Aku yang Tak Tampak
Aku. Hanyalah sesuatu yang biasa yang tidak begitu suka dengan hal yang menyenangkan. Aku lebih suka menjadi penonton, dibanding tokoh utama yang selalu ikut menyelesaikan masalah miliknya.
Ya, itulah aku. Hanya seorang penonton belaka.
Kali inipun sama. Aku hanya duduk dibawah pohon dan menantikan kisah yang menarik. Menyedihkan? Ya, aku memang semenyedihkan itu. Duduk diam, dan menikmati hal yang terjadi.
Satu hal yang selalu menarik perhatianku adalah dia. Dia yang selalu kujadikan tokoh utama dalam dunia milikku.
Dia yang selalu menyelesaikan masalah yang bahkan bukan miliknya.
Dia, orang yang selalu menyita banyak waktuku untuk mengetahui apa yang ia lakukan.
Aku benar-benar merasa diperdaya. Entah mengapa hanya dengan melihatnya, aku jadi bersinar. Walau dalam dunia yang bukan milikku.
Kriiingg kriingg
Dan aku benci suara sialan itu. Itu pertanda aku sudah kehabisan waktu menikmati tontonan yang seharusnya sudah kudapatkan. Andaikan para lelaki buaya itu tidak menggangu apalagi menggodanya.
Aku muak akan hal itu, sekalipun tidak ada yang bisa kulakukan, sebenarnya aku bisa lakukan apa saja.
Aku mendekat, dengan cara yang tidak biasa tentunya. Kutiup tengkuk kedua lelaki yang memegang lengan gadisku. Mereka sempat merinding, melepas cengkeraman. Lalu aku membisikkan suara lirih di telinga keduanya.
Jangan ganggu gadisku..
Sangat lirih. Hingga cukup untuk membuat mereka lari kalangkabut.
Gadis itu heran. Dan ikutan merinding, aku merasa tak enak karena ia jadi takut karenaku. Walaupun aku tidak yakin ia bisa melihatku. Padahal aku sudah sangat ingin tertawa melihat kedua buaya itu lari.
"Kamu, yang belakangan sering kerumahku ya?" tanyanya pelan.
Aku tersentak, kaget bukan main. Selama ini ia bisa melihatku? Aku memikirkan semua yang kulakukan. Datang kerumahnya, tidur disampingnya–tapi aku tidak mengintipnya mandi kok–
"Tidak usah heran begitu. Aku yakin kamu bukan roh jahat setelah kamu berniat menolongku tadi."
Aku diam. Tidak bisa menjawab.
"Jadi kamu sudah mati ya? Ah, kenapa aku malah bertanya, Aku sudah lama tidak berani bicara dengan arwah yang kulihat, tapi sepertinya menarik! Aku bisa melindungimu di rumah, hingga dirimu benar-benar bisa kembali kealam sana." katanya semangat. Aku mulai bingung, sepertinya ini bukan jalan yang seharusnya kutempuh. Ini bukan keinginanku, aku hanya ingin melihatnya, itu saja.
Ke alam sana?
"Kamu tidak mau ya? Kupikir kamu kerumahku untuk mencari perlindungan, sampai kamu tidur disamping–"
"Perlindungan?" potongku. Tidak mengerti aku perlu berlindung dari apa.
"Kamu baru jadi hantu ya? Jadi kamu gak tau? Keluargaku salah satu keturunan indigo. Banyak arwah yang minta tolong atau minta perlindungan kerumah. Dulu aku sering membantu mereka, tapi semenjak ayahku melarang, aku tidak melakukannya lagi." katanya dengan sorot sedih yang tidak kusukai. Kemana dirinya yang ceria dan selalu semangat itu? Rasanya orang yang selalu kutonton dan yang berada di depanku ini, berbeda. Bukan beda sifat tapi-entahlah, aku juga tidak mengerti.
"Tenang saja, kamu–"
"Oi, Rinka, kamu bicara dengan siapa?" tanya temannya dengan sorot ngeri, melihat gelagat aneh dari gadis yang dipanggil–Rinka– "Bel masuk sudah bunyi daritadi loh." katanya seakan Rinka tidak tahu menahu soal hal itu.
Rinka menutup mata, menguasai ekspresinya, "Bukan siapa-siapa kok. Aku akan segera ke kelas!" teriaknya. Rinka menatapku sembari menghela berat. Ia berbisik lirih "Tunggu aku ya." yang tidak bisa kutanggapi.
Gadis itu pergi. Aku tidak mengerti. Aku terjebak dalam sesuatu yang tak pasti, maksudku. Aku sadar mugkin aku sudah mati. Aku tidak ingat. Terlempar begitu saja. Lalu berada disini. Apa aku memang sudah mati? Itu sekedar pertanyaan yang terus menari. Kalau iyapun, aku tidak berniat mencari tau penyebabnya. Tidak berniat membalas dendam. Atau sebagainya. Menurutku jadi roh gentayangan itu cukup melelahkan. Jadi aku hanya menonton. Menjadikan gadis yang menurutku menarik sebagai objek baru duniaku. Namun ia malah menawarkan bantuan untuk mengirimku pergi.
Lalu aku harus apa?
***
"Lama menunggu?" kata gadis itu masih dengan sifat periangnya yang powerfull. Aku tersenyum tipis. Rasanya memang berbeda dari mengamati dengan terjun langsung. Menjadi pemeran yang nyata. Tapi, aku kan tidak nyata.
Aku menggeleng sebagai balasan. Sekali lagi menatap heran kearah Rinka yang tampak shock ketika pergelangan tangannya tidak dapat menyentuh pergelangan tanganku.
"Kau melupakan sesuatu?" tanyaku pelan. Sebenarnya kami cukup beruntung karena sekolah cukup sepi, hingga tidak mencurigai gelagat Rinka yang berbicara sendiri.
Rinka mendadak malu. Sepertinya memang dia melupakan fakta bahwa aku adalah arwah penasaran yang gentayangan.
"Ayo pulang." katanya. Ia tidak mengerti, aku tidak benar-benar butuh pertolongannya. Mungkin memang diriku nekat membuntutinya dan bahkan menetap disana. Tapi semata-mata hanya untuk menonton, tidak lebih.
"Kenapa?" tanya Rinka lagi, melihatku yang tidak kunjung bergerak. Masih melayang dengan tatapan kosong dan kebingungan sejuta pikir.
"Apa yang bisa kamu bantu memangnya?" tanyaku setelah diam berpikir jauh. Aku tidak tau kenapa mulutku melontarkan pertanyaan itu. Tapi memang itulah yang ingin kuketahui. Aku tidak tau apa masalah yang kupunya, dan aku tidak tau apa yang hendak ditolongnya.
Lagi-lagi Rinka menaikkan sebelah alis, "Kamu mau kealam sana kan?" tanya Rinka memastikan. Ini sudah jelas tidak sesuai. Memangnya aku bilang begitu?
Aku menggeleng. "Tidak-tidak. Kau salah paham. Kenapa kau berpikir demikian? Aku bahkan tidak tau dimana dan bagaimana itu alam sana. Aku tidak ingin minta bantuan apapun, dan aku tidak tau apapun tentang hidupku, tentang alam sana, dan keadaanku saat ini!" kataku tiba-tiba mengerang frustasi. Aku tidak peduli. Aku bingung, memangnya hantu bisa bingung? Aku malah tambah bingung sebenarnya aku ini siapa? Kenapa? Bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Tidak ada yang kuketahui. Tidak ada gunanya.
Rinka tampak terkejut. "Karena itu aku ingin membantu," kata Rinka tampak berusaha menyentuhku. Aku yang sedang dipenuhi emosi negatif melesat pergi meninggalkannya begitu saja.
Yang tanpa kuketahui juga menyimpan luka.
***
Aku memang lebih kelihatan seperti arwah gentayangan saat ini. Benar-benar tidak terurus. Dan saat itulah aku baru tau dari apa aku harus berlindung.
Banyak aura negatif yang sangat kuat. Arwah lemah sepertiku kemungkinan besar akan mendapatkan aura negatif yang lebih besar jika tidak menjaga jarak atau melindungi diri–setidaknya ya dari yang kuamati. Jika aku sampai terkena pengaruh buruknya. Tak ayal aku memang akan jadi arwah penasaran yang benar-benar gila dan menggentayangi dunia.
Memikirkannya saja sudah membuatku pening. Gengsi jika tiba-tiba harus kembali kerumah Rinka. Tapi aku tidak punya pilihan lain, jadi begitulah. Aku tengah melayang menuju kediamannya saat itu. Aku hanya berharap dia sedang tidur, jadi aku tinggal menetap disampingnya. Secara nyata aku sama sekali tidak tidur–hantu tidak tidur–aku hanya merasa aman disampingnya.
Aku melangkah masuk kekediamannya. Bukan melangkah, lebih tepatnya melayang menembus tembok kamarnya. Dan yang kutemukan, ia belum tertidur hingga selarut ini.
"Oh, sudah kuduga kau akan kembali." katanya menyesap kopinya perlahan. Aku merasa harga diriku benar-benar– seakan aku sangat memerlukannya- meskipun iya, atau tidak.
Rinka kembali menatap benda persegi dan menekan papan dibawahnya. Sekalipun aku hantu, aku tidak segaptek itu. Mungkin aku hanya kehilangan memori kehidupan, bukan nama-nama benda.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku mendekatinya.
Tatapannya begitu lurus dan serius, membaca kata perkata yang juga kubaca.
"Mencari kasus pembunuhan? Bisa saja kau korbannya." ujar Rinka santai.
Ekspresiku tidak bisa dijelaskan. Tentu saja aku kaget, kenapa dia bisa bilang begitu? Dari sekian juta kasus pembunuhan di dunia, aku hanya nol koma satu persen yang akan menjadi korban. Lagipula untuk apa? Kurasa bunuh membunuh tidak bisa disangkut pautkan.
"Kenapa mendadak tegang begitu? Itu hanya kemungkinan. Karena arwah yang tak sampai kealam sana, akan menuntaskan masalah yang tak selesainya di dunia nyata, entah itu permintaan maaf atau balas dendam. Karena kau lupa, kemungkinan kau mati terbunuh." kata Rinka lagi yang berhasil membuatku beku.
Aku baru menyadari ia tidak tidur hingga selarut ini karena diriku. Menuntaskan kasusku yang sama sekali tidak ada petunjuk apa-apa.
"Tidak usah terburu-buru, besok kamu sekolah kan? Aku tidak memaksamu. Biarkan saja waktu yang menjawabn–
"Semakin lama arwah berkeliaran di dunia, ingatannya perlahan akan hilang."
"Aku kan memang sudah lupa dari aw–
"Mereka akan jadi gila. Arwah hitam."
Saat itu juga aku kembali merinding. Padahal aku ini hantu. Entah kenapa aku mulai meragukan diriku sebagai hantu.
"Aku hanya memintamu untuk tidur, ini bisa dilakukan besok atau lain kali." ujarku tepat didepannya. Menembus benda persegi itu hingga wajahku dan Rinka hanya sekian senti.
Wajahnya tampak memerah. Lalu mundur begitu saja dan menutup wajah dengan selimut diatas ranjang.
Aku ingin mendekat tapi–
"Hantu tidur di sofa. Lelaki dan perempuan tidak baik berada di ranjang yang sama." katanya lagi.
Aku sangat ingin tertawa, perutku terasa geli. Perasaan apa ini? Rasanya hangat. Padahal hanya melihat wajahnya yang bersemu merah. Sebisa mungkin aku menahan tawa. Tapi tidak bisa, terlepas begitu saja.
"HAHAHAHHAH, kau malu aku seranjang denganmu?" tanyaku meledek. "Jangan lupakan fakta kalau aku hanyalah hantu yang tidak tidur." kataku lagi seakan membuatnya mati kutu. Itu lucu. Namun ia tiba-tiba saja melempar bantal. Dan beruntung, bantal itu melewatiku–menembusku begitu saja.
"Sudahlah, tidur saja sana." kataku sembari melayang ke sofa.
Rinka diam. Sepertinya dia sudah tidur. Kuharap begitu.
"Meoongg"
Atau tidak.
Kucing itu masuk melalui sela pintu yang tidak tertutup rapat. Lalu melompat naik keatas sofa.
Aku bergetar, tidak. Aku tidak takut, hanya geli. Apalagi itu kucing hitam.
Aku menahan pekik agar tetap mempertahankan jati diri lelakiku. Namun ia menatapku cukup lama lalu mengeong dengan brutal tiba-tiba.
"Ssstt, jangan berisik." katalu ngeri. Entah kenapa aku merasa memiliki rasa takut tersendiri dengan kucing hitam.
"Kau bisa membunuh satu kucing hitam lagi kan?"
Mataku membelalak. Apa itu tadi? Seakan ada ingatan yang terpintas, lalu memaksa hendak keluar.
"Hah, sial. Kenapa kau tidak bisa membunuhnya. Kau tau kan pertanda apa yang terjadi?"
"Uuh." kepalaku sakit. Rasanya benar-benar mengerikan.
Aku memutuskan terbang, keatas ranjang Rinka. Muka tidurnya perlahan membuatku tenang. Aku melayang seakan berbaring diatas ranjangnya. Ingatan tadi hanya sekilas. Mungkin aku harus tidur agar bisa mengingat sesuatu–ya, tidur yang dipaksakan–
"Jangan, jangan pergi."
Rinka meracau tidak jelas. Aku berharap ada sesuatu yang bisa menghilangkan kucing itu dari pandanganku. Menutup mata terlalu lama itu melelahkan.
"Kazu.." racau Rinka lagi. Aku tidak tau siapa yang disebutnya.
Namanya tidak asing. Barangkali aku kenal? Rinka menggeliat tidak nyaman. Aku menangkap hal yang tidak biasa. Air mata mengalir dari sudut matanya. Terbesit rasa untuk menenangkan. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Baru kali itu aku merasa sangat ingin pergi. Daripada melihatnya menangis begitu.
Tiba-tiba, aku melihat ada sesuatu yang aneh, Rinka keluar dari tubuhnya, maksudku, Arwahnya. Aku- Rinka sudah mati? Tidak bisa kuhilangkan rasa panikku saat itu. Rinka benar-benar keluar dari tubuhnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Rinka–arwahnya– membuka mata. Ia terkejut ketika sudah melayang begitu saja. Lalu menatap tajam ke arahku. "Kenapa tidak bangunkan aku?" katanya kesal.
Memangnya dia meminta?
Tiba-tiba wajahnya kembali merekah. Tersenyum penuh makna, "Ayo jalan-jalan! Eh, maksudku terbang-terbang." ia tertawa, lalu menarik tanganku menembus tembok kamarnya. Genggaman tangannya nyata. Sangat hangat dan menyenangkan.
"Bagaimana tubuhmu?" tanyaku setelah melayang beberapa saat. "Apa yang terjadi?"
"Astral Projection. Aku bisa keluar masuk tubuhku. Ya, aku memang tidak seperti manusia kebanyakan, aku punya banyak keanehan." katanya tertawa. Aku tidak suka tawa paksa itu.
"Tenang saja, rumahku ada pelindung khusus yang melindungi tubuhku dari para arwah gila."
Kedua sudut bibirku terangkat. Rasanya tidak sesak seperti kemarin-kemarin. Aku merasa tidak sendiri sekarang. Secara tidak langsung ia benar-benar membuatku seakan benar-benar membutuhkannya. Dan itu mengesalkan.
***
Tbc
31-7-22
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro