ーdraft for MBS Batch 11。
Note!
I write and post these on my instagram (@raveneiry, the account for writing and simp things)
But, i also want to publish it in here as well!
.
Twisted Wonderland © Disney, Aniplex
OC(s) are mine!
.
.
[Foto]
Hari ini, Scarletta tak mendapatkan teman untuk mengobrol lagi. Ia merasa sangat kesepian, banyak yang menjauhi dirinya karena unique magic-nya terlihat seperti pembawa kutukan. Terlebih lagi, terkadang ia tak bisa mengendalikan kekuatan tersebut, membawa malapetaka bagi orang-orang di sekitar.
Sebenarnya, ia punya satu teman yang ia rasa cukup dekat. Namun, orang itu tengah punya kesibukan, mencoba untuk mendekati tuan yang Scarletta layaniーsalah satu penyihir terhebat di masa ini.
Lamunannya terhenti ketika mendengar suara tak asing, membuat ia menoleh seketika. Mendapati seorang pemuda dengan rambut berwarna oranye dan iris hijau yang tengah tersenyum seraya membawa handphone, bersembunyi di balik semak. Caterーpemuda ituーmengarahkan kamera handphone pada dirinya.
"C-Cater-senpai?" tanya Scarletta kebingungan lalu mendekati pemuda itu. Pemuda yang satu dorm dengan teman dekatnya, Emily.
"Uhm, kau sedang apa?"
Cater tersentak, kemudian memasang cengiran dan berpose peace, "Tentu saja aku tengah mengambil foto dirimu! Kalau begitu, bye bye!"
Setelah mengucapkan hal itu, Cater segera bergegas meninggalkan Scarletta dengan wajah memerah. Membiarkan banyak pertanyaan hinggap di pikiran sang gadis berambut merah tersebut.
.
[Nama]
Emily mengeratkan pegangannya pada Malleus seraya memejamkan mata. Kalau boleh jujur, gadis itu sangat takut pada ketinggian. Namun, ia tidak ingin menolak sang pemuda yang tengah berbaik hati menawarkan pemandangan di atas langit.
Butuh beberapa menit hingga Malleus berujar, memecah keheningan di antara mereka berdua, "Emily, kau sudah boleh membuka matamu."
Gadis itu menegak ludah lalu membuka kelopak matanya dengan perlahan, memperlihatkan pemandangan langit malam yang ditemani oleh kerlap-kerlip cahaya hijau dari sihir Malleus. Emily sesaat merasa kagum, sebelum rasa panik menghampiri dirinya.
"M-Malleus-senpai, ini tinggi sekali!" ujarnya tergagap dengan tubuh yang bergetar dan keringat dingin mengucur dari pelipis hingga tangannya. Gadis itu menggenggam erat tangan Malleus.
Namun, Malleus bukannya terpaku pada ketakutan sang gadis melainkan akan panggilan yang diarahkan padanya. Emily memanggil namanya, bukan Tsunotaro seperti biasa.
Malleus menyeringai kecil, tak dilihat oleh Emily. Lalu ia menutup mata Emily dan membawanya turun. Meskipun, ia ingin sekali gadis itu memanggil namanya, ia tak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan membuatnya takut. Biarkan saja waktu mempengaruhi hubungan mereka berdua.
.
[Sadar]
Ada apa dengan Riddle hari ini? Pemuda berambut merah tersebut terlihat sangat lembut, berbeda seperti hari-hari biasanya. March menghela napas ketika memikirkan di mana Riddle yang tak memarahi ulah Ace dan Deuce.
"Kantoku-sei," panggil Riddle. Pemuda yang lebih tua setahun darinya itu sadar kalau sosok lelaki dengan helaian rambut Almond itu terus-terusan saja memasang ekspresi lelah. Riddle menepuk pundaknya seraya mengulas senyum, "tidak bisa tidur, kah?"
Mana mungkin March katakan bahwa Riddle sendiri lah sumber terganggunya pikiran ia saat ini. March hanya mengangguk pelan, mengutarakan kebohongan kecil yang tak akan Riddle sadari.
.
[Bahaya]
Suara bising memasuki telinga seorang pemuda berambut hitam coral dengan shade beeswax. Matanya mendelik, menampakkan iris lavender yang berkilat penuh amarah. Dengan emosi, Violetteーpemuda ituーmenoleh seraya melemparkan tatapan sinis.
"Kenapa ribut sekali, Spade?!" tanya Violette, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Pemuda yang dipanggil Spade oleh Violette tersebut tersentak, ia tengah memperbaiki jam tangan milik Violette tetapi tak menemukan solusi yang tepat. Membuat ia harus mencari beberapa peralatan lain dengan terburu-buru.
Deuce menghela napas, menggaruk kepalanya yang tak gatal sembari memasang ekspresi tak mengenakkan, "M-maaf, Violette-senpai. Aku akan segera memperbaikinya segera, jadi mohon maaf atas ketidaknyamanannya."
Violette geram sekali dengan sikap sopan pemuda itu. Padahal, ia bisa jadi dirinya seperti biasa, tak perlu berpura-pura untuk beramah-tamah. Tak perlu terburu-buru juga, Violette sudah senang untuk dibantu. Pemuda satu kelas dengan Riddle tersebut duduk, kemudian mengerjap ketika menangkap sosok Deuce yang tengah mengambil peralatan.
Iris lavender-nya membulat, "Spade, jarum itu bahayaー"
Deuce mengedipkan matanya, mengangkat jarum jam dengan hati-hati menggunakan kain, seolah tahu bahwa terdapat lumuran racun di jarumnya. Kemudian, ia menangkap Violette yang hampir saja terjatuh.
"Violette-senpai, apa kau tidak apa-apa?" tanya Deuce panik.
Niat untuk menolong, namun malah terkena sial. Violette bangkit, meninggalkan Deuce dengan wajah penuh memerah. Membuat Deuce bertanya-tanya, kesalahan apa lagi yang ia lakukan sampai kakak kelasnya tersebut kembali marah.
.
[Ikan]
Night Raven College sedang mengadakan camping. Dan tentu saja, seluruh murid harus mengikutinya. Emily dan Belial ditugaskan untuk memancing ikan sebagai bahan makan malam nanti. Namun, gadis berambut biru muda itu sangat ingin ikut mendaki bersama Sebek.
Sayang sekali, Vargas-sensei tak mengizinkan gadis itu untuk pergi bersama dengan Sebek dan malah menempatkannya bersama pemuda ber-dorm Ignihyde tersebut.
Emily menghela napas, menggerutu perlahan seraya menarik-narik pancingannya, "Membosankan ..."
"Kenapa kau tidak turun saja langsung ke sungai? Memancing memang membosankan, tapi kalau kau menangkapnya langsung dengan tangan akan berbeda lagi rasanya," usul Belial sembari mengulas seringai.
Mendengar usulan tersebut, Emily mengangguk girang lalu turun dan mencoba menangkap ikan. Meskipun Belial yakin gadis itu tak akan mendapat ikan lebih dari tiga, namun setidaknya ia bisa menyaksikan tontonan gratis selama memancing.
.
[Keras]
Violette membanting buku di hadapannya, menggertakkan gigi sembari mengulas senyum mengerikan. Bagaimana bisa gadis itu tidak lulus dalam kelas alchemy? Padahal menurut Violette pelajaran tersebutlah yang paling gampang di antara semuanya.
Iris lavender tersebut mendelik, kemudian melotot pada Emily. Adik kelasnya yang mendapat nilai rendah di alchemy. Violette bertaruh, Emily pasti mengacaukan semua formula dengan percobaan atau lupa resep ramuan sehingga cauldron hampir tiap minggu meledak.
"Sekarang, pelajari materi ini. Kalau ada yang tidak dimengerti, tanyakan saja," ujar Violette seraya menunjuk halaman di buku bersampul cokelat. Sejujurnya Violette ogah untuk mengajari Emily, namun Riddle meminta bantuannya dikarenakan ia tengah sibuk.
Emily menggeleng, keras kepala, "Aku tidak mau! Aku tidak mengerti semua materinya bagaimana bisa aku belajar?"
Helaan napas kasar ke luar dari mulut Violette. Ia mengetukkan kepalanya dengan keras di atas meja lalu mendelik dari balik iris lavender tersebut.
"Kerjakan atau kau kulapor Riddle!"
Mau tak mau, gadis itu segera berusaha untuk mengerjakan materi yang diberikan padanya dengan gemetaran dan keringat dingin. Setakut itu kah ia pada leader dorm-nya? Violette hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keanehan tingkah adik kelasnya tersebut.
.
[Rumit]
Scarletta menghela napas, begitu pula dengan gadis berambut biru muda dan bertopi kelinci. Mereka berdua mengeluh, kebingungan akan keberadaan March yang saat ini sangat sulit untuk dicari.
"Yah, March terkenal, sih. Basically, dia jadi terapis sekolah gratis di sini," gerutu Emily sembari menendang kerikil. Tak sengaja, kerikil tersebut terkena kepala seseorang berambut merah dengan dua antena. Iris biru milik Emily membulat, terkejut ketika mendapati sosok yang dikenainya tak lain adalah Riddle, "oh, tidak! GAWAT!"
"Emily ...?"
Riddle terdiam sejenak, membuat Emily hanya bisa memasang senyum kikuk. Detik selanjutnya, wajah pemuda itu terlihat memerah sempurna seperti warna rambutnya, "EMILY, HUH?!"
Kenapa ia bisa terjebak di keadaan rumit seperti ini lagi untuk kesekian kalinya? Padahal ia tidak meminta. Sungguh, nasib sialnya sangat tinggi jika berada di dekat pemuda berpangkat leader dorm-nya tersebut. Mau tak mau, Emily menarik tangan Scarletta dan berlari dengan cepat. Membuat situasi rumit bagi sang gadis biru, terasa menyenangkan bagi Scarletta.
.
[Langka]
Gorpha mencengkram erat tangannya sendiri, membiarkan telapak tangan yang putih tersebut dipenuhi oleh lumuran darah. Ia sangat kesal, bagaimana bisa ia harus mencari tumbuhan langka di dasar laut karena seorang gadis yang memesan? Ingin sekali rasanya melemparkan protes pada Azul, tapi ia tidak tega untuk memarahinya.
Mengabaikan bentuk tubuhnya yang saat ini menjadi hiu, Gorpha berenang dengan cepat.
"Lihat saja nanti. Saat aku pulang, akan kulemparkan tumbuhan langka tersebut di wajah Radcliff lalu kuomeli dia karena meminta yang tidak-tidak," omel Gorpha.
Di lain tempat, seorang gadis berambut biru dengan nama Emily tengah bersin. Menggaruk hidungnya dan melirik ke arah langit biru, "Aneh sekali. Padahal cuacanya tidak dingin."
.
[Cadangan]
Lengan Nasha dengan cepat mengubek-ubek isi tasnya. Tersadar, ia pun mengerjap pelan ketika menyadari buku cadangan yang ia simpan untuk Kalim tak ia bawa. Ah, bagaimana bisa seorang pelayan sepertinya teledor seperti ini? Iris berwarna merah muda tersebut melirik ke arah Jamil.
Menyadari kode yang diberikan oleh Nasha, Jamil hanya mengendikkan bahu pelan, mencoba tak peduli meskipun pada kenyataan ia mengambil sebuah buku kosong dari dalam tasnya. Pemuda berambut cokelat dengan kulit gelap itu memberikannya cuma-cuma pada Nasha, seolah mengisyaratkan untuk segera memberikan benda itu pada Kalim.
Pagi ini, Kalim terlambat bangun. Karena itu, ia lupa membawa satu buku pelajaran. Dan Nasha seakan sudah berjaga-jaga jika hal itu terjadi.
"Tapi ... aku heran, bagaimana bisa kau juga ikut lupa?" tanya Jamil setelah Nasha melaksanakan tugasnya.
Nasha menghela napas, "Entahlah. Mungkin saja tidak sengaja tertukar saat aku memberikan catatan pada Emily." Gadis itu berandai-andai, tersenyum lucu ketika membayangkan Emily yang mendapati para lembaran putih kosong.
"Hah? Kenapa anak kelas dua seperti kita harus memberikan catatan pada Emily yang notabene anak kelas satu?"
Kedua sosok yang berada di dorm Scarabia tersebut berpikir sejenak, kemudian mereka mendengkus kecil, seolah mendapatkan jawaban yang sama saat melewati kelas 2-E dan menangkap pemuda berambut merah.
"Ah ... Riddle, ya."
.
[Fajar]
Seorang pemuda dengan helaian rambut biru tua di kamar terdengar menguap, mencoba menahan kantuknya yang sedari tadi menetap. Jari jemari-nya menekan layar handphone, bersama dengan seorang gadis yang juga ikut bermain. Sepertinya, mereka berdua tengah asyik bermain game online.
"Uwah, kau lucky sekali, Emily?! Dapat UR dua sekaligus?!" seru Deuce tertahan ketika mendapati temannya itu tengah beruntung.
Emily terkekeh, seolah bangga memperlihatkan keberuntungannya. Meskipun character yang ia incar tak pulang, "Hehe, kali ini aku menang banyak, bukan?"
Suara ayam berkokok memasuki indra pendengaran mereka. Di ufuk timur, matahari nampak malu-malu untuk bangun, menandakan fajar mulai tiba. Sontak saja, iris mereka berdua membulat.
"Gawat, aku harus kembali ke kamarku! Kalau Ryoucho mendapati kita sibuk bermain game semalaman, bisa-bisa kitaー"
"Oh? Tapi, kalian sudah tertangkap basah olehku, kok."
Sebuah suara familiar dari sosok berambut merah. Ia menyilangkan tangannya di depan dada seraya mengulas senyum. Wajah pemuda itu memerah, semerah helaian warna rambutnya.
Deuce dan Emily hanya bisa menegak ludah, berdoa dalam hati semoga mereka bisa selamat dari ancaman maut.
.
[Malu]
Helaan panjang terdengar dari mulut seorang gadis berambut biru muda. Ia menggerutu, duduk seraya mengayunkan kedua kakinya sebagai bentuk ketidaksenangan yang ia rasakan. Lengannya mengangkat sebuah foto buram. Lalu, desahan pelan kembali ke luar.
Emily berandai-andai, kenapa pemuda itu tidak suka untuk tertangkap dalam kamera? Apa karena ia malu? Yah, ia bisa memahami karena terkadang ia juga kesal ketika difoto.
Namun, ia ingin sekali mempunyai setidaknya satu kenang-kenangan bersama Malleus. Ia pun bangkit dan berjalan dengan pelan, "Sepertinya memang aku harus menyerah saja kalau Tsunotaro-senpai merasa malu untuk difoto. Aku akan menunggunya untuk meminta dengan sendirinya, huh."
.
[Tertawa]
Seorang gadis berhelai rambut merah dikuncir ke samping terlihat tengah menghela napas. Semenjak teman dekatnya menyeret ia ke dalam dunia per-gacha-an, ia menjadi kurang tidur karena sibuk mengumpulkan diamond. Ia bahkan jarang mengulas senyum seperti biasa.
Tepukan pelan mendarat di bahunya, membuat gadis itu menoleh dan mendapati Emily, teman dekatnya, yang dimaksud tadi.
"Letta! Apa kabar?!" sapa Emily dengan wajah ceria.
Scarletta menghela napas, memaksakan untuk menyunggingkan senyum lalu tertawa pelan. Namun, Emily malah mengerutkan dahinya tidak suka ketika mendapati gadis di hadapannya tersebut sedang memaksakan diri.
Emily menjatuhkan kepala Scarletta di atas pahanya, menyuruhnya untuk tidur. Gadis itu mengerjapkan mata perlahan, "E-eh?"
"Kau terlihat lelah. Gunakan unique magic-mu agar kau bisa tertidur untuk beberapa menit sebelum kelas dimulai!" titah Emily memaksa.
Tak ada pilihan lain. Scarletta tak bisa menolak jika gadis itu sudah bersikeras menyuruhnya. Dengan terpaksa, ia memakai sihirnya, lalu mengambil tidur siang.
.
.
@/penerbit.binarmedia
#12dayswritingchallenge #menulisbebassantuy #tantanganmenulis #MBSbatch11
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro