# C H A P T E R 3
#Chapter 3
Pindahan Dadakan
(Desember, 2015)
Hampir lima tahun sejak kepindahan keluarga Arsalan ke Yogyakarta karena dipindahtugaskan Raehan Arsalan--Ayah Abi--di Korem 072/Pamungkas. Selain Komando Resort Militer ini punya sejarah panjang, tempat ini juga menjadi salah satu persinggahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berkunjung ke Yogyakarta.
Posisi Korem 072/Pamungkas yang berlokasi tepat di samping Istana Kepresidenan Yogyakarta, membuat anggota Korem 072/Pamungkas beserta warga di sekitarnya--termasuk Raehan yang mendapatkan tugas mengawal presiden RI ke-6 tersebut--menjadi salah satu alasan kepidahannya bersama keluarga.
Akan tetapi, Raehan lebih memilih tinggal di Perumahan Griya Kuantan Amarta—atau kerap dikenal sebagai Perumahan GKA—yang lokasinya berjarak kurang lebih 20 menit jika melewati Jalan Magelang. Apa lagi dengan penawaran atas fasilitas yang disediakan oleh perumahan tersebut patut diacungkan jempol. Selain karena letaknya strategis menuju beberapa objek penting, letaknya juga berdekatan salah satu rumah sakit kenamaan di Yogyakarta.
Istri Raehan, Ilana Marshanda--sekaligus Ibu Abi--memilih bermukim di daerah tersebut karena ingin berbaur dengan masyarakat yang lebih heterogen. Lagi pula, meski fasilitas kesehatan di Yogyakarta tidak sebaik ketika mereka berada di ibu kota, tetap saja dengan adanya pertolongan cepat dari dokter, sebiji nyawa pun dapat tertolong.
Tidak banyak yang berubah selama kurun waktu setengah dasawarsa setelah keluarga Abi menetap di Yogyakarta. Keberadaan Abi tetap menjadi satu-satunya buah hati pasangan Ilana-Raehan selama 10 tahun masa pernikahan mereka.
Bagi Abi yang sudah menginjak masa remaja sejak setahun silam, mengingat statusnya sebagai anak tunggal, tidak mengelakkannya dari limpahan tanggung jawab yang dibebankan pada Abi, sendirian. Namun, kehadiran Bella--gadis kecil yang lima tahun lalu membantunya menemukan rumahnya--ternyata menjadi tetangga Abi.
Bella membantu banyak agar Abi dapat beradaptasi--meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar--agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang betul-betul berbeda dari ibu kota. Terlebih lagi masyarakat di Yogyakarta memiliki rasa gotong-royong dan keramahan yang tinggi, hingga sulit untuk tidak membuat siapa pun merasa seperti di kampung halaman sendiri. Orang Jogja pun terkenal amat sopan, berbudaya, terbuka, dan ringan tangan menolong. Yah, meski tidak semuanya berkelakuan sama.
Kebersamaan Abi dan Bella selepas insiden sewaktu kecil, mengantarkan mereka pada ikatan persahabatan yang sudah diketahui oleh orang-orang. Bahkan seperumahan Griya Kuantan Amerta, GKA. Apa lagi jika bukan karena perlakuan sanggar Bella dan penakutnya sosok Abi.
Bahkan kunjungan Bella di pagi buta, bukan lagi hal ganjil bagi keluarga Arsalan. Weekend ini, gadis berambut sebahu dengan bando polkadot mint itu memiliki misi untuk mengganggu waktu istirahat Abi karena kemarin-kemarin, lelaki kerempeng itu melanggar janjinya untuk mengantarkan Bella ke toko buku dengan alasan yang tidak Bella patahkan, mengantarkan ibunya untuk check up.
“Ngeselin, sih. Tapi, mau gimana lagi? Ngebuat Abi marah itu adalah kesenangan tersendiri buat dapetin inspirasi nulis.” Bella terkikik geli dengan pemikirannya.
Setelah Bella dipersilakan untuk mengusik Abi yang masih berpacaran dengan ranjangnya oleh Ilana, Bella pun bagai menganggap rumah Abi bak rumahnya sendiri. Dia melangkah menuju kamar Abi yang terletak di lantai dua. Berbekal dalih untuk mengajak Abi olahraga, Bella tentu saja menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu ketenangan Abi dalam tidurnya.
“Abiii!”
Bella berteriak di dekat gendang telinga Abi. Tidak lupa, dia juga turut mengguncang tubuh Abi yang terlipat seperti bayi. Melihat respon dari laki-laki itu hanya berupa gumaman dan kembali berguling ke sisi lain kasurnya, membuat Bella tidak kehabisan akal. Dia menarik selimut yang membungkus tubuh Abi--kini tingginya makin naik sejengkal demi sejengkal dari Bella--dan membuat Abi bergerak grasah-grusuh tidak nyaman.
Karena Abi tidak bangun juga, akhirnya Bella menggelitik kuping Abi dengan kemoceng yang tergantung dekat jendela. Lebih dulu gordennya Bella singkap dan membiarkan udara malam dari luar, menyusup ke dalam kamar yang sudah dimatikan pendingin udaranya. “Bangun Mas Kebooo!”
Bella yang keras kepala dan Abi yang tidak mau menyerah. Laki-laki itu menarik bantal yang lain dan menutupi bagian belakang kepalanya dengan bantal tersebut. Sementara matanya masih bermanja-manja untuk tetap tidak terbuka sama sekali. Lagi pula, tidak ada kegiatan yang mesti dilakuin sebelum mentari terbit!
Dasar gadis gila! Rutukan Abi dalam hati.
Semenjak bergaul dengan gadis yang satu itu, Abi merasa makin fasih untuk mengumpati seseorang. Meski sampai masa ini Abi masih mempertahankan image kalem, tetapi siapa yang tahu isi hati manusia, bukan?
Sikap Abi yang bebal untuk bangun tidur, membuat Bella jadi gerah. Akhirnya Bella mengambil jalur cepat. Dia lebih dulu menggulung tangan kaos panjangnya hingga sesikut. “Oke, kalau itu yang kamu mau, jangan salahin aku, ya!” wanti-wanti Bella. Dia bersiap dengan kanan sudah terangkat tinggi—melebihi kepalanya sendiri—kemudian dengan kecepatan yang sebanding dengan angin pun ... puk!
“Haidar Arsalaaan!” rintih Bella sambil mengibaskan tangan kanannya yang terasa perih karena mendamprat siku-siku kasur.
Niat awalnya Bella untuk menimpuk punggung Abi agar laki-laki itu segera bangun, malah berujung pada rasa perih pada tangannya. Dia tidak menyangka, jika Abi yang terlihat nyenyak dalam tidur, akan mengelakkan dirinya dari ‘pukulan maut’ Bella. Akhirnya gadis itu hanya bisa menekuk muka sambil membulatkan mulutnya. “Dasar picik!” desis Bella kemudian.
Abi tertawa jemawa. “Makan tuh karma!” Dia langsung menyingkirkan selimut dan bersiaga kalau-kalau gadis itu kembali melakukan serangannya.
Ternyata dugaan tidak meleset, Bella yang tidak terima karena merasa dipermainkan oleh cecunguk satu ini, berusaha menerjang Abi dengan niat memberikan Abi puluhan pukulan sebagai balasan. Tentu saja Abi tidak akan membiarkan keinginan Bella terkabul. Abi pun melompat dari kasur, menghindari beragam percobaan Bella untuk memukulnya. Kemudian, karena merasa kamarnya tidak cukup luas untuk menghindari dari ‘serangan gila' Bella, Abi pun melarikan diri keluar kamar.
Ketika kedua insan itu berhasil keluar dari kamar Abi dengan seragam aksi 'balas dendam' Bella dan upaya Abi untuk menghindarinya berbuah dengan omelan Ilana yang menemukan jika salah satu koleksi tanamannya yang berada di dalam rumah, jadi pecah karena ulah kedua orang belum sepenuhnya menyesap pahitnya kehidupan ini masih sempat-sempatnya berlarian mengacaukan rumah Arsalan.
Bahkan, ketika keributan itu terjadi, sang bagaskara pun belum menampakkan wujudnya, mungkin karena terlalu lelah memberikan pelita bagi manusia pemalas, seperti Abi misalnya.
•oOo•
Sepekan belakangan ini kondisi Ilana makin memperparah. Berawal dari keluhannya pada kondisi menstruasi yang tidak normal—biasanya selama sebulan, pasti Ilana akan mengalami menstruasi pada awal bulan, akan tetapi sudah setengah tahun ini, tanggal merahnya kian berubah tak menentu layaknya periode anak gadis—padahal usianya sudah memasuki kepala empat.
Kala itu, keluarga Arsalan diributkan dengan keadaan Ilana yang sedari pagi buta sudah merintihkan keluhan kalau bagian pinggulnya terasa nyeri yang teramat. Belum lagi Ilana yang meringkuk di kasur dengan posisi berantakan merasakan kalau bagian dalam perutnya terjadi pembengkakan—yang belum dikonfirmasi pihak medis—mengkhawatirkan Raehan yang lantas segera memanggil saudaranya, Maria Arsalan yang rumahnya tak jauh dari perumahan GKA.
Sementara itu, kehadiran dua anak manusia yang terbiasa dikelilingi keceriaan, mendadak bermimik mendung. Terlebih lagi Abi yang kian termenung dibalik ayunan taman belakang rumahnya. Pikiran Abi terus tertuju pada sang ibu. Rintihan ibunya yang berada di kamar pun sampai terdengar hingga ke taman belakang.
Bella yang mengayunkan pelan ayunannya, memerhatikan Abi dalam diam. Meski sering menjahili laki-laki itu sejak kecil, baru kali pertama ini Bella mendapati mimik nelangsa Abi. Hatinya jadi iba. Apalagi secara tidak sengaja, dia melihat kalau mata Abi sudah berkaca-kaca dengan pangkal hidung memerah.
Bella pun menghentikan ayunannya. Dia menghadap sepenuhnya pada Abi. “Bi, angin di sini jahat, ya? Bikin mataku perih.” Bella menggosok-gosok matanya hingga terasa perih dan berair. “Tuh, lihat,” tunjuk Bella pada matanya yang kini terlihat memerah, “mataku perih, jadi mau nangis rasanya.”
Abi menanggapi kelakuan Bella dengan seulas senyum kecil. Dia paham betul kalau gadis berkucir kuda itu tengah berusaha menghiburnya. Tidak membiarkan kelemahannya sebagai seorang lelaki—yang menangis—terungkap secara terang-terangan. Dia bersyukur dengan Bella yang tidak bertanya macam-macam saat suasana hatinya tengah berkecamuk bagai dilanda oleh angin ribut.
“Masuk ke dalam, yuk. Nanti kalau di sini terus kayaknya aku bakalan nangis bombai, deh, Bi,” ajak Bella yang sudah berdiri dari ayunan.
“Terima kasih, Mabella,” ungkap Abi dengan lirih.
Baik Bella dan Abi tidak tahu bahwa perjalanan mereka menuju rumah Abi merupakan kenangan terakhir mereka untuk tetap bersama. Sebab setelah Abi dan Bella pulang ke rumah masing-masing, berita mengenai kepindahan keluarga Abi ke Jakarta menjadi luka mendalam bagi kedua insan yang sudah lama ini terikat oleh hubungan persahabatan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro