Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab Terakhir - Final Task

Sayangnya, roda takdir tidak berpihak pada mereka. Lantai yang mereka pijak tiba-tiba bergetar. Suara ledakan juga terdengar dari lantai di bawah mereka.

Kalau begini, kabur menggunakan lift sudah tidak dapat diharapkan lagi. Padahal tadi Xi berharap bisa memperbaiki lift itu dengan peralatan yang tadi sempat dia lihat di laboratorium sebelah. Menyeret tiga orang yang tidak sadarkan diri menaiki tangga--yang belum juga mereka temukan--pun rasanya tidak mungkin.

Untunglah saat pikirannya buntu, Xi melihat jari-jari pria kekar yang tadi mereka selamatkan bergerak. Segera Xi menghampiri pria itu dan menampar pipinya keras-keras.

"Tuan! Hei, Tuan! Bangunlah!" Gadis itu bolak balik menepuk pipi si pria gondrong. "Bangun atau kami terpaksa meninggalkanmu."

Kelopak mata pria itu berkedut pelan.

Xi mengambil salah satu golojnya dan memotong kabel-kabel yang mengikat tubuh pria itu ke kursi.

Lantai yang J pijak bergetar, pun dengan dinding ruangan itu. Samar, J bisa mendengar suara ledakan.

J refleks mengedarkan pandangannya, memastikan situasi di sekitarnya. Jika didengar dari bunyinya, mungkin bom itu pun ada di lantai lain dan sekarang sudah meledak.

Xi yang menghampiri pria besar di depan J, menampar-nampar pipinya, membuat J terkejut dan kebingungan dengan perilaku Xi. "Tuan! Hei, tuan! Bangunlah! Bangun atau kami terpaksa meninggalkanmu."

J melongo, bingung apa yang harus dilakukannya. Tapi sepertinya dia juga harus membangunkan yang lain seperti Xi.

Akhirnya, J mendekati pria berkacamata yang tidak jauh darinya dan mengguncang-guncangkan bahu pria di depannya. "Banguunn!"

Namun, baru sebentar J mengguncang tubuhnya, V sudah lebih dulu berjalan menuju leher pria itu dan menggigitinya.

*

Silas mendengar namanya dipanggil-panggil. Udara lumayan segar menyelisip melalui hidung menuju paru-paru.

Segar.

Mata Silas perlahan terbuka.

"A-aku masih hidup?" bisiknya samar.

Udara berisi oksigen masuk ke dalam tubuh membantu pembakaran sel-sel di dalam tubuhnya. Perlahan kesadarannya kembali.

Pria itu berusaha menoleh dan melihat Gadis Jamur yang sedari tadi bertahta di pikirannya. Dia sama sekali lupa tentang sosok yang baru saja menanparnya berkali-kali.

"No-nona Sara?"

Silas beringsut mendekati tubuh yang bergeming itu. "No-nona?"

Kali ini, seperti air bah, rasa kekhawatiran menghantam dada Silas. Wajah pria itu memucat dengan jemari yang mulai terasa dingin.

Silas menoleh ke sekeliling. "A-apa yang terjadi padanya?!" raung pria itu frustrasi dengan suara lemah dan patah-patah.

*

Saat kesadarannya hampir benar-benar menghilang, Deo merasakan rasa sakit yang menyengat di lehernya.

"Aduh ...." Deo mengaduh pelan sambil membuka matanya, ia melihat langit-langit ruangan yang berputar-putar.

Samar-samar di telinganya mendengar banyak suara.

Ah, ia masih hidup.

*

"Aduh ..." Pria di depannya tiba-tiba bersuara, buru-buru J mengambil V dan memukul kepalanya pelan, nakal sekali!

"Maaf, sungguh maafkan aku, dia memang suka gigit-gigit," ucapnya pada pria di depannya.

"No-Nona Sara?" J menoleh begitu mendengar suara yang asing. Ternyata pria besar yang tadi ditampari Xi sudah bangun. Dengan tubuh yang masih lemah, pria itu mendekati wanita yang dia panggil Sara.

Pria itu memanggil lagi wanita di depannya, Sara, namun dia tidak kunjung menjawab. "A-apa yang terjadi padanya?!"

J menoleh pada Xi, dia pikir wanita masih hidup? Tapi kenapa pria itu bersikap seolah wanita bernama Sara itu sudah mati?

Pria besar itu akhirnya terbangun. Begitu membuka mata, dia langsung menuju tubuh wanita yang tadi Xi ikat ke kursi.

"A-apa yang terjadi padanya?!" tanya pria itu panik.

Xi buru-buru mendekat. Disentuhnya pergelangan tangan wanita itu. Denyut nadi yang tadi samar terasa, kini hilang sama sekali. Xi mengernyit. Dia coba menyentuh leher serta meletakkan jari di bawah hidung si wanita cantik. Lagi-lagi nihil.

"Ku-kurasa, dia sudah meninggal."

Silas terdatuk bangkit, terhuyung, jatuh menubruk lantai.

"Tidak....."

*

D

eo terbatuk-batuk. Dia baru saja sadar dan hal pertama yang dia hirup adalah udara yang sudah bercampur dengan asap.

Ada yang terbakar.

"Kebakaran?" tanya Deo lemas kepada siapapun yang ada di sana.

*

J tidak menyangka wanita bernama Sara itu mati. Pria besar itu terlihat sangat terpukul akan hal itu, J hanya bisa menunduk prihatin. Sara mestilah orang yang sangat berharga bagi pria itu.

"Kebakaran?" tanya Pria berkacamata itu.

"Euh, mungkin. Tapi yang pasti tempat ini akan meledak, jadi kita harus segera pergi."

Setelah mengatakan itu, J menepuk pundak pria besar yang masih bersedih atas kepergian Sara. "Maafkan kami tidak sempat menolongnya, tapi kita harus segera pergi."

Tepat setelahnya, bunyi ledakan kembali terdengar. Jika mereka tidak segera keluar, mungkin tidak akan ada yang selamat dari mereka.

"Ayo." ucapnya lagi pada pria besar itu sembari melirik Xi. Jangan sampai Xi jadi terluka di sini karena permintaannya.

*

Napas Silas berantakan. Dia sungguh ingin membopong tubuh Sara yang sudah kaku. Akan tetapi, itu hanya akan memperlambat semua orang.

Cintanya kandas. Harapannya musnah. Asanya telah lenyap.

"Nona ... Jamur ... Teh ... Maaf...."

Silas tak bisa merunut kata yang keluar dari mulutnya. Kepalanya terlalu penuh dengan pikiran-pikiran berkelidan saling tindih tak beraturan.

Dia bangkit dan terhuyung dengan luka di kakinya.

Aku pasti akan melakukan sesuatu demi membalas kematianmu! Satu tetes bulir bening mengalir menyusuri pipi dan langsung disekanya cepat.

"Ayo kita pergi!"

*

Xi bersyukur perkataan J berhasil menyadarkan pria itu. Tampaknya meski terluka, si pria berambut biru kehijauan itu masih dapat berjalan.

"Maaf, Tuan. Apakah kau tahu lokasi tangga darurat di gedung ini? Tadi kami menemukan lift di ujung lorong, tapi tidak berfungsi." Xi menatap kedua pria asing di hadapannya bergantian.

Deo mencoba duduk meski kepalanya masih pusing. Ia yakin jika ia berdiri pun ia masih belum stabil.

Sepertinya ia akan merepotkan.

Deo mengangguk. "Meski denah laboratorium utama statusnya sangat rahasia, demi keamanan para saintis dan pengguna gedung, jalur darurat tetap diberi penanda, kita bisa keluar mengikuti itu. Atau ...."

Deo memijit kepalanya, lalu batuk-batuk.

"Atau kita bisa keluar lewat pintu terdekat, semoga belum diblokade." Deo teringat jika mereka tadi sempat keluar melewati labirin dan harus masuk lagi ke ruangan terdekat karena pembicaraan dengan Kanselir.

Jalur tersebut bisa cepat dipakai dan tak perlu melewati labirin yang rumit.

"Kalian bisa tinggalkan saya," ucap Deo dengan yakin.

Silas menatap Deo heran. "Tuan wartawan.... Apa maksudmu? Apa jangan-jangan kau...."

Deo menoleh.

"Oh, Tuan Silas masih hidup." Kalau begitu ....

Deo menyimpan perkataannya melihat seorang wanita yang tergeletak tak bergerak di dekat Silas. Ia tahu apa yang terjadi.

"Karena saya belum mati, jadi ada urusan yang harus saya selesaikan." Deo tersenyum membalas Silas. "Jangan khawatirkan saya."

Tak bisa menerima alasan Deo, Silas hendak membuka mulut. Namun, tatapannya beradu dengan tubuh Sara.

Pria itu menggigit bibirnya kuat-kuat menahan semua kesalnya.

"Saya harap Anda tidak bertindak gegabah. Dan berdoa saja bahwa bukan Anda yang menyebabkan kematian Nona Sara!"

Silas memutar tubuhnya dan bergerak menjauh

Masih dengan senyumnya, Deo menelengkan kepalanya mendengar perkataan Silas.

Bisa dimengerti.

Sayangnya, ia mau lari ke manapun, Kanselir juga pasti akan menangkapnya, ia sudah tahu terlalu banyak, dan dalam hal ini, Kanselir pasti sudah menilai bahwa ia tidak setia.

Ia pasti akan hidup dalam perburuan, daripada begitu, lebih baik ia mengakhirinya di sini. Akan lebih baik jika Kanselir atau Wakilnya yang menemui dia sekarang untuk memastikan keadaannya.

Atau mungkin para pengawal mereka, siapapun itu. Pastinya Kanselir tidak akan meninggalkan satu pun saksi yang masih hidup.

Kenapa pria-pria yang ditemuinya selalu saja merepotkan? Xi berusaha menahan diri untuk tidak membentak seorang pria yang baru saja bangun dari pingsan.

Sambil menahan emosi, Xi berkata kepada Deo, "Gedung ini bisa runtuh kapan saja. Jadi, kita tidak punya waktu untuk berdebat. Kalau Anda tidak mau ikut, tunjukkan saja pada kami jalannya."

Mereka harus segera keluar dari tempat itu. Xi berharap J tidak akan bersikeras membujuk pria yang tampaknya sudah kehilangan semangat hidup itu.

Deo menoleh ke seseorang yang berbicara dengannya.

Siapa? batinnya.

"Tinggal ikuti saja arahnya, aku tidak terlalu hapal denah gedung ini, Nona. Namun, tentu saja penanda arah tidak pernah berbohong."

Setelah itu Deo nampak berpikir sebentar sebelum lanjut berbicara.

"Kalau lewat jalur yang cepat, Tuan Silas bisa menunjukkan jalannya ke kalian."

*

Pria berkacamata itu berbicara tentang jalan keluar. Dan di akhir kalimatnya, dia mengatakan sesuatu yang tidak J duga. "Kalian bisa tinggalkan saya." Pria itu terlihat yakin sekali saat mengatakannya.

J melongo kebingungan, meninggalkannya? Di gedung penuh bom?

Belum sempat J mencegah orang itu, pria besar itu angkat bicara dan beradu mulut dengannya, membawa-bawa topik kematian Sara.

J sempat mengira dia telah menyelamatkan musuh, namun mendengar pria berkcamata itu menunjukkan jalan keluar, pemikiran itu seketika hilang dari pikiran J.

"Apa benar kau yakin ingin ditinggal di sini? Urusan yang kau katakan itu, apa tidak sejalan dengan jalan keluar? Mungkin kita bisa pergi bersama?" J bertanya, memastikan keputusan pria berkacamata itu.

Apa urusannya yang lain tidak sejalan dengan jalan keluar mereka? Hmm, pada dasarnya, iya.

Jadi, Deo mengangguk dengan ramah.

"Betul, kalian bisa pergi duluan. Ingat, kalian berpacu dengan waktu."

J berpikir sebentar sebelum menjawab, "oke. Pastikan kau keluar dengan selamat ya." J tersenyum kecil pada pria itu sebelum akhirnya menghampiri pria besar itu. "Perlu bantuan untuk berjalan?"

Silas menatap pria berambut ikal di hadapannya. Membopongnya hanya akan memperlambat gerak.

"Bisa tolong dorong saja kursi beroda itu? Saya akan duduk di sana. Lebih efektif bagi kita bergerak di lantai yang masih mulus ini. Nanti kalau kita bertemu reruntuhan, baru saya akan berjalan."

Silas bergerak terpincang ke arah kursi dan duduk di atasnya.

"Terima kasih."

Gedung itu kembali bergetar hebat, bahkan kali ini diiringi suara benda-benda yang jatuh dan pecah. Mungkin sebenatar lagi giliran bom di lantai mereka yang akan meledak.

"Tadi, kami menemukan lift di ujung lorong. Namun, kami belum berhasil menemukan pintu menuju tangga darurat. Mungkin tidak ada salahnya kita mengecek lagi ke sana." Xi membuka pintu dan menahannya agar J dan pria bernama Silas itu bisa lewat.

"Yang jelas, kita tidak bisa terus berdiam diri di sini." Xi menatap sekilas ke arah pria berkacamata, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

"Pergilah, jangan kebanyakan lihat-lihat." Deo terkekeh sambil mengisyaratkan mereka untuk segera pergi dengan mengibaskan tangannya.

*

Pria itu memilih duduk di atas kursi. J mengangguk pelan dan membantunya naik ke atas kursi.

"Terima kasih."

"Sama-sama." Balasnya sembari tersenyum.

Setelahnya gedung kembali bergetar, membuat J mengedarkan pandangan. Kali ini getatannya lebih kuat, bahkan terdengar suara benda-benda jatuh.

Xi membuka pintu ruangan itu sembari menjelaskan tentang lift yang tadi dia temukan.

Melihat pintu yang sudah dibuka, J mulai mendorong kursi yang diduduki pria besar itu.

"Yang jelas, kita tidak bisa terus berdiam diri di sini." J mengangguk kecil dan mendorong kursi itu keluar dari ruangan.

Sebum pergi, pria berkacamata itu sempat mengatakan sesuatu lagi, "pergilah. Jangan kebanyakan lihat-lihat." J tidak tahu kalimat ditunjukkan untuk siapa, tapi dia memilih untuk melihat pria itu sekali lagi, "sampai bertemu lagi," ucapnya sembari tersenyum, sebelum akhirnya dia mendorong kursi itu sepenuhnya keluar ruangan.

Suasana lorong yang sebelumnya mereka lalui masih terasa sama, yang berbeda hanyalah salah satu jendela ruangan yang pecah. Mungkin karena Xi.

"kita mau ke mana? Mana tanda petunjuk arah?" Silas menoleh ke sekeliling mencari lambang merah yang biasa diletakkan untuk petunjuk arah saat keadaan darurat.

"Apa ada yang melihat?"

"Sepertinya tadi aku melihat beberapa tanda panah di dekat lift," jawab Xi sembari mempercepat langkah. Dia memimpin jalan menuju ujung lorong yang tadi sempat diperiksanya.

Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan J dan Silas masih mengikutinya.

Langkahnya terhenti di depan lift. Kini, lampu di bagian itu semuanya telah padam. Mungkin akhirnya aliran listrik di lantai itu telah seluruhnya terputus. Namun, Xi kini dapat melihat lebih jelas petunjuk arah yang berpendar dalam gelap. Saat pertama kali ke sana, dia pikir garis-garis itu hanya sekadar dekorasi saja.

Garis-garis itu mengarahkan mereka ke salah satu pintu di seberang lift. Xi buru-buru mendorong pintu tersebut, tetapi tidak terjadi apa-apa.

"Pintunya macet," seru Xi panik.

"Macet? J melepaskan pegangannya pada kursi, menghampiri pintu.

J mencoba mendorongnya, benar macet. J mencoba mendorong tubuhnya ke pintu, mendobraknya.

Brak!

Bunyinya cukup keras, namun tidak cukup untuk membuka pintu itu. "Coba kita dobrak bersama." J menatap Xi, meminta bantuannya.

Xi mengangguk. Mungkin pintu itu akan terbuka jika didorong dua orang.

"Satu ... Dua ...Ti--" Xi memberi aba-aba, "ga!"

*

Deo berusaha berdiri dan menstabilkan dirinya. Lantai beton di atasnya memang bergetar hebat. Siapa yang sanggup memasang bom dengan daya ledak kuat seperti itu? Itu yang ada di pikirannya. Apalagi, lolos dari cengkeraman Kanselir.

Setelah berhasil berdiri, Deo berjalan ke arah tubuh pucat seorang wanita yang tertidur di atas lantai. Tangannya mengepal erat dan bibirnya bergetar melihat tubuh Sara yang tidak akan bangun lagi.

"Bukankah seharusnya Anda mendapat penghormatan yang lebih layak?" tanya Deo, meski tidak ada yang akan membalas.

"Anda juga tidak dapat mendapatkan pengadilan yang layak." Deo mendesah. "Maaf, saya tidak membawa bunga."

Kemudian hening. Deo tidak tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Menguburkan wanita tersebut? Di mana? Berdoa? Dia tidak percaya Tuhan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menyalahkan Kanselir ... dan menyalahkan diri sendiri.

Apakah ini adalah harga yang harus ia bayar dari pengabdiannya selama ini? 

Deo tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang kecil dan tidak berdaya. Ia meraih ponselnya, informasi baterai di layar menunjukkan kalau baterainya tinggal sedikit. 

Untuk pertama kalinya ia tidak ingin menulis lagi, jadi ia membuka perekam suara.

"Saya ingin membuat sebuah pengakuan. Ini adalah kesalahan terbesar saya yang rasanya, selamanya tidak akan dapat saya tanggung."

Deo menarik napas.

*

Setelah merekam pesan suara tersebut, Deo melangkah ke luar ruangan. Ia sempat menoleh sebentar ke tubuh Sara dan melakukan penghormatan terakhir dengan menundukkan kepala.

Setelah itu ia baru benar-benar melangkah menjauh dari pintu, menuju ke arah ramp. Tepat saat para militer Liberté turun dengan senjata lengkap.

Waktunya tepat sekali.

Deo mengangkat salah satu tangannya dan melambai.

"Saya di sini!"

Para militer segera bersiap dengan mengacungkan senapan ke arahnya. Deo mengangkat kedua tangannya, tanda gencatan senjata.

Namun, kemudian ia menyeringai.

Deo tidak mungkin lari, ia hanya akan hidup dengan rasa bersalah atau hidup dalam perburuan. Lagipula, ia bukan Peregrine Drake, ia akan menghadapi apa yang harus ia selesaikan.

Ia yang harus membuat kepastian.

Jadi, tiba-tiba saja ia merogoh ponselnya yang sudah mati dan melemparkannya ke arah pengawal. Berharap bahwa tenaganya cukup untuk melemparkan ponsel tersebut.

"Sampaikan ponsel itu kepada Wakil Kanselir yang saaangat baik hati."

Karena gerakan Deo yang tiba-tiba, para pengawal yang dilatih untuk sigap dalam menilai ancaman segera saja menekan pelatuk.

Suara tembakan terdengar tepat saat ponsel tersebut melayang ke arah mereka.

Tubuh Deo ambruk dengan sebuah lubang berisi peluru panas tepat di jantungnya.

*

Deo ... tidak akan kuat hidup dalam perburuan dan menanggung beban kesalahan yang besar. Ia tidak yakin bahwa bertobat dan percaya kepada Tuhan cukup untuk menebus apa yang selama ini ia lakukan.

Deo juga tidak yakin bahwa ia akan bisa bertemu dengan orang tuanya. Situasinya sekarang sangat penuh dengan ketidakpastian ... tetapi manusia punya kendali tersebut.

Manusia bisa menentukan kepastian. Deo yang akan menentukan takdirnya sendiri.

Kali ini ia tidak akan menulis lagi, jadi ia menekan tombol perekam suara di ponselnya.

"Saya ingin membuat sebuah pengakuan. Ini adalah kesalahan terbesar saya yang rasanya, selamanya tidak akan dapat saya tanggung."

Deo menarik napas.

"Liam Cohen, saya mencintai Anda dengan bodohnya. Itulah kesalahan tersebut."

Deo tersenyum, veritatis simplex oratio est, bahasa kebenaran itu sederhana, dan begitulah kebenarannya.

*

Brak!

Pintu itu berbunyi lagi bersamaan dengan J yang hampir terjath karena pintu yang tiba-tiba terbuka.

"Terbuka!" J bersorak senang.

Silas melihat kedua orang itu bekerja keras dengan perasaan bersalah. Kakinya masih terlalu lemah untuk digerakkan.

"Terima kasih banyak."

"Kau bisa berterima kasih kalau kita sudah sampai di atas," timpal Xi sambil mengamati deretan anak tangga yang seolah tanpa ujung.

Xi menoleh pada Silas dan berkata, "Kurasa sekarang kau harus berjalan, Tuan."

Silas mencoba berdiri. Rasanya masih lemah sekali. Kekurangan asupan oksigen dalam beberap waktu ternyata masih memengaruhi kekuatan tubuhnya.

Namun, dirinya tidak mungkin selalu menjadi oenghalang.

"Baik. Jika terjadi sesuatu dan saya menghambat, tinggalkan saja saya di belakang. Lebih baik kalian menyelematkan diri duluan dariapda mencoba menyelamatkan saya yang sudah cedera."

J meraih tangan pria besar itu, membantunya berdiri. "Kita coba saja dulu untuk keluar bersama," ucapnya dan perlahan membantu  pria besar itu menaiki tangga.

"Apa kursinya perlu kita bawa?" J menoleh pada Xi, bertanya padanya.

"Biar aku yang bawa." Xi menawarkan diri. "Kalian naik dulu, aku akan menyusul."

"Oke." J menjawab pendek dan lanjut menaiki tangga.

Gedung terkadang kembali bergetar diiringi suara ledakan. Entah sudah ledakan keberapa, dan kapan bom yang berada di lantai ini meledak pun, J tidak tahu. Yang pasti mereka harus segera keluar dari sini sebelum itu terjadi.

J terus melangkah menaiki tangga, sesekali menoleh, memastikan Xi masih di belakangnya.

Meski sedikit kerepotan karena harus menaiki tangga sambil mendorong kursi, Xi berusaha untuk mengimbangi langkah J dan Silas.

Mereka melewati satu pintu. Artinya, mereka telah tiba di lantai berikutnya. Sepintas Xi sempat melihat tulisan B1 berpendar di atas pintu itu.

"Kurasa, lantai berikutnya adalah jalan keluar. Perhatikan apabila ada pintu lagi, J," teriak Xi berusaha menyaingi suara gemuruh dari lantai di bawahnya.

J masih bisa mendengar suara Xi walau terdengar samar karena suara gemuruh semakin besar.

"Oke!" J balas berteriak. Dia tidak sempat menoleh ke belakang, tangga yang dipijaknya kini sedikit bergoyang, dirinya sibuk mempertahankan keseimbangan dirinya dan pria besar di sampingnya.

J terus berusaha menaiki tangga, berharap tangga itu tidak roboh terlebih dahulu sebelum sampai di lantai berikutnya.

Mata J menangkap pintu dengan tulisan GF berpendar di atas pintu itu, dia sumringah. "Itu pintunya, Xi!" Serunya sembari sedikit mempercepat langkahnya.

Silas merasakan firasat buruk. Apa pintu itu jebakan? Tidak tahu! Namun, perasaan tak nyaman ini terus mengganggunya.

"Ayo, kita bergegas. Tinggalkan saja kursinya! Itu menghambatmu bergerak!" Silas menoleh ke arah wanita berambut keperakan itu.

"Kursi ini mungkin bisa berguna," jawab Xi dengan napas terengah-engah. Asap dari lantai bawah mulai membuatnya sesak.

"Apa kau bisa buka pintunya, J?"

J menoleh pada Xi yang masih di tangga. Dia terlihat kelelahan, mungkin seharusnya memang kursinya ditinggal saja seperti kata pria besar itu.

"Aku coba dulu." J menurunkan pria besar itu di samping pintu dan mendorong pintunya.

Diluar dugaan, pintu itu tidak macet seperti pintu sebelumnya. "Pintunya sudah dibuka! Ayo masuk Xi!" J berseru pada Xi. Sembar menahan pintunya, J mengulurkan tangan pada pria besar itu untuk melanjutkan perjalanan.

"Waspadalah. Aku merasakan firasat buruk," bisik Silas dengan napas terengah.

Belum pernah Xi sesenang ini melihat lantai putih mengilat dan datar. Akhirnya dia tidak perlu kerepotan menyeret kursi lagi. Segera diletakkannya kursi berat itu dan menepuk-nepuk alas duduknya yang berdebu. Dia tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang Silas ucapkan.

"Anda bisa duduk lagi, Tuan Silas. J bisa mendorong Anda sambil mencari jalan keluar. Dan kalau Anda tidak keberatan, saya ingin menitipkan ransel ini sebentar," ucap Xi sembari menurunkan ranselnya dari punggung.

Sebenarnya ransel itu hanya berisi jurnal, sedikit perbekalan, dan beberapa pisau Edda. Tidak berat. Namun, Xi merasa sedikit kesulitan bernapas karena terlalu banyak menghirup asap dan debu. Dia tak berhasil menemukan masker gasnya, mungkin terjatuh saat bertarung melawan pemberontak tadi.

J terdiam mendengar ucapan pria besar itu, lantas setelahnya mencoba tersenyum optimis. "Kita besa keluar bersama."

Setelahnya Xi sampai dan meletakkan kursi, mempersilahkan pria besar bernama Silas itu untuk duduk dan menitipkan ranselnya pada Silas.

Bum!

Suara ledakan itu terdengar lebih dekat, dan sepertinya memang sudah dekat!

"Kita harus keluar! Xi, masih bisa berlari?" J menoleh pada Xi sembari membantu Silas duduk di kursinya.

Suara ledakan terdengar lagi, juga suara berondongan peluru yang entah berasal dari mana.

"Kita harus keluar! Xi, masih bisa berlari?" tanya J sambil menoleh padanya.

Xi menutupi hidungdengan ujung jubahnya, jubah pemberian Raz. Debu dan asap makin pekat di udara. Xi merasa bodoh sekali, bisa-bisanya tidak sadar bahwa telah kehilangan masker gasnya, padahal sejak dulu dia memang tidak tahan dengan bau asap.

"Lihat ke depan, J!" omel Xi di sela batuknya. "Jangan sampai Tuan Silas terjungkal dari kursi!"

Xi berusaha terus berlari. Dia adalah salah satu pelari tercepat di kelompok Messenger, tetapi hari itu tungkainya terasa begitu berat.

Rasanya dia ingin berhenti sebentar untuk beristirahat. Namun, bongkahan beton yang mulai berjatuhan dari langit-langit tidak memberinya waktu. Dia harus berhasil keluar dengan selamat dari gedung itu. Ada janji yang harus dia tepati, kepada Raz dan dirinya sendiri.

Dengan susah payah, Xi terus mengayun kakinya. Punggung J makin jauh. Suara dentuman justru terasa makin dekat.

"Semua baik-baik saja?" Seseorang berteriak dari kejauhan. Suara itu begitu familier bagi Xi karena setiap malam terus menggema di kepalanya.

Xi berhenti sejenak. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum paling lebar yang pernah dia ukir. Gadis itu merasa lega.

Semoga saja aku tidak berhalusinasi

Seperti menemukan suntikan tenaga, Xi kembali berlari. Tak sabar ingin memastikan sendiri bahwa Raz benar baik-baik saja.

Kraak!

Langkah Xi kembali terhenti. Dia membelalak menatap lantai yang tengah dipijaknya.

"J! Lari!" Teriakan Xi melengking tinggi, berusaha menyaingi bunyi retakan yang makin kencang terdengar.

Semuanya terjadi begitu cepat. Retakan yang timbul terus membesar, lalu membentuk lubang yang menganga lebar.

Kedua tangan Xi menggapai udara, berusaha mencari pegangan. Namun, lubang itu lebih cepat menelan tubuhnya.

"Lihat ke depan, J! Jangan sampai Tuan Silas terjungkal dari kursi!" Teriakan Xi langsung membuat J menoleh ke depan, tidak ingin Silas terjungkal.

Mereka terus berlari dan suara gemuruh terus membesar dan membesar, seolah mendekati mereka. J terus berlari sembari menoleh ke belakang, memastikan Xi masih mengikuti di belakang.

"Semua baik-baik saja?" Teriakan itu membuat J kembali menoleh ke depan. J kenal dengan suara itu, Raz. Dan jika ada Raz, pasti Ducky sedang bersamanya.

"Berpegangan!" J sedikit berseru pada Silas.

Namun belum sempat J mempercepat larinya, sebuah suara retakkan menghentikkan langkahnya. J menatap lantai di bawahnya namun tidak melihat retakkan itu.

"J! Lari!" Tepat setelah teriakan Xi, suara retakkan itu membesar disusul dengan suara sesuatu yang berdebum kencang, seperti terjatuh.

Begitu kepala J menoleh sepenuhnya, matanya tidak melihat Xi yang seharusnya berada di belakanhnya. Sebagai gantinya, sebuah lubang yang cukup besar. Dirinya sempat melihat kain yang berkibar, ikut jatuh ke bawah entah bersama apa.

Namun sepertinya J tau, apa yang jatuh. "Xi? ..." Ekspresi J sulit diartikan, dia kebingungan, namun sedikit bisa menangkap apa yang terjadi sebelumnya. Dia ingin bersedih, namun semuanya terjadi terlalu cepat hingga air matanya bahkan tidak menetes.

"Jeii!!!" J mendengar panggilan itu, terdengar marah. Pasti Ducky. Seharusnya J senang mendengar suaranya, namun menoleh pun tidak. Tidak sampai Ducky berada di sampingnya, dia menoleh lemah.

"Ducky ..."

"Jei." Ducky memanggilnya, namun pikiran J masih berusaha mencerna semuanya. "Ayo! Tempat ini sudah..." J tidak lagi mendengar ucapan Ducky selanjutnya, semua suara sekitarnya teredam, tidak terdengar.

Emosinya kacau sekali kini, bahkan hingga dia tidak mampu menyusunnya atau memahami apa yang dirasakannya kini.

Seketika, rasa sakit menghantam dadanya, membuat dadanya sesak. Hingga, satu tetes air mata lolos, mengaliri pipinya.

J melepaskan pegangannya pada kursi dan mengenggam lengan Ducky, genggamannya lemah sekali, seperti meminta bantuan. "Xi ... Aku ... Maaf .." J kesulitan menyusun kalimatnya, mulutnya masih membuka, mencari kalimat yang tepat. Namun gagal, air mata sudah lebih dulu membanjiri pipinya, dia jatuh berlutut dengan kedua tangannya masih mengenggam lengan Ducky.

Rasa bersalah seketika menghampiri J, membuat tangisnya semakin kacau saja.

Semua ini tidak akan terjadi jika dia tidak keras kepala untuk menyelamatkan orang-orang di ruangan itu.

Tidak, jika saja dirinya tidak terlalu lemah hingga Xi merasa harus menjaganya, Xi mungkin bisa pergi terlebih dahulu tanpa memedulikan dirinya.

Xi ... Ven ... Akankah kalian tetap berada di sini jika saja aku lebih kuat?

Tapi lagi, dirinya hanya menangis dan menangis, menyesali yang telah terjadi tanpa mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa mengikuti, menerima perintah dari orang lain, kebingungan dan terlalu naif untuk semua ini.

Dia tidak bisa semahir Ducky dan Ven dalam bertahan hidup dan bertarung, tidak semahir Xi untuk memimpin jalan. Dirinya tidak bisa apa-apa, namun menyebalkannya selalu dia yang bertahan hidup.

Padahal mereka ... Lebih berguna ...

Begitu Raz menyebut nama Xi, hati J terasa berat. Bagaimana dia mengatakannya? Bagaimana dia bisa bertatap muka dengan Raz setelah ini?

Apa yang telah kuperbuat ...

J melepaskan genggamannya pada lengan Ducky, dengan tangis yang masihbtersisa dan suara gemetar J membuka mulutnya, "maafkan aku Raz." J berkata lirih, masih menunduk, tidak sanggup menatap wajah Raz.

J tidak tahu lagi, jika Raz marah padanya, dia akan menerimanya. Karena aku yang salah di sini.

Silas bisa melihat pria berambut ikal itu tampak begitu depresi. Kematian demi kematian. Otak Silas bahkan tak mampu memproses semua. Ada hilir mudik fakta yang berjejalan di kepalanya.

Silas ingin bicara sedari tadi, tapi otaknya membeku, bibirnya kelu, dia bahkan tak tahu lagi harus bertindak seperti apa.

Mungkin memang sebaiknya dirinya yang mati? Dirinya begitu tidak berguna dibandingkan orang-orang yang tewas sedari tadi.

"Munkin ..." Silas akhirnya bicara dengan lembut ke arah pria berambut ikal itu. "Tuhan memang membuat kita hidup untuk..." mengenang kehebatan mereka. Agar mereka "tidak tersiksa di dunia yang ..." Kacau balau penuh konspirasi dan penghianatan, juga kebencian dan  rasa pedih akan.... "Kehilangan."

Silas bahkan tak bisa mengingat bagaimana dia harus berbicara. Tas yang ada di pangkuannya dipeluk erat.

"Kalau ada yang tidak berguna...." Aku lah orangnya.

Tilia tak mengenal orang-orang di sekelilingnya, kecuali Tuan Bebek. Melihat ada salah satu dari mereka yang terluka dan butuh penanganan, tubuhnya bergerak sendiri. Bahkan sebelum Tuan Bebek memberikan instruksi untuk mengungsikan lelaki besar berpenampilan layaknya ilmuwan Liberté.

Ilmuwan besar itu mencoba memberi ucapan penghiburan pada pemuda kurus yang sedang bersimbah air mata, dengan kalimat yang tak lengkap. Namun kepedihan yang tersampaikan dari raut wajahnya sama beratnya.

"Tak ada nyawa yang tak berguna," celetuk perempuan itu sembari menarik kursi beroda yang diduduki ilmuwan besar itu, menjauh dari reruntuhan.

"Besar atau kecil pengaruh nyawa itu pada dunia, siapa yang bisa mengukur ... Tuhan? Manusia? Kita tak pernah tahu."

Tilia mendorong kursi berikut penumpangnya menuju pintu keluar.

"Tugas kita sebagai pemilik nyawa, hanya perlu bertahan hidup dan menggunakan nyawa itu sebaik-baiknya."

Silas mendongak menyelami kata yang masuk ke telinganya.

"Bernarkah aku..." Berguna? Kalau diibaratkan, saat ini aku mirip ... "Geastrum britannicum" yang belum ketahuan gunanya apa. Namun, jika terus berusaha, mungkin aku bisa lebih berguna menstabilkan penunjang kehidupan Liberte dan koloni-koloni lain... "dengan ilmuku yang sedikit. Begitukah?"

Silas kembali mendongak mencari jawaban.

"Mungkin ... Tuhan memang membuat kita hidup untuk ... tidak tersiksa di dunian yang ... Kehilangan." J mendengar ucapan Silas, namun perasaannya terlalu kacau untuk menjawab ucapannya.

Dia begitu tidak punya muka untuk mengkat kepalanya, bahkan dia tidak tahu bagaimana ekspresi Raz sekarang. Pastinya Raz marah ....

Setelahnya suara perempuan yang asing di pendengaran J terdengar, J tidak dia siapa, tapi terdrngar dari percakapan mereka yang semakin kecil sepertinya orang itu membawa Silas menjauh.

"Kita pergi sekarang." Ducky menarik lengan J.

J tidak berbuat banyak, dia hanya menuruti Ducky dengan langkah gontai, membiarkan dirinya tertarik oleh Ducky.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro