# C H A P T E R 8
#Chapter 8
Tali pengekangan & Pemberontakan
Bella masuk ke kamar kakaknya yang ternyata dipenuhi oleh kertas-kertas berserakan. Meja belajar ditumpuki oleh beragam buku cetak tebal. Tak hanya sampai di sana saja, baju-baju yang seharusnya tertata rapi dalam lemari, malah menggantikan lahan kosong untuk duduk. Sehingga di kamar Alice tidak menyisakan ruang sama sekali. Bahkan kasurnya pun disulap menjadi tempat bermacam-macam peralatan tulis ditumpahkan. Sungguh kacau!
“Kamar Mbak rapi banget, sampai-sampai aku pun nggak ada tempat buat duduk.”
Sindiran itu membuat satu-satunya makhluk yang bernapas di dalam ruangan, terjaga dari tidurnya. Rambut panjang yang terbiasa tampil bak Rapunzel, saat ini justru seperti sarang burung yang berantakan. Alice mengedipkan matanya beberapa kali, merasa takjub dengan kunjungan orang ke kamarnya. Karena, seperti yang telah mereka kira, kalau tempatnya benar-benar 'rapi'.
“Ah, rupanya kamu, Bell. Sini-sini duduk!” ajak Alice. Sesekali dia menguap, dan menepuk-nepuk sisi kasurnya, mengisyaratkan Bella untuk duduk di sampingnya.
“Sori berantakan.” Alice berloncat guna merapikan secara kilat kamarnya.
Bella yang sungkan hanya berdiam saja, akhirnya membantu Alice. Meskipun awalnya Alice menolak bantuan dari Bella, setidaknya bila dikerjakan oleh dua orang, pasti akan selesai lebih cepat, bukan?
Tidak sampai genap 30 menit lamanya, ritual beres-beres pun telah selesai. Setidaknya ada ruang kosong di bawah, dekat kasur untuk duduk selonjoran. Kedua kakak beradik itu duduk di atas karpet permadani bercorak batik khas Solo.
Alice membawa dua toples berisi camilan manis dan pedas. Disusul oleh Bella yang baru kembali dari dapur dengan membawa dua mug besar berisi milkshake dingin. Alice menerima milkshake berperisa taro, sementara Bella memilih perisa teh hijau.
“Papa ngomel lagi, ya?” tebak Alice. Karena tidak biasanya, Bella akan mengganggu jam tidurnya di siang hari, saat jadwal kelasnya kosong.
Bella mengunyah camilan berbentuk bola yang diselimuti oleh coklat dan selai kacang, menjawab pertanyaannya calon dokter itu dengan anggukkan kepala. Kamar Alice adalah wilayah tabu bagi laki-laki untuk mendekatinya, termasuk sang ayah.
Jiwa penantang dan galak yang melekat pada Bella sedari kecil, bukan tanpa alasan dia dapatkan. Melainkan karena gen dari Rajendra yang menjadi penyumbang terbesar dalam kromosom X bagi anak-anaknya. Kelakuan Bella masih dibilang cukup jinak, lain halnya jika menyangkut Alice. Meskipun Alice memiliki bentuk muka yang dibilang cukup bersahabat, tetapi ketika perempuan yang terobsesi dengan belajar itu sedang dalam mode serius, alias fokus belajar, maka ada baiknya untuk tidak menganggu anak singa yang sedang tertidur.
Dari ketiga perempuan di rumah Atmaja, hanya Yunita, sang ibu yang paling ramah dan jarang sekali marah. Namun, mungkin karena pengaruh anak tengah yang memiliki tanggung jawab atas adiknya, Alice tidak bisa marah pada Bella. Sekalipun adiknya itu berbuat keributan di kamarnya—meski hal itu terjadi terakhir kali sewaktu Bella kelas 6 SD.
Alice menghadap kepada Bella, memerhatikan muka kusut sang adik akibat siraman rohani Rajendra yang pastinya tidak jauh-jauh dari problematika akademis. “Kali ini masalah apa lagi? Bukannya kelasmu baru di mulai besok, ya?”
“Makanya itu, Mbak!” rengek Bella sambil musih-misuh. “Papa nyebelin banget! Masa udah bombardir aku sama 'mandat' harus dapet peringkat satu lah, ikut komunitas apa lah, ikut lomba-lomba lah. Aduuuh, pusing kepalaku lama-lama!”
Alice merasa prihatin dengan nasib Bella yang harus terlahir di keluarga yang memang menuntut prestasi tiap anaknya—Rajendra, papanya itu memang sangat disiplin jika menyangkut akademis anak-anaknya. Sampai saat ini pun, Alice masih mendapatkan desakan dari sang papa. Yah, walaupun tidak seekstrim waktu dia masih seumuran Bella.
Alice mendekap Bella. Dia menyemangatinya dengan tepukan pada punggung. “Turutin aja dulu keinginan Papa, nanti kamu tinggal lakukan apa yang jadi hobi kamu dan buktikan!” Dia mengurai pelukannya. Kemudian tersenyum lebar pada Bella, seolah mengatakan 'semua pasti baik-baik aja'. “Semangat untuk nerbitin bukumu, ya, Bell!”
Seulas senyum pun tak dapat Bella sembunyikan. Dalam keluarganya, hanya Alice yang tahu pasti mengenai hobinya dalam menulis. Dia sungguh bersyukur, kakaknya yang satu ini dapat memberikan suport padanya. Tidak seperti kakak sulungnya. Tama terlihat tidak acuh padanya, tetapi Bella yakin pasti, kalau Tama pun menyayanginya. Namun, dengan cara yang luar biasa beda.
•oOo•
Usai MOS yang hanya dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut, pada murid baru pun resmi menyandang gelar sebagai siswa di SMA Teladan. Pembagian kelas pun telah berangsur di hari terakhir MOS, sebagian yang berada pada satu kelompok sewaktu MOS, menjadi rekan satu kelas selama setahun mendatang. Sedangkan sebagiannya lagi, terpaksa harus berpisah.
Setelah pembagian kelas, ternyata Abi dan Bella kebagian menjadi teman sekelas. Tentu saja kenyataan tersebut disambut antusias oleh keduanya. Namun, euforia itu mesti terhenti ketika di hari mereka menjadi teman sekelas, sekaligus chairmate. Abi menemukan kalau Bella sudah sampai lebih awal daripada dugaannya.
Gadis itu terlihat termenung. Salah satu tangannya menyangga dagu dengan pandangan menjurus pada pemandangan di balik jendela, yakni lapangan hijau terbentang yang luasnya bisa digunakan untuk anak SMA Teladan bermain sepak bola. Belum lagi disisi lapangan tersebut, garis trek lari yang melingkari kian meramaikan suasana tanah lapang.
Abi menghampiri Bella. Dia menyimpan ransel yang hanya berisi satu buku dan pulpen saja di atas meja. Kemudian dengan jahil, dia menarik tangan Bella yang menompang dagu, hingga hampir saja membuat gadis itu terantuk pada sisi meja.
“Abii!” pekik Bella. Dia balik menatap Abi dengan galak, lalu tak berselang lama, bibirnya menekuk ke bawah. “Abiii ... Papa akuuu!” Kali ini Bella jadi merengek tanpa tahu malu. Padahal kelas mereka sudah terisi setengahnya.
“Kenapa? Mukamu kusut gitu,” komentar Abi menimpali.
“Papa nyebelin!” aku Bella menggebu-gebu. “Tahu, nggak, belum juga sekolahku dimulai, tapi Papa udah kasih ultimatum harus inilah, itulah, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Arggh. Lama-lama aku bisa benci Papa beneran!”
Bella mengayunkan kakinya hingga terantuk kaki meja. Bukannya merasa nyeri, dia malah menyumpah serapah pada meja yang tak bersalah. Jika tidak ingat dirinya sedang sekolah, sudah Bella pastikan kalau dia akan menjambak rambutnya sendiri dengan beringas bak orang gila. Namun sayangnya, akal sehat Bella masih tersisa. Walaupun hanya sebesar biji kecambah.
Abi menepuk-nepuk bahu Bella seolah menyabarkan. Padahal ucapan yang Abi katakan berkebalikan dengan situasi Bella saat ini.
“Jangan ketawa, Bell. Suaramu mirip kunci nantinya. Kasian kuping anak orang di sini.”
“Abiii!”
Meskipun Abi sukses membuat Bella melupakan masalahnya sejenak, tetapi tidak berarti banyak. Sebab ketika gadis itu menginjakkan kakinya di rumah, maka beban yang sedari berhasil Abi tendang jauh-jauh, kembali berdatangan memenuhi tempurung kepala Bella.
•oOo•
Pulang sekolah adalah hal paling dinantikan bagi tiap pelajar. Apalagi jika menyambut hari esok yang merupakan hari libur sekolah. Bagaikan saja, bagaimana jika tanggal hitam itu seketika menjadi warna merah, hari libur. Betapa menjadi surga dunia bagi orang-orang yang malas berpacaran dengan sekolah.
Namun, bagi Abi tidak ada yang ada hal yang paling mengasikkan selama 16 tahun hidupnya, selain fakta kalau dirinya sudah resmi bergabung dalam salah satu komunitas hits di sekolah. Mereka menamai kelompoknya dengan sebutan Jagabela.
Dalam bahasa Jawa, Jagabela dapat berarti dua hal, yakni pengawal pribadi raja di zaman Pangeran Diponegoro dan prajurit pengawas disiplin. Namun, komunitas ini terbilang ilegal di SMA Teladan. Bisa dikatakan sebagai organisasi bawah tanahnya, anak-anak yang tidak memiliki tujuan hidup.
Meski komunitas Jagabela identik dengan pengembangan fisik, seperti masa otot, akibatnya banyak orang yang mendiskrimasi komunitas ini dan mengklaim bahwa Jagabela hanyalah perkumpulan 'anak bebal' yang bertopeng sok pahlawan. Padahal, ketika SMA Teladan mendapatkan ancaman dari sekolah sekitar yang dianggap sepele—bahkan oleh pihak sekolah sekalipun—Jagabela adalah tameng yang melindungi SMA Teladan.
Jika dihitung, sudah sepekan ini Abi tergabung dalam komunitas ini. Ritual yang sering diadakan di sini, selain pelatihan bela diri secara konsisten, juga ada pembagian daya bantuan kepada anak jalanan. Bahkan di akhir pekan, anak-anak Jagabela yang tidak punya acara apa pun, dapat ikut serta untuk mengajar anak jalanan agar mendapatkan pendidikan, minimal bisa calistung; membaca, tulis dan menghitung.
“Bi, kali ini join juga?” sapa Ryan, teman sebaya Abi yang berada di Kelas 10 Anaphalis javanica.
Penamaan kelas di SMA Teladan terbilang cukup unik, yang ternyata disesuaikan sewaktu mereka menjalani MOS. Jika kelas IPS mendapatkan penamaan sesuai dengan tokoh kepahlawanan, sedangkan anak kelas IPA mendapatkan nama dari nama biologi-nya suatu objek.
Kelas Ryan, Anaphalis javanica merupakan istilah dari nama tumbuhan Edelweis Jawa. Kelas yang lebih dikenal dengan panggilan kelas Anap ini, merupakan kelas IPA yang katanya mewarisi kecerdasan sang Einstein.
Abi melakukan tos ria, kepada kakak kelas dan ketiga teman sebayanya, sebelum akhirnya menanggapi ucapan Ryan. “Pertanyaan lo terlalu nyampah, dude!” Dia merangkul Ryan yang tingginya sejajar dengannya. “C'mon, Ry. Jangan tunjukin muka ditekuk itu depan anak-anak kalau kamu nggak mau kena ejek mereka.”
Bukannya meringankan beban pikiran Ryan, Abi justru lebih senang melihat muka-muka Ryan yang jadi kusut. Seru, gitu lihatnya. Berasa jackpot. Memang betul sudah, Abi adalah definisi dari penjelmaan teman yang tidak patut untuk ditiru.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro