Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Seventh Scence

Lyra sedang berjalan menuju perpustakaan ketika dia melihat Anna. Sebenarnya, itu bukan masalah. Lyra akan mengabaikannya andai di belakang gadis itu tidak ada Cindy dan dua orang temannya.

Ini bakal jadi kayak kemaren.

Lyra menoleh ke sana ke mari, mencari orang yang mungkin akan membantu Anna. Namun, dia tidak menemukan siapa pun. Koridor itu entah mengapa menjadi sepi.

Apa gue harus bantu?

Dia bisa langsung masuk ke perpustakaan yang jaraknya hanya tinggal lima langkah, tapi gadis itu malah terdiam di tempatnya, bingung harus melakukan apa. Pikirannya menyuruhnya pergi, menghindari masalah. Namun, tubuhnya terpaku di sana, kakinya bahkan hampir melangkah mendekati Anna.

Cindy sudah lebih dekat dengan Anna sekarang. Hanya tinggal beberapa langkah.

"Mereka nggak berhak ditindas, Ra. Mereka bukannya habis ngejahatin orang, tapi kenapa mereka diganggu?"

Menarik napas, Lyra melangkah maju ketika jarak Cindy sudah selangkah dari Anna.

Tepat ketika Cindy menjulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Anna, Lyra berkata, "Lo ditunggu Bu Harja di ruang musik."

Di hadapan Lyra, Anna mengernyit bingung. "Ada apa emangnya?"

Lyra mengendik samar, tidak ingin memikirkan alasan lain lagi. Jantungnya mulai berpacu. Dia menghindari tatapan Cindy yang melotot seolah ingin membunuhnya.

"Perasaan aku enggak punya janji apa-apa deh, sama Bu Harja," gumam Anna, yang malah membuat Lyra gemas.

"Pergi. Lo tau gimana sifatnya Bu Harja," kata Lyra datar meskipun di dalam dadanya sesuatu tengah terlonjak-lonjak oleh adrenalin.

Anna merapatkan bibirnya, kemudian berkata, "Oke deh, aku ke sana sekarang. Dia berbalik, dan langsung berhadapan dengan Cindy.

Cindy berkacak pinggang, melotot menatap Anna. Yang ditatap hanya menunduk saat melewati Cindy.

Lyra berbalik, hendak kabur ke perpustakaan sebelum Cindy menyadarinya. Namun, Cindy sudah mengawasi.

"Lo ngibul, ya?" tembak Cindy dengan tepat.

Terpatah, Lyra berbalik lagi sambil mengernyit. 

"Gue tau lo baru aja dari kelas. Mana mungkin lo tau tentang itu? Dan, demi Tuhan, Ruang Musik? Ada yang bisa lebih gak masuk akal lagi?"

Lyra menatap Cindy dengan datar. Mengendikkan bahunya lagi, Lyra berbalik, kembali berjalan menuju perpustakaan. Jantungnya masih berdetak kencang. Akan sangat sulit menutupi ekspresinya agar tidak ketahuan.

Sampai di perpustakaan yang begitu sepi, dia bersandar di tembok. Dia tidak berharap bahwa Cindy akan seratus persen percaya padanya. Dia tahu aktingnya tadi sangat payah.

Kemudian, gadis itu teringat pada Anna. Dia nggak mikir kalau Bu Harja manggil dia beneran, 'kan?

Lyra mengerjap, kemudian keluar dari perpustakaan secepat kilat. Setengah berlari, dia menuju ke ruang musik.

Sampai di sana, Lyra melihat Anna sedang duduk di salah satu kursi. Lyr menghampirinya.

"Balik ke kelas," katanya pada Anna.

"Hah? Katanya Bu Harja manggil aku?" Anna mengernyit bingung.

Lyra mengembuskan napas kasar. " Lo percaya?"

"Aku enggak ngerti maksudmu."

Lyra mendekati Anna, menarik tangannya agar gadis itu berdiri. "Gue cuma mau nolong lo dari Cindy tadi. Balik sekarang."

Tatapan Anna tak terbaca. Hening selama beberapa detik, kemudian Anna memecahnya dengan berujar, "Makasih, Ra." Gadis itu tersenyum.

"Sebenernya, lo nggak perlu bantu gue," lanjutnya. "Gue nggak mau lo jadi sasaran Cindy cuma karena gue."

Anna tersenyum lagi. Dia mengangguk samar pada Lyra, kemudian berjalan ke luar Ruang Musik dengan kepala tertunduk.

Hening kembali menguasai ruangan itu. Lyra menatap ke sekelilingnya, memperhatikan isi Ruang Musik untuk pertama kalinya.

Ruangan itu, seperti yang seharusnya, penuh dengan alat musik. Di salah satu ujung terdapat satu set drum. Di bagian kiri ruangan ada piano beserta dengan beberapa kursi. Di ujung yang bersebrangan dengan drum, disandarkan beberapa gitar dengan jenis beragam.

"Gue ajarin lo main gitar aja, gimana? Mau nggak?"

Lyra mengerjap kala suara itu kembali terdengar di kepalanya. Dia mengingat saat itu, saat Satria datang padanya di dekat danau dengan membawa gitar.

Dia berjalan mendekati sudut itu, menatap gitar-gitar itu satu per satu. Di kepalanya, suara instrumen itu bermain, memperdengarkan melodi-melodi indah padanya, beserta dengan memorinya.

Saat itu, Satria datang dengan tawa dan napas yang memburu. Gitar berwarna kayu di tangannya terayun-ayun seiring dengan langkahnya.

Pemuda itu kemudian mengempaskan tubuhnya di samping Lyra. Tawa kecil masih terdengar dari bibirnya.

Lyra tersenyum, heran kenapa manusia di sampingnya ini senang sekali tertawa. Dia memeperhatikan rahangnya yang tegas—

Dan tertegun.

"Sat, lo diapain lagi?" tanya Lyra setengah panik.

Rahang Satria sedikit bengkak dengan warna kebiruan. Dan ketika Lyra memperhatikan dengan lebih detail lagi, dia melihat sedikit darah kering di sudut bibir Satria.

Namun, pemuda itu malah tertawa. "Biasa. Papa ngamuk. Lo pasti ngakak kalo liat mukanya yang merah banget kayak setan itu, Ra." Tawanya makin keras.

Lyra menggigit bibir. Apa temannya ini masih waras?

"Kenapa lagi sekarang?"

"Yah, biasa juga. Papa ngeliat gue main gitar, terus ya ... begitu." Satria mengendikkan bahu, bibirnya masih tersenyum konyol.

Menghela napas, Lyra bangkit berdiri. Dia baru selangkah untuk pergi, tapi Satria menahan tangannya.

"Mau ke mana sih, Ra? Masa gue dateng lo langsung pergi. Temenin dulu kek, hibur hati yang lara ini." Satria menatap Lyra dengan tatapan memohon.

Sok imut. Jijik banget gue. Kok bisa ada cowok kayak begitu, ya?

Lyra menyentakkan tangannya. "Lo mau minta hansaplast, kan?"

Satria nyengir.

"Gue nggak bawa sekarang." Lyra mulai berjalan menjauh. "Gue ambil di rumah, sekalian sama es batu."

Satria menarik tangannya lagi, mendudukkannya kembali. Lyra menggeram, mulai kesal. "Kenapa sih, Sat?"

Cengiran Satria melebar. Cengiran yang berubah menjadi ringisan dalam sedetik. Lyra merapatkan bibirnya ketika melihat itu. Sudut bibir Satria pasti terasa sakit untuk tersenyum.

"Sat, gue harus ambil hansaplast sama es batu. Lo parah."

"Jangan. Nggak usah." Satria menyentuh tangan Lyra. "Orang tua lo mungkin aja udah pulang. Ntar malah ada pertumpahan darah lagi." Dia nyengir lagi, kemudian meringis lagi.

Lyra menghela napas. Satria benar. Dia berusaha berada di rumah sesedikit mungkin. Dia tidak ingin melihat 'pertumpahan darah' yang dimaksud Satria lagi.

"Terus lo gimana?"

"Hmm ... gimana, ya?" Satria mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dagu. "Biarin aja, deh. Lo gue ajarin main gitar aja, gimana? Mau nggak?"

KRIIINGGG!!!

Lyra tersentak dari lamunannya. Gitar yang dia pegang jatuh berdebam. Lyra menatap gitar itu nanar.

Kok gue bisa pegang gitar itu, sih?

Lyra mengerjap, memaksa dirinya tersadar. Waktu istirahat sudah selesai. Dia harus masuk ke kelas.

"Ciee, yang udah bisa main gitar. Kapan-kapan ikut gue ke cafe, yuk. Temenin main gitar. Eh, nyanyi sekalian, biar setan pada pergi, ngeri sama suara lo."

Itu ... beerapa minggu sebelum—

Lyra menggeleng, menjauhkan memori itu agar tidak semakin muncul. Dia mengembalikan gitar yang tanpa sengaja diraihnya tadi pada tempatnya. Kemudian, dia berbalik, mulai berjalan ke luar dengan setengah melamun.

Dia sebenarnya ingin tetap di sana–bermain gitar selama beberapa menit. Namun, dia tidak ingin terlambat masuk kelas pada saat Bu Harja mengajar. Risikonya terlalu besar.

Gue bakal balik ke sana lagi ... mungkin. Apa gue masuk eskul musik aja, ya?

Dia menggeleng lagi.

Konyol. Fokus aja sama materi tekanan hidrostatis di fisika.

Lyra baru sampai di tengah raungan ketika sebuah suara terdengar. "Lo ngapain di sini, Ra?"

Mengernyit, Lyra mendongak, menatap sepasang mata hitam yang terlihat santai. Lyra mendengkus ketika mengenali wajahnya. Dia memalingkan muka, mulai berjalan melewati sisi kanan Alfa.

Namun, pemuda itu menghadang jalannya. "Ra, bisa ikut gue sebentar? Ada yang perlu gue omongin." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro