Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Semifinal - Penari Balerina

Kakak!!" Suara itu berseru memanggilku.

Aku menoleh pada gadis kecil yang menyapaku. "Iya?"

"Kakak, penari ballerina yang hebat!" katanya.

"Terima kasih, Adik Kecil." Aku baru saja selesai menari di depan banyak sekali orang.

Dia tersenyum riang saat tanganku menyentuh puncak kepalanya. "Aku mau jadi kayak Kakak!" ujarnya.

Aku terkekeh. "Jangan jadi kayak Kakak."

Dia memiringkan kepalanya. "Kenapa?"

"Karena ...," terlalu mahir dalam satu hal tidak baik, "kamu harus lebih hebat dari Kakak!"

Dia mengangguk dan segera tertawa riang. "Dadaah, Kakak!!!"

Aku melambaikan tangan padanya yang mulai berlari kecil. Senyumanku terlukis.

Ruang tari ini kosong. Para penonton telah pergi saat tarianku usai. Aku meletakan kelima jemariku pada dinding di hadapanku. Membiarkannya mengenaliku.

Pip.

Dinding di hadapanku terbuka. Kakiku menyusuri lorong panjang dingin yang penuh keamanan berteknologi pada tiap sisi. Aku tidak mau bisa menari untuk hal seperti ini. Aku hanya seorang gadis normal yang suka menari.

***

"Bravo, Nala!" ujar bapak tua itu beberapa waktu lalu saat aku sedang berlatih.

Aku segera menunduk hormat padanya. "Pak Walikota."

Dia tersenyum, mengusap puncak kepalaku lembut. "Kau penari terbaik di kota ini, bukan?"

Tanpa mengangkat kepala, aku mengangguk.

Dapat kurasakan bahwa senyumannya semakin melebar. "Kalau begitu, maukah kau menari untuk aku yang tua ini?"

Bibirku kelu beberapa saat. Perasaanku tak enak. Namun dengan bodohnya aku melontar kalimat, "Bersedia, Pak Walikota."

***

Aku benci peristiwa yang terlintas di kepalaku barusan. Sangat benci.

Kakiku terus melangkah. Lantai yang kupijak memancarkan garis biru bercahaya, berusaha terus mengenaliku dan memastikan segalanya aman. Sistemnya seperti fingerprint beberapa tahun silam. Hanya saja lebih canggih.

Aku kembali menyentuh dinding dihadapanku. Tak lama, dinding itu terbuka menampilkan wajah tua yang masih berwibawa untuk menjalankan pemerintahan.

"Maaf, saya terlambat," ujarku formal.

Dia tertawa. "Tak apa, Nala. Kau penari terbaiku, aku tidak akan memarahimu."

Aku tidak bahagia sama sekali dibilang begitu.

Aku merendahkan tubuhku, perlahan sebuah kursi tanam muncul dari tanah menopang tubuhku. Aku mulai melepas sepatu ballerina. Kembali meraih alat berteknologi canggih berupa sepatu pemberiannya yang enggan aku kenakan.

Sepatu converse untuk menari? Menggelikan.

Aku berdiri kala selesai mengenakannya.

"Aku akan melihatmu menari sekali lagi, Nala. Aku senang sekali!" ujar walikota.

Aku benci kalimat yang ia lontarkan, tapi aku tetap mengangguk.

"Kau boleh masuk ke ruangan sekarang," ia mengusap kepalaku lembut. "Majukan waktu dia beberapa tahun untuk kota ini."

Aku bangkit, mengangkat tangan dan meletakan kelima jariku di dinding. Segera dinding canggih itu mengenaliku dan membuka pintu. Aku melangkah masuk dan pintu tertutup lagi.

Ruangan ini tidak kosong. Ada seorang laki-laki berambut hitam, terikat pada sebuah tiang dingin. Aku melangkah mendekat. Dia melihatku bingung.

"Kenapa kau ada di sini, Anak Kecil?"

Uh. Aku bukan anak kecil. Usiaku 16 tahun. Aku tidak menjawab pertanyaannnya.

"Jangan mendekat, Nak. Kau tahu? Ruangan ini adalah ruang eksekusi. Lebih baik kau keluar sebelum hukumanku dimulai," ujarnya.

"Kenapa bapak bisa ada di sini?" Aku mengangkat suara.

Dia menatapku sesaat. Bingung. "Aku penjahat, Nak. Aku rakus. Aku menjijikan." Dia menunduk. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

"Apa yang Bapak lakukan?" tanyaku.

Aku mulai melangkah lembut mengelilingi bapak itu. Membuat garis biru tipis yang tidak dia sadari.

"Aku mengambil uang yang bukan miliku, aku pencuri, aku menyesal, Nak," ujarnya

Dia sibuk menunduk dan menyesali perbuatannya yang telah terlambat. Tanpa senyuman aku menyempurnakan lingkaran biru yang aku buat.

Danny.

Wakil Walikota.

40 tahun hidup, sisa waktu 20 tahun.

Kasus korupsi selama 3 tahun.

Divonis hukuman mati.

Itulah data yang aku dapat dari lingkaran. Aku mengangkat satu kakiku sampai batas kepala, bersiap memulai gerakan. Aku menghela napas panjang.

Untuk zaman berteknologi canggih, peristiwa ini tidak masuk ke dalam cabang ilmu sains negara mana pun. Hanya di kota kami dengan sepasang sepatu dan aku sendiri.

Aku melompat ke kanan, berputar ke kiri. Membiarkan diriku menari dengan tenang seperti aliran air di sungai yang tenang. Aku berputar, kemudian melompat lagi. Kedua tanganku secara otomatis menyesuaikan gerakan dengan kaki dan tubuhku. Mereka cerdas sekali.

Perlahan garis-garis lurus dan melengkung yang tidak bersinggungan tercipta dalam lingkaran yang sebelumnya aku buat. Garis-garis itu mulai bersinar biru terang membentuk pola layaknya fingerprint.

Dia menatapku sendu yang kubalas dengan tatapan datar. Kurasa dia telah mengerti. Aku terus menari, membiarkan lingkaran itu membentuk pola fingerprint sempurna. Aku berputar cepat.

Dia menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Ia pusing. Napasnya perlahan semakin berat. Mungkin dalam pandanganya, dia melihat matahari dan bulan bergantian hadir di atas kepala dengan cepat, layaknya sebuah video timelapse.

"Apa yang kau lakukan? Kau yang bertugas membunuhku, Nak?" ujarnya di sela napas yang kian lenyap.

Aku tidak menjawabnya. Aku terus menari dan menari, berputar dan berputar, membuat pandangannya semakin cepat. Waktunya semakin habis. Umurnya semakin terkikis. Aku menari ballerina dengan sepatu tak lazim, membentuk pola fingerprint, membuatnya melihat pergeseran waktu hidupnya yang seharusnya tidak secepat ini dengan sebuah teknologi.

Aku belum berhenti menari. Pola fingerprint bersinar terang sekali. Tangannya jatuh terkulai lemas, berhenti menyentuh kepalanya yang sakit. Napasnya semakin berat dan terputus-putus.

Rambut hitamnya sukses berubah menjadi putih sempurna. Kepalanya tertunduk dan jatuh tak bertenaga menyentuh dada.

"Aku ..., menyesal," ujarnya lirih dengan napas terakhirnya.

Aku menghentikan gerakan, pola fingerprint berhenti bercahaya dan menghilang perlahan. Aku mendekatinya.

Aku merendahkan tubuhku. Menatapnya yang telah berubah menjadi lansia dengan cepat. Wajahnya penuh dengan kerutan, rambutnya putih, dan sangat kurus.

Dua puluh tahun sisa hidupnya habis hanya dalam 20 menit.

Aku menyentuh lengannya. Mencari denyut nadi yang mungkin masih tersisa. Tidak ada. Dia sudah meninggal. Dia telah dihukum olehku dan sepatu berteknologi yang menangkap data kehidupannya dan mempercepatnya waktu hidupnya.

Aku menghela napas panjang dan kembali menyentuh dinding. Aku menyeret kakiku keluar dari ruangan dengan malas.

"Selesai," ujarku.

Aku pasti akan jatuh menyentuh lantai, jika kursi tanam itu tidak otomatis muncul dan menopang tubuhku.

"Bravo, Nala! Kau menari untuku! Kau menari untuk kota kita!" Dia menyerahkan satu tas berisi uang kota kami dengan senyuman lebar. "Kamu pahlawan! Kamu membasmi orang-orang bersalah di kota ini. Kamu harus datang lagi esok."

Aku mengangguk. Meraih tas berisi uang itu, dan menyeret kakiku melintasi lorong untuk pulang ke rumah.

Penari ballerina yang hebat? Pahlawan? Aku pembunuh dengan tari ballerina, mengenakan sepatu tak lazim yang membentuk pola fingerprint dan mempercepat waktu seperti tampilan timelapse pada hidup orang lain.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro