ーRelationship; Mairimashita Iruma-kun
Notes about my oc relationship in Mairimashita Iruma-kun, how Kumiko interaction with them and some random trivia.
* kindly warning, that this page is yume and for fun purposes only *
.
.
.
• Suzuki Iruma: Platonic Relationship
• Asmodeus Alice: Rivalry, Romantic Relationship
• Valac Clara: Platonic Relationship
• Amy Kirio: Romantic, kinda toxic Relationship
• Andro M. Jazz: Romantic, Partner in Crime Relationship
• Shax Lied: Platonic, Partner in Crime Relationship
• Other student in abnormal class: Platonic or Normal Relationship
***
ー Identity
Kata orang-orang, penampilanku tidak terlihat seperti iblis, tetapi otakku benar-benar berpikiran seperti mereka. Fisikku lemah, kemampuan sihirku juga buruk. Meskipun begitu, aku masih bersikap jahil dan ada satu hal yang kusembunyikan pada yang lain, bahwa aku mampu mengonsumsi mana.
Seperti sosok yang rakus, begitulah saat aku memakan mana. Memikirkan hal itu, hanya mampu membuatku tertawa. Gluttony bunny, nama itu tak buruk juga.
Tanganku berhenti ketika bersentuhan dengan tangan Asmodeus yang akan membawakan piring untuk Iruma. Aku memicingkan mata, kembali berkompetensi agar dapat atensi dari sosok biru tua yang tengah berada di meja makan tersebut, bersama Clara.
"Ck, kau lagi ya, Emily. Bukannya sudah kubilang kalau aku saja yang membawakan makanan untuk Iruma-sama?" decaknya sebal, mengernyitkan dahi.
Aku mengendikkan bahu, memutar kedua iris dengan malas, lantas masih menyendok makanan. Tak memperdulikan sang chef yang telah tepar akibat kelelahan memasak. Aku pun berujar, membalas, "Tak peduli! Iruma-kun kan tidak marah juga kalau aku yang membawanya! Lagipula, Azz kan tidak mampu makan sebanyak aku dan dia."
Wajahnya cemberut, terlihat lucu ketika ia ngambek seperti ini. Aku memang peduli dengan Iruma untuk saat ini, tapi sebenarnya hanya ingin menjahili Asmodeus saja. Dan memang benar, respon seperti itulah yang membuatku terhibur. Merasa mendapatkan kemenangan telak, aku berjalan ke arah meja makan lalu memberikan piring yang besar itu.
"Woah, terima kasih, Emily!" seru Iruma, gembira. Ia pun melanjutkan makanannya. Aku sudah tahu kalau ia adalah manusia karena aku adalah pelayan yang dilatih langsung oleh Opera.
Clara pun ikut mengangguk antusias, membuatku terkekeh. Iris biru gelapku menatap mereka, memperhatikan dalam diam. Well, setidaknya aku harus membesarkan mereka bertiga agar aku tidak mati kebosanan. Sejujurnya, pada saat seperti inilah, aku merasakan identitasku sebagai iblis naik.
Sosok yang tidak peduli akan perasaan orang lain dan hanya mementingkan kesenangannya sendiri.
Apabila ... suatu saat mereka meninggalkanku, aku tidak akan merasa tersakiti. Karena, mainan yang telah rusak, tak dapat diperbaiki lagi.
***
ー Melt
Saat aku terbangun, aku selalu meyakinkan diriku di pagi hari seraya melihat ke jendela. Berandai-andai, jika diriku tak ada, maka dunia ini akan menjadi sangatlah indah. Itu hanyalah segelintir kecil penyelamatku, untuk tetap bertahan dalam waktu singkat dan segera pergi dari kehidupan ini.
Aku mengerjapkan mata, menyadari kalau Lied tengah memuji Elizabeth lagi. Gelengan pelan dalam hati hanya bisa kuberikan sebagai respons. Sampai kapan aku harus menjalani detik demi detik ini?
"Emily?"
Suara halus nan khawatir memanggilku, membuatku menoleh dan mendapati pemuda berambut hitam. Jari jemarinya yang memakai banyak cincin, mengelus kepalaku. Lantas, ia menempelkan punggung tangannya di dahiku. Jazz menaikkan sebelah alisnya, lalu kembali bertanya, "Aku heran kenapa kau tidak memakai topi hari ini, rupanya kau demam."
"Huh?" Aku membeo, layaknya anak kecil yang kebingungan, "Ah, pantas saja kepalaku hari ini terasa berat dan aku melankolis sekali. Ingin aku hancurkan segala hal ...."
"Haha, mana bisa kau lakukan hal itu kalau sakit seperti ini. Memangnya kau sedang dalam siklus jahat?"
Ia tertawa meremehkan. Tapi, aku yakin ekspresi penuh kecemasan itulah yang menjadi perasaan jujurnya saat ini. Dasar, memang dia ini ingin sekali menjadi sosok kakak lelaki yang dapat diandalkan, ya. Aku pun merentangkan kedua tangan, membuat ia kebingungan akan tingkahku.
"Gendong."
Satu kelas tersedak, mendapati sikapku yang sangat kekanakan hari ini. Caim adalah sosok yang pertama kali melotot penuh amarah pada Jazz, dilanjutkan oleh Lied. Sementara, Elizabeth sudah turun tangan untuk memeriksa apa ada yang salah padaku.
"Ara, kau demam, ya, ternyata," kata Elizabeth, menampakkan senyum penuh kekhawatiran. Aku mengangguk, memeluknya dengan lemas. Elizabeth memegang pipinya, lalu kembali melanjutkan, "kalau begitu, apa mau kuantarkan ke Balam-sensei?"
Aku menggeleng, tak mau meminum ramuan yang pahit. Namun, betapa terkejutnya ketika kedua kakiku tak lagi menginjak tanah. Bagaimana bisa Sabnock membopongku di atas bahunya seolah aku adalah sebuah karung?
"Sabnock-kun! Cepat, kita harus membawa Emily ke Balam-sensei. Kalau tidak, ia bisa mati!" seru Iruma panik seraya menunjuk ke arah pintu keluar.
"Hah?" Kuberikan tatapan kaget pada Iruma yang sudah menyebarkan misinformasi. Tidak, aku bukannya akan mati. Memang benar kalau aku lemah, tapi tidak seperti ituー
"Uhuk!"
"Cepat ke UKS semuanya!"
"Hei, aku cuman demam!" Aku diabaikan, lantas aku mendecih, berusaha memukul Sabnock, tapi tak ada hasil. Akhirnya, aku hanya mampu berteriak dengan suara semampuku, "dengarkan perkataanku, teman-teman bodoh! Aku tidak suka obat, ah!"
Percuma, mereka tidak mendengarkanku karena terlalu sibuk dengan Iruma.
***
ー Drops
Berapa kali pun kucoba, aku selalu tidak bersahabat dengan alat sihir. Lantas, mengapa aku masuk ke dalan klub batra? Jawabannya tentu saja karena Iruma. Aku ingin bersama mainanku setiap dia berada di sekolah.
Benar, mainan.
"Hah ..."
Alat ini aku harus aku sembunyikan sesegera rupa.
"Oya, Emily? Apa ada masalah?" tanya Kirio dengan senyum memelas dan khawatir. Aku diam, lalu melirik ke arah lain seraya memainkan jari-jemariku. Rasanya ingin membuka mulut, namun suaraku tercekat. Sadar akan alat berantakan di belakang punggung yang tengah kusembunyikan, ia menghela napas lalu melanjutkan, "tenang saja, tidak apa, kok."
"Ta-tapi, Amy-senpai, kau sudah berusaha keras untuk ini, bukan? Aku ..."
Ia mengelus kepalaku dengan penuh lembut, sembari terkekeh pelan, "Kehadiranmu di sini saja sudah sangat membantu, kok. Tidak perlu khawatir, ya."
"Senpai!" Pelupuk mataku terasa panas, namun aku menggenggam kedua tangannya dengan erat. Kedua iris biruku menatapnya lekat dan penuh semangat, "aku akan berusaha membantu lagi!"
Kirio mengerjakan mata, wajahnya masih tersenyum, tetapi aku dapat merasakan kalau ia tengah khawatir akan masa depan klub. Ia pun membalas dengan hati-hati, "Err ... tidak usah. Beneran tidak apa, kok, haha."
"Eh?!"
.
.
.
Sebenarnya, masih mau nulis beberapa prompt buat mereka. Tapi, mager, orz. Mau post di twitter juga, tapi ya mending di sini saja, hehe.
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro