghadapi seekor kucing liar yang sedang makan di teras minimarket.

Ngapain dia ngikutin gue sampai ke sini?

Jawabnya tentu cuma gadis itu yang tahu. Merasakan tubuh gadis itu melunglai ditinggal kesadaran, Rakai menggendongnya ke mobil. Dia dudukkan gadis itu di jok belakang sebelum berpaling pada salah satu dari segerombolan pemuda yang membawa Fajar padanya.

"Satu ikut gue. Siapin sapu tangan dan kloroform. Dia mungkin bangun sebentar lagi. Cekikan gue nggak fatal. Kalau dia bangun, langsung bekap mulutnya. Jangan kelamaan. Gue belum mau dia mati."

Dia nggak boleh mati sebelum dia kasih tahu alasan kenapa dia ngikutin gue.

"Oke, Bang."

Rakai memutuskan membawa gadis itu ke Gang Helena. Gang Helena merupakan seruas jalan paling sibuk di daerah Pecinan ibukota. Sejak era kolonial, gang itu telah mahsyur sebagai pusat hiburan malam. Aneka bisnis berorientasi seks terhimpun di sana, mulai dari tempat karaoke dan panti pijat plus-plus, klub tari telanjang hingga rumah-rumah bordil dengan kelas dan tarif per jam yang beragam. Gie tercatat memiliki setidaknya dua tempat karaoke merangkap panti pijat plus-plus, satu rumah bordil dan sebuah toko yang menjual berbagai pernak-pernik khusus untuk aktivitas di ranjang.

"Gue harus cepat-cepat ke pelabuhan. Ada bongkar muat barang. Wajib dipantau," Rakai berkata pada pemuda yang ikut naik mobilnya untuk membantu memegangi gadis itu sepanjang perjalanan. "Bawa dia ke gudang di lantai atas. Ikat tangan dan kakinya. Awasi dia baik-baik sampai gue balik ke sini."

"Oke, Bang."

"Selain diikat dan diawasi, jangan diapa-apain. Ngerti?"

"Ngerti, Bang."

Setelah itu, Rakai pun berangkat ke pelabuhan.

Sebagai konglomerat yang memiliki banyak sekali badan usaha, adalah wajar bagi Irwan Gunadi untuk mendatangkan sejumlah bahan baku yang tidak bisa didapatkannya di Indonesia dari luar negeri. Hanya saja, di luar bahan baku yang tercatat secara legal, bersamanya datang pula barang-barang selundupan ilegal yang tidak tercantum dalam manifest pengiriman barang. Jenis barang-barang selundupan ilegal itu bervariasi, mulai dari hasil tembakau seperti rokok dan cerutu mahal, minuman beralkohol, obat-obatan terlarang sampai senjata api yang biasa dibanderol dengan harga selangit di pasar gelap.

Barang-barang selundupan itu tentu tidak akan bisa lolos dengan mudah jika mereka tidak memberi uang pelicin dalam jumlah fantastis pada oknum-oknum pejabat di lembaga berwenang terkait. Kendati demikian, Irwan tetap tidak sepenuhnya bisa memercayai para pejabat yang disuapnya begitu saja. Baginya, para pejabat itu tidak mengenal yang namanya kesetiaan. Kalau mereka bisa dengan mudah mengkhianati sumpah yang mereka buat sebelum dilantik menjadi pejabat, kecil kemungkinan mereka tidak akan mengkhianatinya demi mendapat keuntungan lebih. Karena itulah, Irwan menugaskan Rakai, Sore dan Gie bergantian mengawasi proses bongkar muat rutin yang biasa dilakukan sebulan tiga kali.

Langit sudah gelap saat Rakai mengemudikan mobilnya menuju Gang Helena. Malam telah menyulap daerah Pecinan yang riuh oleh aktivitas pertokoan di siang hari menjadi oase hiburan penuh cahaya gemerlapan. Rakai melambatkan mobilnya, berhati-hati menyetir di antara keramaian yang berjubel. Sesampainya di Gang Helena, dia langsung memarkir mobilnya di depan tempat karaoke milik Gie dan bergegas turun.

Baru beberapa langkah melewati pintu masuk, Rakai disambut keributan yang sepertinya berasal dari salah satu ruang pijat VIP di lantai satu. Tampak beberapa pekerja tempat karaoke dan sejumlah tamu berkerumun di ambang pintu yang terbuka.

Rakai menghela napas kesal, lalu berpaling pada Danang yang berdiri di sebelahnya. "Ada apa, sih?"

"Kurang tahu, Bang. Kayaknya ada ribut-ribut. Sebentar, gue cek."

"Cewek yang tadi masih di atas?"

"Masih, Bang. Tangan dan kakinya udah diikat sesuai instruksi lo."

"Oke."

Menunda pergi ke lantai atas, Rakai memutuskan mendatangi ruang pijat yang dirubung massa bagaikan semut tengah merubung sebongkah gula. Disibaknya kerumunan orang yang berdesakan di sekitar pintu. Napasnya kontan tercekat di tenggorokan ketika dia melihat gadis yang semestinya terikat di gudang lantai atas tengah berada di sana. Gadis itu berhadapan dengan tiga laki-laki yang Rakai duga adalah tamu tempat karaoke. Kedua tangan gadis itu terkepal. Kakinya membentuk kuda-kuda mantap yang hanya bisa dipelajari lewat sasana beladiri. Napas gadis itu terengah-engah. Namun dibanding wajah ketiga lawannya yang babak-belur penuh memar, tampangnya jelas jauh lebih baik. Hanya ada satu memar kemerahan di tulang pipi kirinya.

Dia... menghajar mereka?

Di belakang gadis itu, Rakai melihat Brenda, salah satu pegawai tempat karaoke yang sudah bertahun-tahun setia mengikuti Gie. Brenda terduduk di lantai. Pundaknya berhias bilur-bilur biru. Ada bekas tamparan. Dari matanya yang merah dan basah, Rakai tahu Brenda habis menangis.

Rakai beralih memandang gadis itu bertepatan dengan gadis itu membuang tatap ke arahnya. Mata mereka saling menemukan. Interaksi singkat yang sanggup memaksa Rakai menelan saliva. Mata gadis itu bening. Terkesan lugu, seperti mata anak rusa. Tetapi kemarahan yang bersinar di dalamnya adalah amarah dingin yang berbahaya, yang membuatnya jauh dari kata polos.

"Berhenti," kata Rakai. Suaranya tetap rendah dan sarat ketenangan. Penuh kendali yang bikin segan. Cukup untuk membuat bisik-bisik di belakangnya terhenti, menciptakan keheningan total yang menyelimuti sepenjuru ruangan.

"Jangan ikut campur!" seru seorang laki-laki bertubuh gempal yang Rakai simpulkan adalah bos dari dua laki-laki lainnya. "Hajar dia!"

Malas-malasan, Rakai mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Dibidikkannya moncong pistol itu ke arah si laki-laki gempal yang baru saja bicara. "Berhenti, kecuali lo mau isi kepala lo yang nggak seberapa itu berhamburan ke lantai."

Si laki-laki bertubuh gempal kontan gemetar. "T—tunggu! Kami tamu di sini! Kami sudah bayar mahal! Siapa pun kamu, kamu nggak berhak—"

"Berapa yang lo bayar?" Rakai memiringkan wajah. Tatapan matanya yang sedingin es menusuk langsung ke wajah si laki-laki gempal. "Lima juta? Sepuluh juta? Bukan apa-apa buat gue. Kalau lo masih mau lihat matahari terbit besok pagi, gue saranin lo berhenti."

"Kamu nggak bisa seenaknya—"

"Bos—" salah satu anak buah si laki-laki gempal menyela takut-takut. Sesekali, matanya melirik tegang pada tato yang terajah di bagian dalam lengan kanan bawah Rakai. "—dia salah satu dari mereka."

Si laki-laki gempal mengernyit. "Mereka siapa?"

"Mereka," bisiknya ngeri. "Anak-anak Gudang Peluru. Lihat tatonya."

"Eh—"

Rakai menghela napas panjang. Disimpannya kembali pistolnya ke balik jaket. Kemudian, dia berpaling pada Danang yang berdiri di belakangnya.

"Amanin tamu-tamu ini. Telepon Gie. Kasih tahu kalau ada yang bikin keributan di tempatnya. Suruh Sahrul bawa Brenda ke rumah sakit. Dia perlu diperiksa."

"..."

"Dengar gue nggak, Nang?"

"Oiya—dengar kok, Bang! Siap laksanakan! Tapi cewek ini... hng... gimana, Bang?"

"Lo yang ikat dia di gudang lantai atas?"

"Iya."

"Habis telepon gue, lo datangi Petra."

"Hah?! Ngapain, Bang?!"

"Minta dia sentil jidat lo sepuluh kali. Hukuman karena lo nggak becus menjalankan perintah gue."

"Bang..." Danang memelas. "Nggak bisa didiskon dikit?"

"Apanya?"

"Sentilannya..."

"Lima belas kali, kalau gitu."

"Oke, sepuluh kali! Siap laksanakan!"

"Dan kamu," Rakai ganti memandang gadis itu. "Ikut saya."

***

Gadis itu kelewat tenang.

Tanpa banyak tanya, dia mengikuti Rakai melintasi lorong, terus menuju mobil yang masih terparkir di tempat karaoke. Tipe reaksi yang jarang Rakai lihat dari kebanyakan orang yang pernah bertemu dengannya, baik yang mengenalnya maupun yang tidak. Mereka yang mengetahui sepak terjangnya sebagai salah satu orang kepercayaan Irwan Gunadi seringkali menunjukkan rasa segan yang amat kentara. Sementara mereka yang tidak mengenalnya cenderung menjaga jarak.

Tak ada keseganan dalam cara gadis itu menatapnya, dan dari gerak-geriknya, gadis itu tidak terkesan seperti tengah menjaga jarak.

Sungguh mengherankan, terutama jika mempertimbangkan situasi yang mempertemukan mereka sore tadi.

Apa dia benar-benar... punya amnesia?

Di sela-sela kesibukannya mengawasi proses bongkar muat, Rakai sempat mengecek isi tas gadis itu. Selain benda-benda yang normal ditemukan dalam tas seorang gadis seperti wadah bedak lengkap dengan cerminnya, sebatang lip balm tanpa warna, sebotol kecil parfum dan beberapa kunci yang disatukan dalam gantungan Winnie the Pooh, Rakai menemukan buku catatan kecil seukuran saku. Di halaman pertama, berderet paragraf-paragraf tulisan tangan yang rapi;


Halo.

Nama lengkap saya Thalassa Mare. Saya biasa dipanggil Tala. Saya lahir tanggal 27 September 1999. Saat buku catatan ini dibuat (tanggal 31 Desember 2024), saya masih aktif bekerja sebagai pegawai minimarket yang beralamatkan Jalan Hang Tuah Nomor 81 Cempaka Baru. Saya tinggal di Rumah Susun Daksacita yang beralamat di Jalan Nirmala Nomor 24 Serdang Raya.

Sejak Februari 2020, saya memiliki kondisi yang dinamakan Anterograde Amnesia. Dikarenakan kondisi tersebut, saya kehilangan kemampuan membuat memori baru. Ingatan saya berhenti di tanggal 7 Februari 2020. Semua ingatan baru saya akan terhapus setelah saya tertidur, atau tidak sadarkan diri.

Kalau kamu menemukan saya kebingungan atau bertingkah aneh di jalan, harap hubungi salah satu dari tiga kontak yang tercantum di bawah. Kontak pertama milik Pak Sulaiman, pemilik unit rusun yang saya tinggali. Kontak kedua milik Bu Arum, pemilik minimarket tempat saya bekerja. Kontak ketiga milik Santi, salah satu pegawai lain di minimarket tempat saya bekerja.

Atas bantuannya, saya berterima kasih sekaligus meminta maaf karena sudah merepotkan.


Sempat skeptis, Rakai akhirnya mengetikkan kata 'Anterograde Amnesia' di kolom pencarian Google. Jawaban yang didapatnya tidak memuaskan rasa ingin tahunya, tapi cukup untuk membuktikan kalau kondisi tersebut benar-benar ada. Gadis itu—gadis bernama Tala itu kelihatannya tidak berdusta.

Apa dia benar-benar nggak ingat apa yang dia lihat waktu gue mengeksekusi Fajar?

"Maaf," suara Tala membuyarkan lamunan Rakai. "Boleh saya tahu siapa nama kamu?"

Mata Rakai tetap menatap lurus ke jalanan. "Nggak boleh."

"Oh, oke." Tala meringis. "Kalau gitu, boleh saya tanya soal yang lain?"

"Tanya apa?"

"Tadi, kamu sempat sebut-sebut nama Gie. Apa dia... pemilik tempat karaoke itu?"

Dia lebih cerdas dari yang gue perkirakan.

"Kenapa tanya-tanya?"

Tala berdeham. "Saya terbangun di tempat itu dengan tangan dan kaki terikat. Saya nggak tahu gimana saya bisa ada di sana. Kayaknya saya diculik. Tapi saya juga nggak ngerti kenapa saya bisa jadi target penculikan. Saya bahkan nggak kenal seorang pun yang bernama Gie."

Rakai memiringkan wajah, melirik sekilas pada Tala yang duduk di sebelahnya. "Kamu benar-benar nggak ingat?"

Tala menggeleng.

"Kamu ingat siapa nama kamu?"

Tala mengangguk.

"Siapa?"

"Thalassa—yah, saya lebih sering dipanggil Tala."

"Kamu tahu sekarang tahun berapa?"

"Eh?" Tala mengerjap. "... tahun 2020?"

"Tanggalnya?"

"Februari? Atau Maret? Atau April? Atau mungkin Mei? Saya yakin saya nggak pingsan selama itu, tapi poni saya nggak mungkin tiba-tiba memanjang dalam hitungan hari atau minggu."

Ekspresinya terlalu meyakinkan. Cuma ada dua kemungkinan; dia benaran jujur, atau dia aktris peraih Piala Citra.

Rakai mengeratkan genggamannya pada roda kemudi. Langkah paling tepat yang bisa diambilnya adalah membawa gadis itu ke rumah sakit dan memastikan kalau amnesia yang dia miliki bukan isapan jempol semata. Namun, Rakai tidak ingin Irwan tahu tentang masalah ini. Tak cuma laki-laki itu bakal kecewa, Irwan mungkin akan berusaha menyingkirkan Tala dengan tangannya sendiri. Tidak peduli Tala betulan punya amnesia atau tidak.

Kalau dia memang punya amnesia, mungkin gue nggak perlu menyingkirkannya. Toh dia nggak ingat apa-apa tentang kejadian di bekas bandara itu.

Akhirnya, Rakai memutuskan membawa Tala ke apartemennya.

"Kamu mau bawa saya ke mana?"

"Tempat saya," sahut Rakai singkat. "Jangan coba-coba kabur. Kalau kamu coba-coba kabur—"

"Kenapa saya harus kabur dari kamu?" Tala membalas. "Apa karena memang kamu yang nyulik saya? Kalau iya, kenapa?"

"Nggak usah banyak tanya."

Setelah memarkir mobilnya di parkiran bawah tanah gedung apartemen, Rakai membawa Tala naik ke unitnya.

"Sori," Tala kembali bicara begitu mereka tiba di unit apartemen Rakai. "Saya boleh ke toilet nggak?"

Refleks, Rakai menatap Tala dari ujung rambut sampai ujung kaki. Entah kapan gadis itu melepas atasan seragam pegawai minimarketnya. Selain bawahan celana panjang hitam, gadis itu hanya mengenakan tank top berleher rendah yang tidak menyembunyikan belahan dadanya. Rambutnya tergelung, agak berantakan, mengekspos lehernya yang jenjang. Memar kemerahan di tulang pipinya sudah berubah warna jadi biru pucat, dan bakal semakin pekat seiring dengan berlalu waktunya, sebelum kemudian memudar hingga benar-benar hilang.

Gadis itu kelihatan seksi, dalam cara yang membuat Rakai membenci dirinya sendiri.

"Baju kamu ke mana?"

"Eh?"

"Sebelumnya, kamu nggak pakai tank top kayak gitu."

"Oh ya?"

"Siapa yang maksa kamu buka baju?"

"... nggak ada."

"Jawab jujur."

"Saya jujur. Nggak ada yang maksa saya buka baju. Saya yang buka sendiri."

"Kenapa?"

"..."

"Saya tanya kenapa?"

Tala menggigit bagian dalam bibir bawahnya sekilas. "Biar lebih gampang berbaur."

"Lebih gampang berbaur?"

"Begitu sadar saya diculik, saya tahu saya harus berusaha meloloskan diri. Seragam pegawai yang saya pakai bikin saya gampang dibedain dari orang lain. Makanya saya buka."

Pintar.

"Mau ngapain ke kamar mandi? Mau mandi?"

"Ehm—sebenarnya... lebih ke pengin pip—buang air kecil. Tapi kalau bisa sekalian mandi, ya nggak nolak. Masalahnya, saya nggak ada baju ganti."

"Kalau mau mandi, ya mandi aja. Kamar mandi ada di sebelah sana. Pintu yang warna hitam itu."

"Nggak ada baju gant—"

"Nanti saya taruh baju gantinya di meja dekat wastafel. Pintu kamar mandinya jangan dikunci. Area mandi dibatasi pintu kaca. Kamu nggak perlu khawatir saya bakal ngintip kamu. Saya bukan tipe laki-laki kayak gitu. Dan lagi," Rakai melanjutkan. "Kamu bukan tipe saya."

"Oh, oke."

Selagi Tala mandi, Rakai membongkar isi lemari di walk-in closet-nya. Diputuskannya meminjamkan sehelai kaus dan celana pendeknya pada Tala. Kausnya jelas kebesaran, namun celana pendeknya dilengkapi tali yang bisa dikencangkan sehingga Tala bisa memakainya tanpa takut celana itu bakal melorot turun sampai ke lutut.

Rakai bergegas menaruh kaus dan celana pendek itu di meja samping wastafel sesuai ucapannya, kemudian dia buru-buru keluar dari kamar mandi.

Tak berapa lama, dokter pribadi yang dipanggilnya tiba. Dia sengaja menunggu sampai Tala selesai mandi. Usai memberitahu gadis itu bahwa dia sudah memanggil dokter untuk mengobati memar di tulang pipinya, Rakai turun ke lobi untuk mengambil makanan yang dipesannya lewat layanan delivery. Dia sudah makan malam, tapi Tala belum. Sejauh ini, Rakai masih berniat menjaga gadis itu tetap hidup. Memberinya makan malam adalah salah satu usaha Rakai merealisasikan niat tersebut.

Sekembalinya dari lobi, Rakai mendapati Tala tengah ketiduran di sofa. Dokter pribadi yang dipanggilnya—namanya Dokter Danu duduk agak jauh dari Tala sambil menghirup kopi yang baru dia seduh. Mereka memang cukup akrab. Rakai sudah mengenal Dokter Danu lebih dari separuh hidupnya.

"Dia ketiduran?"

Dokter Danu mengangguk. "Kayaknya sih gitu."

"Memarnya udah diobatin?"

"Memarnya nggak parah. Cuma perlu diolesi salep sampai memudar. Nggak akan berbekas."

"Oh, oke."

"Siapa dia, Rakai?"

"Bukan siapa-siapa."

"Mustahil dia bukan siapa-siapa," Dokter Danu tersenyum simpil. "Kamu nggak akan manggil saya ke sini kalau dia bukan siapa-siapa."

"Benaran bukan siapa-siapa," Rakai menegaskan. "Dia cuma orang asing yang kebetulan berada di tempat yang salah, di waktu yang salah."

Salah satu alis Dokter Danu terangkat. "Dan melihat sesuatu yang nggak seharusnya dia lihat?"

Rakai mengangguk. "Ada yang mau saya tanyain."

"Silakan."

"Dokter tahu sesuatu tentang Anterograde Amnesia?"

"Kebalikan dari Retrograde Amnesia, penderita Anterograde Amnesia nggak bisa membentuk ingatan baru. Itu kondisi yang langka. Sifatnya bisa sementara, bisa juga permanen."

"Penyebabnya?"

"Macam-macam. Bisa karena kerusakan otak, peradangan pada jaringan otak, operasi otak, stroke, atau komplikasi dari cedera otak traumatis. Amnesia semacam ini bisa bikin penderitanya cacat total, karena memori jangka pendek sangat penting untuk kehidupan sehari-hari. Bayangkan kalau ingatan kamu tiba-tiba berhenti. Waktu berjalan, tapi kamu stuck di tempat yang sama. Kamu terjebak, dan kamu nggak sadar kalau kamu terjebak."

"Gangguan itu... bisa disembuhkan?"

"Perkembangan ilmu kesehatan belum sampai ke sana. Yang saya tahu, dalam beberapa contoh kasus, ingatan penderita bisa kembali dengan sendirinya."

"Seberapa besar kemungkinan ingatan penderita bisa kembali dengan sendirinya?"

"Kemungkinannya kecil. Kayak menang lotere."

"Oh..."

"Kenapa?"

"Saya nemu buku catatan dalam tasnya. Isinya menyebutkan kalau dia punya Anterograde Amnesia. Ingatannya berhenti di tanggal 7 Februari 2020. Lima tahun lalu. Sekarang, dia kerja di minimarket di daerah Cempaka Baru, dan tinggal di rusun yang nggak jauh dari tempat kerjanya. Dalam catatan itu disebutkan, ingatannya selalu ke-reset setelah dia bangun tidur, atau setelah dia bangun pasca nggak sadarkan diri."

"Ya ampun..."

"Saya sudah coba tanya dia di jalan tadi. Dia pikir ini masih tahun 2020. Kami sudah ketemu sebelum dia pingsan, tapi dia nggak ingat sama sekali. Dia betulan bingung."

"Kondisi seperti itu memang ada," Dokter Danu berkata. "Tapi kalau kamu mau lebih pasti, sebaiknya kamu bawa dia ke rumah sakit."

"Saya nggak mau Bapak tahu. Dokter paham sendiri kayak apa karakter Bapak."

"Oalah..."

"Dokter nggak keberatan kan merahasiakan tentang dia dari Bapak?"

"Oh ya, ya. Tentu saya nggak keberatan. Lalu, rencana kamu setelah ini gimana? Apa kamu akan melepaskan dia? Atau menahan dia di sini sampai kamu benar-benar yakin?"

"Saya bakal memulangkan dia ke rumahnya. Setelah itu, mungkin saya bakal mengawasi dia beberapa lama, sampai saya yakin dia benar-benar nggak ingat apa yang dia lihat sore ini. Kalau dia betulan nggak ingat, saya akan biarin dia melanjutkan hidupnya."

"Kalau dia ingat?"

"Saya nggak punya pilihan selain menghabisinya."

*

Keesokan paginya, Rakai sedang menggoreng telur saat dia mendengar suara langkah mendekat di belakangnya.

Oh, dia udah bangun.

Menghela napas, Rakai berbalik. Tala terkesiap, balik memandangnya. Kekagetan menyelimuti raut wajahnya, diikuti rona merah yang menyebar dari pipi sampai ke telinga. Rakai memiringkan wajah, tak paham mengapa Tala tiba-tiba tersipu.

"Kenapa?"

"Kamu—" Tala tercekat. "—nggak pakai baju."

Ah ya. Rakai baru sadar. Dia memang biasa tidur bertelanjang dada.

"Oh ya. Sori. Saya biasa tidur nggak pakai baju," Rakai mengangkat bahu, lalu membalik telur di teflon. "Saya nggak tahu kamu lebih suka telur kamu didadar, diceplok atau diorak-arik, tapi karena saya lagi kepengin makan telur dadar, yang saya buat telur dadar."

"... maaf kalau nggak sopan, tapi kamu... siapa?"

Ternyata dia memang benaran amnesia.

"Tas yang di atas meja makan itu tas kamu. Di dalamnya ada buku catatan kecil seukuran saku. Silakan baca tulisan di halaman-halaman pertamanya."

Dengan wajah bingung, Tala menuruti kata-kata Rakai. Diambilnya buku catatan yang dimaksud dari dalam tas. Kemudian, dia mulai membaca.

Halo.

Nama lengkap saya Thalassa Mare. Saya biasa dipanggil Tala. Saya lahir tanggal 27 September 1999. Saat buku catatan ini dibuat (tanggal 31 Desember 2024), saya masih aktif bekerja sebagai pegawai minimarket yang beralamatkan Jalan Hang Tuah Nomor 81 Cempaka Baru. Saya tinggal di Rumah Susun Daksacita yang beralamat di Jalan Nirmala Nomor 24 Serdang Raya.

Sejak Februari 2020, saya memiliki kondisi yang dinamakan Anterograde Amnesia. Dikarenakan kondisi tersebut, saya kehilangan kemampuan membuat memori baru. Ingatan saya berhenti di tanggal 7 Februari 2020. Semua ingatan baru saya akan terhapus setelah saya tertidur, atau tidak sadarkan diri.

Kalau kamu menemukan saya kebingungan atau bertingkah aneh di jalan, harap hubungi salah satu dari tiga kontak yang tercantum di bawah. Kontak pertama milik Pak Sulaiman, pemilik unit rusun yang saya tinggali. Kontak kedua milik Bu Arum, pemilik minimarket tempat saya bekerja. Kontak ketiga milik Santi, salah satu pegawai lain di minimarket tempat saya bekerja.

Atas bantuannya, saya berterima kasih sekaligus meminta maaf karena sudah merepotkan.

"Ini... ini tulisan saya..."

"Kelihatannya, memang kamu yang tulis." Rakai memindahkan telur dari teflon ke piring. Lantas, dibawanya dua piring telur ke meja makan. "Kemarin, saya nemuin kamu kebingungan di jalan. Karena udah kemalaman, saya pikir baiknya saya bawa kamu ke tempat saya dulu. Baru pagi ini, saya antar kamu pulang. Semalam, kamu sempat mandi dan pinjam baju saya..."

"Oh... ini..." Tala memandangi kaus yang dia pakai. "... baju kamu?"

Rakai mengiyakan. "Sekarang, silakan mandi dulu atau sarapan dulu. terserah kamu. Saya udah hubungi Pak Sulaiman. Sehabis kamu mandi dan sarapan, saya bakal antar kamu pulang."

"Pak Sulaiman?"

"Pemilik unit rumah susun yang kamu tempati. Nomor teleponnya tertulis di buku catatan itu."

"Oiya..."

"Jadi, kamu mau mandi dulu atau sarapan dulu, Thalassa?"

"Ehm—mungkin mandi dulu..."

"Oke. Handuknya udah saya siapin di kamar mandi."

Ragu-ragu, Tala mengangguk. Namun baru beberapa langkah Tala berjalan, mendadak dia berhenti dan kembali berbalik.

"Nama kamu... siapa?"

"Sore." Rakai berbohong.

"Makasih sudah bantu saya, Sore."

"Sama-sama."

*

Tak hanya mengantarnya pulang, laki-laki itu bahkan sampai turun dari mobil dan menemui Pak Sulaiman yang rupanya telah menunggu di lobi.

Dia berbasa-basi penuh keramahan, memperkenalkan dirinya sebagai Cakrawala Sore yang kebetulan menemukan Tala tengah kebingungan di tengah jalanan sepi dekat Pecinan. Seperti yang dikisahkannya pada Tala, berhubung sudah terlalu malam, dia berbaik hati membiarkan Tala menginap di tempatnya. Pak Sulaiman menyalaminya sambil berulang kali mengucapkan terima kasih. Dari raut mukanya, amat kentara Pak Sulaiman merasa lega lantaran Tala berhasil pulang dengan selamat.

Sepeninggal laki-laki itu, barulah Pak Sulaiman bicara pada Tala. "Kamu baik-baik aja, Tala?"

"Baik, Pak. Tapi soal pekerjaan saya..." Tala teringat catatan yang dia baca di tempat laki-laki itu tadi. "... saya harusnya masuk kerja pagi ini ya?"

"Iya, tapi nggak masalah. Nanti saya telepon Bu Arum."

"Bu Arum?"

"Bos kamu. Pemilik minimarketnya. Sekarang, baiknya kamu istirahat. Kamu kelihatan capek sekali," Pak Sulaiman menepuk punggung Tala lembut. Sentuhannya amat kebapakan. "Catatan-catatan tentang hal-hal penting yang mesti kamu ingat ada di kamar. Saran saya, baca dari sticky notes yang ditempel paling dekat dari tempat tidur kamu. Ikuti instruksi-instruksinya. Kalau ada yang bikin kamu bingung, kamu bisa tanya saya. Oke?"

"Oke, Pak. Makasih banyak."

"Sama-sama."

Pak Sulaiman berbaik hati mengantar Tala sampai muka pintu unit rumah susunnya. Padahal, Tala sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Tetapi Pak Sulaiman bergeming, tetap bersikukuh mengantar Tala. Laki-laki itu baru pergi setelah dilihatnya Tala masuk.

Begitu berada di dalam unit rumah susunnya, Tala cepat-cepat menghambur ke kamar. Ditahannya rasa kantuk akibat tidak tidur semalaman. Matanya lekas membaca isi sticky notes yang tertempel paling dekat dari tempat tidur. Dari sana, dia beralih mengecek buku catatan yang menumpuk di pojok meja.

Laki-laki itu tidak berbohong mengenai gangguan ingatan yang dia derita. Dia memang memiliki Anterograde Amnesia. Waktunya terhenti di Februari 2020. Separuh gusar, Tala mengecek kalender di ponselnya. Lalu, dirobeknya lembar kalender sobek yang melekat di dinding.

Tapi dia bohong soal banyak hal.

Tala tahu dia tidak tersesat. Tala tahu nama laki-laki itu bukan Sore, melainkan Rakai. Tala tahu, sebab semalam dia hanya pura-pura tidur. Tala tahu, Rakai yang memindahkannya dari sofa ruang tamu ke ranjang kamar tidur. Tala tahu, dia sudah melihat apa yang tidak seharusnya dia lihat—kendati Tala tidak ingat apa yang telah dia lihat. Tala tahu, Rakai bakal menghabisinya jika dia sampai mengingat.

Namun, fakta-fakta itu tidak menghalangi Tala menambahkan serentetan kata di bawah catatannya;

Rakai. Le Meredian Estate 14 A No. 1. Genesis perak kebiruan. Pelat nomor: B 5362 KJT.




bersambung.

***

a/n:

akhirnya berlanjut yah, shay. 

wkwkwk. 

btw, jakarta dalam cerita ini adalah fiktif belaka. jadi nama-nama tempat, jalan dan lain sebagainya hanya karangan gue. kalau ada kesamaan dengan kondisi real di lapangan, betulan ngga disengaja wkwk. 

anggaplah, jakarta di sini tuh kayak gotham city. 

we'll see more of gie and sore in upcoming chapters!! 

makasih sudah baca. sampai ketemu di chapter selanjutnya. 

ciao. 

***

Find me on:

Instagram - rennozaria

Karyakarsa - renitanozaria

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro