Bab 2 - Task 03
Senja akhirnya nyaris sirna, Sara sudah berpikir untuk segera pulang ke laboratoriumnya dan menyapa kasur sebelum mengerjakan tugas perihal Liberte yang penopang hidupnya tinggal 50% sebagai pekerjaan rumah. Ia menahan kuap lebar sambil menuju ke arah pintu.
Oh? Gagang pintunya sama sekali tidak merespon. Tulisan-tulisan yang tampak seperti sandi yang harus dipecahkan mulai berpendar di daun pintu. Wah, apakah ia terjebak? Sara pun melihat kembali ke arah tempat duduk, melihat Silas dan Deo yang ada di ruangan.
Apa ini artinya ia terkunci bersama dua pria? Sara menahan secercah tawa.
Oke, oke, ini bukan waktunya untuk tertawa, ia harus memberitahu dua orang yang ada bersamanya bahwa mereka telah terkunci dari luar.
"Ehm, kalian, pria-pria tangguh? Kita tampaknya tidak bisa keluar dari ruangan."
Silas terperanjat mendengar suara manis yang baru saja menyapa telinganya.
Deo hanya melirik sekilas.
"Nona Sara, saya tidak berpengalaman memperbaiki gagang pintu. Lagi, saya juga tidak minat keluar karena masih ada pekerjaan."
Tangannya kembali ketak-ketik di atas kibor laptop, tidak memedulikan pandangan Sara dan Silas yang mengarah padanya.
"Tidak bisa keluar?"
Dengan gesit Silas bangkit dan bergerak ke arah pintu. Ditariknya pintu dan tetap bergeming.
Pandangan pria itu akhirnya tertuju pada huruf-huruf acak yang berpendar di pintu. Senyum sinis terlihat di wajahnya sebelum menoleh ke arah Deo.
"Tampaknya Anda benar. Ada yang tak ingin penelitian kita sukses."
Lalu senyum itu menghilang saat menoleh ke arah Sara. "Saya tidak akan membiarkan hal buruk terjadi pada Anda."
*
Sara mengernyit, masih berulas senyum, ia menarik entah pikirannya barusan mengenai satu atau dua-duanya bisa diandalkan.
"Jadi, Silas, apa anda punya ide soal sandi ini?" ia mencoba mengarahkan.
Lalu, satu orang yang sama sekali tidak peduli soal tidak bisa keluar. Semoga tiba-tiba laptopnya meletus.
"Gagang pintunya bukan minta diperbaiki, ada teka-teki di sini, mungkin bisa membantu anda menyelesaikan tugas yang ada di laptop anda?" ucapnya pada Deo. "Lagipula, kalau anda tidak bisa keluar, percuma mengerjakan tugas? Siapa tahu kita dikurung di sini untuk menunggu ajal."
Mata Deo sempat melebar hanya untuk beberapa saat mendengar kata sandi keluar dari mulut Sara.
Lelaki itu lalu menenggak kaleng kopi pertama untuk terakhir kalinya.
"Betul juga, saya tidak mungkin bisa meliput kalau hanya bisa berdiam di ruangan ini. Bisa saja ada seseorang yang menyabotase dan menyemprot gas beracun dalam beberapa jam ke depan," ujar Deo dengan senyumnya seperti biasa.
Deo melangkah menghampiri Sara dan Silas. Di daun pintu muncul dua tabel alfabet, masing-masingnya terdiri dari 2 baris, dan di bagian bawahnya ada beberapa garis yang seperti menunjukkan kalau mereka harus melengkapi kata-kata di sana menjadi satu kalimat utuh.
"Hmm, apakah ini seperti enkripsi A=E ?" gumam Deo sambil mengetuk dagunya. Menyimpan rasa terkejutnya karena benar-benar ada sandi di sana.
*
Silas tersenyum tipis ke arah Sara. "Anda sangat cerdas, Nona Sara. Saya setuju kalau ini adalah sandi."
Diamatinya susunan huruf yang memiliki tanda kecil di bawahnya. Sama seperti rubik yang selalu dimainkannya....
"Setiap sandi pasti punya kunci jawaban tersembunyi. Kita hanya perlu mengamati pola dan membuka kuncinya."
Deo menjadi yang pertama untuk menyuarakan soal enkripsi. Sara menelengkan kepala. Ia masih belum bisa melihat pola, kecuali-
"A = E? Jadi anggapannya karena muncul banyak, huruf banyak itu pastinya huruf vokal?"
Sara menatap Silas. "Kalau menurut anda, apa ada hal lain yang menarik perhatian di sandi ini?"
Atau, kalau mereka sudah buntu, sebaiknya tinggal keluar melalui jendela, pilihan terbaik dan tercepat.
*
Silas langsung bisa membaca tulisan apa yang ada di hadapannya. Namun, memecahkan sandi ini dengan cepat, dirinya khawatir Nona Jamur Cantik itu akan menganggapnya sombong. Lagipula...
"Saya lebih fokus kenapa pintu ini harus ada sandinya? Apa kalau kita dobrak paksa akan ada bom? Kenapa hanya pintu? Kenapa tidak jendela juga diberi sandi? Apa jendela juga akan meledak kalau kita berusaha membuka paksa? Kenapa harus dipasang saat semua sudah pergi? Kenapa harus....kita?"
"Pertama-tama," Deo menyela, "Maksud A=E adalah, huruf enkripsinya lompat 5 huruf dari huruf asli. Jadi jika A=E, B=F, C=G, begitu seterusnya. Yang jadi masalah, sepertinya sandi di sini tidak begitu."
Deo lantas meraba seluruh permukaan pintu sampai ke engsel-engselnya, di balik kacamatanya, dengan jeli ia mengamati apakah ada sesuatu yang aneh di sana.
"Kedua, Tuan Berotot, saya yakin tidak ada bom di pintu ini. Pertanyaannya, apakah Anda cukup kuat untuk mendobrak?"
*
"Kalau dipasangi sandi, sudah pasti tidak bisa didobrak dengan cara manual. Jangan buang-buang tenaga." Silas bersedekap dan memandangi kode yang terpasang di hadapannya.
"Lalu, apa perlu kita tulis dulu semua?"
Silas mengeluarkan catatannya.
*
Ternyata memang tidak semudah itu polanya, Sara terdiam sejenak mendengar penjelasan Deo. Sementara, dua pria itu mulai memeriksa pintu dan segala kemungkinan yang ada, entah itu bom maupun misteri lain.
"Saya rasa mereka sengaja meninggalkan sandi ini untuk meninggalkan sebuah pesan, mungkin kita sengaja dibuat jadi messenger. Untuk alasannya, saya kurang tahu."
Silas mengeluarkan catatan untuk mulai menulis apa yang mereka tahu.
A = E, bila menggunakan teknik eliminasi tanpa rumit berpikir soal misteri yang menyusun sandinya ...
"Apa E = W masuk akal?"
Deo merasa geli mendengar pertanyaan Sara.
"Masuk akal jika Nona Sara bisa memberi penjelasan. Atau Nona mau main asal tembak kata-katanya? Pola huruf di sini sangat acak, sejujurnya aku tidak akan menyalahkan Nona jika demikian karena aku juga memiliki pikiran yang sama," ujar Deo panjang lebar setelah tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.
"Untuk ukuran saintis maestro Lituskultura, jawaban asal tembak terdengar ...." Deo bergumam.
"Hm? Apa saintis harus selalu berkutat dengan data berdasarkan fakta? Sejujurnya saya bukan peminat ilmu kemungkinan. Lagipula, deduksi ini berdasarkan eliminasi; banyak huruf yang diulang menandakan penggunaan huruf vokal. Huruf vokal yang banyak digunakan selain A adalah E atau I."
Atau dia cuma malas berpikir, dan berpikir bukan untuk ranah kimia dan biologi tidak untuknya saat ini. Atau ia memilih untuk berpura bodoh agar jauh dari radar sang wartawan.
"Ah, tapi baiklah, kalau anda meminta jawaban yang lebih signifikan dari asal tembak," Sara tersenyum. "Saya akan lebih banyak diam."
Sara kembali duduk sambil bersiul.
"Nona Sara, terlalu cepat termakan emosi bisa menyebabkan masalah kesehatan." Deo tersenyum sambil ikut duduk di kursinya, di seberang Sara.
Setelah menyilangkan kakinya, ia menoleh ke Silas dan melanjutkan ucapannya.
"Memecahkan sandi bukan termasuk ranah berpikir saya. Namun, menurut ilmu asal tembak saya ...," Deo menarik napas dalam-dalam, "apakah kata pertama itu Liberté?"
Jadi telunjuknya mengetuk permukaan meja berulang-ulang, sementara yang ada di pikirannya justru surat kaleng tadi yang terselip di tumpukan pekerjaan miliknya.
Kata pertama di surat kaleng tersebut adalah Liberté, dan di daun pintu, jumlah garis kosong yang perlu diisi sesuai, letak huruf I juga bisa sesuai.
"Apakah betul tebakan saya, Tuan Silas?"
Silas kembali berdecak dalam hati. Pria ini menjengkelkan. Alih-alih menjawab Deo, dia menoleh ke arah Sara.
"Saya setuju dengan pendapat Anda, Nona Sara. Sebagai saintis, kita harus terbiasa memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Setelah itu, baru kita buktikan dengan penelitian yang menyebabkan fakta-fakta."
Silas menunjuk papan.
"Indonesia didominasi huruf vokal. Artinya, kita harus menemukan huruf vokal. Kita tidak perlu mencari XYZ karena jarang ada."
Silas tersenyum tipis pada Sara.
"Saya rasa, Nona Sara juga bisa memecahkannya, bukan?"
*
Ah, direksinya tepat, Sara pasti terlihat sebagai seorang yang emosinya tersulut sekarang. Sementara, Silas dengan alur berpikirnya mengerucut untuk mengabaikan konsonan yang jarang digunakan.
Kalau memakai A = E, dan E = W untuk saat ini, dengan anggapan 'LIBERTE' adalah kata pertama.
"Mengutip ilmu asal tembak anda, Pak Wartawan," Sara memulai. Ia menahan dagu sambil mengarahkan pena untuk menulis kata di atas huruf-huruf pendar. "Kata-kata yang kita dapatkan sekarang adalah ...,"
Enkripsi kedua sepertinya memiliki tumpuan kode yang berbeda lagi, tapi mereka berdua pasti sudah bisa menyimpulkan sendiri kalimat pertama dari dua seri sandi tersebut.
*
Silas mengangguk-angguk setuju dengan ucapan Sara. Binar matanya semakin terpesona pada sosok yang tidak hanya cantik, tegas, tapi juga cerdas itu.
"Jadi, mungkin ini ada hubungannya dengan surat ancaman yang tadi diterima, ya?"
Silas bersedekap.
"Jadi, apa kita buka sekarang pintunya?"
*
Surat ancaman ... ah, hampir saja Sara lupa soal itu. Mungkin itu akan jadi petunjuk untuk memecahkan sandi kedua.
"Sabar dulu, Silas. Masih ada satu kalimat lagi, dengan kode berbeda dan lebih panjang," Sara menyilangkan jemarinya. Lagi, ada banyak pengulangan yang menandakan keberadaan huruf vokal, tapi tadi ia sudah berjanji untuk diam. "Kalimat kedua ini juga pasti ada hubungannya dengan surat ancaman, kalau kita menilik soal pola."
Silas tampak senang dengan kalimat Sara yang kini lebih tennag. Semoga saja perempuan itu tidak lagi merasa kesal akibat perbuatan Deo.
"Mata Anda menyiratkan sebenarnya Anda sudah bisa menebaknya, Nona Sara. Sungguh saya kagum." Silas berkata dengan bersungguh-sungguh. Tak banyak kenalannya yang sanggup memecahkan sandi yang cukup unik ini dalam waktu singkat.
"Bisa dibilang memang ada hubungannya dengan Liberte dan Kanselir. Apa jangan-jangan, pelaku ingin kita mengetahui agenda tersembunyi Liberte selama ini, lalu membuat kita berhenti bekerja sebagai saintis Liberte dan berbalik mendukung mereka?"
"Sebenarnya, aku sampai lupa hitungan berapa tepatnya Liberté mengalami sabotase dan ancaman-ancaman seperti ini." Deo memotong dengan nada yang serius.
Kata sandi pertama sudah terbuka dengan kalimat yang berbunyi "Liberté adalah boneka Kanselir". Sekarang tinggal sandi kedua yang lebih panjang, apa lagi-lagi surat ancaman tadi bisa menjadi kunci?
Deo mendongak ke arah kamera pengawas. "Ini bukan pertama kalinya. Namun, ancamannya kali ini benar-benar ditujukan ke laboratorium."
Pandangannya lalu menatap tajam, bergantian ke arah Sara dan Silas yang mencoba memecahkan kata sandi kedua.
"Orang iseng ini ada di laboratorium, dia mengetahui seluk-beluk laboratorium dengan baik dan mengunci kita di sini tanpa tujuan yang jelas. Liberté tidak pernah membuat agenda rahasia, ini pengakuan langsung dari para pejabat pemerintahan dan bahkan Kanselir sendiri. Saya sendiri yang terlibat langsung dalam meredam berita provokasi yang belakangan beredar."
Lelaki itu kini berjalan ke arah daun pintu, dahinya mengernyit sambil menuliskan kata sandinya ke kertas.
Silas pun mencoret-coret di kertas dan memiringkan bibirnya ketus.
Cih! Ternyata ini artinya begini!
Namun, dia memilih diam dan menoleh ke arah Sara.
*
Bukan yang pertama kali, katanya, penyerangan terhadap pemerintah Liberte dan Kanselir. Media memang bertugas mengendalikan informasi, sehingga bisa dikatakan apa yang diucapkan Deo benar.
"Yah, ada banyak yang tidak suka Liberte, bukan? Apalagi mengingat kita lebih maju dibanding koloni lain," Sara mengedikkan bahu menanggapi cibiran Deo.
Kalimat berikutnya ... hmm. Kurang lebih sepertinya tidak jauh dari surat ancaman pertama. Tidak ada pola kata 'Liberte' atau 'Kanselir', kata pertama dari beberapa kemungkinan lebih cenderung ke ... kata 'Koloni'.
"Andaikan, bagaimana kalau ternyata benar Kanselir menyembunyikan agendanya dan mengorbankan para penduduknya untuk menyiasati tidak ada lagi yang hilang dari 50%? Apa anda tetap mau membela Kanselir, Pak Wartawan?"
Deo menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi berusaha mencari kombinasi kata sandi yang diperlukan untuk membuka pintu. Sejenak, ia mendongak dan menatap jauh ke depan, ke sesuatu yang ada di balik pintu.
"Bahasa kebenaran itu sederhana, Nona Sara." Deo tersenyum dan menoleh ke Sara. "Apakah kata pertamanya koloni? Maafkan saya sedari tadi hanya bisa menemukan kata pertama."
Lalu Deo sedikit menyerong, ke arah Silas. "Apakah Anda sudah menemukannya? Bagaimana kalau Anda langsung masukkan saja, saya yakin betul tidak mungkin ada bom di sini kalau kita semua salah memasukkan kata sandi."
Ucapannya bukan tanpa dasar. Apabila selama ini ada sekumpulan kelompok yang ingin menggerogoti kejayaan Liberté, tidak mungkin mereka akan mengambil tindakan ekstrem seperti menanam bom, yang ada mereka akan dengan mudah dituduh dan citra mereka tercoreng.
Mereka harusnya memiliki cara yang lebih pintar ... seperti ... mengetahui rahasia Liberté?
*
"Koloni harusnya setara, tetapi satu merasa lebih dari yang lain." Silas menatap Deo dan Sara bergantian.
T
angannya kembali menutup buku tempat dia mencorat-coret pemecahan sandinya dan mengeluarkan rubik 4x4-nya dengan santai.
"Meski tidak akan ada bom, saya rasa ada yang menanti kita di luar sana. Apa ada yang bisa bela diri di sini?"
Silas menoleh ke arah Sara dengan penuh kekhawatiran.
"Saya hanya wartawan, Tuan Silas. Kalau begitu, apa kita perlu memanggil keamanan?" jawab Deo.
Sandinya sudah dipecahkan dengan mudah oleh Silas, mereka sudah bisa memasukkan kata-kata itu dan mungkin pintunya akan terbuka.
Mungkin.
Seperti 50% penopang hidup sudah hilang, ada 50% kemungkinan mereka tetap tidak bisa pergi dari sana karena alasan tertentu.
Ah, tapi sebaiknya ia diam.
"Kurasa di Liberte tidak ada yang mau mencelakai para saintis, kecuali penyerang kita dari koloni luar, atau memang sudah ada target di belakang punggung kita masing-masing."
Ia mengerling mendapati ide Deo. "Silakan kalau anda mau segera memanggil pihak keamanan, Pak Wartawan."
"Apa teleponnya berfungsi?" Silas tampak skeptis.
Pikiran Sara bahwa saintis tidak mungkin dibunuh sangat masuk akal. Dirinya adalah satu yang terbaik dalam penelitian jamur dan kaktus. Sara pun ahli di bidangnya. Silas merasa mereka akan aman.
"Namun, kalau memang penompang hidup sudah hilang, apakah monster-monster dari luar Liberte juga merangsek masuk ke sini?"
Silas bergidik. Pikirannya kembali kehilangan fokus saat mengenang bagaimana Bunda dan dirinya yang masih kecil harus baku hantam dengan monster demi mencari makanan.
Bola mata pria itu bergerak-gerak ketika akhirnya berjalan mencari apa pun yang bisa dipakai untuk senjata.
Silas merasa, tidak ada salahnya berjaga-jaga. Petugas keamanan belum tentu bisa masuk dan bersiaga. Bagaimana jika sebenarnya mereka justru saintis yang terbuang dibanding saintis lain yang sudah meninggalkan ruang?
Apakah itu artinya penelitiannya dianggap tidak berguna?
"Cih!"
Silas melongok dan mengambil salah satu pipa besi cukup panjang dari bawah meja tanam.
Kalau memang Liberte telah memanfaatkannya selama ini, Silas tidak peduli. Yang jelas, yang lampau tidak akan bisa diubah. Hal yang harus menjadi prioritasnya saat ini adalah bertahan hidup demi....
"Masa depan!"
*
"Tenang Tuan Silas, laboratorium ini ada di tengah kota. Monster di luar Liberté harusnya tidak bisa melewati para aparat di perbatasan. Saya akan coba telepon, aliran listriknya tidak dimatikan, kok."
Wartawan itu bergerak ke arah pojokan ruangan dan mengangkat telepon. Setelah gagangnya ditempel ke telinga, ia mendengar suara dengungan yg menandakan bahwa telepon masih berfungsi.
Kalaupun tidak, ia membawa ponselnya di saku jas, semua aman.
Pintu yang tiba-tiba disabotase ini benar-benar di luar prediksinya, padahal tadi dia yang terakhir masuk ruangan.
Tiba-tiba matanya membelalak. Ia menyadari sesuatu.
"Halo, Keamanan? Kirim pasukan pengawal ke aula! Saya ulangi, kirim pasukan pengawalan ke aula! Ada dua saintis dan seorang wartawan yang mendapatkan lencana tugas khusus level S di sini! Kami terjebak dan pintu di sabotase, kirim pasukan pengawalan, segera!"
Deo menutup telepon setelah mendengar balasan dari seberang, lalu menoleh ke Sara dan Silas.
"Saya akan menyampaikan dua kabar, kabar baiknya keamanan sedang menuju ke mari. Kabar buruknya, ada kemungkinan kita benar-benar dijadikan target. Walaupun Nona Sara mungkin benar, harusnya tidak ada yang bisa melukai saintis Liberté. Namun, bagaimana kalau kita ditawan?"
*
Posisi sekarang, mereka ada dalam masa stagnan: keamanan tengah datang menuju mereka, tapi probabilitas 50% di kemungkinan terburuk belum sempurna hilang. Keamanan bisa saja orang suruhan "kubu" yang mengurung mereka di sana.
Menanggapi Silas dan Deo yang aktif untuk kemungkinan terburuk, Sara masih saja terduduk santai.
"Kalau kita ditawan, mungkin kita bisa tahu lebih cepat apa yang disembunyikan Liberte atau apa yang diinginkan pihak kontra Liberte. Saya rasa lebih menyenangkan kalau itu terjadi, dibandingkan mati sia-sia."
"Jadi, mengikuti permainan lebih dahulu?" Deo mengajukan sebuah pertanyaan, bukan untuk Sara, melainkan untuk dirinya.
"Yah, saya rasa di sini tidak ada yang memiliki kemampuan bertarung. Saya menyetujui itu, risikonya lebih kecil."
Deo melangkah ke arah laptopnya, dengan cekatan ia mengeluarkan semua berkasnya. Tangan dan matanya saling berkoordinasi untuk menyalin dan membuat enkripsi untuk mengunci data di suatu tempat yang aman.
Ia lalu meraih ponselnya dan melakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, informasi miliknya adalah suatu aset penting yang nanti bisa menyelamatkan dirinya. Ia berpacu dengan waktu sampai keamanan datang. Sampai saat itu tiba, mereka dalam kondisi seperti kucing Schrodinger.
"Omong-omong, bagaimana dengan Anda, Tuan Silas?"
"Buka saja pintunya. Jika memang ada yang berbahaya, kita hadapi semampunya." Silas menggerak-gerakan tongkat besinya dengan ketas. "Saya rasa itu jauh lebih baik. Berharap saja tidak akan ada yang tewas!"
"Beri saya waktu ... umm ... tiga menit!" ujar Deo, masih dengan tidak melepas mata dan tangannya dari data-data yang dia miliki.
Ia bekerja dengan sangat cepat, satu berkas ia foto, lalu ia masukkan ke koper, ia unggah ke salah satu server penyimpanan dan membuat enkripsi. Yang di laptop juga sama, data-data itu dalam proses unggahan, sebagiannya sudah dienkripsi, sebagiannya sudah masuk ke USB kecil yang menancap di sana.
"Cih!" Silas mencebik sinis sebelum bergerak mendekati Sara.
"Nona, ada baiknya jika Nona berdiri di belakang saya. Meski saya tidak terlalu pandai bela diri, tapi saya besar di luar Liberte. Saya pernah sedikit belajar bertahan hidup."
Salah satu alis Deo naik mendengar perkataan Silas.
Dia berasal dari luar Liberté, informasi yang bagus.
"Hampir selesai," ujar Deo.
"Haha, tenang saja, Silas. Saya bukan wanita yang serapuh itu, kok."
... tapi untuk saat ini, Sara ingin menyimpan kenyataan bahwa taser yang ada di bagian terdalam tas lusuhnya tidak ada. Sudah lama taser itu ada di sana, entah masih ada energinya atau tidak.
Sara masih ingin mengamati apa yang akan terjadi ketika mereka berhasil membuka pintu ... atau terkunci selamanya.
Ah, andai ia bisa mendapat pistol ektoplasma dari petugas keamanan. Mungkin ia akan merasa lebih siap.
"Kalau sudah selesai, cepat bilang, Pak Wartawan. Saya saja yang memijat tombol sandinya."
"Selesai," ujar Deo sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas koper.
Dia sudah siap apapun kemungkinan yang terjadi nanti.
Silas terenyak mendapati fakta bahwa Sara yang ingin menekan tombol.
"Biar saya saja yang menekan sandi. Kalian, lindungi saja apa yang bisa kalian lindungi. Saya berharap, tidak ada dari kita yang akan tewas gara-gara pintu yang dikunci ini!"
Silas pun maju bersiap menekan tombol dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya siap mengayunkan pipa besi panjang kapan pun bahaya menerjang.[]
-----
Credit:
Silas - Shireishou
Sarracenia - frixasga
-----
Bab kemarin aku lupa ngasih credit, yha, nanti akan kususulkan.
Anyways, selamat menikmati bab baru yang lumayan mengagetkan ini (karena tiba-tiba jadi ada permainan teka-teki, admin, kami demo).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro