Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.

"Sayang, jangan lama-lama mainnya," ucap Mara lembut pada si biru yang tengah bermain bola sepak di belakang rumah.

"Iya bu," menurut, ia menendang bola keatas, menengadahkan satu tangan untuk pendaratannya. "Bu! Aku mau makan ya!"

Mara terkekeh. Si anak bermanik aqua itu tersenyum lebar lantas berlari lincah di tangga, hendak menuju kamar. Pada undakan tangga ke sekian, kakinya kurang maju mengakibatkan hilang seimbang. Ia terjatuh bersama bolanya yang menggelinding sampai menyentuh ujung jari kaki Mara.

Wanita itu menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia berlari dengan linangan air mata yang tak normal, berlebihan. Berjongkok sebelum memangku kepala si putra, ia mengecup keningnya berkali-kali, berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi padanya, lagi.

"Hey Ice, kamu ngga papa?" tanya nya dengan suara serak dilengkapi sedutan tak beratur pada hidung. "Sayang?"

Mara mengguncang bahu anaknya. "Bangun!" kelopak putih itu terpejam erat. "BANGUN!!!"

][

"Ayah!"

"Nanti dulu sayang,"

Manik hijau itu meredup, raganya membungkuk kecewa sebelum berjalan lesu menuju kursi kayu. Ia memangku dagu, memperhatikan sang ayah yang sama sekali tidak membalas perhatiannya.

Usia lima belas tahun tidak membuat Thorn kehilangan sifat kekanakan. Nyatanya, pemuda ini dikenal sebagai yang terpolos dari yang terpolos. Meski keadaan rumah dan keluarganya baik-baik saja, ia tak kunjung mendapatkan perhatian. Oh, ralat, pernah kok, sebelum profesi mengambil alih atensi kedua orang tuanya.

"Om, saya ngga sakit, jauhkan jarum itu!"

Thorn mendongak, menatap pasien yang tengah terduduk dengan wajah takut. Bisa dilihat, wajah Tosin -ayahnya- cengo. Tidak tahu menahu tentang apa yang berlaku, Thorn memutuskan menyimak.

"Lalu kenapa kamu dibawa kesini? Singkapkan kain di lenganmu, ayo!" Tosin memaksa pasiennya, dokter itu hendak menyuntikkan obat bius. Pst, ia hendak di operasi secara diam-diam.

"Aku hanya berpura-pura! Ayo lepaskan sialan!" tidak ada pilihan lain, pemuda diatas ranjang itu mendorong kedua pundak Tosin kuat-kuat, ia terjengkang lantas jatuh menabrak meja geser.

Prang!

Beberapa benda medis diatas meja steril itu berceceran. Jangan lupakan jidat Tosin yang mengeluarkan cairan darah akibat tergores gunting stainless steel yang terlempar beberapa detik lalu.

"Ayah!" pekik Thorn lantas berjongkok disebelah tubuh ayahnya. Tosin memegangi dahi, mencegah darah keluar lebih banyak.

"Apa yang kamu lakukan!?" marah si polos itu dengan tangan terkepal kuat. Yang dimarahi menggulirkan mata kesal.

"Dia yang paksa aku! Dia harus terima akibatnya!"

Pemuda berkaus hijau itu menukikkan alisnya. Suara geraman kasar pun terdengar. "AYAHKU MAU MEMBANTUMU SEMBUH! BODOH!" bentak Thorn emosi.

Pun si biru langit. Ia mengepal tangannya kuat. Gemelatuk gigi terdengar, manik akua itu tertutup kelopak, tak ada celah sedikitpun untuk mengintip. Ia memejam mata begitu erat untuk melampiaskan sementara emosinya.

"Ayah," panggil Thorn lantas mengguncang pelan tubuh si ayah.

"DIAM!"

Pemuda itu terjatuh saat Tosin bangkit spontan penuh emosi. Sedikit takut, Thorn bergeser mundur. Tak pernah ia lihat sang ayah semarah ini.

"Kamu! Ikut saya sekarang juga!" Tosin berdiri, mencekal tangan pasiennya. "Kebodohan kamu tidak dapat ditoleransi! Kamu akan dioperasi tanpa anestesi!"

Memucatlah wajah si pasien. Tosin mengangkat tubuhnya ala bridal tanpa kesusahan. Ia berlari sepanjang koridor rumah sakit dengan pasien yang meronta dalam gendongannya. Sesekali darah menetes dari dahi yang terluka bak peluh, orang-orang menatapnya aneh. Tapi Tosin tak peduli, ia terus menerjang apapun hingga akhirnya sampai pada ruang operasi.

Brak!

Pintu berengsel longgar itu ditendang olehnya. Segera ia menidurkan pasien diatas brankar. Beberapa perawat berdatangan, masing-masing memakai masker, penutup rambut serta sarung tangan medis. Tosin tak bercanda.

"Lihat isi kepalanya seperti saat itu. Aku akan mengurus yang lain, sampai jumpa sayang," Tosin pergi meninggalkan fly kiss yang terbang menuju istrinya. Walau hanya dibalas dengan guliran bola mata, sang istri senang sebenarnya.

"Hei nak, kamu yakin ngga mau pakai anestesi?" ucap Sinte -ibu Thorn/istri Tosin-. Ia mulai mendekati brankar, menarik-narik kelopak mata pasiennya untuk mengecek kelayakan operasi.

Ada yang aneh.

"Hentikan itu!" ia terduduk spontan membuat para medis terperanjat. "HENTIKAN SEMUANYA!"

"Dok, saya rasa dia salah rumah sakit. Rsj ada di sebelah kan?" ucap salah satu suster, berbisik pada telinga Sinte.

"KURANG AJAR!"

Terperanjat lagi. Pasien mereka memang tak punya rem untuk berkata-kata.

Sinte terdiam sejenak. Ia pernah mengambil jurusan psikologi dan malah melenceng menjadi dokter bedah. Mengagumkan kan, dua bidang yang sulit telah dikuasainya, dan itu bermanfaat untuk saat ini.

Tangan putih rampingnya mengelus punggung si pasien. Bisa dilihat, pemuda itu sesenggukan seraya mengelapi hidungnya yang berliquid. Matanya juga mulai membasah, warna bola yang merah iritasi sudah memberikan gambaran jelas untuk Sinte, sahabat Mara yang mengetahui kasus kecelakaan salah satu anaknya. "Namamu Ice?" tanya Sinte tak yakin.

Ia menggeleng pelan. Satu tangannya digunakan untuk mencongkel softlens yang dipakai. Saat itu juga seluruh penghuni ruangan cengo. Tak tahu apa yang terjadi.

Sinte berbalik, menatap rekan-rekannya. "Ingat saat kita berusaha mengoperasi anak kandung Mara?" mereka mengernyit, tak kenal.

Helaan nafas terdengar. Sinte mencengkram kedua pipi si pasien, lantas mendongakkannya. "Kenal siapa dia?"

Rekannya menyipitkan mata sebelum ber-oh ria. "Dia yang setahun lalu gagal kita selamatkan?" lirih salah satunya dengan nada bertanya. Mata dia berkaca-kaca. "Siapa yang menyelamatkannya?"

Tangan ramping Sinte mengelus pelan rambut cokelat dengan sedikit putih itu. Ia semakin terisak saat Sinte memeluknya. Lihat, di dunia ini tak ada yang menganggapnya ada.

"Coba kita dengarkan semua." Sinte menarik dagu pasien agar mendongak. "Ceritakan, Blaze. Kami ngga akan tertawa saat kamu mati-matian menahan tangis."

Pecahlah tangis Blaze. Ia balas memeluk Sinte erat, membasahi seragamnya dengan air mata. Sesekali sruputan hidung terdengar, Blaze tak dapat membendung tangisnya kali ini.

Setelah dirasa cukup tenang, Sinte melepaskan pelukan. Blaze mengelap sisa air pada mata lantas meraup udara sebanyaknya.

Lima menit, tak ada yang bergerak kecuali pundak Blaze yang naik saat terisak. Lama kelamaan isaknya terhenti, Blaze sudah siap untuk bercerita.

Setelah isakannya dirasa lenyap, Blaze membuka mulut. "Aku ...." membenarkan posisi duduknya, Blaze mengambil posisi sila.

"Setahun yang lalu, semuanya masih baik-baik saja. Kami bermain bersama, tertawa bersama, menangis pun bersama. Ibu kami seorang yang baik hati, aku ngga pantas menyebutnya orang, lebih cocok malaikat." ia tersenyum getir.

"Tapi julukan dariku tak bertahan lama. Tepat setelah mobil yang ditumpangi kami terlempar dari jembatan dan mendarat pada posisi terbalik. Saat itu kami berempat tak sadarkan diri. Sadar-sadar, kami telah berada di rumah sakit."

"Ice di vonis tak hidup lama. Ia terkena tumor otak yang .... Ganas." isakan kecil terdengar kembali, namun terhenti saat Blaze meraup wajahnya kasar. "Jelas, jelas saja, hiks," berusaha menutup mulutnya, Blaze tak ingin lagi isakan keluar dari sana.

"Jelas saja ibuku tak terima, Ice adalah orang yang sangat diandalkannya, berkebalikan denganku." ia memeluk lutut kali ini, menyamarkan isakan dibaliknya.

"Aku cuma bisa main, makan, tidur. Ice? Dia kadang bantu pekerjaan rumah, walau kadang juga cuma tidur. Senggaknya, dia ngga setidakberguna aku."

"Hari itu, ketika Ice dimakamkan, ibu dan ayahku nyaris melompat kedalam liang, untuk menarik jasad saudaraku. Aku? Tidak perlu dipikirkan, aku hanya diam di rumah, memeluk plushie yang mengandung aroma Ice sambil menangis keras. Aku lemah."

"Sejak hari itu, ibu memperlakukanku seperti Ice. Ia melarangku main, menyuruhku tidur ataupun membaca buku. Aku sebagai anak yang tak berguna, nurut saja, itung-itung mengurangi ketidakbergunaanku."

"Sebulan, aku mulai terbiasa. Ibu memakaikanku softlens, outfit serba biru langit, bahkan kamar kami pun ibu ganti catnya. Dulu warnanya gabungan antara jingga dan biru, kini sudah diratakan, hanya biru."

"Dua bulan, ibu memanggilku dengan nama Ice, nama yang ingin kulupakan. Ayah juga ikut-ikutan. Jujur saja, aku sakit hati, keberadaanku seakan hanya debu, tak dianggap dan ibu berhasrat menyingkirkanku."

"Ambisi menghidupkan Ice kembali pun dimulai, ayah menciptakan mesin ilegal penghidup jenazah. Ia ketahuan saat berusaha menggalih kembali makam Ice. Ia dihukum, masuk penjara dengan alasan tidak berlaku manusiawi. Mesinnya pun disita karena berencana melanggar takdir Tuhan."

"Ibuku menangis, ia telah kehilangan semua orang yang disayanginya. Ayahku, dan Ice. Aku bukan, aku tidak termasuk dalam manusia kesayangan ibu."

"Setidaknya aku telah berusaha, aku merubah diriku menjadi Ice. Hanya untuk membuat ibu senang."

"Walau sifat malaikat ibuku hilang karena ia menggerutu tentang .... Kenapa tidak Blaze saja? Kenapa harus Ice?"

"Aku .... Masih menganggapnya malaikat. Hingga sekarang, tidak ada yang menganggapku. Nama Blaze telah hilang, dilupakan. Tolong panggil aku Ice saja, ya?"

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro