Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eight Scence

"Fa, gimana kabar itu cewek?" tanya Ferdi sambil menyeringai.

Koridor sudah mulai sepi. Bel tanda masuk baru saja berbunyi. Alfa dan Ferdi segera pergi setelah suara bel itu terdengar. Bukan karena takut terlambat sebenarnya. Namun, mereka hanya ingin menghindari sesuatu.

Mood Alfa hancur karena gagal mendapatkan soto porsi pertamanya Mak Nyak. Dia dan Ferdi akhirnya memesan batagor pada Mang Parman, yang tidak keberatan jika proses administrasi dilakukan seusai mereka makan.

Namun, sebelum mereka selesai makan, bel berbunyi. Ferdi dan Alfa bertatapan. Maksud tatapan Alfa adalah, "Fer, cepetan bayar, terus masuk kelas. Habis ini pelajarannya Pak Adi."

Namun, yang Ferdi pikirkan adalah, "Kabur buruan, mumpung lagi agak rusuh, jadi enggak usah bayar. Bakal lolos dari Mang Parman kita."

Dan gerakan Ferdi lebih cepat. Dia menarik tangan Alfa, menyentaknya bangkit. Kursi yang mereka duduki jatuh berkelontang di lantai. Mejanya oleng, membuat dua buah mangkuk serta gelas di atasnya jatuh dan pecah.

Ferdi menarik Alfa berlari, menjauh dari keributan yang mungkin saja mereka timbulkan. Alfa menyentakkan tangannya, memilih untuk berlari sendiri. Kemudian, dia tersadar.

Dia menghentikan Ferdi yang masih berlari, menyuruhnya berjalan santai saja. Mang Parman tidak mungkin mengejar mereka. Dia menoleh ke belakang. Sepi. Benar saja. Tidak ada yang mengejar mereka.

Beberapa langkah mereka lewati dengan hening. Kemudian, Ferdi memecahnya dengan menanyakan hal itu.

Alfa mendengkus. "Cewek yang mana sih, Fer?"

"Loh? Lupa lu? Emang ada berapa cewek lu?"

"Gue nggak punya cewek, Fer. Mainin cewek tuh bagian lu "

Ferdi terkekeh. "Enggak tau aja sih lu, Fa. Enak mainin cewek tuh."

Alfa menghela napas. Kenapa pula manusia di sampingnya ini sangat senang mempermainkan gadis-gadis?

"Gue heran, Fer. Kenapa sih, lo kayak begini?" tnya Alfa sambil menatap Ferdi.

Yang ditanya mengernyit. "Kenapa gimana? Kenapa gua?"

"Lo udah punya inceran. Kenapa nggak langsung nyamber yang itu aja? Kenapa kudu mainin cewek lain mulu?"

Ditanya begitu, Ferdi cengengesan. "Susah disamber inceran gua tuh. Dikit aja dideketin, digampar gua. Sakit tak berdarah itu, Fa."

"Jadi ceritanya lo takut digampar sama Cindy?" Alfa menaikkan alisnya.

"Yaelah. Udah pernah gua digampar. Sakit. Makanya agak ngeri gua." Ferdi kembali nyengir.

"Yah, lo perlu usaha keras buat dapetin Cindy." Alfa mengalihkan pandangan ke depan. "Tapi kalo lo gini terus, gue jamin lo bakal gagal."

Ferdi baru membuka mulutnya ketika terdengar suara gedebug yang cukup keras. Alfa dan Ferdi bertatapan. Mata Alfa melebar dan mata Ferdi melotot.

"Apaan tuh, Fa?" ujar Ferdi. Matanya jelalatan ke sana ke mari, mencari sumber suara.

Alfa menatap lantai putih yag dia injak. Suaranya agak teredam, tapi masih terdengar keras.

"Wah, Fa. Deket gudang ini. Setannya jangan-jangan? Setan yang katanya mukanya ada di pantat?" Ferdi bergidik, kemudian mencengkeram bahu Alfa. "Fa, kabur buruan."

Alfa memutar bahunya, menyingkirkan tangan Ferdi. Nggak mungkin setan. Ini siang bolong.

"Fer—"

Asem. Gua ditinggal lari. Mana larinya kayak bencong lagi.

Mengabaikan Ferdi, Alfa menatap ruangan bertembok putih di sampingnya. Suara tadi pasti berasal dari sini. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, mencapai pintu.

Alfa memperhatikan ruangan yang tidak asing itu. Ruang Musik, tempat biasanya dia berdiam saat istirahat ketika Ferdi sedang bolos sekolah. Biasanya, dia bermain gitar di sana, menerapkan apa yang diajarkan temannya dulu.

Sekarang, dia kembali memerhatikan ruangan yang sudah dihafalnya itu. Piano di sisi, panggung kecil dan papan tulis di depan, meja dan kursi di tengah, drum di sudut belakang, serta beberapa gitar dan biola di sudut yang—

Eh, ada yang beda.

Ada orang di sudut gitar itu. Seorang gadis. Gadis itu mengambil gitar yang tergeletak di lantai, kemudian menyadarkannya di tembok.

Oh, jadi ini. Tadi itu suara gitar jatuh. Dan cewek ini bukan setan. Gue lihat kepalanya ada, pantatnya juga masih bagus di tempat seharusnya, nggak ada benjolan yang kelihatan kayak muka—

Eh, ngapain juga gue lihatin pantat cewek?

Gadis itu berbalik, berjalan ke arah Alfa, hendak keluar. Alfa menahan napas saat mengenalinya. Gadis inilah yang dinantikan Alfa. Dia menanti sebuah kebetulan lagi yang bisa membawanya kepada gadis ini.

Lyra menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Kepalanya menunduk, entah melihat apa. Dia sudah beberapa langkah dari Alfa, dan tampak tidak menyadari keberadaan Alfa sama sekali. Jadi, Alfa memutuskan untuk mengatakannya segera.

"Lo ngapain di sini, Ra?"

Gadis itu mengerjap. Dia menatap Alfa, lalu memalingkan muka. Kemudian, tanpa menjawab, dia berjalan ke sisi Alfa, hendak melewatinya.

Tentu saja Alfa menghadang jalan Lyra. Dia perlu bicara dengan gadis ini. "Ra, bisa ikut gue sebentar? Ada yang perlu gue omongin."

Lyra mendengkus. Dia melangkahkan kaki ke sisi Alfa yang lain, hendak menghindar lagi. Lagi, Alfa menghadangnya.

"Ra, please. Ini penting, bahkan lebih penting dari soto porsi pertamanya Mak Nyak! Lo harus dengerin gue. Please ...."

Lyra tetap hendak berjalan kembali. Alfa harus menghadangnya, meskipun tahu bahwa itu hanya akan membuat Lyra kesal setengah mati.

Lyra mengembuskan napas keras, kemudian memegang dada Alfa. Alfa membeku di tempat. Jantungnya seolah copot, tapi kemudian berdetak seribu kali lebih kencang dari biasanya.  Menganga, dia menatap Lyra yang masih saja berwajah menbatu.

Tanpa dia duga, Lyra mendorongnya, lalu berjalan menjauh.

Setelah Alfa menyadari apa yang sebenarnya Lyra lakukan, dia segera menyusul Lyra yang sudah sampai di ambang pintu. Jantungnya masih bergemuruh. Napasnya sedikit memburu. Namun, dia tidak bisa kehilangan Lyra sekarang.

Alfa mencengkeram tangan Lyra, menahan gadis itu di tempat. Lyra berusaha menyentakkan tangannya, tapi Alfa jelas lebih kuat. "Ra, gue cuma mau tanya."

"Lepasin," desis Lyra, masih berusaha melepaskan tangannya.

"Gue lepasin, tapi lo harus dengerin gue dulu."

Lyra menatap Alfa garang. Meski begitu, Alfa melepas cengkeramannya pada tangan kecil Lyra. Gadis itu mengusap tangannya yang baru saja Alfa lepaskan dengan tangannya yang lain. Alfa bisa melihat bekas kemerahan pada tangan Lyra, dan seketika perasaan bersalah menguasainya, dia sejenak lupa dengan apa yang membuatnya harus melakukan itu pada Lyra.

"Gue minta ma—"

"Kalian! Kenapa masih di sini saat jam pembelajaran?!"

Mereka berdua tersentak, menatap seorang wanita paruh baya yang berdiri di dekat Ruang Musik.

"Dasar anak zaman sekarang. Cepat masuk kelas!!!"

Alfa masih terkejut dengan kehadiran salah satu guru BK itu sampai tidak sadar saat Lyra beralik badan dan berlari menjauh.

Alfa menoleh ke tempat di mana Lyra berdiri beberapa detik yang lalu. Kosong. Dia menoleh ke belakang, dan matanya menangkap bayangan punggung mungil yang makin lama makin mengecil sebelum hilang di tikungan.

"Kamu itu, ya! Kalau disuruh balik, ya balik, jangan malah bengong!"

Guru BK itu mengulurkan tangannya ke kepala Alfa, hendak menjewer telinganya. Namun, Alfa sudah lebih siap. Dia mengelak ke sisi, kemudian berbalik dan berlari tunggang langgang.

Dia berbelok ke koridor tempat Lyra menghilang. Namun, dia tidak bisa menemukan sosok gadis itu.

Alfa menggeram, kemudian memutar tubuh dan berjalan menuju kelasnya sediri.

Sialan. Udah telat, ketemu guru BK, ditinggal kabur, nggak dapet jawaban lagi. Bener kata Ferdi, cewek tuh ngeselin. []

___________
Ah, makasih buat Cecek harianimey yang udah bantu aku, kasih aku hidayah buat nganuin Bab ini waktu selingkuhanku pada off. Sip, selingkuhanku nambah atu. Buaahahaha.

Yah, oke. Aku tau menjelang akhir part ini anuan banget. Hahahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro