Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tujuh Belas

Apa yang manis dari usia tujuh belas jika tidak ada kamu?

Aku sudah berjanji, setidaknya pada diri sendiri, bahwa jika lima tak lewati enam maka tak ada enam yang lewati tujuh, tujuh yang berganti delapan, juga angka – angka lain yang saling bersambung menghimpun dua menggantikan satu. Jadi ketika enam belas menyambut dan kau tak kunjung hadir, rasanya aku bisa mencium bau hangus dari gula – gula harapan yang terbakar. Gosong. Meninggalkanku lengket dengan jejak hitam, kelabu angan beraroma manis tetapi pahit. Sudah kubilang bukan? Aku menunggu. Namun tetap saja, kau tak datang. Tetap saja, kau ingkar janji. Padahal lilin – lilin bersemat api sudah menyala, menunggu sebaris doa sebelum sinarnya yang lemah kau buat padam. Padahal...

"Agni, aku tidak menganjurkanmu melamun." Pria itu meletakkan beberapa pil ke dalam genggamanku. Matanya yang tajam mengawasi, memincing ketika aku tak kunjung menelan obatku. "Agni, minum obatmu!" titahnya, tak terbantah. Segelas air yang disodorkan hanya kuteguk separuh. Sambil berusaha mengenyahkan rasa air yang membuat lambungku mual, aku memandangi sosoknya. Pria asing yang sudah setahun mengatur paksa kehidupanku ini sedang mengambil jurnalnya. Bibirnya menyenandungkan sebuah lagu asing, yang aku tak suka. Ia menarik sebuah kursi mendekatiku, duduk dan kembali bersenandung. Tuhan, aku tidak menyukainya. Aku tidak menyukai pria itu.

"Kenapa..." ucapku begitu saja, "Kenapa kamu selalu memaksaku minum obat?"

Dia menoleh. Sehembus napas lelah yang lepas dari bibir, segera ia ganti dengan seulas senyum. "Agar kamu cepat sembuh? Sudah berapa kali kamu bertanya dan saya menjawab pertanyaan ini?" Pria itu menelisik bola mataku yang terasa buram. Sekali lagi ia mengatakan, "Jawabannya tetap sama, Agni. Agar kamu cepat sembuh." Pria itu mengalihkan perhatian pada jurnalnya, terlihat sedikit lebih serius. Ia berdeham, "Kita mulai se–"

"Aku tidak ingin minum obat," ucapku lirih. Aku tidak ingin sembuh.

"Sebentar lagi mereka akan merayakan ulang tahunmu yang ke-17," ujarnya lembut, mencoba bersabar. "Apa kamu sama sekali tidak tertarik dengan rencana itu?"

"Untuk apa?" Pandanganku beralih ke luar jendela, menolak kontak mata. "Aku tetap tidak mau minum obat. Aku bahkan tidak menginginkan perayaan itu." Aku menutup mata erat – erat, "Memangnya apa yang spesial dari usia tujuh belas tahun? Memangnya kenapa kalian ingin aku merayakannya?"

Raka, pria itu, hanya menatapku lama. Tentu saja ia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan sekarang. Toh aku memang selalu memikirkan hal yang sama selama satu tahun ini. Aku selalu mengucapkan hal yang sama, mengulanginya seakan sebaris kalimat itu adalah mantra yang dapat menarik ujung detik kembali mundur. Padahal tidak. Kenyataannya, aku tetap terjebak di sini dengan jarum – jarum detik yang melubangi janjiku. Bahwa seharusnya aku tidak berada di sini, jika kamu tidak ada. Aku mendengar Raka berdeham, seketika mengangkat kepalaku untuk melihat raut wajahnya. Seraya memakai kembali jasnya, ia bergumam pelan, "Tidurlah, kita lanjutkan nanti saja."

Sungguh. Bahkan aku tidak ingin melanjutkan apa pun.

***

Panas. Membakar. Lidah api menari bersama angin, menciptakan ritme liar. Senggama dengan kayu – kayu tua yang membangun tempat ini. Asap mengikis udara, meramunya dalam pekat dan perih debu. Sementara merah melingkupi ruangan ini, aku masih terdiam. Bau manis itu, gula dan cokelat hangus, ku endus sampai habis. Hingga sesak memenuhi paru – paru yang merindukan oksigen. Jantungku berdebum keras, memberontak. Sedangkan aku keras kepala menunggumu. Iya, menunggu. Di titik itu hingga aku ikut hangus terbakar.

"Agni," sapanya, meruntuhkan lamunanku. Aku melihat pandangan sendunya menghunusku, membuatku lagi – lagi hanya bisa menghembuskan napas panjang. Pria itu menarik kursi, deritnya membelah ruangan. "Apa kabarmu hari ini?" Raka tersenyum tipis, tampak tidak segalak biasanya. Dari sini aku bisa melihat tangis yang menggantung di ekor matanya. Namun mati – matian ia tahan. Aku bisa melihat jejak – jejak air matanya, yang bahkan tak tumpah di pipi, mengering. Menunjukkan aura sedih itu pada siapa saja yang mampu melihatnya. Raka berdeham, lalu melanjutkan, "Semoga hasil pemeriksaan hari ini bisa melegakan hati kita semua." Pria itu membuka jurnalnya, kemudian memulai pertanyaan pertama, "Apakah kamu sudah minum obat setelah makan?"

"Raka," timpalku seraya menerawang langit – langit, "Apa kabarmu hari ini?" Aku mengingat hawa panas yang hampir membakarku saat itu, seketika merinding. "Apakah..." ucapku ragu, "... Jika aku minum obat dengan baik, bisa membuatmu merasa lebih baik?"

Pria itu terdiam. Perlahan tapi pasti, seulas senyum ia paksa terbit di bibir. "Saya baik – baik saja, Agni," jawabnya lirih. Aku melihat tangannya bergerak mencatat sesuatu, sedangkan bibirnya masih terus berujar, "Hanya sedikit sedih. Hari ini tepat satu tahun dia pergi meninggalkan dunia," Raka menghela napas, "Hari ini, tahun lalu saya telah gagal menyelamatkan apa yang seharusnya berhasil saya selamatkan."

"Dia bahkan tidak berhasil melewati umur 16 tahun," sahutku spontan. Lidah – lidah api menyapaku lagi. Aku mulai mengingat kejadian itu, merinding tiap membayangkan panasnya menjilati kulitku. Merinding, karena ada yang hangus akibat peristiwa itu. Seketika mual, mengingat kepala batuku telah membakar orang lain. Susah payah aku membuka suara sementara jari – jariku yang dingin gemetar hebat, "Pasti berat rasanya, ketika ayah dan ibu memintamu menanganiku." Aku menelan kelu di pangkal tenggorokan, setengah berbisik, "Apa kamu pernah berpikir bahwa seharusnya aku juga mati?"

Pria itu mengusap puncak kepalaku."Ssst, Jangan bicara seperti itu!" Raka beralih menggenggam tanganku, meremas dingin yang masih menyelimuti syarafku. "Agni, saya akan sangat senang jika kamu sembuh," ia tersenyum, "Dia pasti juga menyetujui ini dari surga."

"Dia mati karena aku, Raka."

"Jangan menyalahkan diri sendiri, Agni! Kita sudah bahas ini berkali – kali,"

"Tapi dia mati karena aku! Aku yang seharusnya mati waktu itu!"

"Diamlah, Agni!" bisiknya, bersamaan dengan lengan – lengan kokohnya yang sudah merangkum tubuhku dalam sebuah pelukan hangat. "Saya tidak akan biarkan kamu mati. Saya tidak ingin kamu mati,"

Aku terdiam. Perlahan – lahan, gemetar yang mengguncang sekujur tubuhku terusir dengan erat rengkuhannya. Jemariku yang menghangat bergerak, lengan – lenganku ikut memeluknya. Aku membayangkanmu melihatku dari atas sana. Sayang, asal kamu tahu, detik ini aku memikirkan lagi semuanya. Tangis ayah – ibu hari itu, jerit teredammu di ruangan itu, juga lengan – lengan Raka yang berhasil menyelamatkanku saat itu. Sayang, aku berpikir ulang. Apakah kamu akan senang jika aku menyusulmu? Ataukah kamu senang jika aku teguh melanjutkan hidup untukmu?

***

"Selamat pagi, Agni!" sapa Raka, seperti pada pagi – pagi yang lain. Aku tertawa kecil saat berhasil menebak apa yang selanjutnya ia katakan, "Sudah minum obat setelah sarapan?" Kemudian laki – laki itu mengeluarkan jurnalnya sambil berkata, "Semoga hasil pemeriksaan hari ini menjadi kado terbaik untuk kamu."

Aku mengangkat sebelah alis. Pria itu, masih asik membaca ulang jurnalnya, seketika tersadar dengan pandangan bertanya yang aku arahkan. Raka tersenyum lebar, "Ah, saya belum bilang ya?" ia tertawa, "Selamat ulang tahun, Agni! Happy sweet seventeen!" Pria itu duduk di sampingku, bersebelahan di tempat tidur. Aku bisa mendengarnya menghela napas panjang, kemudian menangkap matanya menatap dalam mataku. "Entah kenapa saya merasa over excited dengan perkembangan kamu akhir – akhir ini," ucapnya, seraya menyungging senyum hangat.

Aku ikut tersenyum, "Aku juga senang, Raka." Jemariku memberanikan diri menepuk bahunya, meminta perhatian lebih. Raka mengangkat alis, sedang badannya entah kenapa menegang. "Aku..." kataku, "Aku tidak tahu bagaimana caranya membalasmu." Pria itu membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Raka membiarkan aku melanjutkan, "Terima kasih, Raka. Dan maaf, tahun lalu karena aku, adikmu–"

"Jangan menyalahkan diri sendiri," sergah Raka sebelum aku sempat mengungkit peristiwa itu lagi. "Saya senang, kamu sembuh. Dengan begitu, saya berhasil menyelamatkan kebahagiaan orang tuamu," ia mengusap kepalaku, "Dan saya juga berhasil menjaga sesuatu yang berarti untuk dia. Yang pada akhirnya, berarti untuk saya juga."

Dia. Kamu. Aku memeluk Raka, hal yang akhir – akhir ini cukup sering kulakukan. Benakku memikirkan ulang semuanya, apa yang manis dari usia tujuh belas? Ada banyak. Bagiku, yang manis bukanlah gula – gula yang menyelimuti kue ulang tahun yang dibuat oleh ibu atau sekotak coklat yang ayah berikan sebagai kado di setiap ulang tahunku. Yang manis adalah perasaan ini, untuk tahu bahwa hidupku ikut andil dalam kebahagiaan seseorang. Yang manis adalah perasaan ini, untuk dimaafkan dan disayangi. Yang manis adalah, ketika aku sadar bahwa terjerat pada api yang sama tidak akan membuatmu tersenyum dari surga kepadaku.

"Terima kasih, Raka," ucapku, mengangkat wajah untuk menatapnya. Ah, ada satu hal lagi. Apa yang manis dari tujuh belas tahun, adalah untuk bisa melihat senyum Raka dan berlama – lama dalam peluknya.

***

END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro