Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2


Hari pertama sejak kedatangannya ke rumah besar sang Ayah, Zevan jelas merasa asing. Apalagi sama sekali tak ada sambutan dari penghuni rumah lainnya; Ibu tiri dan kakak tiri yang baru ia ketahui keberadaannya. Sejak tiba di rumah ini Zevan hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, menata barang-barang kemudian mengambil air minum di dapur. Ia sempat bertanya tentang beberapa hal seperti tentang peraturan di rumah besar ini kepada seorang wanita paruh baya yang ternyata seorang kepala pelayan, namanya Bu Lastri. Setelah itu ia kembali ke kamar dengan segelas air di tangannya.

Ini adalah hari ke lima sejak kedatangannya, tapi ia masih merasa asing. Saat makan bersama, entah itu pagi atau malam suasananya terasa kaku dan dingin. Zevan jadi bertanya-tanya, apa semua orang di rumah ini memiliki sifat yang sama seperti sang Ayah? Tapi, setidaknya ia sudah berkenalan dengan Ibu dan kakak tirinya. Zevan diam-diam berharap bahwa Rafa—kakak tirinya—akan menjadi teman mengobrol di rumah. Meski pada kenyataannya pemuda yang hanya lebih tua satu tahun darinya itu jarang menampakkan diri di rumah. Begitu pula dengan Ibu Rani—Ibu tirinya.

Zevan masih terpekur menatap pekatnya malam dari balik jendela, ia duduk di kursi dekat meja belajar. Jika ini di rumah neneknya, Zevan akan dengan senang hati mengendap-ngendap keluar rumah untuk menikmati angin malam. Berjalan-jalan untuk melihat kunang-kunang dekat perkebunan teh merupakan kegiatannya jika merasa bosan dan sulit tidur.

Zevan tidak mengalami insomnia, tapi ada beberapa hal yang kadang membuatnya sulit tidur hingga membuatnya harus melakukan sesuatu agar merasa ngantuk nantinya. Dan sialnya sekarang ia tidak bisa melakukan semua itu, dia tidak ingin di anggap pencuri atau malah tersesat dan tak bisa kembali ke rumah besar ini. Bagaimanapun juga ia masih baru disini, ia belum hapal lingkungan perumahan mewah ini.

🍃🍃🍃

Pagi hari Zevan sudah siap dengan seragam sekolah barunya, ia sudah mulai sekolah sejak hari kedua kedatangannya di rumah ini. Kabar lainnya adalah Zevan di masukkan ke sekolah yang sama dengan Rafa, hanya beda satu tingkat karena Zevan masih berada di bangku kelas dua SMA.

Setelah sentuhan terakhir pada dasi yang ia kenakan Zevan segera meraih tas sekolah sebelum keluar dari kamar untuk sarapan bersama. Sesampainya di meja makan ternyata keluarganya sudah berkumpul, meski masih sedikit canggung Zevan segera mengambil tempat di samping kiri Rafa.

"Maaf telat," ucap Zevan seraya menatap sang Ayah. Kepala keluarga Rafardhan itu hanya mengangguk sebagai balasan. Sementara di sebrang sana Rani menatap Zevan dengan tatapan tidak suka.

"Aku selesai." Rafa sudah bersiap beranjak namun ucapan Rendra menghentikannya, "ajak Zevan pergi sekolah bareng sama kamu sekalian."

Rafa menoleh sejenak pada Zevan, kemudian kembali menatap Ayahnya.

"Maaf, tapi aku gak mau. Dia bisa di antar supir, aku pergi." Rafa meninggalkan ruang makan dan menyisakan keheningan, Zevan menatap kepergian kakak tirinya dalam diam. Ia memaklumi sikap Rafa padanya, Zevan hanya anak dari istri lain seorang Rendra Rafardhan. Bahkan ia baru sadar, jika selama ini ia dan Ibunya di sembunyikan.

Ayahnya itu orang tersohor, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak cabang perusahaan. Memiliki istri simpanan jelas akan merusak pencitraannya.

"Yaudah cepat dihabiskan sarapanmu. Biar pak Surya yang antar kamu ke sekolah," ucap Rendra setelah cukup lama terdiam.

"Biarin aja dia pergi pake angkutan." Rani menatap angkuh ke arah Zevan, di matanya anak itu terlihat sama rendahnya dengan Ibunya yang sudah mati.

"Zevan baru beberapa hari disini, pasti belum tau rutenya."

Tak ingin membuat dua orang dewasa itu berdebat, akhirnya Zevan angkat suara, "aku udah selesai. Terimakasih sarapannya. Aku permisi." Zevan beranjak dari tempatnya kemudian melenggang pergi meninggalkan sepasang suami-istri yang kini saling tatap dengan arti tatapan yang berbeda.

🍃🍃🍃

Zevan memasuki kelasnya dengan langkah pelan, suasana kelas sudah mulai ramai. Beberapa dari mereka bahkan berlarian untuk memperebutkan sebuah buku yang Zevan yakini adalah buku tugas.

Orang kota ini tak beda jauh dengan teman-teman di sekolah lama. Begitu pikirnya.

"Van?" Seseorang menepuk bahunya. Zevan sedikit tersentak, ia menoleh dan mendapati Ardit teman sebangkunya. Pemuda yang lebih tinggi darinya itu segera merangkul dan membawanya berjalan cepat menuju tempat duduk mereka.

"Liat tugas dong. Semalem gue lupa ngerjain tugas," ucap Ardit begitu mereka sudah duduk dengan nyaman. Zevan berdecak pelan, tapi ia tetap mengeluarkan buku tugas dari dalam tasnya.

"Emangnya lo ngapain aja sampe lupa sama tugas? Payah banget." Zevan menatap Ardit yang kini sibuk menyalin jawaban.

"Gue sibuk, banyak yang nantangin gue main game. Susah nolaknya."

"Game?" Zevan menaikan sebelah alis, "kurangin deh main gamenya bisa bodoh beneran loh," lanjutnya.

"Udah deh diem aja ganggu banget." Zevan mendengkus, teman barunya ini ternyata cukup menyebalkan. Tidak seperti saat pertama berkenalan.

Kini keduanya terdiam, sibuk dengan diri mereka masing-masing. Zevan membuka buku tebal yang ia pinjam dari perpustakaan kemarin, ia tak terlalu suka membaca sebenarnya. Tapi demi ulangan harian yang akan dilaksanakan sehabis istirahat nanti, mau tidak mau ia harus belajar.

🍃🍃🍃

Hari beranjak sore, matahari sedikit demi sedikit mulai kembali ke peraduannya. Zevan baru tiba di rumah karena harus mengerjakan tugas kelompok bersama beberapa teman. Baru selangkah ia menaiki anak tangga menuju kamar, seseorang yang baru turun dari lantai atas menyenggol bahunya hingga Zevan terhuyung dan hampir jatuh.

Ia menatap kepergian orang yang baru saja menabraknya, Rafa. Kakak tirinya itu mungkin sedang menunjukkan rasa tidak sukanya akan keberadaan Zevan. Tapi lagi-lagi Zevan memaklumi dan ia yakin suatu saat nanti ia akan benar-benar di terima di rumah ini.

Zevan kembali melanjutkan langkah menuju kamar. Begitu ia membuka pintu kamarnya sesuatu membuat Zevan membelalakan mata terkejut. Bagaimana tidak? Kamar yang semula rapi kini berubah, kamar itu terlihat semrawut dengan bantal serta beberapa barang yang berserakan termasuk buku-buku milik Zevan.

"Apaan nih, kenapa jadi gini?" Zevan berucap lirih. Perlahan ia meraih bantal dan mengembalikannya ketempat semula. Dengan gerak gontai Zevan berusaha merapikan kamarnya seperti semula.

Saat ini ia tak ingin memikirkan apapun apalagi samapai beranggapan yang tidak-tidak. Anggap saja ini bentuk lain dari sambutan atas kedatangannya ke rumah ini.

Setelah beberapa menit berlalu akhirnya Zevan selesai merapikan kamar. Kini Zevan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, ia sudah mandi dan berganti pakaian. Pemuda itu hanya menatap kosong langit-langit kamar. Ia merindukan neneknya.

Ia ingin menghubungi sang nenek, tapi ia takut malah semakin rindu.



Maaf karena updatenya lama. Tapi cerita ini emang bakal slow update karena aku sering banget mager buat ngetik:')

Ini juga dalam mode revisi, tapi mungkin masih banyak yang perlu diperbaiki dan akan aku perbaiki lagi kalau ceritanya udah selesai

Tolong tinggalkan jejak berupa kritik dan saran. Terimakasih sudah menyempatkan baca ceritaku:)


R

evisi: 26 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro