3 Wishes
Gadis itu diam tak mampu berkata kata. Mata indahnya terus menerus menatap kearah sudut meja Cafe yang juga menjadi pusat perhatian dengan tatapan luka.
Disana...
Devan, tunangannya yang 3 minggu lagi akan menjadi suaminya. Sedang melamar seorang gadis cantik. Gadis itu lagi-lagi terdiam tanpa kata, sangat sakit mengetahui bahwa orang yang kamu cintai, yang menjadi alasanmu hidup sedang melamar gadis lain.
"Apa karena aku pergi terlalu lama?" gadis itu tak sanggup lagi melihat kenyataan pahit tepat didepan matanya.
Dengan perlahan tapi pasti. Gadis itu berjalan menuju pusat perhatian itu. Membuat Devan terbelalak kaget.
"Va... Vanessa,"lirih Devan pelan.
"Hai sayang, siapa dia? Kamu hanya bersandiwara, kan?" Devan melirik gadis yang berada disampingnya. Gadis itu tertunduk dalam menyiratkan kesedihannya. Seketika Devan emosi melihat gadis yang ia cintai bersedih. Devan melirik Vanessa tajam.
"Vanessa ikut aku, sekarang!" tegas Devan.
Vanessa terus mengikuti langkah Devan menuju taman dekat Cafe. Vanessa sadar kalau hubungannya dan Devan renggang semenjak Vanessa pergi ke Jerman 3 tahun lalu. Mereka juga sempat putus komunikasi dalam jangka waktu yang lama.
Devan tidak mengetahui kenyataan mengapa Vanessa menghilang. Yang ia tau hanyalah Vanessa yang pergi meninggalkannya. Dan Vanessa pun tak akan mau mengatakannya. Biarkan itu tetap menjadi rahasianya. Rahasia pengorbanan hidup dan matinya hanya untuk orang yang ia cintai.
"Apa yang kau lakukan hah?" bentakan Devan membuat Vanessa terkejut sekaligus terluka.
"Apa maksud kamu Devan? Seharusnya aku yang bertanya apa yang kamu lakukan tadi." Devan menatap murka gadis yang ada didepannya.
"Aku? Aku sedang melamar seorang gadis yang sangat aku cintai untuk menjadi pendamping hidupku," ucap Devan
Ada rasa sakit yang teramat dalam saat Devan mengatakannya.
"Apa yang kamu maksud dengan melamar? Kamu punya aku disini, aku tunangan kamu Devan. Dan sebentar lagi kita akan menikah." Air matanya tak dapat lagi ia bendung. Tangisan memilukan itu sangat menusuk hati.
"Tunangan? Bahkan saat kamu hilang tanpa kabar selama bertahun-tahun kamu masih nganggap aku tunangan? Aku bahkan sudah tidak mencintaimu lagi. Kita akhiri saja hubungan kita." Ucapan Devan sontak membuat Vanessa membeku.
"Kenapa? Apa karena aku pergi terlalu lama? Maafkan aku kalau memang begitu alasannya,"lirih Vanessa
"Aku memaafkanmu. Tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Aku mencintai perempuan lain. Hati ini tidak lagi sama seperti dulu." Vanessa terpaku, lidahnya serasa kelu untuk berbicara.
Apa benar Devan tak lagi mencintainya? Bahkan ia telah berusaha mati matian untuk tidak kalah dengan keadaan demi Devan.
"Sedikit saja...,"lirih Vanessa. "Apa tidak ada perasaanmu yang tersisa sedikit saja untukku?" Pertanyaan memilukan yang sangat menyayat hati.
Satu gelengan pelan dari Devan membuat hidup Vanessa runtuh seketika. Dia, lelaki yang menjadi alasannya untuk hidup tidak lagi mencintainya.
"Baiklah, kita akhiri hubungan ini,"ucap Vanessa.
"Benarkah? Kamu tidak bohong kan?" melihat antusias Devan yang begitu menginginkan hubungan ini berakhir. Membuat Vanessa yakin, tidak ada tempat kosong lagi didalam hati Devan untuknya.
Vanessa mengangguk pelan. Menatap lelaki yang ia cintai dengan tatapan kepedihan yang mendalam.
Tidak, Vanessa tidak pernah merelakan Devan untuk perempuan lain. Tapi keputusannya kali ini semata hanya untuk membuat Devan bahagia.
"Kamu mencintai perempuan itu?" tanya Vanessa pelan.
"Iya aku mencintainya. Dia yang menggantikan posisimu sepenuhnya di hatiku," ucap Devan.
"Baiklah, kita akhiri hubungan ini. Tapi aku minta 3 permintaan, setelah itu kamu boleh pergi semaumu. Kita tidak akan terikat lagi jika 3 permintaanku terpenuhi."
"Apapun itu, aku akan menurutinya." Tampak binar bahagia dari mata Devan.
Vanessa tidak benar benar melepaskan lelaki ini. Dia ingin menghabisi sisa waktunya sebelum batas waktu itu menghampiri.
"Untuk permintaan pertama, aku mau kamu tetap kayak yang dulu. Aku mau kita tetap menjadi kita yang dulu." Permintaan terkonyol yang pernah Vanessa ucapkan.
Gadis itu tau bahwa Devan tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang dulu. Ia sangat tahu bahwa hubungannya tidak akan pernah bisa seperti dulu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Permintaan itu yang Vanessa ucapkan. Maka, Devan harus mengabulkannya.
"Maksud kamu, kita masih tetap menjadi sepasang kekasih seperti dulu?" dari raut wajah Devan, tampak jelas ia ragu untuk menuruti permintaan Vanessa.
"Aku akan mencoba." Vanessa mengangguk lemah. Kata 'Mencoba' itu seolah mengisyaratkan ia tidak akan bisa seperti dulu lagi.
"Dan aku harap kamu bisa menjauhi perempuan itu sampai semua permintaanku terkabul." Devan menatap Vanessa tajam.
"Maksud kamu aku harus menjauhi Aira?"
"Kamu lupa dengan permintaanku tadi? Aku minta agar kita menjadi seperti kita yang dulu, yang DULU. Tanpa ada orang ketiga diantara kita," ucap Vanessa dengan penuh penekanan kata.
"Dia bukan orang ketiga. Menjauhinya? Tidak akan pernah."
"Itu permintaanku, kalau kamu tidak mau menurutinya. Tinggalkan dia, aku akan mengatakan kepada orangtua kita untuk mempercepat resepsi pernikahan kita," ucap Vanessa yang terdengar seperti ancaman
"Untuk kali ini, untuk kai ini saja aku akan menuruti permintaan konyolmu itu."Devan mengacak rambutnya frustasi.
_________________________
Sudah dua minggu Devan menuruti permintaan Vanessa. Walaupun Devan melakukanya dengan setengah hati, tapi Vanessa tetap menyukainya.
Vanessa tidak ingin melewatkan satu moment pun dengan Devan. Ia selalu mengabadikan kenangan itu melalui kamera Handphonenya.
Sekarang, mereka sedang berliburan ke Paris. Kota penuh dengan keromantisan yang kentara. Itu menjadi permintaan kedua Vanessa.
Vanessa meminta Devan menemaninya selama satu bulan, dan pastinya Devan sangat kesal karena harus meninggalkan segudang pekerjaannya. Tapi, Devan tetap menurutinya walaupun terpaksa.
Sekarang mereka sedang berada di mobil menuju jembatan gembok cinta yang Vanessa idamkan. Vanessa mengeratkan jaketnya, ia tampak lemas akhir akhir ini. Wajahnya memucat, ia juga mengalami penurunan berat badan yang drastis.
"Uhuk..uhuk.." Devan melirik gadis disampingnya dengan raut wajah khawatir. Lalu ia memutar balik kemudinya. Vanessa menatap Devan dengan dahi yang berkerut.
"Kamu tampak kurang sehat, besok saja kita pergi lagi. Yang penting, kamu sembuh dulu." Ucapan Devan membuat Vanessa tersenyum pahit.
"Aku bahkan tidak yakin aku bisa sembuh atau tidak," lirih Vanessa pelan. Sangat pelan yang mungkin hanya dirinya saja yang bisa mendengar.
"Hah? Apa? Maaf aku tidak mendengarnya tadi." Vanessa menggeleng lemah sembari tersenyum hangat kearah Devan.
"Aku ingin ke Jembatan gembok cinta itu, kumohon aku sangat menginginkannya," pinta Vanessa. Yang akhirnya dituruti Devan.
_____
Vanessa menatap lemah gembok yang baru saja ia dan Devan pasang. Mata indahnya menyiratkan kepedihan dan keputus asaan. Gadis itu tersenyum lembut, sembari menghela nafas panjang yang sudah ia lakukan berulang kali.
Devan hanya memperhatikan gerak gerik gadis yang ada disampingnya. Devan merasakan ada yang Vanessa sembunyikan darinya. Devan menatap Vanessa dengan teliti. Gadis itu mengurus, ia sangat lemah. Devan tak tau apa yang terjadi, padahal 2 hari lalu gadis itu masih menikmati makanannya dengan lahap.
"Tak bisakah kamu kembali mencintaiku?" tanya Vanessa pelan. Devan menggeleng pelan.
"Kembalilah padaku. Kamu bisa belajar untuk mencintaiku." Lagi dan lagi Devan menggeleng pelan.
"Aku mencintaimu, tapi aku tidak sekeji itu untuk memaksamu kembali padaku. Aku tau kita tidak pernah bisa bersama bagaimanapun keadaannya. Kuharap kamu tidak melupakanku. Kumohon, jangan pernah kembali jika aku menyuruhmu untuk kembali. Aku bahagia pernah menjadi perempuan yang berarga dihidupmu"
Vanessa menatap Devan tepat dimanik matanya begitupun sebaliknya. Devan meneliti wajah gadis didepannya. Wajahnya pucat pasi bak mayat, pipinya menirus namun tak mengurangi kecantikannya.
Lama mereka bersitatap sampai akhirnya Devan terbelalak kaget melihat darah segar mengalir dari hidung mancung milik Vanessa. Devan mengambil tindakkan cepat. Vanessa digiring Devan menuju mobilnya, gadis itu tampak tak berdaya. Tubuhnya melemas, seluruh tulang dan persendiannya terasa nyeri.
"Dev... Sakit," Keluh Vanessa kesakitan.
"Sebentar aku akan membawamu ke rumah sakit terdekat," ucap Devan yang tetap fokus pada kemudinya.
_______
Devan memarkirkan mobilnya asal. Lalu secepat kilat membawa Vanessa masuk. Vanesaa masih saja mengeluh dalam gendongannya. Darah mimisan pun lagi lagi keluar melalui hidung mancungnya. Membuat Devan panik seketika.
Devan mengacak rambutnya frustasi. Vanessa sudah dibawa keruang VIP, tapi Dokter tidak memberi tahu kondisi Vanessa. Karena Vanessa sendiri yang meminta untuk merahasiakan kondisinya.
Devan menatap Vanessa, gadis itu terbaring lemah. Setiap kali ia terbangun, pasti gadis itu akan mengeluh mengenai tulang dan sendinya yang terasa nyeri.
Devan tak tahan melihat kondisi Vanessa. Hatinya menjerit tak terima, melihat gadis -nya- itu terbaring lemah dengan rasa sakit yang terus menghantui. Ingin rasanya Devan menggantikan posisi Vanessa. Karena jujur, jauh dari lubuk hati Devan yang terdalam ia masih sangat mencintai gadis itu.
Perlahan kelopak mata Vanessa terbuka. Menampilkan mata indah yang penuh keteduhan. Vanessa tersenyum lemah pada Devan.
"Kamu baik baik aja, kan? Kenapa kamu merahasiakan kondisimu? Kamu membuatku frustasi Nessa," ucap Devan sembari mengusap wajahnya kasar.
Vanessa tersenyum melihat kekhawatiran Devan. Belum lagi, lelaki itu memanggil namanya seperti dulu 'Nessa'.
"Aku baik baik saja. Ini sudah sering kurasakan Dev," ucap Vanessa lembut.
"Katakanlah kondisimu yang sebenarnya. Kumohon, jangan membuatku frustasi Vanessa," pinta Devan.
"Baiklah." Vanessa menarik nafas panjang. Sementara Devan masih menanti penjelasan dari Vanessa.
"Sebenarnya, ini menyangkut dengan kepergianku ke Jerman." Devan tak bergeming, ia tetap setia mendengar Vanessa.
"Aku pergi untuk berobat, karena penyakit ini. Maaf kalau waktu itu aku gak ngabarin kamu, waktu itu aku masih sangat lemah. Bahkan untuk tersenyum pun susah, kepalaku terasa sangat sakit. Belum lagi, tulangku yang nyeri. Aku selalu mimisan tiap hari. Rasa sakit itu sudah menjadi temanku beberapa hari ini." Vanessa mengambil nafas panjang. Lalu menatap Devan dalam.
"Maaf aku gak kasih tau kamu tentang penyakit ini. Aku hanya tidak ingin kamu khawatir. Maaf karena aku pergi dan tak ada kabar dalam waktu yang lama, aku hanya ingin membuatmu tenang dan tidak kefikiran denganku. Tapi karena kepergianku inilah kamu berlain hati," ucap Vanessa. Gadis itu tersenyum miris, sedangkan Devan merasa belum puas dengan penjelasan Vanessa.
"Kamu belum mengatakan penyakit apa yang kamu deritai,"ucap Devan tak sabaran.
"Aku kanker darah, Dev," lirih Vanessa yang sukses membuat Devan terpaku sejenak. Merasa bodoh karena tidak mengetahui kondisi gadis –nya- itu selama ini.
"Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit seperti ini. Belum lagi, Kemoterapi yang harus aku jalanin. Tapi aku gak pernah menyerah Dev, demi kamu. Kamu adalah salah satu alasan kenapa aku bertahan. Tapi sekarang, semua udah hilang. Aku gak ada alasan lagi buat hidup, kan?" Vanessa menunduk dalam. Dokter bilang penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah.
"Sebenarnya kepulanganku itu untuk mengakhiri hubungan kita. Tapi, belum sempat aku akhiri. Kamu sudah mengakhiri dengan caramu sendiri."lirih Vanessa
"Kamu bisa... kamu pasti bisa melawan penyakit itu, Nessa. Aku akan ada disini, aku akan selalu bersamamu. Maafkan aku, kalau memang kamu akan mati. Bawa aku bersamamu. Jangan tinggalkan aku sendiri lagi, Nessa. Kumohon,"pinta Devan dengan penuh penyesalan.
"Maafkan aku, aku masih mencintaimu. Hanya saja, sebagian dari hatiku tidak terima saat kamu meninggalkan aku. Kumohon, bertahanlah untukku lagi." Air mata Devan pun mengalir diwajah tampannya, membuat Vanessa tidak tega melihatnya.
"Maafkan aku, tapi semuanya sudah terlanjur. Aku akan pergi cepat atau lambat. Seperti yang aku katakan, kita tidak bisa bersama bagaimanapun keadaannya. Jangan kembali, sudah kukatakan untuk jangan kembali walaupun aku memintanya," ucap Vanessa. Devan menggenggam tangan Vanessa erat, mencoba memohon untuk kesekian kalinya walaupun terlambat.
"Untuk permintaanku yang ketiga. Kumohon jangan lupakan aku, ingatlah aku semampumu. Dan kuharap kamu bahagia," pinta Vanessa.
__________
3 bulan kemudian...
Devan membawa setangkai bunga Tulip berwarna putih, lalu meletakkannya diatas salah satu kuburan. Ia mengusap batu nisan itu lembut.
"Hai Vanessa sayang, apa kabarmu disana? Kuharap kamu baik baik saja. Jangan tanyakan kabarku, karena sudah pasti aku tidak baik baik saja tanpamu. Maafkan aku, aku tak tau sudah berapa kali aku mengulang kata maaf itu." Devan tersenyum miris.
"Aku akan melakukan permintaanmu, aku tidak akan melupakanmu. Tapi, aku tak yakin bisa bahagia tanpa kamu. Vanessa, aku memang lelaki terbodoh didunia ini. Maafkan aku, tak ad yang menggantikan posisimu selama ini. Aku hnaya bersandiwara saat melaar gadis itu. Kamu bertanya mengapa aku melakukannya? Karena waktu itu aku sangat sakit hati saat kamu meninggalkanku dan tidak ada kabar bertahun tahun,"ucap Devan
"Maafkan aku, aku tidak akan pernah bosan mengucapkan kata maaf itu. Walaupun sudah terlambat, aku tetap akan memohon padamu untuk memaafkanku." Devan melirik nisan yang bertuliskan nama Vanessa disana. Lalu menaburkan bunga yang sempat ia beli.
"Aku akan kembali lagi, Vanessa. Dan aku akan mencoba mengabulkan permintaanmu yang ketiga," ucap Devan.
***
END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro