Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Semifinal - Lapse

Semilir angin menyusuri retak malam, membawa dingin yang merasuk hingga tulang. Semilir angin menari, berlalu tanpa salam, menyisa sepi dalam kelam.

Aku menunggunya.

Seseorang yang bahkan tak kutahu namanya. Dia yang berasal dari dunia di luar sana, sosok yang kuanggap berharga, bahkan lebih dari sebuah nyawa.

Aku menunggunya.

Dalam 'penjara' tempat kami berjanji untuk bertemu. Aku menanti dalam jemu, meski sadar benar bahwa keberadaanku hanyalah sesuatu yang semu.

Aku masih menunggunya.

Di bawah langit-langit yang tak berwarna lagi, berikut nyanyian hati yang selaras dengan elegi, lantunan sendu yang disuarakan lewat sebaris syair rindu.

Satu, dua....

Entah bodoh atau apa, aku hanya duduk dan diam, memandang dalam tatapan hampa.

Tiga, empat....

Setitik rasa cemas menyentil anganku, menyadari waktu yang telah kami sepakati dalam periode yang berulang kali, kini telah terlewati. Sampai kemudian sebuah suara yang kukenali, menyapa indera pendengarku dengan alunan yang terdengar sesejuk embun pagi.

Baik, itu konyol. Sesungguhnya bersikap puitis seperti ini sungguh bukan gayaku sekali.

Namun, apakah salah? Setidaknya hal itu mampu mengusir sepi.

"Dua menit empat puluh sembilan detik. Kau terlambat!"

Kulihat seulas senyum meringis tergaris di bibirnya. Sepasang obsidian sekelam langit malam menatapku dalam tatapan yang bercampur antara risih dan rasa bersalah.

"Haruskah kau menghitungnya?" ringisnya pelan.

"Kau tidak pernah terlambat biasanya. Apakah terjadi sesuatu?"

"Ayolah, aku hanya terlambat beberapa menit, 'kan?" sahutnya lagi.

Dia tidak tahu.

Betapa 'beberapa menit'-nya itu adalah seluruh hidupku.

Dia tidak tahu.

Bagaimana aku berusaha mengusir jemu yang kian lama semakin menghantuiku.

Dia takkan pernah tahu.

Bahwa di sini, aku menunggunya dengan seluruh hidupku. Menghitung detik demi detik hingga tiba saat kami untuk bertemu, saat yang dipisah oleh sebuah selang waktu. Dalam ruangan ini, dalam 'duniaku' yang sempit ini, orang ini adalah seluruh hidupku.

"Sudahlah, langsung mulai saja ya? Kan aku sudah datang?" pungkasnya, dan aku memilih menurut.

Ia melempar sepasang sepatu ke pangkuanku, tepat ketika aku hendak berdiri. Sejenak, aku menatap sepatu itu dan dirinya bergantian, membuatnya menyunggingkan tawa kecil.

"Kakimu pasti sakit, 'kan? Menari tanpa sepatu?" ujarnya sebelum aku sempat bertanya. "Pakailah, itu milik Emma. Kurasa ukuran kalian sama?

"Nanti, aku akan mengumpulkan uang untuk membelikanmu sepatu balet yang asli."

Sekali lagi, kutatap sepasang sepatu di pangkuanku. "Aku tidak butuh."

"Kau itu mengerikan, kautahu? Kalau manusia biasa, kakinya pasti sudah hancur jika melakukan hal yang kaulakukan."

"Artinya aku memang bukan manusia."

Keheningan menguasai kami berdua, tepat setelah kalimat itu meluncur dengan mulusnya dari bibirku. Kulihat pemuda di hadapanku menatap dengan sorot yang terlihat sendu, mungkin ia merasa bersalah? Entahlah.

Aku sama sekali tak memikirkannya. Kurasa ia pun turut mencoba untuk mengabaikannya. Dikeluarkannya sebuah biola dari tas yang ia bawa, tanpa basa-basi memasang posisi yang mendandakan ia siap.

Aku sendiri memasang sepatuku, dan kembali, tanpa mengatakan apa pun, ia mulai memainkan biolanya. Melantunkan sebaris nada yang kukenali.

"The Dying Swan?"

"Aku sedang ingin melihat sesuatu yang ... ringan."

"Kematian bukanlah sesuatu yang ringan."

Ada ekspresi yang tak kukenali, tampak sekilas di wajahnya sebelum raut itu kembali terlihat seperti biasa. Aku menggedikkan bahu, lantas mulai menggerakkan tangan dan kakiku ketika lagu yang ia mainkan kembali mengalun.

Aku tidak tahu berapa menit yang telah kami lalui. Kami selalu menikmati keberadaan masing-masing dengan cara seperti ini setiap kali bertemu.

"Apa kau selalu setenang ini?"

Pertanyaan itu membuatku meliriknya di sela tarianku. "Entahlah ... kurasa tidak? Aku ini monster, bukankah semua orang berpikir begitu? Aku mungkin bisa membunuhmu jika ingin."

"Dan kau tidak melakukannya?"

"Untuk sekarang, kurasa tidak. Karena jika kulakukan, nanti aku kembali kesepian."

Permainannya tiba-tiba berhenti ketika kalimat itu terlontar dariku. Ia menatapku lekat, dan lagi-lagi aku menemukan ekspresi yang asing di wajahnya.

"Apa kau pernah terpikir untuk lari dari tempat ini?" tanyanya tiba-tiba.

Sejujurnya, pertanyaan itu cukup membuatku terkejut, namun kuyakin aku tak perlu memberi reaksi yang berlebihan atas hal itu. Toh, dia hanya bertanya. Dia takkan bisa melakukan apa pun, begitu pula dengan diriku.

"Aku hanya seorang anak tak diharapkan yang sialnya lahir di tengah keluarga 'bernama'. Jika aku pergi dari tempat ini, aku takkan memiliki tempat lagi. Pada akhirnya aku hanya akan mati membusuk di jalan.

"Lagipula kau juga tahu, kamar ini hanya bisa dibuka dari luar, dengan sidik jari ayah sebagai kuncinya. Keluar dari sini bukanlah hal yang mudah."

Yah, benar.

Kenyataannya, aku hanya anak hasil selingkuhan yang entah beruntung atau sial, dibiarkan tinggal di rumah ini. Aku tak yakin dapat menyebutnya rumah, karena tempatku adalah lantai bawah yang terisolasi.

Jelas aku dianggap sebagai aib, kebusukan yang harus disembunyikan rapat-rapat. Dibiarkan hidup saja mungkin aku harus bersyukur, meski ... well, itu omong kosong. Sebelumnya, aku bahkan tak pernah berharap untuk hidup.

Sampai aku bertemu pemuda ini.

Dia saudara tiriku. Anak yang dibawa oleh istri ayahku yang baru. Itu yang kudengar darinya. Dia sendiri menemukanku di sini secara tak sengaja ... sekitar satu setengah tahun lalu. Sampai saat ini, ia bahkan tak pernah menyebutkan namanya padaku.

Sejak itu, ia mengunjungiku di sini setiap hari. Dengan selang waktu sekali dalam sehari, di waktu yang sama setiap saatnya. Membuatku tanpa sadar, entah sejak kapan, mulai terbiasa menunggunya.

Mulai terbiasa akan keberadaannya.

Mulai memusatkan fokus 'dunia'-ku padanya.

Mulai ... terjebak dalam perasaan yang agak janggal untuknya.

"Apa kau punya suatu keinginan?" tanyanya padaku lagi, kali ini membuatku mengambil beberapa waktu untuk berpikir.

"Kalau memang mungkin ... satu-satunya hal yang kuinginkan adalah melihat langit. Di atas rerumputan hijau yang luas, menari dengan bebas ... dengan permainan biolamu sebagai pengiringnya. Itu terdengar konyol sih."

Aku tak bisa tak tertawa membayangkan hal itu, membayangkan betapa bodohnya diriku yang mengharapkan sesuatu yang hanya terjadi di dalam dongeng. Namun kemudian ia menjawab, membuatku mau tak mau menatapnya dengan dahi berkerut.

"Aku bisa mengabulkannya."

Tertegun untuk sesaat, namun aku kembali tak dapat menahan tawaku setelahnya.

"Jangan konyol."

"Tunggu di sini."

Ia meninggalkanku seorang diri di ruangan ini selama beberapa saat, sebelum kemudian ia kembali ... dengan menggandeng sepotong lengan di tangannya.

Napasku tercekat di kerongkongan. Untuk beberapa saat, aku bahkan lupa cara untuk bersuara. Sampai suaranya, suara yang selalu kusukai itu, menyapa indera pendengarku lebih dulu.

"Jangan kaget begitu. Sebelumnya kautanya mengapa aku terlambat, bukan?" tuturnya dingin. "Sekarang kautahu alasanku."

"Apa—apa yang sudah kaulakukan?"

Tanpa sadar, aku menarik langkah mundur.

"Kau sendiri jelas tahu, pintu itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari Ayah. Aku telah berkali-kali meminta pada pria tua itu untuk melepaskanmu, dan dia selalu menolak. Jadi, aku menggunakan sedikit paksaan," jelasnya santai.

"Ja—jadi ... yang kaupegang itu...."

"Hm? Ini?" Ia memainkan lengan yang dibawanya. "Milik Ayah, sudah jelas bukan?"

"Bagaimana ... dengan yang lain...?" tanyaku ragu, dan aku sungguh takut mendengar jawabannya.

"Mereka? Nasibnya sama, tentu saja ... kecuali ibuku."

Ia menjatuhkan potongan lengan yang dibawanya dengan serampangan di lantai. Langkahnya pelan mendekati posisiku, sementara ekspresi di wajahnya tampak seolah ia bukanlah orang yang kukenali.

"Jangan takut, kau bebas sekarang. Tak perlu pikirkan apa pun, aku dan ibuku akan mengurus semuanya. Kau hanya perlu tutup mulut ... dan hidup dengan bahagia. Di sisiku. Selamanya.

"Kau tidak perlu lagi menungguku di kamar sempit ini, menanti selang waktu itu tiba. Kau tidak butuh ayah untuk keluar dari sini, kaubisa keluar kapan saja. Kaubisa menari sebanyak yang kauinginkan. Bukankah itu menyenangkan?"

Ia meraih daguku, sepasang obsidian sekelam langit malam menatapku dengan sorot teduh namun menusuk. Seulas senyum miring tergaris di bibirnya.

"Kau milikku sekarang."  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro