Rekor by @compartisan
Aku selalu merasa bahwa semua biasa saja. Itulah hidupku.
Namun, kebiasaan itu aku jalani seperti mengikuti arus. Apa pun yang terjadi aku berusaha beradaptasi, seperti sekarang ini. Aku sedang duduk di sebuah kursi plastik biru yang berjejer membentuk kolom dan baris, di bawah sebuah tenda tentara. Memakai almamater sekolah yang berwarna biru dongker, aku—bersama teman-temanku yang ada di sini—mewakili sekolah untuk ikut serta dalam festival paduan suara nonstop 7 jam yang memecahkan rekor MURI.
Aku masih berkutat pada telepon pintarku, ber-chatting ria bersama kumpulan para utaite—sebutan untuk peng-cover lagu yang ada di situs Nico Nico Douga—yang berkumpul di square LINE. Mereka asyik membicarakan mengenai kegiatan tujuhbelasan yang memang tinggal sehari lagi akan tiba. Aku di sini, sehari sebelumnya, sudah memperingatinya dulu bersama seluruh penghuni di tempat yang baru saja jadi ikon Tanjungpinang—Gedung Gonggong.
Kepalaku mulai terasa pusing. Aku memang tidak tahan untuk menatap layar smartphone lama-lama, sekalipun sudah kusetel ke mode sinar merah ala-ala menjaga kesehatan mata. Jadi, aku memutuskan untuk mendongak. Spontan, aku menoleh kanan-kiri, memperhatikan teman-temanku, dari yang menggigil kedinginan sampai tidur di sandaran kursi depan. Rata-rata dari mereka semua sepertinya sedang gugup. Aku paham setelah mereka semua melihat bahwa ada peserta lain yang penampilannya lebih—bisa dikatakan—bagus dibanding kami yang kami anggap biasa-biasa saja.
Sebenarnya aku tidak peduli, apalagi ini acara beramai-ramai. Apa yang kupikirkan adalah tampil maksimal dengan tenggorokan tak nyaman ini agar tidak mengecewakan mereka, turun menunggu makanan, lalu pulang. Aku tak perlu peduli hal apa pun selain itu.
Tapi, sepertinya teman-temanku was-was walau di saat yang sama mereka berusaha menenangkan diri.
"Jangan dilihat," bisik temanku pada cowok yang duduk di sebelahnya.
"Apaan, sih. Siapa yang lihat itu? Orang aku lihat amoy." Teman lelakiku itu cemberut dan kembali memperhatikan objeknya, dua cewek putih yang sedang berdiri memandang laut di taman belakang panggung. Cewek sebelahnya cuma memutar mata kesal—dan aku lihat malah dia yang melirik ke arah cowok-cowok dengan muka hijau loreng di depan sana.
Peningku sudah hilang. Aku kembali memainkan telepon pintarku—kali ini permainan loncat-loncatan bidang datar. Kuotaku sudah miris untuk digunakan bermain sosial media. Lama aku berkutat pada benda di tanganku ini sampai tiba-tiba temanku yang lain memanggil, menyuruh kami semua berdiri. Ia bilang kami harus berkumpul dulu untuk berdoa bersama sebelum tampil di atas panggung.
Setelah berdoa khidmat, kami semua langsung berdiri di depan tangga masuk samping panggung, membentuk 3 baris yang terdiri atas 2 baris perempuan dan 1 baris laki-laki. Kami naik dengan mantap. Aku membulatkan tekadku akan menampilkan yang terbaik—hanya agar aku tidak membuat seseorang kecewa.
Yel-yel mulai dinyanyikan. Terbawa suasana panggung, kakiku menghentak dan tanganku terkepal kuat meneriakkan kata-kata yang sudah tersusun rapi dalam ingatan. Muka tegas, itu harus. Tidak takut suara habis duluan sebelum paduan suara dimulai, kami berteriak kuat hingga selesai. Sorak-sorai pendukung satu angkatan dari ujung ke ujung tenda menyemangati pertunjukan kami. Paduan suara pun segera dimulai.
Sebagai catatan, kami menambah pengulangan lagu untuk memenuhi rekor 7 jam yang dijanjikan. Satu lagu durasinya sekitar 7 menit. Bayangkan bagaimana suara kami setelah turun panggung nanti. Aku pun merasakan bahwa di setiap akhir lagu kekuatan suara kami mulai melemah. Tapi, kami tidak mau menyerah. Kami tidak akan menunjukkan kejenuhan kami dan tetap memasang wajah menghayati yang penuh gelora. Awal hingga akhir, kami harus menunjukkan performa yang sama.
Akhirnya penampilan kami sudahi. Walau sempat ada jeda karena azan zuhur sudah tiba ketika kami belum masuk lagu ketiga—yang membuat kami khawatir karena suara kami sudah mulai terasa habis, kami tetap berusaha melakukan yang terbaik.
"We, kue belum ada?" kataku pada salah satu teman terdekat.
Teman terdekatku itu kemudian berteriak, "Ambil kue, lah! Laper, nih."
Cowok dengan badan agak gemuk yang sedikit jauh dari kami langsung berlari berlawanan arah. Aku bersama yang lainnya tidak langsung duduk kembali. Kami berfoto-foto di taman belakang panggung bersama guru pembimbing, juga kakak senior yang datang untuk menonton kami. Setelah semua itu selesai, barulah kami duduk dan menyantap kue-kue konsumsi untuk mengganjal kelaparan. Tak berapa lama, cowok yang sama sudah membawa satu plastik penuh nasi kotak untuk makan siang. Kami pun segera melahapnya tanpa ampun.
Di kondisi inilah keberadaanku bisa dibedakan, kehadiranku bisa dideteksi. Teman-temanku kebanyakan mencari tempat yang lebih nyaman di taman belakang sana. Namun, aku lebih memilih duduk sendiri di tenda ini. Yah, sebenarnya ada tiga temanku, tapi duduknya agak berjarak dan aku terlalu fokus pada makananku ini. Dari raut mereka pun aku sudah tahu kalau mereka merasa agak lain denganku—penyendiri yang entah kenapa bisa berbaur kalau diperlukan.
Singkat cerita, kami mampir ke tempat makan—hanya untuk beli es krim putih yang ada cairan cokelat dan potongan kacang sedang, yang pasti kalian tahu kami mampir ke mana—setelah selesai makan, lalu 2 jam kemudian kami pergi ke perpustakaan kota untuk bersantai selagi menunggu pengumuman tiba. Sudah lama sekali aku tidak pernah bepergian ramai-ramai begini. Apa yang aku lakukan selama hidupku di masa SMA ini hanyalah menghabiskan waktu berdiam diri di rumah.
Oh! Sebelumnya memang kukatakan festival, tapi ini juga dilombakan kok.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di lokasi kembali. Ternyata, peserta terakhir masih menyanyikan lagu terakhir saat kami sampai di kawasan tenda. Aku bersama teman-temanku bermain sebentar di taman olahraga yang menyediakan berbagai permainan olahraga. Ketika pembawa acara kami dengar sudah menyinggung soal pengumuman, kami langsung melesat untuk duduk di kursi kami tadi.
Aku memerosotkan badanku ke bawah saat bersandar. Aku tak begitu bersemangat untuk menantikan hasil pembagian juara festival ini, tapi yang kulihat beberapa temanku seperti komat-kamit mengharapkan kemenangan. Aku merasa wajar, dan bahkan ada secuil keinginan untuk itu berhubung teman-teman dan guru-guru sekolahku yang sudah rela meluangkan waktu belajarnya untuk menonton kami tampil. Kami harus membuat mereka senang, yaitu dengan memenangkan lomba ini.
Meskipun begitu, aku sedang dalam sikap yang tidak ingin ambisius pada sesuatu. Aku selalu bersikap santai pada semua hal. Sebenarnya, ini juga bukan tanpa alasan. Suatu hal sudah membuatku harus bersikap biasa-biasa saja apa pun yang terjadi, sekalipun yang kuhadapi kini adalah acara peringatan ulang tahun dirgahayu Indonesia yang ke-72. Oh, sepertinya seseorang harus menanamkan rasa nasionalisme dalam diriku.
Waktu pengumuman tiba. Ternyata ada 6 posisi, dari juara harapan 3 menuju juara 1. Setiap naik tingkat, hati kami ketir-ketir karena nomor undian kami belum disebutkan. Pikiranku semakin tidak keruan ketika sampai juara 2 pun kami belum mendapat kemenangan.
"Oh, well," kataku pasrah.
"Juara 2 pun nggak nyentuh?" kata temanku berekspresi tidak percaya. "Aku tidak mau mengecewakan mereka...." Air muka teman perempuanku itu mulai pucat dengan rasa bersalah. Aku hanya murung menunduk. Aku tetap bisa merasakan hal sama, meskipun tidak sedalam yang teman-temanku rasakan.
Juri yang berbicara pun tiba juga untuk menyebutkan pemenang juara 1. Biasalah, dengan efek lambat penuh getaran yang membuat orang-orang geram sendiri, dan ketika aku mendengar nomor terakhir yang diucapkannya....
Itu nomor undian kami.
Ya, aku tidak salah dengar. Itu nomor undian kami.
Spontan, seluruh temanku berteriak kesenangan. Tangis haru tumpah membasahi pipi mereka. Aku membiarkan diriku untuk terbawa suasana lagi—dan aku tetap paham bahwa yang aku rasakan ini tidak sedalam mereka, tapi aku masih merasakan ini. Aku juga ikut menangis, walau cuma sesaat. Semuanya saling berpelukan, termasuk aku. Setelah temanku yang mewakili untuk mengambil hadiah selesai dengan pemotretan bersama walikota, kami semua berhambur ke lapangan depan panggung untuk menyuarakan kemenangan kami.
Aku yang berjalan paling lambat di antara mereka semua, karena pikiranku tidak lepas pada satu hal. Kemenangan ini menyadarkanku, bahwa aku bisa melakukan sesuatu yang berguna pada diriku. Tidak itu saja, kali ini aku sudah melakukan hal untuk berbagai pihak—teman, sekolah, bangsa, dan negara. Aku juga sudah menghargai para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan melalui peringatan ini. Mungkin awalnya aku berniat melakukan sebuah tindakan pura-pura. Namun, setidaknya aku telah melakukan ini.
Tetes air mata jatuh di pipi kiriku. Tangis yang seperti inilah tangisku yang sesungguhnya. Hatiku terenyuh, mengingat bahwa aku bukanlah gadis biasa yang hidupnya monoton. Aku bisa untuk menjadikan diriku seperti yang kuinginkan. Kepura-puraan yang kujalani pun akhirnya menjadi sebuah tindakan yang tulus. Inilah salah satu hal yang kuinginkan, berguna bagi siapa pun dan membuat siapa pun bahagia. Tidak salah bukan kalau terwujud di kejadian seperti ini?
Aku pun ikut bergabung dengan teman-temanku yang berfoto. Musik panggung mulai berkumandang. Semua yang ada di sana bergoyang melampiaskan kebahagiaan mereka, dan saat itu....
Akulah yang paling bersemangat melakukannya. Aku yang paling senang.
Terima kasih, Indonesia. Karena Indonesia aku mengerti bagaimana jadi seseorang yang baik, menjadi warga negara yang berguna bagi bangsa dan negara.
Salam NKRI!
Catatan: Maaf kalau terlalu banyak narasinya hehe dan ini dimodif dikit koook :p
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro