Good or Bad Birthday
Apa ulang tahun itu penting?
Apa si arti ulang tahun itu?
Aku rasa ulang tahun itu tak penting karena hari ulang tahun itu hanya ilusi, tak ada yang penting di hari itu.
Inilah yang terus berada di benak Azka. Jika, tanggal dua puluh satu September kembali lagi di dalam hidupnya, hampir dua puluh kali tanggal dua puluh satu itu datang tak ada kesenangan dan kegembiraan yang selalu di rasakan oleh setiap orang setiap umur mereka bertambah.
Di setiap tanggal dua puluh satu, Azka sering merasa hari itu akan menjadi hari tersial di sepanjang 364 hari hidupnya selama satu tahun itu. Di tanggal dua puluh satu yang ke sepuluh kali di dalam hidupnya ia harus meneriam kenyataan pahit kedua orang tuanya bercerai, dan... di tanggal dua puluh satu yang ke sembilan belas kali hidupnya ia harus menerima satu kenyataan yang begitu pahit bahkan lebih pahit dari pada ia harus di tolak mentah-mentah dari universitas impiannya, dan kehilangan satu-satunya wanita yang begitu berati di hidupnya begitu berarti karena wanita itu adalah cinta pertamanya dan satu-satunya cinta yang ia miliki... ibu.
Dan... kini sebuah kesialan yang benar-benar membuatnya semakin membenci tanggal dua puluh satu yang selalu ada di dalam hidupnya. Kembali ke kota asalnya dan hidup bersama ayah yang sangat ia benci.
Ayah?
Apa pria yang sudah meninggalkan ibunya hingga menderita itu pantas ia sebut dengan panggilan ayah?
Rasanya, mendengar kata 'ayah' yang ada di benaknya hanya benci... mungkin lebih tepatnya cinta dan benci.
Cinta karena di dalam diri Azka ada darahnya yang mengalir.
Benci karena sikapnya yang brengsek menduakan ibunya selama bertahun-tahun.
Pantaskah ia dicintai oleh Azka?
Ataukah, ia memang harus dibenci oleh Azka?
--
Udara kota Bandung yang sejuk tak mampu membuat hati dan pikiran Azak sejuk. Sejak pertemuannya yang pertama kali setelah ayahnya meninggalkannya dan lebih memilih hidup bersama dengan wanita lain Azka lebih banyak terdiam.
Ayahnya begitu asik mengemudikan mobil mini choper merah membelah jalanan kota Bandung selama dua jam lamanya. Rasanya Azka ingin mati saja daripada harus memulai sebuah percakapan denga pria yang ia anggap sudah mati sejak lama.
"Apa kabar kamu, Ka?" akhirnya ayahnya mulai membuka percakapan dengannya.
"Seperti yang anda lihat, aku baik-baik saja bukan?" jawab Azka sinis.
Ayah tak bergemih sama sekali. Rasanya begitu sakit mendengar anak yang selalu ia bangga-banggakan bersikap seolah-olah seperti orang lain.
"Besok, kamu mau ayah anterin ke kampus baru kamu atau-."
"Maaf, saya ini bukan anak sekolah dasar lagi." Selak Azka.
"Oke baik lah tapi ayah belum-."
"Dan saya bisa naik kendaraan umum kok." Tambah Azka, "Jadi, anda tak perlu repot-repot mengantarkan saya lagi."
--
Setelah harus bermacet-macetan ria di jalanan kota Bandung yang tak berbeda dengan Jakarta akhirnya Azka tiba di rumah ayahnya ini. rumah yang ia tinggalkan sepuluh tahun lalu. Tak ada yang berubah sejak ia meninggalkan rumah ini masih sama bentuk, perabotan, dan segala hal tentang rumah ini masih sama seperti dulu.
Azka membawa koper dan barang-barangnya kedalam kamar yang dulu ia tempati. Lagi-lagi ia tercengang. Ternyata ayahnya sama sekali tak merubah semua isi dari kamar ini. setelah membereskan sedikit barang-barang yang ia bawa, tiba-tiba Azka terlintas sebuah keinginan untuk pergi ke taman bermain yang sering ia kunjungi dulu saat kecil.Susana rumah begitu sepi, nampaknya ayah sedang pergi kembali ke tokonya. Ini kesempatan besar bukan?
Taman bermain, rasanya Azka ingin mentertawai dirinya sendiri karena ini adalah sesuatu yang sangat menjijikan untuk seorang pria dewasa yang hari ini genap berusia dua puluh satu tahun berkeinginan pergi ketaman bermain, ini sangat mengelikan bukan? mana ada pria seusianya pergi ketaman bermain.
Setelah mengayuh sepeda tua yang berdebu di garasi rumahnya akhirnya ia sampai di taman bermain yang sudah lebih dari sepuluh tahun tak pernah ia kunjungi. Taman ini nampak tak terawat, bahkan cat-cat ayunan taman ini sudah pudar.
Azka duduk di atas ayunan yang sudah nampak kepedekan untuk seseorang dengan tinggi sepertinya. Ia memejamkan matanya sejenak merasakan semilir angin sore yang membuat kantuk kedua matanya. Di dalam hatinya ia berdoa, semoga di tanggal dua puluh satu yang ke dua puluh satu kalinya ini tak kesialan di hidupnya lagi.
"Kang, akang." Panggil seseorang.
Azka masih tetap memejamkan kedua matanya.
"Akang, akang bangun atuh kenapa tidur disini? Akang teh naon? Akang teh Pingsan nyak? Aduh, gimana ini abdi teh geus naon?"
Azka masih tetap terdiam.
"AKANG BANGUN HEY!" teriak suara seorang gadis dan membuat Azka tergelonjat kaget hingga ia pun terjatuh dari ayunan.
"SIAPA SI LO!" bentak Azka kesal. Nampak gadis itu ketakutan melihat kilat kemarahan yang terpancar dari kedua mata Azka.
"Maaf... maaf.... saya-."
"LO SIAPA SI? LO-."
"Maaf... tadi saya pikir akang kenapa gitu maksud saya-." Gadis itu menatap Azka dengan tatapan memelas seolah-olah ia memelas dengan Azka seperti seorang murid yang tak ingin di hukum oleh gurunya.
"Kamu itu nggak ada sopan satunnya emang." Cibir Azka, "Teriak-teriak di telinga orang memang saya tuli? Oh jangan-jangan orang tua kamu nggak pernah ngajarin sopan satun lagi."
Gadis itu meremas kuat kedua tanganya seolah-olah buku-buku jarinya ingin patah. Ia menahan rasa kesalnya dengan Azka. Kedua mata hitam gadis ini yang awalnya nampak ketakutan kini mendadak berkilat kemarahan yang seolah-olah tatapannya ingin membunuh Azka.
"Jangan sekali-sekali membawa orang tua saya ya! Dan, anda harus tahu, orang tua saya mengajarkan sopan satun dengan saya. Mungkin kamu kali yang tak pernah di ajarkan orang tua kamu tentang sopan santun." Sahut gadis itu.
"Apa kamu-."
"Sayang, ganteng-ganteng nggak tahu etika." Cibir gadis itu sembari berlalu dari Azka.
Azka terdiam membeku. Rasa kesal sekaligus heran bercampur di dalam benaknya, baru kali ini selama dua puluh satu tahun hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis yang begitu blak-blakan denganya. Benar-benar gadis... unik.
--
Kanaya berlalu meninggalkan pria jangkung dengan rambut hitamnya yang berantakan itu. memang dia tampan rupawan tapi sayang saat Kanaya berusaha ramah denganya ia justru membuat pertemuan pertama mereka menjadi kesan terburuk di hidupnya.
Matahari memang sudah kembali keperaduannya sejak satu setengah jam yang lalu, langit malam yang di hiasi sinar rembulan dan gemerlap pancaran cahaya bintang di langit malam menjadi teman untuk Kanaya malam ini.
"Kenapa si harus ketemu sama orang menyebalkan seperti itu?" runtuk Kanaya saat ia berada di depan rumahnya.
"Kana teh udah pulang?" tanya seseorang saat pintu rumah Kanaya sudah terbuka lebar, seorang wanita paruh baya pun keluar dari dalam rumah.
"Udah dong, Bun. Maaf ya Bunda, Kana pulangnya terlalu malam padahal kan Kana cuman janji keluar sebentar doang." Jawab Kanaya sembari mengerucutkan bibirnya.
Wanita yang di panggil bunda itu tersenyum "Memang tugasnya banyak banget ya?"
Kanaya menangguk cepat "Sangat banyak bun. Sumpah itu dosen minta Kana-."
"Nggak boleh ngeluh!" erang bunda. "Ingat kan, sekarang umur kamu sudah dua puluh satu tahun. apa janji kamu tadi pagi sama bunda waktu sebelum tiup lilin?"
Ya hari ini memang ulang tahun Kanaya yang ke dua puluh satu tahun tetapi rasanya hari ini bukan hari yang bahagia dan menyenangkan seperti bagaimana ulang tahun pada umumnya. Tugas yang tak manusiawi dari dosen menyebelkan, di tambah pertemuannya dengan seorang pria yang rasanya Kanaya ingin melemparnya dengan sepatu snekers yang ia pakai kewajah pria itu.
"Kana janji Kana akan berubah menjadi seorang wanita dewasa, nggak tukang ngambek dan nggak tukang ngeluh. Dan... Kana akan cepat selesaikan skripsi Kana demi bunda yang sangat Kana cintai dan ayah yang Kana kasihi walau... ayah jauh... berada di surga sana." Kanaya tersenyum sembari memamerkan kedua lesung pipinya.
"Nah, ingat janjimu sayang." Bunda memeluk Kanaya dengan erat. "Kana harus buat ayah yang ada di surga sana bangga sama Kana oke? Jadi Kana nggak boleh tuh yang namanya ngerundel terus masalah tugas."
--
Hari senin tiba, dan di hari inilah Azka memulai kehidupan baru di kampus yang baru. Konyol memang rasanya padahal pindah ke kampus lain bukan seseram saat ia harus pindah sekolah dulu. Umur dua puluh satu tahun tak cocok untuk merasakan takut.
Sejak Azka turun dari mobil sedan tua milik ayahnya Azka sukses menjadi perhatian para gadis seantero kampusnya, memang wajah tampan rupawannya di tambah statusnya sebagai mahasiswa falkutas teknik sudah menjadi nilai plus untuk. Wanita mana si yang tak bisa menolak pesona Azka? Mungkin hanya wanita bodoh saja.
Kuliah pagi ini hampir di mulai, dosen dengan wajah kiler sudah memasuki ruang kelasnya. Dan saat sang dosen kiler ini sudah memulai mata kuliah sejak sepuluh menit yang lalu.
"Maaf saya terlambat." Ujar seorang wanita bertubuh pendek saat ia keluar dari balik pintu. Rasanya Azka ingin menampar dirinya agar bangun sekarang juga. Apa? dia lagi.
"Ah, kamu lagi!" dumal dosen. "Ini sudah yang ketiga kalinya, Kanaya kamu terlambat di jam mata kuliah saya mau-."
"Maaf pak jalan macet." Sanggah gadis itu. "You know lah, pak. Bandung adalah kota padat."
"Baik lah, kali ini lagi-lagi saya maafkan kamu." Dosen itu nampak habis kesabarnya. Gadis yang di panggil Kanaya itu tersenyum penuh kenangan lalu ia langsung berlari mencari kursi kosong yang ada di kelas ini. kedua mata cokelat Azka terus memperhatikan gerak gerik gadis itu dan... gadis itu berhenti lalu menduduki kursi kosong yang ada samping Azka.
Selama perkulihan, Azka begitu kehilangan fokusnya karena ia terus asik memperhatikan gadis yang ada di sampingnya ini. nampak gadis ini mulai risih dengan tatapan Azka yang tak berkedip sama sekali sejak tadi. Memangnya ada yang salah denganya? Memangnya salah pergi ke kampus dengan menggunakan kemeja flane dan celana jeans? Jawabnya tidak, tapi dengan gaya pakaian seperti ini ia nampak mengoda untuk Azka.
Akhirnya, setelah tiga jam lamanya dosen mengoceh tak jelas ia nampak menyerah juga dan mengakhiri semua perkuliahan siang ini. terlihat raut wajah gadis yang ada di samping Azka ini sangat senang.
Suasana kelas sudah sepi setelah lima menit dosen keluar dari kelas. Kini yang tersisa hanya Azka bersama gadis pendek ini. lagi-lagi Azka memandangi gadis ini seolah-olah ia ingin melakukaan sesuatu yang jahat denga gadis ini. bukan, dia bukan pria bejat seperti yang orang bilang.
"Kamu ngampai ngeliatin saya terus?" tanya gadis itu membuyarkan lamunan Azka.
"Siapa yang ngeliatin kamu? Ge-er." Cibir Azka.
"Kamu itu-."
"Aku apa?" selak Azka. "Kenapa si kamu mengutitku? Sumpah ya baru juga sehari bersama angak kesialan ini kenapa hidupku semakin sial ya?"
Sial? Seperti bukan sial tapi beruntung. Batin Azka.
"Kamu kali yang mengutitku." Sindir gadis itu. "Dasar nggak punya sopan santun."
"Kamu-."
"Apa aku apa?" tantang gadis itu. "Mau berantem ayo berantem nggak takut."
Azka terdiam. Ia diam bukan berati ia pengecut tetapi ia sedang berusah menjaga emosinya, pesan ibunya dulu adalah wanita itu tak boleh mendapat kekerasan dari pria. Jika pria melakukan kekerasan dengan seorang wanita berati ia pengecut.
"Baik lah, aku minta maaf." Ujar Azka tulus.
"Minta maaf?" gadis itu nampak heran.
"Maaf atas kejadian kemarin."
"Oh jadi kamu-."
"Aku Azka, Azkana." Azka mengulurkan tanganya. "Mahasiswa baru pindahan disini."
Gadis itu nampak kikuk menerima uluran tangan Azka. "Kana, Kanaya."
"Nama yang cantik." Puji Azka.
Kana tersipu malu. "Jangan muji ah."
"Aku serius ni, Kan." Azka menatap Kana sangat dalam. "Nama kamu secantik orangnya."
Kini mereka berdua saling berpandangan satu sama lain dalam kebisuan. Kedua wajah mereka saling berdekat satu sama lain bahkan desah nafas mereka pun terasa di wajah mereka satu sama lain. Hingga sebuah suara aneh seperti perut yang sangat keroncongan membuat mereka membuang pandangan mereka.
"Maaf." Ujar Kanaya malu-malu.
"Kamu belum sarapan?" tanya Azka heran.
Kanaya mengelen kuat. "Gimana mau sarapan berangkat pagi aja telat kan ngeselin kalo sampe kena kupon cantik nggak bisa ikut UTS karena telat doang, ya tapi sama aja si tadi telat juga."
Azka bangkit dari kursinya. "Makan bareng yuk?"
"Sama-."
"Kamu lah." Potong Azka. "Aku mau traktir temen pertama aku hari ini karena, kemarin aku ulang tahun."
"Ulang tahun kamu sama sama aku." ujar Kanaya antusius.
"Wah jangan-jangan kita jodoh ni." Ledek Azka. Ia mengulurkan tanganya sedetik kemudian Kanaya menyambut uluran tangan tersebut.
"Ngarep ah kamu!" erang Kanaya.
Kini mereka berdua berjalan menelusru lorong gedung kampus mereka demi mengisi perut mereka berdua. saat berjalan, Azka tak berhenti memandangi Kanaya dan mengucap syukur di dalam hati.
Terima kasih, terima kasih tuhan atas berkatmu. karena tanggal dua puluh satu yang ke dua puluh satu kalinya aku bertemu malaikat terindah. Batin Azka.
Kakak, kak ayo bangun! Kakak kenapa? Kakak Pingsan ya? Aduh saya harus berbuat apa? (b. sunda)
***
END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro