Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG

Asap tebal membumbung tinggi, menembus pagar dimensi. Jeritan mereka, terdengar merintih kesakitan memanggil sang penguasa langit. Memanjatkan doa dengan tubuh gemetar, menahan rasa takut. Kobaran api melahap rumah kecil berbilik bambu, puluhan ekor ternak mati, terpanggang di dalam kandang.

Kerajaan paling berkuasa pada tahun 368 Masehi pun, terkurung si jago merah. Aroma darah menyatu bersama tanah Jawa. Terbawa tiupan angin muson timur yang datang di musim kemarau. Lima kesatria Garuda Sakti, turun dari Langit Caang. Kepakkan sayap kokoh, mengibas pepohonan rindang dan kaki-kaki mereka meretakkan tanah.

“Sialan, batu Suwarga berhasil membuka kekuatan Naga Pasundan!” ucap pria bersayap merah dengan paruh hitam pekat.

Pria tinggi dengan sayap berbulu emas, menatap bengis ke arah naga besar berwarna hitam yang berada di puncak Kerajaan Tarumanagara. Ia terbang bersama empat kesatria. Namun, matanya tidak luput dari manusia-manusia lemah yang menjerit, meminta pertolongan.

“Biarkan, aku yang melawan dia. Terbanglah kalian, menolong mereka,” perintahnya dengan suara bariton yang tegas, meski tatapan mata hanya tertuju pada satu fokus.

Tiga kesatria lain, menganggukkan kepala, menerima perintah dari pemimpin kesatria Garuda Sakti. Namun, pria bersayap merah, masih terdiam, perasaan cemas menusuk masuk ke hatinya, “Hamba tidak akan membiarkan Pangeran Nāgāntaka, berjuang sendirian.”

Nāgāntaka Putra Khageśwara, putra penguasa Kerajaan Damarlangit yang berada di atas pulau Jawa, pemimpin kesatria yang tangguh, gagah dan berani. Ia menoleh ke arah sepupunya, menepuk pundak pria bersayap merah, “Jangan cemas, aku akan kembali dengan selamat. Pergilah, bantu mereka memadamkan api, bawa semua penduduk menjauh dari Kerajaan Tarumanagara.”

“Tapi, hamba sudah bersumpah akan selalu bersama baginda.” Pria itu tidak ingin pergi, firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi.

Pria dengan sayap emas menghembuskan nafas panjang, “Kau sedang berbicara denganku. Aku Nāgāntaka putra tunggal Raja Khageśwara. Aku akan baik-baik saja.”

“Tapi, Baginda tidak membawa Kujang Emas, bagaimana bisa melawan Naga Pasundan?” tanya pria itu, sebelum tubuhnya dihempaskan oleh kepakkan sayap Nāgāntaka.

Nāgāntaka terbang secepat kilat, menembus asap tebal, menyerang naga besar yang memiliki kekuatan dari kalung Batu Suwarga. Batu suci milik Kerajaan Damarlangit yang dicuri oleh penghianat. Pria berkulit sawo matang itu, menendang kepala naga dengan kaki kanannya. Naga tersungkur ke tanah menahan rasa sakit, tetapi ia kembali bangkit dan menyemburkan api dari mulut. Nāgāntaka berhasil mengelak, setelah terbang memutar tiga ratus enam puluh derajat. Nāgāntaka berusaha menarik kalung Batu Suwarga dengan kedua tangan kekarnya, tetapi sang naga mendorong Nāgāntaka dengan kepala. Nāgāntaka terjatuh ke tanah dan membentur pohon. Kepala mengeluarkan darah, menetes ke tanah. Aroma darah Garuda tercium oleh empat kesatria lain. Mereka bergegas membawa semua penduduk Pulau Jawa ke Langit Caang, mengantisipasi tenggelamnya Pulau Jawa dari pertarungan.

Nāgāntaka bangkit berteriak dengan keras, hingga semua burung-burung terbang menjauh, “KAMU HARUS MATI!”

Nāgāntaka kembali menyerang dengan kekuatan api yang ia miliki, pertarungan api dengan api, berhasil menghanguskan seluruh Pulau Jawa. Nāgāntaka membakar ekor naga, sang naga besar tidak tinggal diam, ia menyemburkan api ke arah Nāgāntaka. Nāgāntaka menangkis serangan api dengan sayap kokohnya.

Namun, lambat-laun sayap Nāgāntaka terbakar. Kekuatannya mulai melemah, ia memutuskan kembali ke Kerajaan Damarlangit untuk mengambil Kujang Emas. Naga Pasundan yang melihat lawannya pergi, mengepakkan sayap dan mengejar Nāgāntaka.

“Aku tidak bisa kembali ke Kerajaan Damarlangit, jika ia mengikutiku. Aku harus menyegel Batu Suwarga, sebelum Pulau Jawa hancur,” Nāgāntaka berbalik arah, terbang dengan sayap yang berlubang dan penuh darah.

Kesatria Garuda Sakti yang lain, tengah berusaha memadamkan api dan menolong rakyat Kerajaan Tarumanagara. Mata Nāgāntaka mencari tempat yang aman untuk melakukan penyegelan. Ekor Nāgāntaka terbakar oleh semburan api.

Naga Pasundan masih mengejar dan menyerang dari belakang, Nāgāntaka yang sudah kepanasan, menahan sakit, karena luka bakar. Memilih Muara Sungai Citarum untuk melakukan penyegelan. Nāgāntaka masuk ke dalam sungai, mematikan api yang merambat naik ke atas tubuhnya. Ikan-ikan melompat ke atas, akibat kenaikan suhu air. Naga Pasundan melesat menyerang Nāgāntaka. Nāgāntaka membalas dengan kekuatan api. Mereka sama-sama terbakar, naga besar terus menyemburkan api saat Nāgāntaka berjalan semakin dekat untuk menyegel Batu Suwarga.

“Suwarga denge aing, suwarga tunduklah ka aing. Patuh!” Nāgāntaka berhasil memperlemah kekuatan Naga Pasundan. Namun, secara tiba-tiba penghianat Kerajaan Damarlangit datang.

Sudhahara, pria yang menjadi rival Nāgāntaka datang dengan membawa keris pusaka, secara cepat menusuk perut Nāgāntaka dengan sekali tusukan dari belakang.

“KAU SUDHAHARA, beraninya kau penghianat!” teriak Nāgāntaka saat keris itu menusuk semakin dalam. Nāgāntaka tidak mencabut keris itu, kedua tangannya mendekap Batu Suwarga yang dikalungkan ke Naga Pasundan.

“Tidak akan, aku biarkan kamu hidup!” Sudhahara terus menusuk perut Nāgāntaka, bahkan dengan teganya mengambil lima belati tajam untuk menusuk punggung, mengoyak bahu, menggores leher dan menusuk inti  kekebalan tubuh Nāgāntaka.

Darah segar muncrat dari mulut Nāgāntaka, membasahi leher Naga Pasundan yang hampir tertidur. Nāgāntaka terus melafalkan mantra dan doa, hingga Batu Suwarga yang berwarna emas, mulai berubah menjadi batu biasa. Di belakang Nāgāntaka, Sudhahara terus menusukkan belati tajam. Ketika, naga sudah terlelap. Nāgāntaka berbalik badan dan mendorong Sudhahara, tubuh Nāgāntaka penuh luka dan darah mengalir bersama air sungai.

“MATI KAU NĀGĀNTAKA!” teriak Sudhahara, mendorong Nāgāntaka ke dasar sungai bersama Naga Pasundan.

Sudhahara mengorok leher Nāgāntaka dengan belati terakhirnya. Kepala Nāgāntaka menggelinding seperti batu. Bau anyir menjadi aroma yang mendominasi sungai.

“AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN KAU BANGKIT LAGI, SAMPAI KAPAN PUN, AKAN KU BUAT HIDUPMU MENDERITA!” Sudhahara tertawa terbahak-bahak, lalu berusaha mengaktifkan segel Naga Pasundan, namun itu tidak mudah, karena darah Nāgāntaka berhasil menutupi Batu Suwarga.

Empat kesatria Garuda Sakti terbang mengikuti aroma darah, tetapi mereka tidak melihat jasad Nāgāntaka dan Naga Pasundan yang bersemayam di Muara Sungai Citarum. Hingga, Nāgāntaka bereinkarnasi ke dalam tubuh bayi manusia yang terlahir dari rahim wanita bisu.

“Emak, bapak Negen siapa?” anak laki-laki yang tengah membawa buku gambar bertanya kepada sang ibu, berharap menemukan jawaban.

Ibunya hanya tersenyum, sembari memeluk tubuh anak kecil itu. Lalu, suara-suara mereka terdengar dari luar pagar kayu, “Negen mah, teu boga ayah!”

Senyum yang terukir di wajah anak laki-laki berusia enam tahun, pudar seketika saat mendengar jawaban para tetangga. Kepalanya menunduk, menahan air mata.

Wanita muda berkebaya cokelat, langsung menggandeng anaknya masuk rumah. Ia berjongkok, menatap sang anak dan memintanya menarik sudut bibir, hingga kembali tersenyum lebar.

“Emak.” Mereka berpelukan dengan hangat, tanpa menyadari takdir yang sudah dituliskan sang pencipta, bahwa Negen, bukanlah manusia yang sesungguhnya.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro