Keempat
"Assalamualaikum," ucapku lesu seraya berjalan dengan mata yang terasa berat. Ini semua karena kopi. Larutan hitam yang tak kukonsumsi hari ini.
"Waalaikumsalam. Kenapa, Mas? Kok lemas gini?" tanya seorang perempuan. Sudah pasti itu Aida.
Belum sempat aku melihat senyum dan wajahnya yang memesona, mataku sudah terpejam lebih dulu. Sementara Aida mendaratkan sepasang tangannya di bahuku. Kemudian terasa hinggap di pipi. "Kok lemas gini sih ...."
Belum sempat Aida menyelesaikan ucapannya, aku sudah merobohkan diri padanya.
Mungkin perempuan itu terkejut dan terhuyung. Namun buru-buru menguatkan diri untuk bisa menyanggaku. Sungguh, kantuk ini rasanya sudah stadium akhir.
Aku sudah tidak kuat. Ingin sekali merebahkan badan sesegera mungkin.
Aku masih ingat, tadi, sudah menyerempet seorang pejalan kaki. Dan yang kedua, menabrak pedagang kaki lima. Untungnya tidak terluka parah. Terkhusus malam ini, dompetku menipis karena kopi. Ya, larutan itu benar-benar meracuniku jika tidak dikonsumsi.
"Mas, Mas, bangun dulu! Jalan dulu ke kamar. Aku nggak mungkin kuat kalau harus gendong kamu. Mas, Mas, bangun bentar aja." Samar-samar masih kudengar suara Aida. Lalu pipiku juga terasa seperti ditepuk-tepuk.
"Mas, ayo dong bangun! Kalau nggak mau, aku tinggalin di sini, ya! Ya udah!" Tubuhku seolah terasa berjarak. Kalau benar Aida akan meninggalkanku, maka pasti akan terjerembap di lantai.
Dengan sekuat tenaga, aku mencoba membuka mata mesti sedikit. Kemudian menyelipkan tangan kanan ke pinggulnya. Diikuti pula dengan menyandarkan kepala di bahunya.
"Tumben banget sih, Mas, lemas ... eh, eh, hati-hati dong kalau jalan. Hampir aja jatuh, kan? Kamu kenapa sih? Nggak biasanya kayak gini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro