01
Di antara rumah mewah yang berderet di sepanjang tepi kiri-kanan Jalan Baruna, rumah itu adalah rumah yang paling menarik perhatian.
Tidak seperti banyak rumah di sekitarnya yang disokong pilar-pilar tinggi lagi gemuk seperti pilar-pilar kuil Parthenon, rumah itu memiliki fasad yang tampaknya terilhami dari rumah joglo. Atapnya berbentuk mirip piramida yang mengerucut. Hampir seluruh bagian bangunannya terbuat dari kayu jati berkualitas baik yang tidak murah harganya.
Halaman depannya luas, terbagi dalam dua bagian. Satu bagian difungsikan sebagai taman berumput yang rindang oleh pepohonan, semak-semak berbunga dan kolam teratai yang terawat baik. Satu bagian lainnya difungsikan sebagai tempat parkir khusus tamu yang diberi perkerasan paving block. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi yang terbuat dari tumpukan bata merah. Tumpukan bata merah tersebut disusun sedemikian rupa mengitari tembok berhias batu alam berwarna putih. Dari luar, rumah itu tampak mewah, namun terkesan rendah hati.
Keheningan sore hari di rumah itu sekonyong-konyong terusik ketika sebuah mobil Genesis berwarna silver kebiruan meluncur cepat dari ujung jalan. Mengenali mobil yang datang, seorang petugas keamanan yang tengah berjaga di pos pintu gerbang buru-buru menekan sebuah tombol, membuat pintu gerbang depan rumah bergeser otomatis. Mobil itu pun meluncur masuk ke halaman, berhenti hanya beberapa meter dari teras yang terhubung dengan pendapa.
Seorang laki-laki turun, bergegas memasuki pendapa tanpa banyak bicara. Dia terus berjalan hingga tiba di ruang tengah. Dari ruang tengah, dia mengambil arah ke kanan, yang bermuara ke sebuah ruang kerja. Beberapa pemuda bertubuh kekar berjaga di depan pintu ruangan. Mereka sontak memberi hormat begitu mengenali sosok laki-laki yang berjalan mendekat.
"Bapak di dalam?"
Salah satu pemuda sigap mengangguk. "Silakan masuk."
Kedua dua pintu dibuka serentak. Laki-laki itu melangkah masuk, segera disambut oleh sosok setengah baya yang mereka sebut 'Bapak'. Sosok setengah baya itu bernama Irwan Gunadi. Para tetangganya mengenalnya sebagai Pak Irwan, seorang konglomerat dermawan sekaligus pebisnis veteran di bidang perbankan, manufaktur, telekomunikasi dan jasa asuransi. Tersohor sebagai pribadi murah hati yang hobi beramal, Irwan tercatat mempunyai setidaknya tiga panti asuhan di tiga kota berbeda. Satu di Jakarta, sedangkan dua lainnya di Bandung dan Bogor.
"Ya, Rakai?"
"Situasi sudah terkendali. Para awak media sudah dikondisikan. Kecelakaan dinihari tadi nggak akan diberitakan di media cetak sama sekali. Semua berita yang telanjur naik di news outlet online sudah di-take down. Urusan dengan kepolisian sudah dibereskan."
Tidak sampai dua belas jam yang lalu, telah terjadi kecelakaan yang melibatkan Bentley Bentayga milik Mahendra Gunadi, anak sulung Irwan dan tiga sepeda motor. Total ada tujuh korban. Dua orang luka berat, sementara lima lainnya luka ringan. Berdasar fakta-fakta yang Rakai kumpulkan, diduga kuat mobil Mahendra disabotase. Remnya blong. Mahendra terlalu mabuk untuk menyetir sendiri. Dia pulang naik taksi, sementara mobilnya dibawa Sore. Malang bagi Sore, dialah yang akhirnya kecelakaan dan kini dirawat di rumah sakit.
Dengan wajah teduh yang jauh dari ketegangan, Irwan melanjutkan memangkas bonsai beringin di atas meja kerjanya. "Keadaan Sore gimana?"
"Tangan kiri patah. Gegar otak ringan. Enam jahitan di kepala. Kondisinya stabil. Bisa dibilang, cederanya nggak mengancam jiwa. Dia bakal pulih."
"Ada titik terang siapa dalangnya?"
"Bambang Salihin."
Gunting pemangkas di tangan Irwan berhenti memangkas. Ujung-ujung bibirnya tertarik, membentuk seulas senyum penuh arti. Ketenangan yang membayangi gerak-geriknya membuat senyum itu terkesan dingin. Senyum yang menjanjikan pembalasan.
"Ah ya. Bisa dimengerti. Mereka pasti jengkel karena paslon yang mereka sponsori kalah di Pilpres kemarin. Ditambah lagi, kandidat calon gubernur paling populer untuk Pilgub Jakarta mendatang pun lebih berminat bekerja sama dengan kita daripada dengan mereka." Irwan terkekeh. "Cuma sedikit orang yang tahu Mahendra baru pulang ke Jakarta. Lebih sedikit lagi yang punya kesempatan menyabotase mobil Mahendra. Mereka pasti dibantu orang dalam, yang berarti... ada pengkhianat yang harus kamu cari."
Rakai mengangguk. "Pengkhianatnya sudah ketemu."
Irwan lanjut memangkas bonsainya. "Siapa?"
"Fajar."
"Oh, anak itu?" Irwan berdecak. "Sayang sekali. Padahal, dia anak yang pintar. Tapi ya, pengkhianat tetap pengkhianat. Ingat aturan terpenting dalam keluarga kita, Rakai?"
Rakai ingat aturan itu. Aturan paling sakral yang diyakini oleh seluruh anggota Keluarga Gunadi dan orang-orang yang bekerja pada mereka. Bahwa pengkhianatan adalah kejahatan tidak termaafkan.
"Saya ingat."
"Bagus. Bereskan."
"Saya mengerti."
"Kali ini, pisahkan kepalanya."
Rakai mengangkat alis. "Maksudnya, Pak?"
"Kepalanya, Rakai," Irwan berkata lembut, seolah dia adalah orang tua yang sedang menasehati anaknya. "Pisahkan kepalanya. Masukkan ke dalam kotak. Kirim ke kediaman Bambang Salihin. Belum seminggu sejak tahun baru, tapi mereka sudah kasih kita hadiah. Nggak sopan kalau kita nggak balik kasih mereka sesuatu. Iya, kan?"
Rakai balas mengangguk. "Oke, Pak. Saya paham."
Irwan melambaikan tangannya sekilas, kode bahwa Rakai sudah diperkenankan meninggalkan ruang kerjanya.
Tak banyak basa-basi, Rakai berbalik, langsung melangkah menuju pintu.
***
Sekitar seratus meter sebelum pintu gerbang rumah sakit tempat Sore dirawat, mobil Genesis yang Rakai kendarai melambat.
Terlihat sesosok laki-laki muda berperawakan jangkung sedang berdiri di tepi jalan—lebih tepatnya, di salah satu lapak tenda pedagang kaki lima yang menjual buah durian. Selain tinggi badannya, fitur lain yang menonjol dari fisiknya adalah garis wajahnya. Dia punya raut wajah mirip aktor-aktor blasteran Indonesia-Eropa yang kerap wara-wiri membintangi FTV. Matanya cokelat terang seperti warna karamel. Bintik-bintik freckles tipis tersebar di seputar hidungnya. Dia tampan, baik menurut standar Barat maupun standar Timur. Namanya Gideon. Rakai biasa memanggilnya Gie.
Sama seperti Rakai dan Sore, dahulunya Gie adalah salah satu penghuni panti asuhan milik Irwan Gunadi. Gie tidak pernah tahu siapa kedua orang tuanya. Sejak kecil, dia sudah hidup di jalanan. Di jalanan jugalah, Irwan menemukannya. Sesuatu dalam pembawaan Gie menarik perhatian Irwan. Pada akhirnya, lelaki kaya-raya itu menawari Gie tinggal di panti asuhannya. Tentu saja, Gie tidak menolak. Punya tempat berteduh dan makan teratur tiga kali sehari adalah sesuatu yang terlalu muluk bagi anak jalanan sepertinya. Tawaran Irwan adalah keberuntungan yang belum tentu datang sekali seumur hidup. Tolol kalau Gie sampai menolaknya.
Mereka bertiga adalah teman sebaya yang tumbuh bersama, kendati masing-masing punya bakat dan minat yang berbeda.
Rakai, dengan karakternya yang minim belas kasih, penuh perhitungan, piawai menggunakan pistol dan sukar terkalahkan dalam pertarungan tangan kosong didaulat sebagai eksekutor andalan Keluarga Gunadi. Dialah yang bertugas menghabisi orang-orang yang mencoba menjegal Keluarga Gunadi dalam dunia bisnis—entah itu yang legal, atau yang ilegal.
Sore yang cenderung lebih ramah dan pandai bersilat lidah mengambil peran sebagai negosiator. Dia lihai merancang tawaran yang sukar ditolak. Meja perundingan adalah panggung orkestra yang dia kuasai. Selain itu, ketertarikan Sore pada dunia mekanik dan mobil-mobil sport bertenaga tinggi membuatnya dipercaya mengurus modifikasi dan pemeliharaan kendaraan-kendaraan mewah Keluarga Gunadi.
Gie adalah yang paling pendiam di antara mereka bertiga. Isi pikirannya sulit ditebak. Tidak seperti Sore yang memilih penthouse mahal di daerah elit ibukota sebagai tempat tinggalnya atau Rakai yang memilih tinggal di sebuah rumah nyaman tanpa tetangga untuk menjaga privasinya, Gie lebih suka tinggal di kamar indekos sempit yang berada tepat di sebelah warnet tempatnya menaruh set komputer canggih berharga selangit kepunyaannya.
Keputusan yang janggal. Tapi Irwan tidak keberatan, dan menganggapnya sebagai keanehan khas yang biasa dimiliki jenius teknologi seperti Gie. Dalam Keluarga Gunadi, Gie bertugas mengumpulkan rahasia-rahasia. Tidak hanya secara daring, melainkan juga secara luring. Lewat ribuan waria, anak jalanan dan pelacur mulai dari yang low profile hingga yang high profile, tak ada rahasia yang mustahil Gie ketahui. Terutama rahasia di kalangan para pejabat dan petinggi negara.
Rakai menepi dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Rupanya, Gie tidak sendirian. Dia ditemani seorang waria berpenampilan heboh dengan wig keriting mengembang ala rambut Julia Robert dan dada yang diberi sumpalan sebesar bola tenis.
"Lagi ngapain lo?"
"Beli duren," balas Gie singkat.
"Tumben."
"Sore yang minta."
"Tumben."
"Tumben apa?"
"Tumben lo ikhlas-ikhlas aja dibabuin Sore."
"Daripada dia bikin keributan or worse, minggat dari rumah sakit, mending gue turutin maunya. Toh cuma sesekali." Gie mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Menggunakan ujung pisau yang tajam, dicoleknya sedikit daging durian yang baru dibelah oleh si pedagang. Dibawanya ujung pisau ke mulut. Lidahnya menyapu sedikit daging durian yang ada di ujung pisau. Mengetes rasanya. "Oke. Saya mau yang kayak gini dua, Pak. Tolong dibukain dan dimasukkin ke kotak thinwall ya."
"Siap, Mister."
"Lo juga, Ji," Gie berpaling ke waria di dekat mereka. "Pilih beberapa buat lo sama anak-anak kosan."
"Darla, Mas Gie. Bukan Darmaji." Darla bersungut-sungut.
"Oh ya. Sori, lupa. Lo juga, La. Pilih-pilih buat dibawa balik ke kosan."
"Darla doang? Nggak pakai sayang?"
Rakai memasang ekspresi wajah seolah siap muntah, sementara Gie menghela napas panjang sebelum berkata, "Darla sayang..."
"Nah, gitu dong!" Darla tersenyum lebar, lalu mengerling ke arah Rakai yang sibuk bergidik. "Mas Rakai tambah cucok aja. Kira-kira kapan buka lowongan, Mas?"
"Lowongan apa?"
"Lowongan pecong."
Rakai ganti menatap Gie. "Pecong?"
"Pacar." Gie menerjemahkan.
"Oh. Kapan-kapan."
"Kalau tertarik pecongan sama bences, akika siap lahir-batin loh, Mas. Dijamin endaaaaangggg!" Darla mengacungkan jempol.
"Jangan lah. Nanti Gideon cemburu," Rakai membalas kalem.
Gie mendelik. "Diem."
Rakai terkekeh, kemudian raut mukanya kembali serius. "Sore gimana?"
"Kalau dia masih bisa nyuruh-nyuruh gue beli duren gini, menurut lo keadaannya gimana?"
"Gue nggak mau berasumsi."
"Kalau gitu, kenapa nggak lo tengok aja anaknya sendiri?"
"Cukup lo aja yang dia babuin. Gue nggak tertarik ikutan."
"Tangannya patah. Butuh waktu buat pulih. Tapi secara keseluruhan, dia baik-baik aja."
"Any psychological trauma?"
"Kayak apa misalnya?"
"Kayak misalnya dia takut naik mobil atau semacamnya—"
Tawa Gie meledak. "He's Cakrawala Sore, Wistara. Di antara kita, dia yang paling rajin menantang bahaya. He loves car and speed more than anything else. To be killed by speed probably, is his greatest wet dream." Gie berpaling ke Darla. "Udah kelar belum milihnya?"
"Udah, Mas."
"Cuma segitu? Nggak kurang tuh?"
"Memangnya Mas Gie mau beliin berapose?"
"Sepuasnya anak-anak kosan."
"Dikasih duren satu truk juga nggak bakal puas mereka mah."
"Sepuasnya anak-anak kosan yang masih punya akal sehat."
Darla nyengir. "Sepuluh biji kali yes?"
"Boleh."
"Mas Gie yang beliin?"
"Yoi."
"Gilingaaaaan! Mas Gie baik banget!"
"Buruan pilih."
"Siap!" Darla memberi hormat.
Mendadak, ponsel Rakai berbunyi. Tanpa membuang waktu, Rakai cepat-cepat menjawabnya. Dia tidak banyak bicara. Hanya sesekali mengatakan 'ya' atau 'oke'. Telepon itu barangkali berlangsung kurang dari setengah menit sebelum Rakai menyudahinya.
"Siapa?" tanya Gie penasaran.
"Danang."
"Soal Fajar?"
Rakai mengangguk. "I have to go."
"Aduhai, baru datang udah mau pergi aja! Titi DJ ya, Mas Rakai!" Darla memandangi punggung Rakai sampai yang bersangkutan masuk ke mobil Genesis-nya yang masih terparkir di pinggir jalan. Setelah itu, perhatiannya kembali ke Gie. Dikedipkannya matanya yang diberati tiga lapis bulu mata palsu beberapa kali. "Belenjong durennya udah. Belah durennya nggak mau sekalian, Mas Gie? Akika ready semalam suntuk, nih."
"Kepala lo aja yang gue belah, gimana?"
"Ampun, Mas Gie. Akika cuma bercanda, keleus!"
***
Tala terbangun di sebuah kamar asing yang anehnya, terasa familiar.
Luas kamar itu standar saja. Barangkali 3 x 3 meter. Atau 3 x 4 meter. Dindingnya putih kusam. Dua dari empat sisinya ditempeli ratusan sticky notes warna-warni. Lewat jendela kecil di salah satu sisi dinding yang tidak ditempeli sticky notes, Tala tersadar kamar tempatnya berada terletak di ketinggian. Di pojok kamar yang berlawanan arah dengan tempat tidur, terdapat sebuah meja kayu yang catnya sudah mengelupas di sana-sini. Setumpuk buku catatan tergeletak di atas meja, menemani beberapa batang pena yang tersebar berantakan.
Ragu-ragu, Tala beranjak dari kasur. Ditelitinya sticky notes terdekat yang bisa dia jangkau. Tala kenal tulisan yang tertera di lembar sticky notes itu. Tulisan itu tulisannya, kendati Tala tidak ingat kapan dia menulisnya. Kata-kata yang tertulis di lembar sticky notes itu berbunyi; cek halaman-halaman pertama buku catatan bersampul biru laut yang ada di atas meja. Baca isinya baik-baik. Ikuti semua instruksi di sana. Jangan lupa tempel lagi sticky notes ini di tempat semula. Kalau sudah nggak lengket, ganti dengan sticky notes yang baru dan salin tulisan di sticky notes ini. Harus persis kata per kata.
Masih dilanda rasa heran, Tala mendekati meja. Diraihnya satu-satunya buku catatan bersampul biru laut. Di halaman pertama, dia kembali disambut tulisan tangannya sendiri.
Halo, Tala.
Waktu membaca ini, mungkin kamu kebingungan karena merasa terbangun di tempat yang nggak kamu kenal. Jangan takut. Tempat ini aman. Kamu sudah tinggal rusun ini hampir lima tahun. Lantai 8. Unit nomor 8.
Tanggal 7 Februari 2020, kamu kecelakaan. Tabrak-lari. Sejak kecelakaan itu, kamu mengalami Anterograde Amnesia. Anterograde Amnesia adalah jenis kehilangan ingatan karena seseorang tidak bisa membentuk ingatan baru. Ingatan kamu berhenti di tanggal 7 Februari 2020, sesaat sebelum kecelakaan yang menimpa kamu terjadi. Sejak saat itu, setiap kamu bangun tidur, kamu bakal melupakan semua yang kamu lihat, dengar dan alami sebelum kamu tertidur.
Kata dokter, Anterograde Amnesia adalah kondisi yang sangat langka. Nggak banyak yang diketahui tentang amnesia ini. Dalam beberapa kasus, kemampuan membentuk ingatan baru kembali pulih setelah beberapa minggu atau beberapa bulan dengan sendirinya, tanpa pengobatan khusus. Tapi dalam kasus ekstrem, seseorang bisa kehilangan kemampuan membentuk ingatan baru secara permanen.
Begitu kira-kira penjelasan singkatnya.
Sekarang, tarik napas dalam-dalam karena kamu akan dipaksa mengingat bagian terberat yang seandainya boleh, pasti lebih suka kamu lupakan.
Pada malam kamu kecelakaan, rumah kamu kebakaran. Ayah meninggal dalam kebakaran itu. Kamu dan Langit jadi yatim-piatu. Di bulan Maret 2020, sekitar sebulan setelah kamu kecelakaan, Langit mendadak menghilang.
Berdasar catatan yang kamu buat, Langit terakhir terlihat waktu mengunjungi kamu di rumah sakit. Dia kasih tahu kemungkinan kalau kebakaran rumah kalian adalah kebakaran yang disengaja. Begitu juga dengan kecelakaan yang menimpa kamu. Lambatnya penyelidikan oleh pihak kepolisian bikin Langit menggali data sendiri. Dia berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari minimarket dan rumah salah satu tetangga kalian.
Dari rekaman CCTV itu, Langit mendapat titik terang kemungkinan mobil yang menabrak kamu. Jenisnya Genesis GV70. Warnanya perak kebiruan. Pelat nomor B 5362 KJT. Langit janji, dia akan mencari petunjuk baru. Tapi Langit nggak pernah datang lagi setelah itu. Dia lenyap seperti ditelan bumi.
Langit nggak mungkin meninggalkan kamu segampang itu. Dia kakak yang bertanggung jawab. Dia peduli sama kamu. Satu-satunya alasan paling masuk akal kenapa Langit menghilang adalah karena dia dipaksa hilang. Entah diculik, atau... dibunuh.
Ada sesuatu yang lebih besar di balik kebakaran rumah dan kecelakaan kamu. Sejauh ini, petunjuk yang kamu punya cuma itu. Genesis GV70. Warna perak kebiruan. Pelat nomor B 5362 KJT. Ingat baik-baik. Jangan sampai lupa. Kalau memungkinkan, coba cari tahu. Jangan lapor polisi. Polisi nggak akan membantu kamu.
Oke, bagian beratnya sudah selesai.
Saat ini sudah tahun 2025. Ada kalender sobek harian di tembok. Sobek halamannya setelah kamu selesai baca ini. Jangan sampai lupa. Kalau nggak, nanti kamu kebingungan sendiri. Kalau kalendernya sudah habis, beli kalender sobek harian yang baru, sekaligus salin catatan di buku ini ke buku catatan yang baru. Harus persis kata per kata. Bukan kegiatan yang menyenangkan, tapi harus kamu lakukan. Buku catatan ini mesti diperbaharui setiap satu tahun sekali.
Sejak tahun 2022, kamu kerja di minimarket berjarak satu kilometer dari sini. Peta lokasinya ada di laci, atau kamu bisa pakai Google Maps buat mengarahkan jalan. Seragam kamu ada di lemari. Shift kamu dimulai jam delapan pagi sampai jam empat sore. Konstan. Nggak pernah berubah. Bentuk pengertian dari pemilik minimarket terhadap kondisi kamu. Cara memakai mesin kasir, menyusun tata letak display dan menyortir produk kadaluarsa ada di lembar lain yang diklip jadi satu dengan lembar peta. Lakukan pekerjaan kamu dengan baik. Jangan bikin Bu Arum, pemilik minimarket yang sudah baik sama kamu kecewa.
Kamu tinggal di rumah susun sederhana. Unit yang kamu tempati punya salah satu kenalan Ayah. Namanya Pak Sulaiman. Pak Sulaiman merasa berutang budi sama Ayah, jadi beliau menggratiskan kamu tinggal di sini. Kamu cuma perlu bayar biaya air, listrik dan pemeliharaan lingkungan. Kamu tinggal di lantai 8. Unit nomor 8. Ada dua lift, tapi dua-duanya sering rusak. Kalau lift rusak, turun lewat tangga darurat. Perhatikan petunjuk di dinding lorong rumah susun.
Hal-hal sepele yang nggak mendesak kamu ingat ada dalam buku-buku catatan yang lain dan sticky notes yang tertempel di dinding. Bisa kamu baca-baca kalau lagi ada waktu.
Terima kasih sudah bersabar membaca sampai akhir, Tala. Sampai ketemu besok.
—Thalassa Mare
Tala menghela napas yang entah sejak kapan sudah dia tahan. Tidak cuma ditulis dalam tulisannya, catatan itu juga diakhiri dengan namanya. Mudah baginya menyimpulkan kalau catatan itu dibuat oleh Tala yang masih ingat untuk dirinya, Tala yang telah lupa. Sejenak, Tala merenung, mencoba menelaah perasaannya. Sekeras apa pun Tala mencari, tidak ditemukannya kesedihan yang mencekik leher atau tangis tertahan yang bikin panas mata. Yang mendominasi hanyalah hampa, dan sedikit sisa murka. Kemarahan yang telah lama berhenti bergejolak. Nyalanya hampir padam seperti bongkahan bara tersiram seember air dingin.
Mengikuti arahan dalam catatan yang baru dia baca, Tala merobek lembar kalender hari ini dan mempelajari lembar-lembar yang memuat peta sederhana lokasi minimarket tempatnya bekerja berikut cara menggunakan mesin kasir, menyusun tata letak display barang-barang dan menyortir produk yang sudah kadaluarsa. Setelah itu, barulah dia melenggang ke kamar mandi.
Tala mandi, mengganti baju tidurnya dengan seragam pegawai minimarket lalu bersiap berangkat kerja. Kelihatannya dia sedang mujur karena kedua lift berfungsi dengan baik. Melalui salah satu catatan dalam sticky notes yang ditempel di dinding dekat meja, Tala tahu kalau dia biasa berangkat kerja naik sepeda. Sepedanya tersimpan di area parkir belakang rusun. Gampang membedakannya dengan sepeda-sepeda lain, sebab sepeda Tala adalah satu-satunya sepeda yang keranjangnya berwarna biru muda.
Tampaknya, kondisi istimewa Tala diketahui oleh banyak penghuni rusun dan para pegawai minimarket yang lain. Orang-orang yang berpapasan dengan Tala di lobi rusun berbaik hati mengantarnya ke area parkir tanpa diminta. Para pegawai minimarket menyapanya ramah sambil memperkenalkan diri, sekaligus mengingatkan Tala tentang apa yang terjadi di shift mereka kemarin. Tala menghargainya. Pasti tidak mudah buat mereka mengulangi kata-kata yang sama setiap hari tanpa merasa jengkel.
Sehabis sarapan nasi kepal isi suwiran ikan cakalang bersama dua teman sesama pegawai minimarket—yang satu bersama Santi, dan satu lainnya bernama Dimas—Tala pun mulai bekerja. Hari ini, dia bertugas menata display untuk produk-produk yang dapat diskon khusus di minggu ini dan membantu para pelanggan yang membeli makanan cepat saji memanaskan makanan mereka di microwave yang tersedia.
Menjelang sore, ketika suasana minimarket lagi sepi, Tala berinisiatif nongkrong sebentar di teras minimarket seraya memberi makan seekor kucing liar yang lagi mampir. Dia tengah berjongkok menonton si kucing makan saat sebuah mobil berwarna silver kebiruan berbelok masuk dan parkir di depan minimarket. Bunyi decit remnya membuat Tala refleks mengangkat muka, dan seketika, jantungnya serasa berhenti berdetak.
Mobil yang baru parkir itu berpelat nomor B 5362 KJT.
Tercekat tegang, tatapan Tala mengekori pergerakan sesosok laki-laki yang turun dari mobil. Laki-laki itu bertubuh tinggi. Tala menaksir tingginya mungkin mencapai 180 sentimeter. Dia mengenakan kaus hitam dengan luaran jaket kulit berwarna senada dan celana jeans bernuansa abu-abu gelap. Wajahnya tidak kelihatan jelas karena dia memakai sebuah topi hitam di kepalanya. Garis rahangnya tegas. Sewaktu dia berjalan melewati Tala, wangi parfumnya tertinggal di udara. Aromanya mengingatkan Tala pada bau laut, linen bersih dan pasir basah. Menyeretnya ke dalam bayangan sebuah pantai penuh pohon kelapa yang daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin. Wangi aromatik nan maskulin yang lekat dengan cerahnya langit di musim panas.
Laki-laki itu masuk ke minimarket. Kurang dari setengah menit, dia sudah menaruh sebotol minuman isotonik dingin di meja kasir. Selain sebotol minuman itu, dia juga membeli sebungkus rokok. Usai membayar belanjaannya, laki-laki itu memasukkan rokoknya ke saku jaket. Disambarnya botol minuman isotonik sebelum kemudian dia bergegas kembali ke mobilnya.
Tala terperangah sejenak, lalu sisi impulsifnya mengambil alih.
Tanpa berpamitan pada Santi, Tala cepat-cepat mengambil tasnya. Kebetulan sekali, di seberang minimarket tempatnya bekerja ada pangkalan tempat tukang ojek online biasa duduk-duduk menunggu orderan. Mobil silver kebiruan laki-laki itu belum jauh ketika Tala naik ke boncengan salah satu tukang ojek.
"Ikutin mobil silver yang itu, Pak!" perintahnya.
"Siap, Neng!"
***
Rupanya, mobil silver kebiruan itu menuju komplek bangunan sebuah bandara yang sudah puluhan tahun tidak digunakan.
Dibangun di era kolonial, bandara itu pernah menjadi bandara penting yang sangat sibuk hingga beberapa dekade setelah kemerdekaan. Bandara itu mulai ditinggalkan kira-kira empat puluh tahun lalu. Fungsinya digantikan bandara baru yang lebih besar dan lebih modern yang berlokasi di Tangerang.
Pasca empat puluh tahun tidak digunakan, kondisi bangunan bandara itu benar-benar jauh dari kata terurus. Pilar-pilar bandara yang masih berdiri sudah rapuh dimakan cuaca. Warna putih pada ubin lantai tidak lagi terlihat lantaran tersaput lapisan debu tebal. Coretan-coretan vandalisme memenuhi dinding. Kabel menjuntai di mana-mana. Semak belukar tumbuh subur, sebagian melilit fasad bangunan yang tersisa. Bahkan di siang hari pun, komplek bangunan bandara itu jarang didatangi orang.
Tala meminta tukang ojek yang mengantarnya menurunkannya beberapa puluh meter dari gerbang masuk. Dari sana, dia berjalan mendekat seorang diri. Sambil bersembunyi di balik salah satu pilar, Tala mengamati situasi.
Tak lama setelah mobil silver yang Tala ikuti berhenti, sebuah mobil hitam berkaca gelap menyusul muncul. Mobil itu berhenti tidak jauh dari mobil silver yang datang lebih dulu. Pintu-pintu terbuka serentak. Terlihat beberapa laki-laki bertubuh kekar menyeret keluar seorang pemuda yang kedua tangannya terikat ke belakang. Pemuda itu memakai kaus penuh bercak cokelat yang Tala curigai adalah tetesan darah yang sudah mengering. Lengannya penuh sayatan. Langkahnya terseok-seok. Kepalanya ditutupi kantong belacu hitam.
Dia dipaksa berlutut di depan si laki-laki pengendara mobil silver. Laki-laki itu tidak lagi mengenakan topinya, sehingga Tala bisa melihat wajahnya lebih jelas. Hanya butuh sekali pandang bagi Tala untuk menyimpulkan kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang tampan. Kulitnya cokelat terang. Selain garis rahangnya, fitur lain yang menonjol dari mukanya adalah mata dan alisnya. Matanya dingin lagi tajam, dibingkai sepasang alis tebal yang serasi. Pundaknya lebar. Bisa dibilang, dia adalah wujud nyata sosok menawan yang kerap menghiasi khayalan gadis-gadis remaja.
Kantong belacu hitam yang menutupi kepala si pemuda dibuka. Kondisi pemuda itu sangat memprihatinkan. Dia babak-belur. Satu matanya hitam dan tidak bisa dibuka. Memar-memar bertaburan di pipi dan rahangnya. Darah kering yang belum sempat diseka berkerak di sudut bibirnya. Sekujur tubuhnya diguncang tremor. Dia tersungkur di aspal, berulang kali memohon pengampunan.
Laki-laki itu tertawa kecil sembari berjongkok di depan si pemuda yang babak-belur. "Berapa tahun lo kenal gue, Fajar?"
"A—ampun, Bang! Gue salah! Gue—gue nggak bermaksud—"
"Jawab pertanyaan gue. Berapa tahun lo kenal gue, Fajar?"
Pemuda itu mulai menggigil ketakutan.
"Sepuluh tahun? Sebelas tahun? Hampir separuh umur lo, kalau gue nggak salah hitung," Laki-laki itu berdecak. "Gue bukan Sore atau Gie. Mereka bisa aja goyah setelah dengar lo minta ampun kayak barusan. Buat mereka, lo sudah kayak adik mereka sendiri. Tapi nggak dengan gue."
"Bang—"
"Gue belum selesai ngomong," potong laki-laki itu tajam. "Waktu lo memutuskan mengkhianati Bapak, waktu lo memutuskan bekerja sama dengan Bambang Salihin, apa lo pikir lo nggak akan berakhir begini? Apa lo pikir, katakanlah, seandainya Mahendra benar-benar mati dalam kecelakaan itu, gue nggak akan ngejar lo sampai ke ujung dunia. Hm?"
"Gue—" si pemuda menelan ludah. "—ampun, Bang! Gue salah! Gue janji—"
"Lo memang salah. Kalau lo nggak salah, lo nggak bakal bersimpuh di depan gue dalam kondisi bonyok kayak sekarang."
Tangan laki-laki meraba ke balik jaketnya, menarik keluar sepucuk pistol berperedam. Dua jari tangan kanannya mencengkeram rahang si pemuda, memaksa mulut si pemuda membuka. Lalu, moncong dingin pistolnya menekan masukk. Gigil di sekujur tubuh si pemuda kian nyata. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya yang penuh memar.
"Gue cuma perlu satu tarikan pelatuk buat bikin kepala lo meledak kayak petasan." Laki-laki itu tersenyum miring sembari menarikk moncong pistolnya keluar dari mulut si pemuda. "Sayangnya, gue nggak bisa melakukan itu. Bapak butuh lo buat kirim pesan balasan ke Bambang Salihin."
Harap meletup dalam mata si pemuda. "Makasih, Bang! Makasih! Gue janji—"
Belum sempat si pemuda menyelesaikan ucapannya, moncong pistol di tangan si laki-laki sekonyong-konyong menekan dadanya.
"Bang—"
Telunjuk laki-laki itu menekan pelatuk.
Tidak ada suara letusan senjata api yang terdengar, namun Tala tahu setidaknya ada tiga peluru yang laki-laki itu lepaskan. Tembakan jarak dekat yang menyasar langsung ke jantung. Sekuat tenaga, Tala membekap mulutnya sendiri, berjuang keras menahan teriakan yang nyaris terlontar.
Tubuh pemuda itu melunglai ditinggal kehidupan. Dia terkapar di aspal. Kedua matanya terbuka, kosong menantang angkasa. Darah menggenang, membentuk kolam di sekitar tubuhnya.
"Masukkan kepalanya ke dalam kotak dan kirim ke rumah Bambang Salihin."
Perintah itu bikin para laki-laki kekar di sekitarnya tercengang. "Apa, Bang Rakai?"
Namanya... Rakai?
"Kepalanya, Farhan. Potong. Masukkan ke kotak. Kirim ke rumah Bambang Salihin. Perintah Bapak. Jelas?"
"Oh—ya—ya, jelas, Bang Rakai."
"Satu masalah sudah selesai. Sekarang, waktunya mengurus masalah yang lain."
"Maksudnya, Bang?"
Tanpa menjelaskan lebih jauh, Rakai ganti membidik ke arah lain. Ke arah pilar tempat Tala bersembunyi. Tala terkesiap. Jantungnya berdegup kencang, ganas menggedor sangkar rusuknya. Mungkinkah laki-laki bernama Rakai itu sadar bahwa dirinya diikuti?
Telunjuk Rakai kembali menekan pelatuk. Peluru menubruk pilar. Refleks, Tala menjerit.
"Ada tamu nggak diundang," Rakai tersenyum miring. "Bawa dia ke sini."
Perintah Rakai direspons sigap. Tiga laki-laki kekar yang berdiri di dekatnya bergerak mendatangi Tala. Tala ingin lari, namun dia telanjur berada dalam posisi tidak berdaya. Seperti mangsa yang sudah terpojok. Ketiga laki-laki itu meringkusnya, membawanya ke hadapan Rakai semudah membawa boneka kain.
Di samping jasad si pemuda yang sebelumnya Rakai tembak, Tala dipaksa berlutut. Ketakutan mencekik Tala, membuat suaranya hampir tidak bisa keluar. Namun, dia menolak menyerah pada ketakutannya. Masih dalam posisi berlutut, Tala diam-diam merogoh ke balik saku celananya, mencari pisau lipat yang tersimpan di sana. Di lembar instruksi yang dibacanya setelah bangun tidur tadi pagi, dia disarankan membawa pisau lipat ke mana-mana. Sekadar untuk jaga-jaga, kalau-kalau dia ditempatkan dalam situasi yang mengharuskannya membela diri.
Rakai ikut berlutut di depannya, sengaja menyamakan level pandangan mereka. Saat itulah, Tala menghunus pisaunya. Sasarannya adalah leher Rakai. Sayangnya, gerakannya kalah cepat dengan gerakan laki-laki itu. Rakai menangkap mata pisaunya dengan tangan kosong. Alih-alih sukses menikam leher, pisau Tala justru menusuk telapak tangan Rakai. Darah mulai menetes ke aspal. Anehnya, ekspresi wajah Rakai tetap santai. Laki-laki itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan sama sekali.
"Pisau lipat?" Rakai tertawa meremehkan. "Are you flirting with me?"
Tala balas mendesis sinis.
"Kamu bernyali dan tahu harus menusuk di mana. Satu-satunya kesalahan kamu adalah kamu nggak cukup cepat dan... nggak cukup kuat." Rakai merampas pisau dari tangan Tala dan membuangnya jauh-jauh.
"Mobil itu—" Tala memaksa dirinya bicara. "—itu punya kamu?!"
"Saya ragu kamu ngikutin saya sampai sejauh ini cuma karena penasaran sama mobil saya." Rakai menyahut. "Berbohong nggak akan menyelamatkan kamu. Siapa yang mengirim kamu? Keluarga Salihin? Keluarga Setiadi?"
"Saya nggak ngerti—"
"Kelihatannya, kamu nggak bisa diajak ngomong baik-baik."
"Saya benar-benar nggak—"
Kata-kata Tala terputus begitu tangan Rakai mencengkeram lehernya. Laki-laki itu mencekiknya. Tala meronta-ronta, mencakari punggung tangan Rakai. Namun, Rakai bergeming. Tatapan matanya yang tajam tertuju lurus pada Tala. Dingin dan tak berperasaan. Lambat laun, kepala Tala terasa ringan. Pandangannya berangsur-angsur mengabur seiring dengan suplai oksigen yang terhambat.
Lalu, dunianya menghitam.
bersambung.
***
a/n:
hai.
sebenarnya, gue berniat menulis dan memosting cerita ini di bulan Juli tahun kemarin.
but life got me and i was too busy burning out so yah, baru bisa nongol sekarang. kemungkinan update seminggu sekali, setiap hari rabu.
so sorry kalau selama dua tahunan (lebih) ini banyak ilang-ilangan di wattpad. gue sangat-sangat berharap cerita ini bisa selesai tahun ini--jadi doain gue agar tetap konsisten dan nggak berhenti di tengah jalan wkwk T.T
gue rasa, oceanite di tahun 2025 ini bakal lebih 'gelap' dan karakter Rakai somehow mungkin akan dianggap bendera hitam oleh sebagian orang wkwk
dah gitu aja buat chapter satu ini. makasih banyak sudah baca.
***
Find me on:
Instagram - rennozaria
Karyakarsa - renitanozaria
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro