Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ー Paint on Blue Canvas。

Sebuah kumpulan drabble yume Blue Period
berdasarkan prompt dari SFragment

#fragmentsprompt

Warning contains a lots of dark thoughts.
Read at your own risks.

.
.
.

[Radio]

Sebuah radio di ruangan club-ku berbunyi, mengabarkan kalau perwakilan negara telah memenangkan sebuah pertandingan seni rupa. Aku menghela napas, mengulurkan tangan ke atas langit ruangan. Lantai penuh dengan cat berwarna-warni, entah apa yang tengah dilakukan.

Yatora membuka pintu, menatap diriku yang tengah tenggelam ke dalam keputusasaan. Ia menghela napas, tahu akan permasalahanku.

Aku tak ingin dikenal oleh banyak orang, tapi aku juga butuh pengakuan dan akan down apabila tak mendapatkannya. Sebuah hypocrite yang miris. Ia pun membuka mulut, "Sampai kapan kau ingin seperti itu, huh?"

"Entahlah ... haha. Sampai kapan, ya?"

"Lebih baik, kau membantuku membersihkan di sini, Kumiko," tuturnya dengan senyum pasrah. Aku menggerutu kasar, bangkit dengan rasa malas dan terdiam untuk beberapa saat. Sontak saja, air mataku pecah. Membuat ia panik.

"Maaf ... aku hanya bingung dengan diriku sendiri. Berada di tempat yang penuh talent seperti ini, rasanya menyesakkan. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan!"

Ia terdiam, paham akan rasanya. Tapi, untuk tipe yang cepat perkembangannya seperti Yatora, tak akan mengerti dengan penderitaanku. Tentu saja, aku mengagumi dan menyukai karya mereka. Tapi, ketika mendapati mereka lebih di atasku, aku merasa tak kuasa akan semua ini.

Apa pilihan untuk melangkah ke dunia ini adalah hal yang tepat? Sebenarnya, untuk apa dan siapa aku membuat ini semua? Rasa sesak ini kian menyerang, mengikat bagaikan rantai.

Melihat diriku yang benar-benar rapuh, Yatora memelukku. Ia pasti merasa harus mendukung seorang temannya ini. Dalam hati, aku hanya dapat tertawa miris. Betapa menyedihkannya aku yang haus akan semua ini.

.
.


[Naskah]

"Kau ini sebenarnya anak sastra atau seni rupa, sih?"

Begitulah, pertanyaan ketus yang dilemparkan dari seorang pemuda dengan model rambut belah tengah, Takahashi Yotasuke. Dahinya mengkerut, mendapati diriku dengan setumpuk naskah dan canvas. Aku mengulas senyum, lantas tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

Meskipun merasa sedikit pusing, aku tetap memaksakan untuk melakukan kegiatan. Toxic positivity ini tak akan bisa lepas dariku. Lagipula, memang bagaimana caranya agar tidak merasa bersalah saat tidak melakukan apa pun?

Kemarin berbaring saja, aku sudah kelewat frustrasi.

Melihat responku yang kelewat positif, wajahnya makin sinis. Mungkin, merasa tidak berguna karena menegurku atau bisa saja ia sudah lelah dengan kumpulan orang seperti Yatora dan diriku. Aku bangkit dari kursi, memberesken helaian kertas demi kertas lalu mendekapnya untuk dibawa pulang.

"Aku pulang dulu, ya, Takahashi-san!" pamitku dengan cengiran kecil. Namun, belum sempat aku melangkah, ia menarik tanganku, menempelkan dahinya dan dahiku. Aku mengerjapkan mata, terkejut sekaligus sedikit kebingungan.

"Takahashi-san ...? Kau aneh, apa kau sakit?"

Pertanyaan kuberikan padanya akibat perlakuan tiba-tiba dan aneh itu. Ia mendecak sebal, menyentil dahiku, lantas menggenggam tanganku. Yotasuke pun berujar, "Nikishima, kau ini bodoh atau bagaimana? Ah, sudahlah. Pokoknya, kuantar pulang."

Ia mendengkus kasar, melirikku lalu membuang muka. Lalu, ia melanjutkan, "Apa kau tidak sadar kalau kau berjalan sempoyongan seperti itu? Naskah dan canvas milikmu titipkan padaku saja."

Ingin rasanya tanganku memukulnya karena pernyataan menghina itu. Tapi, aku tahan. Perkataannya benar, meskipun aku tak ingin mengakuinya, kepalaku memang terasa benar. Dasar, kenapa, sih, orang seperti ini bisa ada di dekatku?

"Ah ... aku kangen Yatora," gumamku tanpa menyadari ekspresi pahit di sebelahku yang mendengarnya.

.
.


[Nada]


Haruka bersenandung pelan, nada penuh kesenangan tersirat di lagu kecilnya. Aku hanya mengayunkan kaki, meliriknya di balik iris biruku, lantas menghela napas malas. Mulutku membuka, memanggilnya, "Hashida-san, apa kau sudah selesai?"

Gerakan tangan yang menorehkan warna pada canvas itu tak berhenti, masih melanjutkan, begitu pula dengan lantunannya. Kesal, aku pun menghentakan kaki.

"Hashida-san! Aku bertanya padamu, tahu!"

Mendengarku yang penuh akan emosi, Haruka hanya terkekeh pelan, lalu memberi jeda pada kegiatannya. Ia memiringkan kepalanya, menatapku dengan tatapan yang khas, "Kalau aku belum selesai, bagaimana? Apa yang ingin kau lakukan, Kumiko?"

"Itu kuasku, menyebalkan! Tentu saja, aku akan mengambilnya dengan paksa kalau perlu. Aku mau pulang!" seruku kesal.

Ia mengendikkan bahu, menghentikan kegiatan yang tengah ia lakukan saat ini. Lantas, pemuda itu pun mencuci kuasku dan memberikannya padaku. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan kuas kecil. Rasanya, ia sengaja sekali membuatku naik pitam.

"Tch, kalau kau punya daritadi, kenapa tidak kau gunakan?" gerutuku lalu beranjak pergi. Tak menyadari kekehan puas di belakangku.

.
.


[Gelang]

"Yatora," panggilku dengan mata yang memicing tajam padanya. Ia mengangkat alisnya sebelah, lantas membalas dengan gumaman pelan seraya menggoreskan pensil di atas kertas putih. Aku mendengkus kasar, lalu melanjutkan, "mana gelang persahabatan kita?"

Ia tersedak, lalu mengulas senyum canggung, "Haha, masih ada, kok. Ada di kamarku, kau tak perlu khawatir."

Tawa yang penuh kekakuan tersebut dapat dipastikan kalau ia tengah berbohong padaku. Aku memutar irisku, sesekali menghentakkan kaki kesal, lalu mengambil tempat duduk di sampingnya. Iris biruku memberikan tatapan maut sembari menunjuk padanya.

"Awas kau, ya! Kalau sampai hilang, kulaporkan ke Mori-senpai bahwa kau ini pria tak bertanggung jawab!"

Yatora menekuk wajahnya, tidak suka, "Aish, apa-apaan sih, kau ini? Sedikit-sedikit melapor ke senpai!"

Aku menjulurkan lidah, mengendikkan bahu, kemudian berjalan ke luar dari ruangan. Ia masih cemberut, tidak suka kalau aku membuat kesan yang buruk di hadapan orang yang disukainya. Bersembunyi seraya memiringkan kepala di balik pintu, aku membalas, "Pokoknya gelang itu harus kau pakai besok. Dadah, aku mau pulang bareng Hashida-san!"

Seiring langkahku menjauh dari ruangan, aku dapat mendengar erangan frustrasi darinya. Aku tertawa penuh kemenangan, dia tidak tahu saja kalau gelangnya tertinggal di rumahku.

.
.

[Kita]

"Sebenarnya, kita itu apa?" tanyaku penuh dramatis kepada Yatora.

Hening sejenak, lantas pemuda itu menatapku dengan melotot, seolah irisnya siap kapan saja untuk keluar dari tempatnya. Mendapati ekspresinya yang seperti itu, mau tak mau, membuatku tertawa terbahak-bahak. Yuka yang mendengarku pun ikut terkekeh.

"Kumiko!" rengek Yatora.

Sontak saja, Yatora memukul punggungku, membuatku terbatuk-batuk. Aku pun mendelik, tak suka, "Hei, aku cuman bercanda saja! Perlu sekali ya, melayangkan tangan pada gadis lemah dan lucu sepertiku?!"

"Sou yo, Yatora. Reaksi apa ya, yang akan dibuat oleh Mori-senpai jika mendengar perkataan Kumiko seperti itu?" Yuka menyeringai, ikut menjahili. Wajah Yatora kian memerah, sekaligus napasnya tertahan sejenak. Ia benar-benar tak sanggup jika digoda mengenai sang senior tersebut.

Aku pun menepuk-nepuk punggungnya, "Hehe, maaf, maaf. Kita cuman bercanda, kok."

"Tidak lucu, tahu ..."

Yatora mendengkus, sebal, seraya berjongkok guna menutupi wajahnya dengan sempurna. Aku tersenyum penuh kemenangan. Pasti ia sangat kelelahan mendapati diriku sebagai teman masa kecilnya.

.
.

[Dunia]

"Kenapa kau masuk ke seni? Orang sepertimu yang mempunyai segalanya! Aku hanya punya seni sebagai duniaku."

Mendengar bentakanku, Yatora terdiam. Lantas, wajahnya mengeras, seolah mampu untuk memukulku kapan saja. Irisnya melemparkan tatapan dingin, lalu ia membalas, "Apa-apaan maksudmu itu, hah, Kumiko? Kau ... kukira kau temanku. Haha, lucu sekali. Yotasuke-kun bahkan mengatakan hal yang sama persis sepertimu."

Rasanya, aku paham mengapa ia berkata seperti itu pada Yatora. Sebagai artist, iri kepada yang mempunyai skill di atas adalah hal biasa. Di saat aku menoleh sebentar, ia sudah berada jauh di hadapanku. Tetapi, tetap saja, perkataanku yang menyakiti hatinya tak dapat dibenarkan.

Aku menunduk, menyeka air mata yang mulai turun, "Maaf ... maaf karena tiba-tiba berkata seperti itu."

"Hei, kau yang berkata jahat, kenapa pula kau yang menangis?" tanyanya dengan miris. Kami berdua diam, dilanda keheningan. Cukup lama, Yatora pun mengelus helaian rambut biruku. Ia mengulas senyum pahit, yang kuketahui kalau ia tengah sakit hati.

"Kalau kita tidak berteman dari kecil, mungkin aku sudah mencubitmu dari tadi."

"Hanya mencubit?"

Ia terkekeh, "Iya. Kenapa? Kau mau kupukul juga?" Anggukan pelan hanya kuberikan sebagai respons. Tentu saja, aku merasa bersalah setelah membentak dan merengeknya seperti itu. Namun, ia tetap berbaik hati.

Memang benar, dunia seni sangatlah tidak cocok untuk pemuda yang tak mampu egois ini, haha.

.
.


[Harmoni]

Aku bersenandung, melantunkan harmoni lagu yang sangat kusukai. Seolah senang untuk menggangguku, Hashida menopang dagunya di atas kepalaku seraya menyapa dengan entengnya, "Pagi, Kumiko. Seperti biasa, lukisanmu terkenal dengan warnanya yang muddy, ya."

Dasar fetish lukisan.

Ia selalu memperhatikan lukisan dengan penuh detail dan memasukkannya ke dalam persepsinya sendiri. Hashida Haruka adalah orang yang aneh, tapi karena keanehannya itulah aku tidak bisa menolak kalau komentarnya adalah benar.

Warna yang aku pilih selalu berkaitan dengan suasana hatiku. Apa ini artinya hatiku selalu kotor seperti lumpur?

"Kumiko? Lho, kenapa kau diam?" Ia bertanya dengan dialek khasnya, lantas mendekatkan wajahnya di bahuku.

Aku menghela napas, menggerutu pelan, lalu mengulas senyum, "Tidak, tak apa!"

Nampaknya, harmoni yang selalu aku lantunkan memang sebagai kamuflase dari suasana hatiku.

.
.


[Harapan]

Aku merenggangkan tangannya seraya menengadah menatap langit, merasa lega setelah berakhirnya ujian masuk. Yang tak disangka, aku, Yatora, dan Yotasuke berhasil mengamankan tempat untuk dapat menempuh ilmu di universitas ini. Harapanku untuk saat ini mampu kucapai.

Tawaku masih riang, memegang tas kertas pertanda kelulusan. Sementara, Yotasuke hanya menatapku dengan tatapan lelah.

Pemuda dengan model rambut belahan tengah itu mendengkus kasar, melanjutkan langkahnya, berusaha untuk tak memperdulikan diriku dan Yatora. Pemuda dengan rambut blonde pucat di sebelahku hanya mengulas senyum kikuk, penuh rasa gugup. Mungkin, ia tak percaya bisa berhasil lulus ke tempat ini. Sudut bibirku melengkung, lantas aku mengangkat suara, "Cie ... yang diterima."

"Diamlah, Kumiko," balasnya sebal, namun juga terselip nada kegirangan. Aku hanya kembali terkekeh. Lalu melirik ke arah Yotasuke.

"Yotasuke-kun, habis ini mau jalan-jalan ke cafe, tidak?"

"Ah, tidak. Aku harus cepat pulang."

"Hm, bilang saja kalau kau mau menghindariku, kan?"

Wajah pemuda berambut hitam itu kian tertekuk seraya mendecih sebal. Ia memalingkan wajah, benar-benar tepat sasaran. Yatora menghela napas lelah lalu menyeringai kecil, "Hei, kalian kalau mau pacaran. Jangan di depanku, dong."

"Hah?! Siapa yang pacaran?" sanggah Yotasuke, penuh dengan rona merah. Melihat hal itu, Yatora makin terbahak-bahak. Aku menatap kasihan pada sang pemuda yang digoda tersebut, "Sudahlah, Yatora. Kasihan Yotasuke-kun. Bagaimana kalau ada yang menaruh perasaan padanya, terus mendengar candaanmu yang tak lucu itu?"

Yatora malah ikut membalas perkataanku dengan tatapan kasihan. Rasa amarah naik di dadaku, kesal dengan tingkahnya yang seperti itu, "Hei, apa maksudmu menatapku seperti itu?"

"Tidak, tidak kenapa-kenapa. Hanya turut prihatin saja. Harapanmu di percintaan benar-benar rendah, ya ...."

"Maksudmu apa?!"

Aku dan Yatora sibuk bertengkar, mengabaikan Yotasuke yang memperhatikan kami berdua dalam diam. Pemuda itu mengepalkan tangannya lantas mendecih pelan. Pemandangan tersebut, hanya diketahui oleh Yatora saja, namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri.

.
.


[Tangis]

Aku selalu berandai-andai, apakah pilihan yang kujalani ini telah benar? Canvas dan kuas tergeletak berhamburan di atas lantai, membiarkan terdiam dalam tangisku. Bibirku menggeram, merutuki segala hal yang terjadi padaku saat ini. Rasa lelah telah penuh dalam diriku, aku hanya ingin beristirahat.

"Kumiko, lagi-lagi kau seperti ini."

Yatora mengangkat suara setelah menemukan diriku di dalam ruangan. Tanganku tak lagi mengangkat kuas, sementara aku memalingkan wajah, tak mampu untuk balik menatapnya. Ia hanya menghela napas pasrah, sudah paham akan tabiatku yang sering seperti ini. Aku membuka mulut, membalasnya, "Biarkan ... aku sendiri."

Ia tahu, ia mengerti, dan ia paham akan perasaan frustasi ini. Lekas saja, ia menepuk kepalaku, memberikan permen rasa strawberry vanilla dan beranjak pergi dari ruangan. Meninggalkanku dalam kesendirian, kembali meraung dan menangis sengsara pada benakku.

Aku sungguh tak berguna.

.
.


[Manis]

Meja makan tidak sengaja kulabrak, membuat seluruh perhatian mengarah padaku. Aku mengerjap, tertawa kikuk, lantas menggaruk kepalaku yang tak gatal. Yotasuke menghela napas, menyipitkan mata lantas mengernyitkan dahinya. Sudah terlihat dengan sangat jelas kalau ia tidak ingin terlibat lebih jauh atau mungkin saja, ia malu mempunyai kenalan sepertiku.

Haruka hanya mengulas senyum tipis, maklum akan tindakanku. Dalam keadaan seperti ini, aku mengharapkan kehadiran Yatora yang mampu membaca dan mencairkan situasi. Maafkan sosok temanmu yang tak berguna ini, wahai sahabatku.

Beruntunglah, tak ada makanan dan minuman yang berceceran atau tumpah sama sekali. Lantas, aku kembali mengambil tempat, duduk di dekat Yotasuke. Pemuda berambut hitam dengan model belah tengah itu memberikan tatapan sinis terhadapku. Paham akan ekspresinya, aku menyahut, "Hashida-san pasti akan menjahiliku. Jadi, aku duduk di dekatmu, ya!"

"Ugh, baiklah, baiklah. Kalau tidak kuiyakan, pasti kau malah akan menggangguku," balasnya enggan.

Sudut bibirku membentuk lengkungan lebar, merekah menjadi cengiran tawa. Kepalaku mengangguk, "Uhm!" Sekarang, posisi kami berdua tengah berdampingan. Sementara Haruka berada di hadapanku, dipisahkan oleh meja makan kedai.

Pemuda dengan kepangan itu terkekeh miris, merasa menjadi antagonis dalam sebuah cerita. Tetapi, pasti ia merasa apa yang dikatakan olehku benar. Haruka cukup senang mengisengi pribadi ricuhku, padahal karyaku kebanyakan mengambil tema, makna, dan warna gelap.

Ia pernah mengatakan kalau hal itu menarik. Menarik dari mananya?

"Oh, remahan makanan manis itu ada di pipimu," ujar Haruka dengan aksen khasnya, seraya menyeka makanan yang berada di pipiku. Aku memproses, kebingungan, lalu membalas, "Ohーpadahal kau tidak perlu melakukannya, Hashida-san. Cukup beritahu saja aku."

Yotasuke melemparkan tatapan jijik, sedangkan Haruka tertawa. Benar-benar, tadi mengapa aku menyetujui untuk ikut mereka berdua? Oh iya, benar, karena Haruka bilang ia akan mentraktir kami. Maka, aku memaksa pemuda di sampingku ini untuk ikut bersama.

Yatora, cepatlah selesaikan kencanmu dengan Mori-senpai dan tolong aku, bodoh!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro